Anda di halaman 1dari 18

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGU KOJA

KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGU KOJA

NOMOR……… TAHUN 2018

TENTANG

KEBIJAKAN PENEGAKAN INFEKSI RUMAH SAKIT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGU KOJA

Menimbang bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan RSUD Kota

Yogyakarta, maka diperlukan penyelenggaraan Pencegahan

Pengendalian Infeksi yang bermutu tinggi;

b. bahwa agar pelayanan Pencegahan Pengendalian Infeksi di RSUD

Kota Yogyakarta dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya

kebijakan Direktur RSUD Kota Yogyakarta sebagai landasan bagi

penyelenggaraan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RSUD

Kota Yogyakarta;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam

butir a dan b, perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur RSUD

Kota Yogyakarta.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2004 tentang Rumah Sakit;


2. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit;

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 61 tahun 2007 tentang

Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

Daerah;

4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 /Menkes/Per/III/2008

tentang Pencegahan Pengendalian Infeksi;

5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :

1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah

Sakit;

6. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :

1214/Menkes/SK/XI/2007 tanggal 28 November 2007 tentang

Peningkatan Kelas Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta

milik Pemerintah Kota Yogyakarta;

7. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang

Fungsi, Rincian Tugas dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah

Kota Yogyakarta;

Memperhatikan : 1. Buku Panduan Penyusunan Dokumen Akreditasi yang disusun

oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit tahun 2012;

2. Standar Akreditasi Rumah Sakit, Kerjasama Ditjen Bina Upaya

Kesehatan Kemenkes RI dengan Komisi Akreditasi Rumah Sakit

(KARS), September 2011.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR TENTANG KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN

PENGENDALIAN INFEKSI

KESATU
KEDUA

Memberlakukan Kebijakan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

RSUD Kota Yogyakarta seperti tersebut dalam lampiran Surat

Keputusan ini;

Dengan diterbitkannya Keputusan ini, maka Keputusan Direktur

Nomor 445/179/KPTS/XII/2014 tentang Kebijakan Pencegahan dan

Pengendalian Infeksi di RSUD Kota Yogyakarta dinyatakan tidak

berlaku lagi;

KETIGA : Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan

Pencegahan Pengendalian Infeksi RSUD Kota Yogyakarta

dilaksanakan oleh Bidang Paramedis RSUD Kota Yogyakarta;

KEEMPAT : Segala biaya yang timbul akibat ditetapkannya Keputusan ini

dibebankan pada Anggaran RSUD Kota Yogyakarta;

KELIMA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan

apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam

penetapannya, akan dilakukan perbaikan kembali sebagaimana

mestinya.

Ditetapkan di : Yogyakarta

Pada tanggal : 14 April 2015

DIREKTUR

ttd

drg. Hj. RR. TUTY SETYOWATI, MM

NIP. 19620502 198701 2 001


Lampiran : Keputusan Direktur

RSUD Kota Yogyakarta

Nomor : 445/ 108 /KPTS/ IV /2015

KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI

DI RSUD KOTA YOGYAKARTA

I. PENGERTIAN

A. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) adalah kegiatan yang

meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan dalam upaya

menurunkan angka kejadian infeksi rumah sakit (IRS) pada pasien atau petugas RS dan

mengamankan lingkungan rumah sakit dari resiko transmisi infeksi yang dilaksanakan

melalui manajemen resiko, tata laksana klinik yang baik dan pelaksanaan kesehatan

dan keselamatan kerja RS.

B. Infeksi yang terjadi di Rumah Sakit

Hospital associated infection ( HAI’s ) adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit, dimana

pasien tidak ada tanda gejala dan tidak dalam masa inkubasi, termasuk infeksi yang

didapat di rumah sakit, tetapi muncul setelah pulang dan juga infeksi yang terjadi pada

petugas kesehatan yang terjadi di rumah sakit.

Suatu infeksi dikatakan didapat dari rumah sakit bila :

1. Pada saat masuk rumah sakit tidak ada tanda / gejala atau tidak dalam masa

inkubasi tersebut.

2. Infeksi terjadi 2 x 24 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit .

3. Infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang berbeda

dari mikroorganisme pada saat masuk rumah sakit atau mikroorganisme penyebab

sama tetapi lokasi infeksi berbeda.

Kewaspadaan Standar adalah prinsip kewaspadaan sebagai bagian manajemen resiko


pada pengendalian infeksi RS yang dilaksanakan secara menyeluruh oleh setiap

petugas berdasarkan perhitungan besar resiko transmisi infeksi yang dihadapi pada

setiap pelayanan rawat jalan maupun rawat inap untuk melindungi pasien, petugas,

pengunjung maupun lingkungan RS. Prinsip kewaspadaan standar meliputi kebersihan

tangan, penggunaan alat pelindung diri (APD), peralatan perawatan pasien,

pengendalian lingkungan, pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen,

kesehatan karyawan, penempatan pasien, etika batuk, praktik menyuntik yang aman,

praktek untuk lumbal pungsi.

C. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis (PPI TB)

Adalah kegiatan yang terintegrasi dengan pengendalian infeksi RS secara umum dan

secara khusus ditujukan untuk mencegah dan mengendalikan resiko penyebaran infeksi

TB di RS (sebagai bagian kewaspadaan isolasi airborne) melalui tata laksana

administratif, pengendalian lingkungan dan penggunaan alat pelindung diri (APD).

D. Surveilans

Adalah kegiatan pengamatan sistematis aktif dan terus menerus terhadap timbulnya dan

penyebaran IRS pada suatu peristiwa yang menyebabkan meningkat atau menurunkan

risiko tersebut.

E. Dekontaminasi

Adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran dari suatu benda sehingga

aman untuk pengelolaan selanjutnya dan dilakukan sebagai langkah pertama bagi

pengelolaan alat kesehatan bekas pakai atau pengelolaan pencemaran lingkungan,

seperti tumpahan darah/ cairan tubuh atau pengelolaan limbah yang tidak dimusnahkan

dengan cara insenerasi atau pembakaran dengan alat insenerator, tetapi ditimbun

dengan cara kapurisasi.

F. Sterilisasi
Adalah suatu proses untuk menghilangkan seluruh mikroorganisme dari benda/ alat

kesehatan termasuk endespora bakteri melalui cara fisika atau kimia.

G. Desinfeksi

Adalah suatu proses untuk menghilangkan sebagian atau semua mikroorganisme dari

alat kesehatan kecuali endospora bakteri.

H. Penggunaan antibiotika yang rasional

Adalah bila memenuhi kriteria : tepat indikasi, tepat penderita (tidak ada kontra indikasi),

tepat informasi, tepat jenis obat, tepat dosis dan cara pemberian (saat pemberian dan

lama pemberian) serta waspada terhadap efek samping obat (ESO).

I. Pengelolaan linen yang aman

Adalah kegiatan yang bertujuan mencegah kontaminasi linen kotor atau infeksius

kepada petugas, pasien dan lingkungan, meliputi proses pengumpulan, pemilahan,

pengangkutan linen kotor, pemilahan dan teknik pencucian sampai dengan

pengangkutan dan distribusi linen bersih.

J. Pengelolaan lingkungan

Merupakan bagian upaya pengendalian infeksi untuk meminimalkan potensi reservoar

tumbuh dan berkembangbiaknya agen patogen di lingkungan RS sehingga mencegah

transmisi kepada pasien, petugas maupun lingkungan yang lebih luas.

II. TUJUAN

A. Tujuan Umum

Terciptanya lingkungan rumah sakit yang memenuhi standar untuk menjamin

pencegahan IRS dan membantu program pengobatan serta proses penyembuhan

pasien, agar dapat meningkatkan mutu pelayanan berfokus pada keselamatan (pasien,

petugas dan lingkungan) dan efisien.

B. Tujuan Khusus
Dapat melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi dengan baik.

III. KEBIJAKAN

A. Kewaspadaan standar rneliputi kebersihan tangan, penggunaan alat pelindung diri

(APD), peralatan perawatan pasien, pengendalian lingkungan, pemrosesan peralatan

pasien dan penatalaksanaan linen, kesehatan karyawan, penempatan pasien, etika

batuk, praktik menyuntik yang aman, praktek untuk lumbal punksi. Kewaspadaan

standar diterapkan secara menyeluruh di semua area RS dengan mengukur semua

risiko yang dihadapi pada setiap situasi dan aktivitas pelayanan sesuai Panduan PPIRS.

B. Praktik kebersihan tangan di RS merupakan kunci dari upaya PPIRS yang

menggambarkan mutu pelayanan yang berfokus pada keselamatan pasien, petugas,

pengunjung dan lingkungan RS. Kebersihan tangan dilaksanakan melalui praktik

mencuci tangan menggunakan sabun biasa/ antiseptik dan air mengalir, atau handrub

menggunakan larutan antiseptik. Kebersihan tangan wajib diimplementasikan di RS oleh

setiap anggota masyarakat RS sesuai panduan kebersihan tangan yang dikembangkan

RS berdasarkan pedoman lnternasional(WHO) maupun pedoman nasional (Kemenkes).

B.1. Penerapan praktik kebersihan tangan oleh seluruh petugas di RS saat diruang

perawatan pasien berpedoman pada lima saat kebersihan tangan wajib

dilaksanakan (standar WHO) dan enam langkah prosedur. Petugas melaksanakan

cuci tangan dengan sabun dan air setelah melaksanakan 5-10 x cuci tangan

dengan handrub.

B.2. Penerapan praktik kebersihan tangan di luar area perawatan pasien berpedornan

pada panduan kebersihan tangan yang dikembangkan Komite PPI RS.

B.3. Komite PPI RS melakukan monitoring, evaluasi dan memberikan rekomendasi

untuk meningkatkan perilaku kebersihan tangan di RS secara efektif dan efisien.

C. Kewaspadaan isolasi merupakan tambahan kewaspadaan standar diterapkan pada


pasien rawat inap yang suspek atau telah ditentukan jenis infeksinya, berdasarkan cara

transmisi kontak, droplet atau airborne. Tatalaksana administratif meliputi percepatan

akses diagnosis, pemisahan penempatan pasien, mempersingkat waktu pelayanan di

RS, penyediaan paket perlindungan petugas ; tatalaksana lingkungan meliputi penataan

alur pasien, penataan sistem ventilasi (natural maupun mekanikal) tatalaksana

penyediaan dan penggunaan alat pelindung diri.

C.1. RS menyiapkan ruang dengan ventilasi natural yang baik untuk perawatan pasien

infeksi, khususnya infeksi airbone, yang terpisah dari pasien non infeksi dan

khususnya terpisah dari pasien dengan kondisi immunocompromise.

C.2. Pasien infeksi yang penularannya melalui cara kontak ditempatkan di ruang rawat

secara kohorting, diutamakan di ruang rawat infeksi.

C.3. Tatalaksana perawatan pasien infeksi diterapkan berdasarkan prinsip

kewaspadaan isolasi sesuai cara transmisi spesifiknya. Petugas menerapkan

prinsip kewaspadaan kontak atau droplet atau airborne atau kombinasinya.

C.4. Transportasi pasien infeksi dari 1 unit ke unit lain harus dibatasi seminimal

mungkin, dan bila terpaksa harus memperhatikan prinsip kewaspadaan isolasi.

D. Pencegahan dan pengendalian infeksi tuberculosis (PPITB)

Merupakan bagian tidak terpisahkan dari PPIRS, khususnya kewaspadaan infeksi

airborne, dimaksudkan untuk lebih memprioritaskan kewaspadaan terhadap risiko

transmisi penyakit TB, MDR.

D.1. Skrining batuk dilakukan saat pasien datang di RS oleh petugas yang terlatih.

D.2 Pasien suspek batuk langsung diberikan masker bedah, diberikan edukasi etika

batuk dan higiene respirasi.

D.3. Akses pelayanan pasien suspek TB dikhususkan untuk diagnosis

cepat,mengamankan alur pelayanan bagi pasien-pengunjung-lingkungan


RS,mempersingkat waktu kontak di RS.

D.4. Pasien rawat inap TB BTA (+) ditempatkan di ruang rawat inap infeksi airborne

dengan pengaturan ventilasi natural campuran.

D.5. Tatalaksana perawatan pasien TB, khususnya MDR TB dan TB BTA

(+),diterapkan berdasarkan prinsip kewaspadaan isolasi airborne, khususnya pada

aktivitas/ tindakan medis yang menghasilkan aerosol. Alat pelindung diri : masker

bedah untuk pasien – masker N 95 untuk petugas.

D.6. Paket kesehatan kerja meliputi pemantauan kesehatan dan pada surveilans TB

petugas, pemeriksaan rutin prakarya dan berkala, pemberian terapi profilaksis

maupun terapeutik dan pengaturan shift bertugas dilakukan bersama sub Bagian

Kepegawaian dan Unit Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

E. Alat pelindung diri (APD) ditata perencanaan, penyediaan, penggunaan dan evaluasinya

oleh Komite PPI RS bersama Unit K3, lnstalasi Farmasi dan Sub Bagian TU dan Rumah

Tangga RS agar mudah dan dapat cepat diakses saat dibutuhkan, efektif dan efisien.

E.1. APD digunakan berdasarkan prinsip kewaspadaan standar dan isolasi dengan

selalu mengukur potensi risiko spesifik pada setiap aktivitas pelayanan/ tindakan

medik sehingga tepat, efektif dan efisien.

E.2. APD habis pakai disediakan melalui lnstalasi Farmasi dan Sub Bag TU dan RT

dengan paket floorstock terstandar,

E.3. APD yang lain disediakan melalui unit K3.

E.4. Tim PPI RS melakukan monitoring dan audit ketepatan penggunaan APD sebagai

bahan Komite PPIRS dalam evaluasi dan rekomendasi peningkatan efektivitasnya.

F. Surveilans lnfeksi RS (lRS) dilakukan secara sistematik aktif oleh IPCN (infection

prevention control nurse) - perawat pengendali infeksi purna waktu) dan IPCLN (link

nurse - perawat penghubung pengendali infeksi) untuk menggambarkan tingkat kejadian


berbagai penyakit infeksi target sesuai Pedoman Surveilans IRS Kemenkes dan

penyakit infeksi endemis di RS, Target surveilans yaitu : lnfeksi saluran kemih-lSK terkait

kateterisasi, infeksi luka operasi-lLO, plebitis lRS, dan dekubitus, Ventilator Associated

Pneumonia (VAP) & Hospital Associated Pneumonia (HAP), Infeksi Aliran Darah Primer

(IADP) dan diare.

F.1. Analisis, evaluasi dan rekomendasi tindak lanjut data infeksi dilakukan Komite

PPIRS di bawah koordinator Dokter Penanggung Jawab PPI(IPCO) untuk tujuan

pengendalian, manajemen risiko dan kewaspadaan terhadap kejadian luar biasa

(KLB).

F.2. Pengendalian angka IRS menggunakan target sasaran sesuai program PPl.

Sasaran angka IRS dievaluasi setiap 3 tahun. ,

F.3. Kejadian luar biasa IRS ditetapkan oleh Direktur RS berdasarkan pertimbangan

Komite PPI RS pada hasil evaluasi epidemiologi kecenderungan angka IRS

melalui surveilans, Kecenderungan kejadian IRS yang terus meningkat signifikan

selama 3 bulan berturut-turut atau peningkatan signifikan angka kejadian pada

suatu waktu pengamatan tertentu diwaspadai sebagai KLB, Pencegahan dan

pengendalian risiko penyebaran kejadian yang berpotensi menjadi KLB dilakukan

segera secara sinergi melalui kerjasama lintas unit satuan kerja oleh Komite

PPIRS.

F.4. Laporan IRS disampaikan Komite PPI RS kepada Direktur minimal setiap 3 bulan.

G. Pengendalian resistensi antibiotika dilaksanakan RS melalui Panitia Farmasi dan Terapi.

G.1. Pemilihan terapi antibiotik secara rasional kepada pasien didasarkan tujuan dan

indikasi (profilaksis atau terapi)

G.2. Panduan pengobatan antibiotika merujuk pada Kebijakan Pengelolaan Perbekalan

Farmasi di RS di bawah tanggungjawab Sub Komite Farmasi dan Terapi.


Peresepan antibiotika mengacupada formularium RS dan atau DPHO BPJS

mempertimbangkan derajat penyakit, spektrum antibiotika, farmakokinetik,

farmakodinamik, keamanan serta harga terjangkau.

G.3. Ketepatan pemberian antibiotika agar aman bagi pasien meliputi :

Tepat indikasi, obat benar-benar dibutuhkan;

Tepat pemilihan obat dengan perbandingan biaya efektifitas yang baik;

Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi, efek samping minimal;

Tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat durasi pemakaian;

Tepat informasi, kepada pasien dan keluarganya.

G.4. Pasien wajib diberi informasi tentang pengobatan yang diberikan dan efek

samping serta tindakan yang diambil.

H. Sterilisasi alat/ instrumen kesehatan pasca pakai di RS dilakukan dengan 2 cara yaitu

secara fisika atau kimia, melalui tahapan pencucian (termasuk perendaman dan

pembilasan), pengeringan, pengemasan, labeling, indikatorisasi, sterilisasi,

penyimpanan, distribusi diikuti dengan pemantauan dan evaluasi proses serta kualitas/

mutu hasil sterilisasi secara terpusat melalui lnstalasi pusat pelayananSterilisasi

(CSSD).

H.1. Pemrosesan alat instrumen pasca pakai dipilih berdasarkan kriteria alat, dilakukan

derngan sterilisasi untuk alat kritikal; sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi (DTT)

untuk alat semi kritikal, disinfeksi tingkat rendah untuk non kritikal.

H.2. Kriteria pemilihan desinfektan didasari telaah secara cermat terkait criteria memiliki

spektrum luas dengan daya bunuh kuman yang tinggi dengan toksisitas rendah,

waktu disinfeksi singkat, stabil dalam penyimpanan, tidak merusak bahan dan

efisien. Unit kerja yang bertanggung jawab terhadap penyediaan desinfektan dan

antiseptik di RS sesuai rekomendasi Komite PPI RS adalah lnstalasi Farmasi.


H.3. lnstalasi Pusat Pelayanan Sterilisasi (CSSD) bertanggungjawab menyusun

panduan dan prosedur tetap, mengkoordinasikan, serta melakukan monitoring dan

evaluasi proses serta kualitas/ mutu hasil sterilisasi dengan persetujuan Komite

PPI RS.

I. Alat medis habis pakai (AMHP) dapat digunakan sesuai dengan rekomendasi

manufactur-nya. Alat medis sekali pakai dapat digunakan ulang (re-used of single use

devices) sesuai kebijakan RS tentang AMHP reusable.

I.1. AMHP dapat digunakan ulang apabila AMHP dapat diproses secara benar/ tepat

(rasional) dan hasil sterilisasi masih efektif dan efisien baik secara fisik; fungsi ,

kualitas serta aman digunakan bagi pasien.

I.2. Kriteria AMHP yang disterilkan kembali adalah AMHP yang telah digunakan tetapi

secara fisik dan fungsi masih baik, AMHP yang sangat dibutuhkan tetapi sulit

diperoleh atau sangat mahal harganya dan atau AMHP telah kedaluwarsa. Daftar

AMHP yang di reuse dan berapa kali batas maksimal reuse ditentukan oleh RS

melalui Panitia Farmasi dan Terapi,

I.3. Mekanisrne pemrosesan AMHP yang di-reuse dan disterilkan kembali dengan

pencatatan dan pengawasan mutu serta batas maksimal reuse diCSSD

J. Pengendalian lingkungan RS meliputi penyehatan air, pengendalian serangga dan

binatang pengganggu, penyehatan ruang dan bangunan, pemantauan hygiene sanitasi

makanan, pemantauan penyehatan linen, disinfeksi permukaan - udara , lantai,

pengelolaan limbah cair - limbah B3 limbah padat medis - non medis dikelola oleh

lnstalasi Kesehatan Lingkungan dan Sub Bagian Rumah Tangga bekerjasama dengan

pihak ketiga, berkoordinasi dengan komite PPI RS, sehingga aman bagi lingkungan.

J.1. Pengelolaan limbah padat medis dipisahkan dan dikelola khusus sampai dengan

pemusnahannya sesuai persyaratan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai


limbah infeksius (ditempatkan dalam kantong plastic berwarna kuning berlogo

infeksius), limbah padat tajam (ditempatkan dalam wadah tahan tusuk, tidak

tembus basah dan tertutup).

J.2. Pengelolaan limbah padat non medis ditempatkan dalam kantong plastik

benwarna hitam dan pemusnahannya bekerjasama dengan Badan Lingkungan

Hidup Kota Yogyakarta.

J.3. Prinsip metode pembersihan ruang perawatan dan lingkungan, pemilihan bahan

desinfektan, cara penyiapan dan penggunaannya dilaksanakan berdasarkan

telaah Komite PPI RS untuk mencapai efektivitas yang tinggi.

J.4. Pernbersihan lingkungan ruang perawatan diutamakan dengan metode usap

seluruh permukaan lingkungan menggunakan bahan desinfektan yang efektif,

J.5. Pelaksanaan Panduan PPI RS dan standar prosedur operasional tentang

pengendalian lingkungan, monitoring dan evaluasinya dilaksanakan oleh Instalasi

Kesehatan Lingkungan bersama sub Bagian Rumah Tangga berkoordinasi

dengan komite PPI.

J.6. Baku mutu berbagai parameter pengendalian lingkungan dievaluasi periodik

dengan pemeriksaan parameter kimia - biologi surveilan angka dan pola kuman

lingkungan berdasarkan standar Kepmenkes Rl No.416/MenKes/Per/|x1990

tentang persyaratan Kualitas Air Bersih dan AirMinum, Kepmenkes Rl No.

492lMenKes/sKA/ll/2010 tentang persyaratan Kualitas Air Minum, Kepmenkes Rl

No, l204/Menkes/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan RS.

K. Pengelolaan linen kotor dan bersih secara terpisah untuk mengurangi risiko infeksi pada

pasien, petugas dan lingkungan dilakukan menyeluruh dan sistematis agar mencegah

kontaminasi, di bawah tanggung jawab lnstalasi Laundry berkoordinasi dengan Komite

PPI RS.
K.1. Jenis linen di RS diklasifikasikan menjadi linen bersih, linen steril, linen kotor

infeksius, linen kotor non infeksius ( linen kotor berat dan linen kotor ringan)

K.2. Pencegahan kontaminasi lingkungan maupun pada petugas dilakukan dengan

disinfeksi kereta linen, pengepelan/ disinfeksi lantai, implementasi praktik

kebersihan tangan, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai potensi risiko

selama bekerja.

L. Pengelolaan makanan di lnstalasi Gizi memperhatikan standar sanitasi makanan

minuman, alat, lingkungan produksi dan higiene perorangan penjamah makanan.

L.1. Semua bahan makanan yang disiapkan hingga sampai dengan disajikan kepada

pasien, pegawai dikelola sesuai pedoman dan standar prosedur pelayanan

Instalasi Gizi agar terhindar dari pencemaran dan penularan infeksi melalui

makanan (sesuai persyaratan hygiene makanan dalam Kepmenkes RI

No.1204/SK/X/2004 ; Keputusan Direktorat Jenderal POM No

03726/B/SK/VII/1989 ; Kepmenkes RI No.715/Menkes/SK/V/2003 tentang

persyaratan hygiene sanitasi jasa boga)

L.2. Penyimpanan bahan makanan harus selalu terpelihara dan dalam keadaan bersih,

terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya dan hewan lain serta suhu

penyimpanan disesuaikan dengan jenis bahan makanan.

L.3 Penjamah makanan yang kontak langsung dengan makanan mulai dari proses

penyiapan bahan sampai dengan penyajiannya dilakukan surveilans higiene

pribadi berupa monitoring pemeriksaan darah rutin, darah kimia, kultur widal, feses

dan urin rutin dan kultur mikrobiologi swab rektal setahun sekali, dikoordinasikan

dan di bawah tanggung jawab Unit K3 RS dan Sub Bag Kepegawaaian dan

Pengembangan SDM.

L.4. Pemeriksaan mikrobiologi lingkungan dilakukan setiap 6 bulan untuk monitoring


evaluasi mutu pembersihan lingkungan.

M. Pendidikan dan pelatihan pencegahan pengendalian infeksi RS direncanakan dan

dilaksanakan secara periodik dan berkesinambungan oleh Bagian SDM dan Pendidikan

melalui Bidang Diklat bekerjasama dengan Komite PPI RS untuk menjamin setiap

petugas yang berada dan bekerja di RS (termasuk peserta didik dan karyawan kontrak)

memahami dan mampu melaksanakan program PPI RS, khususnya kewaspadaan

standar dan isolasi.

M.1. Seluruh SDM baru wajib mengikuti program orientasi, termasuk materi PPI RS.

M.2. Monitoring dan evaluasi hasil pendidikan dan pelatihan dilakukan oleh Bagian

SDM bersama Komite PPIRS sesuai ketentuan yang berlaku sebagai dasar

perencanaan program selanjutnya.

N. Kesehatan dan keselarnatan kerja (K3) petugas di RS terkait risiko penularan infeksi

karena merawat pasien maupun identifikasi risiko petugas yang mengidap penyakit

menular dilaksanakan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan Komite PPI RS.

N.1 Pencegahan penularan infeksi pada dan dari petugas dilakukan dengan

pengendalian administratif untuk petugas yang rentan tertular infeksi ataupun

berisiko menularkan infeksi dikoordinasikan Unit K3 RS bersama Komite PPI RS

dan Bagian SDM berupa penataan penempatan SDM, pemberian imunisasi, dan

sosialisasi PPI berkala khususnya di tempat risiko tinggi infeksi.

N.2. Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kondisi kesehatan petugas dilakukan

dengan pemeriksaan kesehatan prakarya dan berkala sesuai faktor risiko di

tempat kerja,

N.3. Perencanaan, pengadaan dan pengawasan penggunaan alat pelindung diri

petugas dari risiko infeksi yang berupa alat/ bahan tidak habis pakai dikelola Unit

K3 RS berkoordinasi dengan Komite PPI RS.


N.4. Unit K3RS berkoordinasi dengan Komite PPI RS mengembangkan panduan dan

menyusun standar pelaporan dan penanganan kejadian kecelakaan kerja terkait

pajanan infeksi, mensosialisasikan, memonitor pelaksanaan, serta melakukan

evaluasi kasus dan menyusun rekomendasi tindaklanjutnya.

N.5. Surveilans pada petugas dan pelaporannya dilakukan secara teratur,

berkesinambungan, periodik oleh unit K3RS berkoordinasi dengan PPI RS.

O. Setiap renovasi, pemeliharaan, pengembangan maupun pembangunan gedung di

lingkungan RS harus mempertimbangkan keselamatan dari sisi pencegahan dan

pengendalian infeksi RS. Desain konstruksi bangunan diarahkan untuk menjamin

tercapainya kondisi kebersihan, tata udara, pencahayaan dan kebisingan lingkungan

yang mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Rl No1204/Menkes/X/2004 tentang

Persyaratan Kesehatan Lingkungan RumahSakit.

O.1. Desain, penataan ruang bangunan dan penggunaannya harus sesuai dengan

fungsi, memenuhi persyaratan serta dikelompokkan berdasarkan tingkat risiko

terjadinya penularan penyakit (kohorting), yaitu :

Zona dengan risiko rendah,: ruang administrasi, ruang perkantoran, ruang

pertemuan, ruang perpustakaan, ruang resepsionis;

Zona dengan risiko sedang : ruang rawat inap bukan penyakit menular, ruang

rawat jalan, instalasi Gizi, IPSRS,

Zona dengan risiko tinggi : Instalasi Gawat Darurat, ruang bersalin, Kamar

jenazah, Instalasi Farmasi, Instalasi HD, Radiologi;

Zona dengan risiko sangat tinggi : Instalasi Rawat Intensif, R.Padma, ruang

operasi, ruang laboratorium, ruang isolasi (airborne).

O.2. Prasarana yang mendukung dapat operasionalnya gedung seperti sistem

perlistrikan, sistem air dan tata udara dijaga untuk dapat berfungsi sesuai dengan
zonasi,

O.3. Sistem ventilasi natural (alamiah) didesain dengan memaksimalkan jendela dan

tata ruang, dibantu sistem fan.

O.4. IPSRS berkoordinasi dengan PPIRS menerapkan Panduan keamanan dan

pengurangan dampak risiko dari setiap pembangunan/ perbaikan/ renovasi

gedung di lingkungan RS.

P. Pendidikan pencegahan dan pengendalian infeksi diberikan untuk setiap pasien.

P.1. Untuk pasien rawat inap disampaikan oleh perawat saat orientasi pasien baru

masuk meliputi kebersihan tangan, etika batuk dan ketertiban pembuangan

sampah.

P.2. Untuk pasien rawat jalan disampaikan oleh perawat pada Promosi Kesehatan RS

(PKRS) yang dilaksanakan secara teratur berkesinambungan dalam program

PKRS bersama Bagian Hukum dan Pelayanan Pelanggan.

Q. Pendidikan pencegahan dan pengendalian infeksi untuk pengunjung dilaksanakan pada

PKRS, melalui poster, leaflet atau banner dan berbagai media informasi lain di RS

bersama bagian Hukum dan Pelayanan pelanggan.

R. Penerapan sistem manajemen informasi dalam pengelolaan PPI RS ditujukan untuk

mengoptimalkan sosialisasi dan implementasi standar/ program monitoring dan evaluasi

kinerja, serta penyampaian feedback hasil surveilans PPI RS, dilakukan bersama

Instalasi Teknologi Informasi RS.

S. Pelayanan kamar jenazah ditujukan untuk mencegah penularan infeksi pada petugas

kesehatan dan keluarga. Petugas kesehatan harus menjalankan kewaspadaan standar

ketika menangani pasien yang meninggal akibat penyakit menular. Alat pelindung diri

lengkap harus digunakan petugas yang menangani jenazah jika pasien tersebut dalam

masa penularan. Petugas harus memberikan penjelasan kepada pihak keluarga tentang
penanganan khusus bagi jenazah yang meninggal akibat dengan penyakit menular.

Kegiatan pengendalian infeksi di kamar jenazah dilakukan bersama Instalasi kamar

jenazah.

T. Pengelolaan Darah dan Komponen

Pengelolaan darah dan komponen jenazah ditujukan untuk mencegah penularan infeksi

pada petugas kesehatan, pasien dan keluarga. Petugas kesehatan harus menjalankan

kewaspadaan standar ketika menangani darah dan komponennya.

Alat pelindung diri lengkap harus digunakan petugas yang menangani darah dan

komponennya. Kegiatan penanganan darah dan komponen di kamar jenazah dilakukan

bersama Instalasi Bank Darah.

Ditetapkan di : Yogyakarta

Pada tanggal 14 April 2015

DIREKTUR

ttd

Drg. Hj. RR. TUTY SETYOWATI, MM

NIP. 19620502 198701 2 001

Anda mungkin juga menyukai