Anda di halaman 1dari 4

Awal pemikiran antroplogis tentang hukum dimulai dengan studi-studi yang

dilakukan oleh kalangan ahli antropologi, bukan dari kalangan sarjana hukum.
Awal kelahiran antropologi hukum biasanya dikaitkan dengan karya klasik Sir
Henry Maine yang bertajuk The Ancient Law yang diterbitkan pertama kali pada
tahun 1861. Ia dipandang sebagai peletak dasar studi antropologis tentang hukum
melalui introduksi teori evolusionistik mengenai masyarakat dan hukum. Secara
umum tema kajian/teori-teori AH dapat dikelompokkan dalam 3 fase, yaitu Fase
Evolusionisme, Fase Fungsionalisme, Fase Pluralisme.
Fase Evolusionisme (1861-1926)
Tema-tema kajian yang dominan pada fase evolusionisme/awal
perkembangan AH adalah berkisar pada eksistensi hukum. Perspektif pada fase ini
adalah adanya anggapan hukum berevolusi/berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakatnya. Studi evolusionistik AH dimulai oleh Sir Henry
Maine dalam bukunya The Ancient Law (1861), yang mengatakan bahwa
perkembangan hukum menyesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya, yang
dimulai dari masyarakat purba, masyarakat suku, dan masyarakat wilayah bersama.
Menurut Maine, pada masyarakat purba, masyarakatnya masih disibukkan
dengan urusan makanan dan melangsungkan keturunan, sehingga dikatakan pada
waktu itu belum ada hukum. Kemudian masyarakat suku menyadari bahwa mereka
berasal dari keturunan yang sama. Kesadaran ini membentuk ikatan hubungan
darah yang disebut masyarakat suku (tribal society). Pada masyarakat suku ini, kata
Maine pada dasarnya masih belum ada hukum, tetapi dikatakan ada hukum jika
hukum tersebut berlaku secara kontinyu bukan secara insidental. Kemudian
masyarakat suku timbul kesadaran baru bahwa suku-suku yang ada bertempat
tinggal pada teritorial bersama, sehingga terbentuk masyarakat wilayah bersama.
Pada masyarakat ini sudah terbentuk pemerintahan baik monarki maupun republik.
Perkembangan hukum pada masyarakat ini dibedakan menjadi dua, masyarakat
wilayah bersama yang statis (diluar Eropa dan Amerika Utara) hukumnya masih
sederhana, sedangkan pada masyarakat wilayah bersama yang dinamis, bentuk
hukumnya sudah kompleks dan modern.
Tokoh kedua pada fase evolusionisme adalah J.J. Bachofen dengan bukunya
Das Mutterecht (terbit 1861). Menurut Bachofen perkembangan masyarakat
dimulai dari Gemeinschaft menuju masyarakat gesselschaft. Masyarakat
Gemeinschaft adalah suatu masyarakat yang masih menjunjung tinggi semangat
kesersamaan, kekeluargaan, gotong-royong dalam kehidupannya. Pada masyarakat
ini bentuk hukumnya mengikuti masyarakatnya, artinya hukum yang terbentuk
masih mengutamakan hal-hal yang sifatnya komunal.
Kemudian pada masyarakat gesselschaft adalah suatu masyarakat yang
sudah menggunakan rasionalisme, individualisme, dan ekonomis dalam
kehidupannya. Demikian pula hukum yang terbentuk pada masyarakat ini
menempatkan kepentingan pribadi, rasionalitas dan ekonomis di atas kepentingan
bersama.
Fase Fungsionalisme (awal abad ke-20) Selanjutnya pada fase
fungsionalisme ini, terjadi perdebatan apa itu hukum, apakah hukum ada pada
semua masyarakat, dari para peminat AH. Dimulai dari A.R. Radcliffe Brown yang
mengatakan hukum adalah suatu sistem pengendalian sosial yang hanya muncul
dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu bangunan negara.
Alasannya, hanya dalam suatu organisasi sosial seperti negara terdapat pranata-
pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dan lain-lain sebagai pranata
neara yang mutlak harus ada untuk menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat.
Oleh karena itu dalam masyarakat-masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi
secara politis sebagai suatu negara tidak mempunyai hukum. Walaupun tidak
mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut diatur dan dijaga
oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan
(automatic spontaneus submission to tradition).
Pendapat Brown ini, yang mengatakan bahwa hukum tidak semata-mata
terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu negara, tetapi hukum sebagai
sarana pengendalian sosial terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam
masyarakat sederhana, dikritik oleh Bronislaw Malinowski dalam bukunya Crime
and Punishment in Savage Society yang terbit tahun 1926menurut Malinowski juga
bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis, tetapi hukum
harus diberi pengertian luas, yaitu sebagai suatu sistem pengendalian sosial (legal
order system) yang didasarkan pada prinsip timbal-balik (principle of reciprocity)
dan publisitas (principle of publicity) yang secara empiris berlangsung dalam
kehidupan masyarakat. Pendapat Malinowski ini memperoleh komentar dan kritik
dari Paul Bohannan (Law and Warfare, Studies in the Anthopology of Conflict,
1967:45-49) yang mengatakan sebagai berikut:
1. Mekanisme resiprositas dan publisitas sebagai kriteria
untukmengatur hak dan kewajiban dalamkehidupan masyarakat
pada dasarnya bukanlah merupakan hukum, tetapi hanya merupakan
suatu kebiasaan (custom) yang digunakan masyarakat untuk
menjaga keteraturan sosial.
2. Pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau
kebiasaan, atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian
yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan
yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought)
dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan kebiasaan
merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku
dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadang kala
kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan hukum, tetapi bisa juga
bertentangan dengan normanorma hukum.
Oleh karena itu Bohannan mengajukan definisi hukum sebagai seperangkat
kewajiban yang dipandang sebagai hak warga masyarakat dan kewajiban bagi
warga masyarakat yang lain, yang telah dilembagakan ulang menjadi institusi
hukum untuk mencapai tujuan agar kehidupan masyarakat dapat berfungsi dan
teratur. Karena itu, dikatakan bahwa resiprositas berada pada basis kebiasaan, tetapi
kebiasaan yang telah dilembagakan sebagai norma hukum melalui tahapan yang
disebut double institutionalization of norm atau pelembagaan kembali norma.
Selanjutnya, Leopold Pospisil (Anthopology of Law, A Comparative Study, 1971:
39-35) juga mengkritik Malinowski bahwa pengertian hukumnya terlalu luas,
sehingga hukum yang dimaksudkan juga dimaksudkan juga mencakup pengertian
kebiasaan-kebiasaan, bahkan semua bentuk kewajiban-kewajiban yang
berhubungan dengan aspek religi dan juga kewajiban-kewajiban yang bersifat
moral dalam kehidupan masyarakat.
Untuk itu Pospisil mengajukan definisi hukum sebagai suatu aktivitas
kebudayaan yang berfungsi sebagai alat untuk pengendalian sosial.
Untuk membedakan peraturan hukum dengan noram-norma lain, yang
sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial, maka peraturan
hukum dicirikan mempunyai 4 atribut (attributes of law) yaitu :
1. Atribut kekuasaan/otoritas (attribute of authority), adalah
keputusan-keputusan dari pemegang otoritas untuk
menyelesaikan sengketa.
2. Atribut penerapan secara universal (attribute of intention of
universal aplication) artinya keputusan-keputusan pemegang
otoritas juga akan diaplikasikan terhadap peristiwa-peristiwa
yang sama secara universal.
3. Atribut obligasio (attribute of obligation) berarti keputusan
pemegang otoritas tersebut mengandung suatu pernyataan
bahwa pihak pertama memiliki hak untuk menagih sesuatu dari
pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai kewajiban untuk
memenuhi hak pihak pertama.
4. Atribut sanksi (attribute of sanction) keputusan-keputusan dari
pihak pemegang otoritas tersebut juga disertai penjatuhan
sanksi. Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum
yang semata-mata berdasarkan atribut otoritas, juga
diperkenalkan oleh Ter Haar dengan teorinya teori Keputusan
(beslissingenleer/ decision theory) yang mendefinisikan hukum
sebagai keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus
sengketa dan non sengketa Fase Pluralisme Hukum (1940-
sekarang)

Anda mungkin juga menyukai