Anda di halaman 1dari 26

CLINICAL SCIENCE SESSION

* Kepaniteraan Klinik Senior /2018


** Pembimbing dr. Tumpak Saragi, Sp. KJ

GANGGUAN SOMATOFORM

Oleh

Neneng Nurlita, S.Ked (G1A217071)

Primas Shahibba Ridhwana, S.Ked (G1A217076)

Nuraida Adlaila, S.Ked (G1A217088)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA RSJD JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session yang
Gangguan Somatoform. Sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Tumpak Saragi, Sp.KJ yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Jambi.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari pihak sangat diharapkan guna
kesempurnaan laporan CSS ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca.

Jambi, Agustus 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki


gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat
ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik ini cukup
serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau
gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau
pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi
bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan
durasi gejala. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari
atau gangguan buatan.

Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala


fisik, dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal
tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait
dengan adanya faktor psikologis atau konflik. Karena gejala tak spesifik dari
beberapa sistem organ dapat terjadi pada penderita anxietas maupun penderita
somatoform disorder, diagnosis anxietas sering disalah diagnosiskan menjadi
somatoform disorder, begitu pula sebaliknya. Adanya somatoform disorder, tidak
menyebabkan diagnosis anxietas menjadi hilang.

Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian
(histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa
perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Somatoform berasal dari bahasa Yunani, soma, yang artinya tubuh.


Gangguan somatoform adalah suatu kelompok besar penyakit/gangguan yang
komponen utamanya adalah tanda dan gejala yang berkaitan dengan tubuh.
Gangguan ini meliputi interaksi antara tubuh dan pikiran dalam hal ini otak, yang
mekanismenya masih belum dapat dimengerti dengan baik, mengirim berbagai
macam sinyal yang mengenai kesadaran pasien, yang mengindikasikan adanya
masalah pada tubuhnya sendiri.

Menurut PPDGJ-III, ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-


keluhan gejala fisik yang berulang-ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan
medik, meskipun sudah terbukti berkali-kali hasilnya negatif dan juga sudah
dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar
keluhannya. Penderita juga menyangkal dan menolak untuk membahas
kemungkinan kaitan antara keluhan fisiknya dengan masalah atau konflik dalam
kehidupan yang dialaminya, bahkan meskipun didapatkan gejala-gejala anxietas
dan depresi.

Gangguan somatoform adalah kelompok penyakit yang luas dan memiliki


tanda serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama.
gangguan ini mencakup interaksi pikiran dengan tubuh. Di dalam interaksi ini,
dengan cara yang masih belum diketahui, otak mengirimkan berbagai sinyal yang
mempengaruhi kesadaran pasien dan menunjukan adanya masalah yang serius di
dalam tubuh. Di samping itu, perubahan ringan neurokimia, neurofisiologi, dan
neuroimunologi dapat terjadi akibat mekanisme otak atau jiwa yang tidak
diketahui yang menyebabkan penyakit.

2.2 Epidemiologi

Somatisasi adalah gangguan yang kerap ditemukan. Prevalensi gangguan


somatisasi dalam populasi umum lebih banyak ditemukan pada wanita daripada
pria, yaitu diperkirakan sebanyak 0,2 sampai 2 persen pada wanita, dan <0,2
persen pada pria, dengan perbandingan 5:1. Prevalensi somatisasi subklinis
mencapai 100 kali lebih besar.3 Onset dari gangguan somatisasi adalah sebelum
usia 30 tahun dan berawal mula pada masa remaja. Semetara itu, pada gangguan
konversi, rasio perempuan dibanding laki-laki adalah 2 berbanding 1, dengan
onset yang dapat terjadi kapan pun, baik pada usia kanak-kanak hingga usia tua.3
Laki-laki yang memiliki gangguan konversi sering pernah mengalami kecelakaan
kerja atau militer. Selain itu, data menunjukan bahwa gangguan konversi adalah
gangguan yang paling lazim di antara populasi pedesaan, orang dengan sedikit
edukasi, orang dengan IQ rendah, orang dengan kelompok sosioekonomik rendah
dan anggota militer yang telah terpajan situasi perang. Gangguan konnversi lazim
dikaitkan dengan diagnosis komorbid gangguan depresif berat, gangguan ansietas,
dan skizofrenia.

Hingga saat ini, belum banyak terdapat data bagi pasien dengan gangguan
dismorfik tubuh karena minimnya jumlah pasien yang mengunjungi psikiater
dalam menangani gangguan ini. para pasien umumnya lebih cenderung
mengunjungi dermatologis, internis, ataupun ahli bedah plastik. Walaupun
demikian, suatu penelitian menyatakan 90% pasien dengan gangguan ini pernah
mengalami satu episode depresi berat dalam hidupnya, 70% mengalami gangguan
cemas, dan 30% mengalami ganngguan psikotik.

2.3 Etiologi

Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang


mempunyai tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam
transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan
metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer
non dominan.

Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai


berikut:

a. Faktor-faktor Biologis

Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis (biasanya pada


gangguan somatisasi).

b. Faktor Psikososial

Penyebab gangguan melibatkan interpretasi gejala sebagai suatu tipe komunikasi


sosial, hasilnya adalah menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi atau
untuk mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan (contoh: nyeri pada usus
seseorang).
2.4 Patofisiologi

Sebenarnya patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum


diketahui dengan jelas hingga saat ini. Namun, gangguan somatoform primer
dapat diasosiasikan dengan peningkatan rasa awas terhadap sensasi-sensasi tubuh
yang normal. Peningkatan ini dapat diikuti dengan bias kognitif dalam
menginterpretasikan berbagai gejala fisik sebagai indikasi penyakit medis. Pada
penderita gangguan somatoform biasanya ditemukan juga gejala-gejala otonom
yang meningkat seperti takikardia dan hipermotilitas gaster. Peningkatan gejala
otonom tersebut adalah sebagai efek-efek fisiologis dari komponen-komponen
noradrenergik endogen. Sebagai tambahan, peningkatan gejala otonom dapat pula
berujung pada rasa nyeri akibat hiperaktivitas otot dan ketegangan otot seperti
pada pasien dengan muscle tension headache.

Berdasarkan persepsi psikoneuroimun yang mempelajari interaksi antara


SSP dan imunitas yang telah memaham bagaimana fungsi otak dapat memodulasi
aktivitas sistem kekebalan dan penemuan bahwa mediator yang diproduksi oleh
sel-sel sistem imun memberi pengaruh yang sangat besar di otak. Mekanisme
yang bertanggung jawab untuk hubungan antara keluhan kesehatan yang subjektif
dan peradangan telah dijelaskan beberapa dekade terakhir.

Aktivasi sistem imun bawaan oleh patogen yang menginduksi produksi


lokal sitokin proinflamasi. Molekul-molekul ini bertanggung jawab untuk n
pengembangan respon inflamasi lokal dan respon sistemik terhadap peradangan .
reaksi fase akut ini meliputi produksi protein fase akut oleh hepatosit dan
terjaidnya demam yang merupakan respon metabolik termoregulasi terhadap
patogen. Demam tersebut terkoordinassi diarea preoptic preposal hipotalamus dan
dipicu oleh aksi pada sumber siokin proinflamasi di perifer.

Sitokin proinflamasi tidak perlu memasuki otak untuk menargetkna


hipotalamus karena otak mampu membentuk representasi selular dan molekuler
dari respon imun perifer. Selama respon imun sel inflamasi otak menghasilkan
sitokin proinflamasi sitokin diproduksi sebgai respon terhadap pola molekuler
yang berhubngan dengan patogen darah atau untuk mensirkulasi sitokin
proinflamasi yang mirip makrfag yang berada di organ circumventrical.karena
organ circumventrical memiliki blood brain barrier yang kurang, mereka mampu
memantau perubahan dalam komposisi lingkungan internal. Sitokin yang
diproduksi di organ circumventrical secara bertahap menyeba ke sisi otak dan
merekrut sel mikroglia di parenkim otak.

Komunikasi sistem imun ke otak. Sitokin proinflamasi diproduksi di


perifer cel imun innate sebagai respon terhadap pola molekuler yang berhubungan
dengan patogen atau sinyal bahaya. Sitokin proinflamasi menginduksi sitokin
proinflamasi yang sama di otak. Sitokin proinflamasi otak yang bekerja
diberbagai area otak menginduksi gejala penyakit yang tidak spesifik seperti
kelelahan, depresi, dan kognisi yang berubah. Produksi dan aksi sitokin
proinflamasi diatur baik di perifer maupun di sistem saraf pusat oleh sejumlah
molekul yang berlawanan termasu sitokin anti-inflamasi, hormon steroid dan
neuropeptida seperti -melanotropin dan vasopresin.

Jalur komunikasi penting dipresentasikan oleh saraf aferen yang


menginervasi bagian tubuh tempat peradangan berlangsung. Aktivasi saraf aferen
ini meningkatkan persepsi komponen peradangan berlangsung. Aktivasi saraf
aferen meningkatkan persepsi komponen peradangan sensoris dan ekspresi sitokin
proinflamasi otak sebagai tanggapan terhadap sitokin inflamasi perifer.

2.5 Klasifikasi

Klasifikasi menurut PPDGJ-III, yaitu:

F45 Gangguan somatofom


o F45.0 Gangguan somatisasi

o F45.1 Gangguan somatoform tak terinci

o F45.2 Gangguan hipokondrik

o F45.3 Disfungsi otonomik somatoform

 .30 Jantung dan sistem kardiovaskuler

 .31 Saluran pencernaan bagian atas

 .32 Saluran pencernaan bagian bawah

 .33 Sistem pernapasan

 .34 Sistem genitourinaria

 .38 Sistem atau organ lainnya

o F45.4 Gangguan nyeri somatoform menetap

o F45.8 Gangguan somatoform lainnya

o F45.9 Gangguan somatoform YTT

F45.0 Gangguan Somatisasi

Pedoman diagnostik

Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut :

a. Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang


tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah
berlangsung sedikitnya 2 tahun.
b. Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-
keluhannya.
c. Terdapat disabilitas dalam fungsinya dimasyarakat dan keluarga yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari
perilakunya.
F45.1 Gangguan Somatoform Tak Terinci

Gangguan somatoform tak terinci adalah diagnosis psikiatrik yang


digunakan pada kondisi pasien yang tidak memenuhi kriteria diagnostik dari
gangguan somatisasi, namun memiliki gejala fisik selama 6 bulan, yang
diinterpretasikan secara salah sehingga berakhir dengan disabilitas.

Terdapat 2 pola gejala yang dapat ditemukan pada pasien ini yaitu yang
berhubungan dengan sistem saraf otonom dan sensasi rasa lemah pada seluruh
tubuh.1 Gangguan nyeri muncul secara mendadak dan derajat keparahannya
meningkat dalam beberapa minggu atau bulan.

Pedoman diagnostik

a) Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan tetapi


gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak
terpenuhi.

b) Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum jelas, akan
tetapi tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-keluhannya.

F45.2 Gangguan Hipokondrik

Gangguan hipokondrik adalah seseorang yang berpreokupasi dengan


ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius dan berlangsung selama
6 bulan atau lebih. Interpretasi gejala atau sensasi fisiknya biasanya tidak realistis
ataupun akurat, meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Preokupasi tersebut
menyebabkan penderitaan bagi dirinya dan mengganggu kemampuannya untuk
berfungsi secara baik di bidang sosial, interpersonal, dan pekerjaan.

Manifestasi klinis

Pasien dengan gangguan ini memiliki keyakinan bahwa mereka menderita


suatu penyakit yang tidak dapat dipatahkan dan keyakinannya bertahan meskipun
hasil laboratorium normal. Seiring dengan perjalanan penyakit, keyakinan mereka
akan berpindah ke penyakit lain. Tetapi keyakinan ini tidak sampai ke tahap
waham. Gangguan hipokondrik sering disertai dengan gejala depresi atau
berkomorbid dengan gangguan depresi dan gangguan cemas.

Pedoman diagnostik

Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada:

a) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang


serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang
berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun
adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan
bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham).

b) Tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi
keluhan-keluhannya.

F45.3 Disfungsi Otonomik Somatoform

Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:

a) Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat,


tremor, muka panas/flushing, yang menetap dan mengganggu.

b) Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (gejala
tidak khas).

c) Preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai kemungkinan adanya


gangguan yang serius (sering tidak begitu khas) dari sistem atau organ
tertentu, yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan-pemeriksaan
berulang, maupun penjelasan-penjelasan dari para dokter.

d) Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari
sistem atau organ yang dimaksud.

F45.4 Gangguan Nyeri Somatoform Menetap

Gangguan nyeri somatoform adalah adanya nyeri yang merupakan


keluhan utama dan menjadi fokus perhatian klinis pada satu atau lebih bagian
tubuh.

Manifestasi klinis
Nyeri yang paling sering dikeluhkan yaitu di pinggang bawah, kepala,
wajah, dll. Nyeri mungkin dapat terjadi setelah trauma, neuropatik, neurologik,
iatrogenik, atau muskuloskeletal. Pasien terkadang sudah berobat ke berbagai
dokter dan selalu menyatakan bahwa sakitnya adalah sumber kesengsaraannya
dan seringkali menyangkal sumber lain sebagai penyebabnya.

Pedoman diagnostik

a) Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan
fisik.

b) Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau masalah
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam
mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut.

c) Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal


maupun medis, untuk yang bersangkutan.

F45.8 Gangguan Somatoform Lainnya

Pedoman diagnostik

a) Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom,


dan terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. Ini sangat
berbeda dengan gangguan somatisasi dan gangguan somatoform tak terinci
yang menunjukkan keluhan yang banyak dan berganti-ganti.

b) Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.

c) Gangguan-gangguan berikut juga dimasukkan dalam kelompok ini:

 Globus hystericus (perasaan ada benjolan di kerongkongan yang


menyebabkan disfagia) dan bentuk disfagia lainnya.

 Tortikolis psikogenik dan gangguan gerakan spasmodik lainnya.

 Pruritus psikogenik

 Dismenore psikogenik
 Teeth grinding

F45.9 Gangguan Somatoform YTT

Revisi Teks edisi ke V The Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders (DSM-V) memasukkan lima gangguan somatoform spesifik, yaitu :

300.82 Somatic Symptom Disorder

300.7 Illness Anxiety Disorder

300.11 Convertion Disorder (Functional Neurological Symptom Disorder)

316 Psychological Factor Affecting Other Medical Conditions

300.19 Factitious Disorder

Factitious Disorder Imposed on Self

Factitious Disorder Imposed on Another

300.82 Somatic Symptom Disorder

Somatic symptom disorder atau yang biasa disebut hipokondriasis


memiliki karakteristik preokupasi nondelusi dan ketakutan atau ide memiliki
penyakit serius yang didasari akibat kesalahan penafsiran dari symptom tubuh.
Keluhan menyebabkan distress dan gangguan yag signifikan dalam kehidupan
seseorang dimana tidak dijumpai gangguan psikiatri atau medis lain yang terjadi
selama 6 bulan atau lebih.

Dalam populasi medic umum prevalensi gangguan somatic dilaporkan 4


sampai 6% tetapi kemungkinan sebanyak 15%. Pria dan wanita memiliki
prevalensi yang sama terhadap gangguan somatic. Gejala dapat terjadi pada
rentang usia berapapun, akan tetapi paling sering didapatkan pada usia 20 hingga
30 tahun.

Gangguan somatic kadang-kadang merupakan bentuk varian dari gangguan


mental lain, diantaranya gangguan kecemasan dan gangguan depresi yang paling
sering. Diperkirakan 80% pasien dengan gangguan somatic kemunkinan memiliki
gangguan kecemasan atau gangguan depresi.
Kriteria diagnosis :

 Satu atau lebih gejala somatik yang menyusahkan atau mengakibatkan


gangguan signifikan dalam kehidupan sehari-hari.
 Pikiran, perasaan, atau perilaku yang berlebihan terkait dengan gejala somatik
atau masalah kesehatan terkait yang dimanifestasikan oleh setidaknya salah satu
dari berikut:
 Pikiran yang tidak proporsional dan menetap tentang keseriusan gejala
seseorang.
 Tingginya tingkat kecemasan yang tinggi tentang kesehatan atau gejala.
 Waktu dan energi yang berlebihan ditujukan untuk gejala-gejala atau masalah-
masalah kesehatan.
 Meskipun ada satu gejala somatik yang mungkin tidak terus-menerus muncul,
keadaan menjadi simtomatik persisten (tipikal lebih dari 6 bulan).

 Tentukan :
 Dengan nyeri predominan (sebelumnya gangguan nyeri): Spesifikiasi ini
adalah untuk individu yang gejala somatiknya secara dominan melibatkan rasa
sakit.
 Tentukan :
 Persisten: tentu saja terus-menerus ditandai dengan gejala berat, kerusakan
yang ditandai, dan durasi yang lama (lebih dari 6 bulan).
 Tentukan keparahan saat ini:
 Ringan: Hanya satu gejala yang disebutkan dalam Kriteria B terpenuhi.
 Sedang: Dua atau lebih dari gejala yang ditentukan dalam Kriteria B
terpenuhi.
 Parah: Dua atau lebih dari gejala yang ditentukan dalam Kriteria B terpenuhi,
ditambah ada beberapa keluhan somatik (atau satu gejala somatik yang sangat
berat).

Pasien dengan gangguan gejala somatic biasanya menolak pengobatan


psikiatri. Psikoterapi kelompok sering menguntungkan pasien sebagian karena
memberikan dukungan dan interaksi social yang mengurangi kecemasan mereka.
Bentuk psikoterapi lain seperti psikoterapi berorientasi wawasan individu, terapi
perilaku, terapi kognitif dan hypnosis mungkin berguna. Pemeriksaan fisik yang
rutin dan teratur dijadwalkan membantu untuk meyakinkan psien bahwa dokter
sedmengambil prosedur mengenai keluhannya. Diagnosis invasive dan prosedur
terapi boleh dilakukan bila terdapat bukti objektiv untuk dilakukan.
Farmakoterapi mengurangi gejala somatic hanya bila pasien memiliki
kondisi responsive terhadap obat, seperti gangguan kecemasan atau depresi.
Ketika gejala gangguan somatic merupakan keluhan sekunder dari gangguan
mental primer yang lain, maka gangguan tersebut harus diterapi dengan terapi
yang sesuai, namun apabila keluhan hanya merupakan reaksi situasional sementara
maka dokter harus membantu pasien mengatasi stress tanpa memperkuat keluhan
sakitnya dan menggunakan sakit sebagai solusi dalam permasalahannya.

300.7 Illness Anxiety Disorder

Illness anxiety disorder merupakan diagnose baru dalam DSM-V yang


menjelaskan mengenai preokupasi pada seseorang bahwa terdapat suatu penyakit
atau adanya suatu penyakit yang berkembang didalam tubuhnya. Penyakit ini
termasuk kedalam varian dari gangguan gejala somatic. Individu diklasifikasikan
memiliki gangguan gejala somatic apabila didapatkan gejala somatic sedangkan
pada gangguan kecemasan tidak didapatkan atau terdapat beberapa gejala somatic
dan orang-orang yang memiliki ide bahwa mereka sakit. Diagnosis dapat
digunakan untuk orang yang pada kenyataannya memiliki penyakit medis tetapi
dengan kecemasan yang lebih dari proporsi untuk diagnosis nyya dan yang
menganggap gambaran buruk untuk hasilnya.

Prevalensi dari Illness Anxiety Disorder tidak diketahui selain


menggunakan data yang berhubungan dengan hipokondriasis yang memberikan
prevalensi 4 hingga 6 persen dalam populasi klinik medis umum. Dalam survey
lain, terdapat 15% orang dalam populasi umum khawatir menjadi sakit dan
lumpuh. Diagnosis kemungkinan akan lebih sering pada orang tua dibandingkan
orang yang lebih muda.

Kriteria diagnosis berdasarkan DSM-V untuk Illness anxiety disorder


adalah pasien memiliki preokupasi dengan kepercayaan yang salah bahwa
memreka memiliki penyakit yang serius yang akan berkembang jika terdapat
beberapa tanda atau gejala seuai kriteria diagnosis. Kepercayaan ini harus
berlnagsung setidaknya 6 bulan, dan tidak didapatkan penemuan patologis dalam
pemeriksaan medis atau nerologis. Kecemasan mengenai penyakit harus
disebabkan distress emosional atau merusak kemampuan pasien untuk berfungsi
dalam kehidupan yang penting.

Kriteria diagnostic :
 Preokupasi memiliki penyakit serius.
 Gejala-gejala somatik tidak ada atau, jika ada, hanya berisiko ringan untuk
mengembangkan kondisi medis (misalnya, ada riwayat keluarga yang
kuat), preokupasi jelas berlebihan atau tidak proporsional.
 Ada tingkat tinggi atau kecemasan tentang kesehatan dan individu dengan
mudah khawatir tentang status kesehatan pribadi.
 Individu melakukan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan yang
berlebihan (misalnya, berulang kali memeriksa tubuhnya untuk tanda atau
penyakit) atau menunjukkan penghindaran maladaptif (misalnya,
menghindari janji dokter dan rumah sakit).
 Preokupasi penyakit telah ada setidaknya selama 6 bulan, tetapi penyakit
spesifik yang ditakuti dapat berubah selama periode waktu itu.
 Preokupasi yang berhubungan dengan penyakit tidak lebih baik dijelaskan
oleh gangguan mental lainnya, seperti gangguan gejala somatik, gangguan
panik, gangguan kecemasan umum, gangguan dismorfik tubuh, gangguan
obsesif kompulsif, atau gangguan delusional, tipe somatik.

Pasien dengan Illness anxiety disorder sama dengan gejala somatic


symptom disorder, mereka percaya bahwa mereka memiliki penyakit yang serius
yang tidak terdiagnosa. Terapi pada Illness anxiety disorder sama dengan somatic
symptom disorder, pasien dengan illness anxiety disorder biasa menolak terapi
psikiatri, meskipun beberapa menerima terapi yang berfokus pada pengurangan
stress dan edukasi dalam mengatasi penyakit kronis. Psikoterapi kelompok
mungkin membantu terutama jika kelompok homogeny dengan penderita dengan
gangguan yang sama. Farmakoterapi membantu dalam menguranggi kecemasan
yang dihasilkan oleh ketakutan mengenai penyakit pasien terutama jika penyakit
tersebut merupakan salah satu yang mengancam kehidupan. Tetapi terapi tersebut
hanya bersifat memperbaiki dan tidak bisa memberikan bantuan terakhir. Terapi
hanya efektif dengan program psikoterapi jika pasien bersedia untuk berpertisipasi.

300.11 Convertion Disorder (Functional Neurological Symptom Disorder)

Convertion disorder atau yang biasa disebut functional neurological


symptom disorder dalam diagnosis DSM-V adalah penyakit atau gejala atau
defisit yang mempengaruhi fungsi motoric atau sensorik yang menimbulkan
kondisi medis lain tetapi di sebabkan oleh factor psikologis karena penyakit
didahului oleh konflik atau stressor lain. Gejala atau deficit gangguan konversi
tidak di bentuk secara sengaja, tidak disebabkan oleh penggunaan zat, tidak
terbatas pada rasa sakit atau gejala seksual dan keuntungannya bersifat psikologis
secara umum bukan social, moneter atau hukum.

Prevalensi gangguan konversi bervariasi 11 dari 100.000 sampai 300 dari


100.000 dalam populasi umum. Dalam populasi lebih spesifik gangguan konversi
kemungkinan lebih tinggi. Rasio perempuan di banding laki-laki yaitu 2:1 dan
10:1. Gejala yang lebih umum pada sisi kiri tubuh di bandingkan sisi kanan pada
wanita. Gangguan konversi umumnya timbul pada akhir masa kanak-kanak dan
dewasa awal jarang terjadi sebelum usia 10 tahun atau setelah 35 tahun.

Etiologi dari gangguan konversi adalah sebagai berikut :

 Faktor Psikoanalitik
Gangguan konversi disebabkann oleh represi konflik intrapsikik yang
tidak disadari dan konversi kecemasan menjadi suatu gejala fisik. Konflik
tersebut adalah antara impuls berdasarkan insting dan larangan pengungkapan
ekspresi. Gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik
yang tidak disadari. Gejala konversi juga memungkinkan pasien
menyampaikan bahwa mereka membutuhkan perhaian dan perlakuan khusus.
Gejala tersebut dapat berfungsi sebagai cara nonverbal untuk mengendalikan
atau memanipulasi orang lain.
 Teori Pembelajaran
Gejala konversi dapat dilihat sebagai bagian dari perilaku yang
dipelajari secara klasik, gejala penyakit, yang dipelajari saat masa kanan-
kanan, dikedepankan sebagai cara beradaptasi dengan situasi yang tidak
mungkin.
 Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipermetabolisme
pada daerah hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah
hemisfer yang non dominan. Hal ini dapat mengganggu komunikasi antara
kedua hemisfer orak dan berujung pada gejala konversi. Rangsangan kortikal
yang berlebih dapat mengakibatkan timbulnya umpan balik negatif antara
korteks dan formasi retikuler batang otak sehingga menimbulkan gejala
konversi. Sebaliknya, output kortikofugal yang meningkat justru akan
menghambat kesadaran pasien akan sensasi-sensasi yang terjadi di tubuhnya.
Tes neuropsikologis terkadang menunjukkan gangguan serebral ringan pada
daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi di pasien dengan gangguan
konversi.
Manifestasi klinis dari gangguan konversi adalah Paralilis, buta, dan
mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling lazim ditemukan.
Gangguan konversi mungkin paling sering disertai dengan gangguan
kepribadian pasif-agresif, dependen, ansisosial, dan histrionik. Gejala
gangguan depresif dan ansietas sering dapat menyertai gejala gangguan
konversi, dan pasien ini memiliki risiko bunuh diri. Adapun gejala gangguan
konversi adalah sebagai berikut:
 Gejala Sensorik
Pada gangguan konversi, anestesia dan parastesia adalah gejala yang
lazim diemukan, terutama pada ekstremitas. Gejala ganguan konversi dapat
melibatkan organ indera khusus dan dapat menimbulkan tuli dan buta. Gejala
ini dapat unilateral dan bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jaras
sensorik yang intak. Pada kebutaan gangguan konversi contohnya pasien
berjalan keliling tanpa menubruk atau mencederai diri sendiri, pupilnya
bereaksi terhadap cahaya, dan evoked potential korteks normal.
 Gejala Motorik
Gejala motorik meliputi gerakan abnormal gangguan berjalan,
kelemahan, dan paralisis. Tremor ritmis yang kasar, gerakan koreiform, “tic”,
dan sentakan dapat ada. Gerakan tersebut umumnya memburuk ketika orang
memperhatikan mereka
Satu gangguan motorik yang lazim ditemukan lainnya adalah paralisis
dan paresis yang mengenai satu, dua, atau keempat ekstremitas, walaupun
distribusi otot yang terkena tidak sesuai dengan jaras saraf. Refleks tetap
normal, pasien tidak mengalami fasikulasi atau atrofi otot (kecuali setelah
paralisis konversi yang berlangsung lama), teuan elektromiografi normal.
 Gejala Bangkitan
Kejang semu adalah gejala lain gangguan konversi, kejang konversi sulit
untuk dibedakan dengan kejang yang sesungguhnya, bahkan para klinisi dapat
merasa sulit dalam membedakannya. Sepetiga kejang semu pada pasien
gangguan konversi juga memiliki gangguan epileptik. Menggigit lidah,
inkontinensia urin dan cedera setelah jatuh dapat terjadi pada kejang semu
walaupun gejala ini umumnya tidak ada. Refleks pupil dan muntah tetap ada
setelah kejang semu dan konsentrasi prolaktin pasien tidak mengalami
peningkatan setelah kejang.
 Gambaran klinis lainnya:
o Keuntungan primer: pasien memperoleh keuntungan primer dengan
mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya.
o Keuntungan sekunder: keuntungan nyata yang diperoleh pasien
dengan menjadi sakit, misalnya dibebaskan dari kewajiban kehidupan
yang sulit, bimbingan yang tak akan didapatkannya dalam situasi
normal, dsb.
o La belle indifference: merupakan sikap angkuh yang tidak sesuai
dengan gejala serius yang dialaminya. Pasien tampak tak peduli
dengan hendaya berat yang dialaminya. Walaupun begitu, ada
tidaknya la belle indifference bukan dasar penelitian yang akurat
untuk menegakkan gangguan konversi.
o Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari seseorang
yang bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau seseorang yang
menjadi model bagi pasien.

Kriteria Diagnostik

 Satu atau lebih gejala dari perubahan fungsi motorik atau sensorik saraf
otonom.
 Temuan klinis memberikan bukti ketidakcocokan antara gejala kondisi medis
neurologis atau yang dikenali.
 Gejala atau defisit tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan medis atau
mental lain.
 Gejala atau defisit menyebabkan distres atau gangguan yang signifikan secara
klinis di bidang sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya berfungsi atau
menjamin evaluasi medis.

Terapi pada gangguan konversi Resolusi gejala gangguan konversi


biasanya berlangsung spontan. Pasien dengan gangguan ini dapat diberikan
psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi perilaku. Terapi hipnosis,
anticemas, dan relaksasi sangat efektif dalam beberapa kasus. Pemberian
amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh riwayat
penyakit, terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa yang traumatis.

316 Psychological Factor Affecting Other Medical Conditions

Kategori ini mencakup gangguan fisik yang disebabkan oleh atau


dipengaruhi oleh faktor emosional atau psikologis. Kondisi medis harus selalu ada
untuk diagnosis yang harus dibuat.
Kriteria diagnostik untuk faktor psikologikal mempengaruhi kondisi
medis, terkecuali; (1) gangguan mental klasik yang memiliki gejala fisik sebagai
bagian dari gangguan. (contoh: gangguan konversi, yang dimana gejala fisik
dihasilkan oleh konflik psikologikal, (2) gangguan somatisasi yang dimana gejala
fisik tidak didasari patologi organik, (3) hipokondriasis, dimana yang pasien
terlalu membesarkan- besarkan perhatian terhadap kesehatan mereka, (4) keluhan
fisik yang sering karena gangguan mental seperti gangguan distimia, yang
biasanya diikuti dengan kelemahan otot, kelemahan, lelah, dan haus. Dan (5)
keluhan fisik yang berasosiasi dengan gangguan subtansi yang berhubungan
seperti batuk yang berhubungan dengan kecanduan nikotin.

Gangguan gastro-intestinal menduduki peringkat teratas di dalam penyakit


medis yang berhubungan dengan konsultasi kepada psikiater. Proporsi signifikan
dari gangguan gastro-intestinal adalah ganguaan GI fungsional seperti gangguan
esofagel fungsional seperti globus yang dimana terdapat benjolan pada
kerongkongan yang merupakan respon sementara karena kesulitan emosional,
disfagia fungsional dimana adanya kesulitan menelan makanan padat atau cair
karena kelainan anatomi, gangguan motorik esoofagel dapat muncul sementara.
Ada juga gangguan gastro-duodenal seperti dispepsia fungsional yang gejala nya
terlokalisir pada nyeri epigastrim, kembung, mual, muntah, dan rasa panas pada
dada bisa terjadi.

Gangguan jantung merupakan yang paling sering menyebabkan kematian.


Depresi, cemas, permusuhan, amarah, stress mental akut sudah dievaluasi menjadi
faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit koroner jantung. Afek negatif,
status ekonomi kebawah, kurangnya dukungan sosial telah menunjukkan
hubungan yang signifikan menjadi faktor resiko pada individu sebagai resiko
psikologikal.

Kesulitan psikologikal juga dapat bermanifestasi menjadi gangguan


pernapasan, seperti takipneu yang terlihat pada penderita gangguan cemas. Asma,
sindroma hiperventilasi, dan PPOK (penyakit paru obstruksi kronis) sering
dihubungkan dengan gangguan mental seperti gangguan cemas.

Mengenaligangguan endokrin sangat penting karena efek kerja sistem ini


yang luas dan dapat memproduksi gejala yang sulit dibedakan dengan penyakit
psikiatri, Ganggaun endokrin yang berhubungan dengan gangguan psikologikal
contohnya diabetes melitus yang berhubungan dengan stress karena stress
berhubungan dengan pengeluaran kortisol yang berlebihan sehinggan dapat
menyebabkan kandungan gula dalam darah meningkat,

Pada adrenal yang berbuhungan dengan gangguan psikologikal seperti


hiperkotisolemia dan hiperprolaktin yang disebabkan oleh mekanisme stress
maupun kadar dopamin yang berlebihan didalam otak.

300.19 Factitious Disorder

Gangguan ini adalah gangguan jiwa yang berpura-pura sakit,


mesimulasikan, diinduksi dan memperberat penyakitnya agar mendapatkan
pertolongan medis. Mereka mungkin melibatkan rasa nyeri, ketidakmampuan,
mengancam jiwa nya sendiri, anak meraka, atau orang lain. Motivasi mereka
sederhana yaityang u untuk mendapatkan penanganan medis.

Tidak ada data yang komprehensif yang mendata pasien dengan gangguan
ini. Banyak pasien yang bekomorbiditas dengan gangguan lainnya seperti
gangguan perasaan, gangguan kepribadian dan gangguan yang terkait. Etioliogi
nya adalah faktor psikososial dan faktor biologis.

Kriteria diagnosis nya seperti tidak biasa, gejala dramatisasisi untuk


mendapatkan penanganan medis, gejala yang tidak merespon dengan sesuai
penganganan atau pengobatan yang biasa, gejala tidak biasa apabila gejala yang
lain telah teratasi, Beberapa pasien yang menunjukkan gejala psikiatrik
dinyatakan berpura-pura. Penyebab sangat sulit diteggakan kecuali dengan
investigasi berkelanjutan.

Tanda dan gejala tersering dari gangguan ini adalah kehilangan, depresi,
gangguan stress paska trauma, gangguan nyeri, psikosis, gangguan bipolar,
gangguan identitas, gangguan makan, amnesia, parafiia, hipersomnia, dan trans-
seksualisme. Tes psikologikal pada pasien dengan gangguan ini hasilnya biasanya
seperti IQ normal atau diatas rata-rata, tidak ada gangguan pikir, kurangnya rasa
pada identitas diri, kurangnya toleransi terhadap rasa frustasi, sangat kuat butuh
kemandirian dan narsisme. Dan selanjutnya untuk penanganannya, tidak ada
terapi psikiatrik yang spesifik untuk menjadi pengobatan pada penderita gangguan
ini. Penangannya lebih ke manajemen daripada mengobati dengan obat.
2.6 Tatalaksana

Tujuan pengobatan

1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan


pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk
kehidupan nyata).
2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis,
treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu.
3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah
kondisi)

Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial

1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama


2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah
sosial.

Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik

1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas


2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3. Anti anxietas dan antidepressant.
OBAT ANTI – ANXIETAS
1. Golongan Benzodiazepin
 Diazepam (Lovium, Mentalium, Valium dll.)
 Chlordiazepoxide ( Cetabrium, Tensinyl, dll.)
 Bromazepam (Lexotan)
 Lorazepam (Ativan, Renaquil, Merlopan)
 Alprazolam (Xanax, Alganax, Calmlet, dll.)
 Clobazam (Frisium)
2. Golongan Non- Benzodiazepin
 Buspirone (Buspar, Tran-Q, Xiety)
 Sulpiride (Dogmatil-50)
 Hydroxyzine (Iterax)

OBAT ANTI – DEPRESI


1. Golongan Tricyclic Compound
 Amitriptyline (Amitriptyline)
 Imipramine (Tofrani)
 Clomipramine (Anafranil)
 Tianeptine (stablon)
2. Golongan Tetracyclic Compound
 Maprotiline (Ludiomil)
 Mianserin (Tolvon)
 Amoxapine (asendin)
3. Golongan Mono-Amine-Oxydase Inhibitor (MAOI)- Reversible
 Moclobemide (Aurorix)
4. Golongan Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor (SSRI)
 Sertraline (Zoloft)
 Paroxetine (Seroxat)
 Fluvoxamine (Luvox)
 Fluoxetine (Prozac, Nopres)
 Citalopram (Cipram)
5. Golongan atypical Antidepresants
 Trazodone (Trazone)
 Mirtazapine (Remeron)

Tujuan pengobatan

1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan


pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk
kehidupan nyata).
2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis,
treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu.
3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah
kondisi).

Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial

1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama


2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke
masalah sosial.

Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik

1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas


2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3. Anti anxietas dan antidepressant.

OBAT ANTI – ANXIETAS


Golongan Benzodiazepin
 Diazepam (Lovium, Mentalium, Valium dll.)
 Chlordiazepoxide ( Cetabrium, Tensinyl, dll.)
 Bromazepam (Lexotan)
 Lorazepam (Ativan, Renaquil, Merlopan)
 Alprazolam (Xanax, Alganax, Calmlet, dll.)
 Clobazam (Frisium)
Golongan Non- Benzodiazepin
 Buspirone (Buspar, Tran-Q, Xiety)
 Sulpiride (Dogmatil-50)
 Hydroxyzine (Iterax)

OBAT ANTI – DEPRESI


Golongan Tricyclic Compound
 Amitriptyline (Amitriptyline)
 Imipramine (Tofrani)
 Clomipramine (Anafranil)
 Tianeptine (stablon)
Golongan Tetracyclic Compound
 Maprotiline (Ludiomil)
 Mianserin (Tolvon)
 Amoxapine (asendin)
Golongan Mono-Amine-Oxydase Inhibitor (MAOI)- Reversible
 Moclobemide (Aurorix)
Golongan Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor (SSRI)
 Sertraline (Zoloft)
 Paroxetine (Seroxat)
 Fluvoxamine (Luvox)
 Fluoxetine (Prozac, Nopres)
 Citalopram (Cipram)
Golongan atypical Antidepresants
 Trazodone (Trazone)
 Mirtazapine (Remeron)
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan somatoform merupakan kelompok penyakit yang luas dan


memiliki tanda serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen
utama. gangguan ini mencakup interaksi pikiran dengan tubuh. Di dalam interaksi
ini, dengan cara yang masih belum diketahui, otak mengirimkan berbagai sinyal
yang mempengaruhi kesadaran pasien dan menunjukan adanya masalah yang
serius di dalam tubuh. Di samping itu, perubahan ringan neurokimia,
neurofisiologi, dan neuroimunologi dapat terjadi akibat mekanisme otak atau jiwa
yang tidak diketahui yang menyebabkan penyakit.

Terapi yang dianjurkan dalam penanganan gangguan somatoform lebih


banyak terfokus pada psikoterapi suportif dan pembinaan hubungan yang baik
antar dokter dan pasiennya. Akan tetapi psikofarmaka juga dapat dilaksanakan
apabila terdapat gejala-gejala gangguan depresi atau cemas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.I., Saddock, B.J., dan Grebb J.A., 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis
Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 2. Jakarta: Binanupa
Aksara
2. Kaplan, B. J., Sadock V. A. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry 10th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.
3. Mansjoer, A., dkk (editor), 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid II.
Penerbit Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Departemen Kesehatan R.I., 1995. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III Cetakan Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI
5. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan

DSM-5. Jakarta:Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. 2013

6. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders. 4th ed. rev. Washington D.C, American Psychiatric
Association
7. Mai F. 2004. Somatization Disorder : A Practical Review. Canadian Journal of
Psychiatry Vol. 49 (10) : 652 – 662
8. Yates, William. Somatoform Disorders. 2012 [dikutip 2018, Agustus, 23]. Dapat
diunduh di: URL: http://emedicine.medscape.com/article/294908

9. Oyama, Oliver. Somatoform Disorders. 2007 [dikutip 2018, Agustus, 23]. Dapat
diunduh di: URL: http://www.aafp.org/afp

10. Dimsdale, Jole E. A Biological Substrate for Somatoform Disorders: Importance


of Pathophysiology. 2010 [dikutip 2018, Agustus,24]. Dapat di unduh di: URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2908292/

Anda mungkin juga menyukai