GANGGUAN SOMATOFORM
Oleh
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session yang
Gangguan Somatoform. Sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Tumpak Saragi, Sp.KJ yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari pihak sangat diharapkan guna
kesempurnaan laporan CSS ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian
(histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa
perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Hingga saat ini, belum banyak terdapat data bagi pasien dengan gangguan
dismorfik tubuh karena minimnya jumlah pasien yang mengunjungi psikiater
dalam menangani gangguan ini. para pasien umumnya lebih cenderung
mengunjungi dermatologis, internis, ataupun ahli bedah plastik. Walaupun
demikian, suatu penelitian menyatakan 90% pasien dengan gangguan ini pernah
mengalami satu episode depresi berat dalam hidupnya, 70% mengalami gangguan
cemas, dan 30% mengalami ganngguan psikotik.
2.3 Etiologi
a. Faktor-faktor Biologis
b. Faktor Psikososial
2.5 Klasifikasi
Pedoman diagnostik
Terdapat 2 pola gejala yang dapat ditemukan pada pasien ini yaitu yang
berhubungan dengan sistem saraf otonom dan sensasi rasa lemah pada seluruh
tubuh.1 Gangguan nyeri muncul secara mendadak dan derajat keparahannya
meningkat dalam beberapa minggu atau bulan.
Pedoman diagnostik
b) Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum jelas, akan
tetapi tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-keluhannya.
Manifestasi klinis
Pedoman diagnostik
b) Tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi
keluhan-keluhannya.
b) Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (gejala
tidak khas).
d) Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari
sistem atau organ yang dimaksud.
Manifestasi klinis
Nyeri yang paling sering dikeluhkan yaitu di pinggang bawah, kepala,
wajah, dll. Nyeri mungkin dapat terjadi setelah trauma, neuropatik, neurologik,
iatrogenik, atau muskuloskeletal. Pasien terkadang sudah berobat ke berbagai
dokter dan selalu menyatakan bahwa sakitnya adalah sumber kesengsaraannya
dan seringkali menyangkal sumber lain sebagai penyebabnya.
Pedoman diagnostik
a) Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan
fisik.
b) Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau masalah
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam
mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut.
Pedoman diagnostik
Pruritus psikogenik
Dismenore psikogenik
Teeth grinding
Tentukan :
Dengan nyeri predominan (sebelumnya gangguan nyeri): Spesifikiasi ini
adalah untuk individu yang gejala somatiknya secara dominan melibatkan rasa
sakit.
Tentukan :
Persisten: tentu saja terus-menerus ditandai dengan gejala berat, kerusakan
yang ditandai, dan durasi yang lama (lebih dari 6 bulan).
Tentukan keparahan saat ini:
Ringan: Hanya satu gejala yang disebutkan dalam Kriteria B terpenuhi.
Sedang: Dua atau lebih dari gejala yang ditentukan dalam Kriteria B
terpenuhi.
Parah: Dua atau lebih dari gejala yang ditentukan dalam Kriteria B terpenuhi,
ditambah ada beberapa keluhan somatik (atau satu gejala somatik yang sangat
berat).
Kriteria diagnostic :
Preokupasi memiliki penyakit serius.
Gejala-gejala somatik tidak ada atau, jika ada, hanya berisiko ringan untuk
mengembangkan kondisi medis (misalnya, ada riwayat keluarga yang
kuat), preokupasi jelas berlebihan atau tidak proporsional.
Ada tingkat tinggi atau kecemasan tentang kesehatan dan individu dengan
mudah khawatir tentang status kesehatan pribadi.
Individu melakukan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan yang
berlebihan (misalnya, berulang kali memeriksa tubuhnya untuk tanda atau
penyakit) atau menunjukkan penghindaran maladaptif (misalnya,
menghindari janji dokter dan rumah sakit).
Preokupasi penyakit telah ada setidaknya selama 6 bulan, tetapi penyakit
spesifik yang ditakuti dapat berubah selama periode waktu itu.
Preokupasi yang berhubungan dengan penyakit tidak lebih baik dijelaskan
oleh gangguan mental lainnya, seperti gangguan gejala somatik, gangguan
panik, gangguan kecemasan umum, gangguan dismorfik tubuh, gangguan
obsesif kompulsif, atau gangguan delusional, tipe somatik.
Faktor Psikoanalitik
Gangguan konversi disebabkann oleh represi konflik intrapsikik yang
tidak disadari dan konversi kecemasan menjadi suatu gejala fisik. Konflik
tersebut adalah antara impuls berdasarkan insting dan larangan pengungkapan
ekspresi. Gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik
yang tidak disadari. Gejala konversi juga memungkinkan pasien
menyampaikan bahwa mereka membutuhkan perhaian dan perlakuan khusus.
Gejala tersebut dapat berfungsi sebagai cara nonverbal untuk mengendalikan
atau memanipulasi orang lain.
Teori Pembelajaran
Gejala konversi dapat dilihat sebagai bagian dari perilaku yang
dipelajari secara klasik, gejala penyakit, yang dipelajari saat masa kanan-
kanan, dikedepankan sebagai cara beradaptasi dengan situasi yang tidak
mungkin.
Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipermetabolisme
pada daerah hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah
hemisfer yang non dominan. Hal ini dapat mengganggu komunikasi antara
kedua hemisfer orak dan berujung pada gejala konversi. Rangsangan kortikal
yang berlebih dapat mengakibatkan timbulnya umpan balik negatif antara
korteks dan formasi retikuler batang otak sehingga menimbulkan gejala
konversi. Sebaliknya, output kortikofugal yang meningkat justru akan
menghambat kesadaran pasien akan sensasi-sensasi yang terjadi di tubuhnya.
Tes neuropsikologis terkadang menunjukkan gangguan serebral ringan pada
daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi di pasien dengan gangguan
konversi.
Manifestasi klinis dari gangguan konversi adalah Paralilis, buta, dan
mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling lazim ditemukan.
Gangguan konversi mungkin paling sering disertai dengan gangguan
kepribadian pasif-agresif, dependen, ansisosial, dan histrionik. Gejala
gangguan depresif dan ansietas sering dapat menyertai gejala gangguan
konversi, dan pasien ini memiliki risiko bunuh diri. Adapun gejala gangguan
konversi adalah sebagai berikut:
Gejala Sensorik
Pada gangguan konversi, anestesia dan parastesia adalah gejala yang
lazim diemukan, terutama pada ekstremitas. Gejala ganguan konversi dapat
melibatkan organ indera khusus dan dapat menimbulkan tuli dan buta. Gejala
ini dapat unilateral dan bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jaras
sensorik yang intak. Pada kebutaan gangguan konversi contohnya pasien
berjalan keliling tanpa menubruk atau mencederai diri sendiri, pupilnya
bereaksi terhadap cahaya, dan evoked potential korteks normal.
Gejala Motorik
Gejala motorik meliputi gerakan abnormal gangguan berjalan,
kelemahan, dan paralisis. Tremor ritmis yang kasar, gerakan koreiform, “tic”,
dan sentakan dapat ada. Gerakan tersebut umumnya memburuk ketika orang
memperhatikan mereka
Satu gangguan motorik yang lazim ditemukan lainnya adalah paralisis
dan paresis yang mengenai satu, dua, atau keempat ekstremitas, walaupun
distribusi otot yang terkena tidak sesuai dengan jaras saraf. Refleks tetap
normal, pasien tidak mengalami fasikulasi atau atrofi otot (kecuali setelah
paralisis konversi yang berlangsung lama), teuan elektromiografi normal.
Gejala Bangkitan
Kejang semu adalah gejala lain gangguan konversi, kejang konversi sulit
untuk dibedakan dengan kejang yang sesungguhnya, bahkan para klinisi dapat
merasa sulit dalam membedakannya. Sepetiga kejang semu pada pasien
gangguan konversi juga memiliki gangguan epileptik. Menggigit lidah,
inkontinensia urin dan cedera setelah jatuh dapat terjadi pada kejang semu
walaupun gejala ini umumnya tidak ada. Refleks pupil dan muntah tetap ada
setelah kejang semu dan konsentrasi prolaktin pasien tidak mengalami
peningkatan setelah kejang.
Gambaran klinis lainnya:
o Keuntungan primer: pasien memperoleh keuntungan primer dengan
mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya.
o Keuntungan sekunder: keuntungan nyata yang diperoleh pasien
dengan menjadi sakit, misalnya dibebaskan dari kewajiban kehidupan
yang sulit, bimbingan yang tak akan didapatkannya dalam situasi
normal, dsb.
o La belle indifference: merupakan sikap angkuh yang tidak sesuai
dengan gejala serius yang dialaminya. Pasien tampak tak peduli
dengan hendaya berat yang dialaminya. Walaupun begitu, ada
tidaknya la belle indifference bukan dasar penelitian yang akurat
untuk menegakkan gangguan konversi.
o Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari seseorang
yang bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau seseorang yang
menjadi model bagi pasien.
Kriteria Diagnostik
Satu atau lebih gejala dari perubahan fungsi motorik atau sensorik saraf
otonom.
Temuan klinis memberikan bukti ketidakcocokan antara gejala kondisi medis
neurologis atau yang dikenali.
Gejala atau defisit tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan medis atau
mental lain.
Gejala atau defisit menyebabkan distres atau gangguan yang signifikan secara
klinis di bidang sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya berfungsi atau
menjamin evaluasi medis.
Tidak ada data yang komprehensif yang mendata pasien dengan gangguan
ini. Banyak pasien yang bekomorbiditas dengan gangguan lainnya seperti
gangguan perasaan, gangguan kepribadian dan gangguan yang terkait. Etioliogi
nya adalah faktor psikososial dan faktor biologis.
Tanda dan gejala tersering dari gangguan ini adalah kehilangan, depresi,
gangguan stress paska trauma, gangguan nyeri, psikosis, gangguan bipolar,
gangguan identitas, gangguan makan, amnesia, parafiia, hipersomnia, dan trans-
seksualisme. Tes psikologikal pada pasien dengan gangguan ini hasilnya biasanya
seperti IQ normal atau diatas rata-rata, tidak ada gangguan pikir, kurangnya rasa
pada identitas diri, kurangnya toleransi terhadap rasa frustasi, sangat kuat butuh
kemandirian dan narsisme. Dan selanjutnya untuk penanganannya, tidak ada
terapi psikiatrik yang spesifik untuk menjadi pengobatan pada penderita gangguan
ini. Penangannya lebih ke manajemen daripada mengobati dengan obat.
2.6 Tatalaksana
Tujuan pengobatan
Tujuan pengobatan
KESIMPULAN
1. Kaplan, H.I., Saddock, B.J., dan Grebb J.A., 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis
Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 2. Jakarta: Binanupa
Aksara
2. Kaplan, B. J., Sadock V. A. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry 10th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.
3. Mansjoer, A., dkk (editor), 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid II.
Penerbit Media Aesculapicus : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Departemen Kesehatan R.I., 1995. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III Cetakan Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI
5. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
9. Oyama, Oliver. Somatoform Disorders. 2007 [dikutip 2018, Agustus, 23]. Dapat
diunduh di: URL: http://www.aafp.org/afp