Anda di halaman 1dari 22

Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 1

1
DIVISI
ALERGI – IMUNOLOGI
Dr.Renny Bagus, SpA, Dr. Abdul Rohim,SpA,
Dr. Retno HMA, SpA, Dr. Marito Logor, SpA

1. Alergi Makanan
2. Alergi Obat
3. Rinitis Alergika
4. Dermatitis Atopik
5. Sindrom Steven Johnson

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 2

1. ALERGI MAKANAN
I. BATASAN

 Alergi makanan adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh
yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan.
 Alergi makanan di masyarakat merupakan istilah umum untuk menyatakan reaksi simpang
terhadap makanan termasuk di dalamnya proses non-alergi yang sebenarnya lebih tepat
disebut intoleransi.
 Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik,
misalnya reaksi toksik, reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi.

II. PATOFISIOLOGI

Faktor yang berperan dalam alergi makanan :


1. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-
enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik)
memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu.
2. Faktor genetik. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dipengaruhi oleh
kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
3. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban
latihan (lari, olah raga).

Alergen dalam makanan :


 Merupakan protein, glikoprotein atau polipeptida dengan besar molekul lebih dari 18.000
dalton, tahan panas dan tahan enzim proteolitik.
 Alergen utama beberapa jenis makanan :
- Ikan : allergen-M
- Telur : ovomukoid
- Susu sapi : betalaktoglobulin (BLG) sebagai alergenterkuat, alfalalaktalbumin (ALA),
bovin serum albumin (BSA) dan bovin gama globulin (BGG)
- Kacang tanah : arachin, conarachin dan peanut-1.
- Udang : allergen-1 dengan berat molekul 21.000 dalton dan Allergen-2 dengan
berat molekul 200.000 dalton.
- Gandum : albumin, pseudoglobulin dan euglobulin

Terjadinya alergi makanan :


1. Pada paparan awal, alergen dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya
mengekspresikan pada sel-T. Sel-T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan
antibodi dari berbagai subtipe.
2. Alergen yang intak diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel
pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus, yang pada anak atopi
cenderung terbentuk IgE lebih banyak. Selanjutnya terjadi sensitisai sel mast pada saluran
cerna, saluran nafas dan kulit. Pembuatan antibodi IgE dimulai sejak paparan awal dan
berlanjut walaupun dilakukan diet eliminasi. Komplemen akan mulai mengalami aktivasi oleh
kompleks antigen antibodi.
3. Pada paparan selanjutnya mulai terjadi produksi sitokin oleh sel-T. Sitokin mempunyai
berbagai efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya
netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan. Aktifasi komplemen dan
terjadinya komplek imun akan menarik netrofil.

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 3

4. Gejala klinis yang timbul adalah hasil interaksi mediator, sitokin dan kerusakan jaringan
yang ditimbulkannya.
5. Bayi atopi juga mendapat sensitisasi melalui makanan alergenik yang terkandung dalam air
susu ibu. Bayi-bayi dengan alergi awal terhadap satu makanan misalnya susu, juga
mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembang menjadi alergi terhadap makanan lain.

III. GEJALA KLINIK

 Gejala klinis alergi makanan biasanya mengenai berbagai organ sasaran seperti kulit,
saluran nafas, saluran cerna, mata, telinga, saluran vaskuler.
 Organ sasaran bisa berpindah-pindah, gejala sering kali sudah dijumpai pada masa bayi.
 Makanan tertentu bisa menyebabkan gejala tertentu pada seseorang anak, tetapi pada anak
lain bisa menimbulkan gejala lain.
 Pada seseorang makanan yang satu bisa mempunyai organ sasaran yang lain dengan
makanan yang lain, misalnya udang menyebabkan urtikaria, sedangkan kacang tanah
menyebabkan sesak nafas.
 Susu sapi bisa menimbulkan gejala alergi pada saluran nafas, saluran cerna, kulit dan
anafilaksis. Gejala tersebut bisa berupa asma, eksema, rinitis, urtikaria, angionerotik udem,
pucat, muntah, diare.

IV. CARA PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

 Diagnosis alergi makanan diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


laboratorium dan secara akademis dipastikan dengan ”Double Blind Placebo Controlled Food
Challenge”.
 Secara klinis bisa dilakukan uji eliminasi dan provokasi terbuka ”Open Challenge”. Pertama-
tama dilakukan eliminasi dengan makanan yang dikemukakan sendiri oleh penderita atau
orangtuanya atau dari hasil uji kulit. Kalau tidak ada perbaikan maka dipakai regimem diet
tertentu.
 Diagnosis dengan diet eliminasi. Ada beberapa regimen diet yang bisa digunakan :

1. ELIMINATION DIET”: beberapa makanan harus dihindari yaitu Buah, Susu, Telur, Ikan
dan Kacang, (disingkat BSTIK). Merupakan makanan-makanan yang banyak ditemukan
sebagai penyebab gejala alergi, jadi makanan-makanan dengan indeks alergenisitas
yang tinggi. Indeks ini mungkin lain untuk wilayah yang lain.

2. ”MINIMAL DIET 1” (Modified Rowe’s diet 1): terdiri dari beberapa makanan dengan
indeks alergenisitas yang rendah. Berbeda dengan ”elimination diet”, regimen ini terdiri
dari beberapa bahan makanan yang diperbolehkan yaitu : air, beras, daging sapi,
kelapa, kedelai, bayam, wortel, bawang, gula, garam dan susu formula kedelai. Bahan
makanan lain tidak diperbolehkan.

3. ”MINIMAL DIET 2” (Modified Rowe’s Diet 2): Terdiri dari makanan-makanan dengan
indeks alergenisitas rendah yang lain yang diperbolehkan, misalnya : air, kentang,
daging kambing, kacang merah, buncis, kobis, bawang, formula hidrolisat kasein, bahan
makanan yang lain tidak diperkenankan.

4. ”EGG and FISH FREE DIET”: diet ini menyingkirkan telur termasuk makanan-makanan
yang dibuat dari telur dan semua ikan. Biasanya diberikan pada penderita-penderita
dengan keluhan dengan keluhan utama urtikaria, angionerotik udem dan eksema.

5. ”HIS OWN’S DIET”: menyingkirkan makanan-makanan yang dikemukakan sendiri oleh


penderitanya sebagai poenyebab gejala alergi.
Divisi Alergi dan Imunologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 4

Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan makanan
setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut
alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu
berturut-turut. Jika dengan salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah
dilakukan dengan benar, maka diberikan regimen yang lain. Sebelum memulai regimen
yang baru, penderita diberi ”carnaval” selama seminggu, artinya selama 1 minggu itu semua
makanan boleh dimakan (pesta). Maksudnya adalah memberi hadiah setelah 3 minggu diet
dengan baik, dengan demikian ada semangat untuk menjalani diet berikunya. Selanjutnya
diet yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu sebelum dilakukan provokasi.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu,
telur, kacang, ikan).
 Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
 IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi,
atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.

VI. DIAGNOSA BANDING

 Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik,
Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis,
peptic disease dan sebagainya.
 Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan
pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi
(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli,
Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat,
pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang,
tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
 Reaksi psikologis.

VII. PENATALAKSANAAN

Identifikasi alergen dan eliminasi :

Diet eliminasi/provokasi adalah untuk diagnostik. Bila alergen telah diketemukan maka harus
dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai
pengganti.
Pada bayi dari keluarga atopik, disarankan menunda pemberian makanan makanan yang
dikenal sebagai makanan alergenik utama, dengan cara :
 Eliminasi susu sapi sampai usia 1 tahun
 Eliminasi telur sampai usia 18-24 bulan
 Eliminasi kacang-kacangan dan ikan sampai usia 3 tahun

Pencegahan :

 Alergi tidak bisa disembuhkan, tapi dengan pencegahan yang efektif akan mengendalikan
frekuensi dan intensitas serangan, penggunaan obat, jumlah hari absen sekolah, serta
membantu memperbaiki kualitas hidup.
Divisi Alergi dan Imunologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 5

 Pemberian ASI sangat dianjurkan. Pada bayi yang melakukan eliminasi makanan dan
mendapat ASI, maka ibu juga harus pantang makanan penyebab alergi. Dengan eliminasi
sebelumnya, alergi susu sapi menghilang pada kebanyakan kasus pada umur 2 tahun.
Untuk pengganti susu sapi dapat dipakai susu hidrolisat whey atau hidrolisat casein. Pilihan
lain adalah susu formula kedelai, dengan harus tetap waspada terhadap kemungkinan alergi
terhadap kedelai. Pada bayi yang menderita alergi makanan derajat berat yang telah
menggunakan formula susu hipoalergenik, bila ingin melakukan diet provokasi dengan susu
formula sapi, harus dilakukan dirumah sakit, karena jika gagal ada kemungkinan terjadi
renjatan anafilaksis.
 Sayur mayur bisa dianjurkan sebagai pengganti buah, daging sapi atau kambing sebagai
pengganti telur ayam dan ikan.
 Makan di restoran kurang aman dan dianjurkan selalu membaca label bahan-bahan
makanan jika membeli makanan jadi.
 Desensitisasi pada alergi makanan tidak dilakukan sebab reaksinya hebat dan sedikit sekali
bukti-bukti kerberhasilannya. Andaikata berhasil, selama desensitisasi penderita juga tetap
harus menyingkirkan makanan penyebab serangan alergi itu.

Pengobatan :

Bila diet tidak bisa dilaksanakan maka harus diberi farmakoterapi dengan obat-obatan seperti
yang tersebut di bawah ini :

1. Glukokortikoid.
 Digunakan terutama bila ada gejala asma.
 Steroid oral yang dipakai adalah : metil prednisolon, prednisolon dan prednison.
Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari
sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari,
dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari.
 Steroid parenteral digunakan untuk penderita alergi makanan dengan gejala status
asmatikus, preparat yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan
dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan
prednison oral.
 Steroid hirupan digunakan bila ada gejala asma dan rinitis alergika.
2. Beta adrenergic agonist
 Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus.
 Epinefrin subkutan bisa diberikan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3
mg/dosis.
3. Metil Xantin
 Digunakan sebagai bronkodilator. Obat yang sering digunakan adalah aminofilin dan
teofilin, dengan dosis awal 3-6/kg/dosis, lanjutan 2,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
4. Simpatomimetika
 Efedrin : 0,5 – 1,0 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam
 Orciprenalin : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
 Terbutalin : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
 Salbutamol : 0,1 – 0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
5. Kromolin, Nedokromil.
 Dipakai terutama pada penderita dengan gejala asma dan rinitis alergika.
 Kromolin umumnya efektif pada alergi makanan dengan gejala Dermatitis Atopi yang
disebabkan alergi makanan. Dosis kromolin untuk penderita asma berupa larutan 1%
solution (20 mg/2mL) 2-4 kali/hari untuk nebulisasi atau berupa inhalasi dengan
metered-dose inhaler 1,6 mg (800 µg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk rinitis alergik
digunakan obat semprot 3-4 kali/hari yang mangandung kromolin 5.2 mg/semprot.
Untuk konjungtivitis diberikan tetes mata 4% 4-6 x 1 tetes mata/hari.
Divisi Alergi dan Imunologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 6

 Nedokromil untuk nebulisasi tak ada. Yang ada berupa inhalasi dengan metered-dose
inhaler dan dosis untuk asma adalah 3,5 mg (1,75 mg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk
konjungtivitis diberikan tetes mata nedokromil 2% 4-6 x 1-2 tetes mata/hari.
6. Leukotrien antagonis
 LTC4 dan LTD4 menimbulkan bronkokonstriksi yang kuat pada manusia, sementara
LTE4 dapat memacu masuknya eosinofil dan netrofil ke saluran nafas.
 Dapat digunakan pada penderita dengan asma persisten ringan. Namun pada penelitian
dapat diberikan sebagai alternatif peningkatan dosis kortikosteroid inhalasi, posisi anti
lekotrin mungkin dapat digunakan pada asma persisten sedang, bahkan pada asma
berat yang selalu membutuhkan kortikosteroid sistemik, digunakan dalam kombinasi
dengan xantin, beta-2-agonis dan steroid. Preparat yang sudah ada di Indonesia adalah
Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.
7. H1-Reseptor antagonis
H1 reseptor antagonis generasi kedua tidak ada efek samping CNS. Setirizin bisa digunakan
pada anak mulai umur 1 tahun dan tidak ada efek samping kardiovaskular, dapat digunakan
jangka lama. H1 reseptor antagonis generasi pertama efek antikolinergiknya dapat
memperburuk gejala asma karena pengentalan mukus. Pada dosis tinggi efek samping pada
CNS sangat membatasi penggunaanya dalam pengobatan asma. Beberapa penelitian
membuktikan efektifitas.
 Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam.
 CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
 Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
 Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis,1 kali/hari.
 Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2
kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180 mg/hari, 4 kali/hari.
 Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5-11 tahun : 1 semprotan 2
kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
 Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-6 tahun : 15 mg/hari,
4 kali/hari; 6-12 tahun : 30 mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari.
 Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.

VIII. PROGNOSIS

Alergi makanan yang mulai pada usia 2 tahun mempunyai prognosis yang lebih baik karena ada
kemungkinan kurang lebih 40% akan mengalami grow out. Anak yang mengalami alergi pada
usia 15 tahun ke atas cenderung untuk menetap.

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 7

2. ALERGI OBAT

I. BATASAN

 Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya
melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama
atau setelah pemakaian obat.
 Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction),
yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat.
 Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat.
 Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat
farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain.
 Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi
obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak
diketahui.

II. PATOFISIOLOGI

 Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas, yaitu :


1. Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya berinteraksi
membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel mast di jaringan atau
sel basofil di sirkulasi.
2. Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang mengenali
antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka sel yang dilapisi
antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag.
3. Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat atau
metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG.
4. Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah
reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat.

 Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu obat,namun
yang tersering melalui tipe I dan IV.
 Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis
penelitian yang dilakukan.
 Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin,
sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu asam mefenamat, luminal, fenotiazin,
fenergan, dilantin, tridion. Namun demikian yang paling sering dihubungkan dengan alergi
adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi pada paparan pertama.
Sensitisasi imunologik memerlukan paparan awal dan tenggang waktu beberapa lama
(masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.
 Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil
tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain
untuk bersifat sebagai allergen,disebut sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan
kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama
diproses didalam makrofag dan dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat
mempunyai berat molekul besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ bersifat sangat
imunogenik dapat langsung merangsang sistem imun tubuh.
 Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung dengan protein
lain. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang.
Setelah paparan awal maka obat akan merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel
imun dalam masa induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.
Divisi Alergi dan Imunologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 8

III. GEJALA KLINIK

 Gejala kilinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu
macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala pada seseorang, dapat berbeda dengan
orang lain, dapat berupa gejala ringan sampai berat.
 Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering,dapat berupa gatal, urtika, purpura,
dermatitis kontak, eritema multiforme, eritema nodusum, erupsi obat fikstum, reaksi
fotosensifitas, dermatitis eksfoliatif, erupsi vesikobulosa dan sidroma Steven Johnson.
 Gejala klinis yang memerlukan pertolongan tepat dan segera adalah reaksi anafilaksis,
karena adanya hipotensi, spasme bronkus, sembab laring, angioudema atau urtikaria
generalisata.
 Demam dapat merupakan gejala tunggal alergi obat atau bersama gejala lain yang timbul
beberapa jam setelah pemberian obat tetapi biasanya pada hari 7-10 dan menghilang dalam
waktu 48 jam setelah penghentian obat atau beberapa hari kemudian. Demam disebabkan
karena pelepasan sitokin. Beberapa obat dapat sebagai pirogen langsung misalnya
amfoterisis B, simetidin, dextran, besi kalsium dan dimerkaprol. Mekanismenya belum jelas
pada anak, epinefrin dapat menimbulkan demam karena bersifat vasokostriktor, dengan
demikian menghambat pengeluaran panas tubuh. Demikian juga pemberian atrofin serta
fenotiasin dapat menimbulkan demam dengan menghambat pembentukan keringat.
Beberapa obatseperti alupurinol, azatioprim, barbiturat, produk darah, sefalosporin,
hidroksiurea, yodida, metildopa, penisilamin, penisilin, fenitoin, prokainamid dan kuinidin
sering menimbulkan demam tanpa disertai gejala alergi lain.

Tabel 1 : Klasifikasi alergi obat menurut gejala klinis

Anafilaksis Sembab laring , hipotensi , bronkospasme


Erupsi kulit Urtikaria/angioudema , pruritus , ruam makulopapular, erupsi
obat fikstum, dermatitis kontak, vaskulitis,eritema nodusum,
eritema multiforme,sindroma Steven Johnson, nekrolisis
epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif, reaksi fotosensitif.
Kelainan hematologi Anemia hemolitik,netropenia,trobositopenia.
Kelainan paru Pneumonitis interstitialis/aveolaris,edema paru/fibrosis paru.
Kelainan renal Nefritis interstitialis,glomerulonefritis,sindroma nefrotik.
Penyakit Serum
Demam obat
Vaskulitis sistemik
Limfadenopati

IV. DIAGNOSIS

 Diagnosis alergi obat sering sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat.
 Dasar diagnosis obat yang terpenting adalah anamnesis rinci tentang berbagai hal penting.

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 9

 Gejala klinis umumnya tidak khas, kecuali beberapa bentuk erupsi kulit seperti pruritus
generalisata, urtikaria, erupsi fikstum, atau reaksi anafilaksis yang memenuhi kriteria
anamnesis di atas. Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk kelengkapan
diagnosis, berupa uji in vivo dan in vitro terdapat obat atau metabolitnya. Uji in vivo berupa
uji kulit dan uji provokasi. Uji in vitro terbata sebagai sarana penelitian dan bukan
merupakan prosedur rutin.
 Kesulitan yang terbesar dalam membuat diagnosis adalah untuk mengetahui apakah benar
ada hubungan antara manifestasi klinis dengan pemberian obat dan apakah gejala klinis
tersebut bukan merupakan bagian dari perjalanan penyakitnya sendiri yang sedang diobati.
 Diagnosis alergi obat berdasarkan klinis dan uji laboratoris. Secara klinis yang terpenting
adalah anamnesa rinci tentang berbagai hal penting yaitu bahwa reaksi yang timbul bukan
merupakan efek farmakologi obat, biasanya terjadi beberapa hari setelah pemberian obat
(kecuali jika telah terpapar sebelumnya).
 Gejala klinis akan menghilang beberapa waktu setelah penggantian obat dan gejala yang
sama akan timbul dengan pemberian ulang obat yang sama atau dengan struktur obat yang
sama. Gambaran fisik terutama erupsi kulit ada pola gambaran tertentu untuk masing-
masing obat (Tabel 2).

Tabel 2. : Pola Reaksi Klinis dan Obat Tersangka


Exanthems : Lichenoid eruptions :

Ampicillin, penicillin Anti maalarials


Phenilbutazone Beta blockers
Sulphonamides Chlorpropamide
Phenitoin Gold
Carbamazepine Methyl dopa
Gold Penicillamine
Allopurinol Phenylbutazone
Sterptomycin.

Erythema multiforme and Steven


Johnson Syndrome:

Trimetrprim,Smx
Penicillin
Griseofulvin
Tetracyclines
NSADs
Gold
Anticonvulsant

Toxicepidermal necrolysis Acneform eruptions :

Allopurinol Cortcosteroids
Apirin Anabolic steroids
Penicillin Androgens (in female)
Phenytoin Oral contraceptives
Sulfasalazine Iodides and bromides
Lithium
Isoniazid

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 10

V. UJI LABORATORIUM

1. Uji invivo.
 Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu
determinan antigen dari obat atau metabolitnya.
 Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu.
 Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat
yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit.
 Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul: insulin,
antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi
alergi terhadap penisilin saja.
 Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur
diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya
anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan
tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan indikasi kontra untuk
alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis
eksfoliatif, kelainan hematology, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah
eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.

2. Uji in vitro.
 Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
 Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel
darah merah, RAST, uji pelepasan histamin,uji sensitisasi jaringan (basofil/lerkosit serta
esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan
spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain-lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat.

VI. PENATALAKSANAAN

Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian
mengatasi gejala klinis yang timbul.

Penghentian obat :
 Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu, kecuali obat yang memang perlu dan tidak
dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain.
 Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak dapat digantikan, dapat terus diberikan
atas persetujuan keluarga, dan dengan cara desensitisasi.

Pengobatan :
 Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus,
urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin,
loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula adrenalin subkutan
dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis.
 Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam.
 CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
 Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1 kali/hari;
> 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
 Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari;
> 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
 Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2
kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari.
 Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik,
sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan
kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit,
Divisi Alergi dan Imunologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 11

tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit seperti pada luka bakar untuk kelainan-
kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.
 Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari
sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi
3-4 kali/hari dalam 4-10 hari.
 Steroid parenteral yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison, 4-10
mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral.
 Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau
Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada.
 Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi
anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid topikal
diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-
kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi
dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim
mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah tetapi kurang melindungi
kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi
sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada daerah
kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi,
tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi
untuk daerah kulit yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan..

VII. PROGNOSIS

Estimasi saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat makin meningkat. Dengan
penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik bahkan untuk alergi obat yang
berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur, simblefaron, kebutaan bila tindakan
tidak tepat dan terlambat dilakukan. Angka kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada
sindroma Steven Johnson kematian sebesar 5-15%.

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 12

3. RINITIS ALERGIKA

I. BATASAN

Rinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi setelah
paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE.

II. PATOFISIOLOGI

Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor :


 Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika.
Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama
penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan
masih merupakan penyebab yang penting.
 Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan
terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon
oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir
ini telah diketahui lebih jelas.
 Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis alergika pada
penderita tertentu.

Rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi dengan perantaraan IgE. Selain
granulosit, perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting. Terjadi respons selular yang
meliputi : kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel transendotel.
Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan RANTES berpengaruh pada
penarikan sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi.
Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi peningkatan ekspresi sitokin termasuk di
dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan sel Mast. Selanjutnya
sel Mast menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan sitokin akan
mengadakan upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 dan RANTES menyebabkan infiltrasi
eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel Mast.
Perpanjangan masa hidup sel terutama dipengaruhi oleh IL-5. Pelepasan mediator oleh sel-sel
yang diaktifkan, di antaranya histamin dan cystenil-leukotrien yang merupakan mediator utama
dalam rinitis alergika menyebabkan gejala rinorea, gatal, dan buntu.
Penyusupan eosinofil menyebabkan kerusakan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya
iritasi langsung polutan dan alergen pada syaraf parasimpatik, bersama mediator Eosinophil
Derivative Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin.
Hipereaktivitas nasal akibat dari respons imun di atas, merupakan tanda penting rinitis alergika.

III. GEJALA KLINIS

 Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung.
 Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi :
- Rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis)
- Rinitis sepanjang tahun (perenial allergic rhinitis)
- Rinitis akibat kerja (occupational allergic rhinitis).
 Gejala rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita.

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 13

 Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal,
maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit
berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung
(transverse nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan.
 Pemeriksaan rongga hidung dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih,
membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish).
 Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah
sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga.
Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas.
 Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif
antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh
positif terhadap kualitas hidup.
 Pembagian lain yg lebih banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala
dan kualitas hidup, menjadi intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-
berat.

IV. CARA PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA

 Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji
laboratorium.
 Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat keluarga atopi atau
bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting
dalam membuat diagnosis rinitis alergika.
 Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor.
 Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE
total, IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi
nasal masih terbatas pada bidang penelitian.

V. DIAGNOSA BANDING

Rinitis alergika harus dibedakan dengan :


1. Rinitis vasomotorik
2. Rinitis bakterial
3. Rinitis virus

VI. PENYULIT

 Sinusitis kronis (tersering)


 Poliposis nasal
 Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive terhadap
aspirin)
 Asma
 Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah
 Hipertyopi tonsil dan adenoid
 Gangguan kognitif

VII. PENATALAKSANAAN

 Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan


imunoterapi.

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 14

 Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika,


penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan,
terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi.
 Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang
berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama dan pendidikan
penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan kortikosteroid hirupan
atau semprotan.
 Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan.
 Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan kemudahan
pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama sehubungan dengan kronisitas
penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun
dalam kombinasi. Kombinasi yang sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan
dekongestan.

Pemilihan obat-obatan

 Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain :


1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
2. Tidak menimbulkan takifilaksis.
3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian
pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain. Kortikosteroid
intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya efek samping
sistemik.

Tabel 3. : Jenis obat dan efek terapetik.

Jenis obat Bersin Rinorea Buntu Gatal Keluhan


hidung mata
Antihistamin H1
Oral ++ ++ + +++ ++
Intranasal ++ ++ + ++ 0
Intraokuler 0 0 0 0 +++
Kortikosteroid +++ +++ +++ ++ ++
intranasal
Kromolin
Intranasal + + + + 0
Intraokuler 0 9 0 0 ++
Dekongestan
Intranasal 0 0 +++ 0 0
Oral 0 0 + 0 0
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0
Antilekotrien 9 + ++ 0 ++

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 15

Jenis obat yang sering digunakan :

 Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari
 Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; >
6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
 Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari;
> 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
 Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2
kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.
 Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5–11 tahun : 1 semprotan 2
kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
 Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4
kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari.
Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.
 Kortikosteroid intranasal
- Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah.
- Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.
- Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari.
- Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1
semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.
- Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan
keamanannya lebih baik.
 Leukotrien antagonis
Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 16

4. DERMATITIS ATOPIK

I. BATASAN

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit reaksi inflamasi yang didasari oleh faktor herediter
dan faktor lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta,
skuama dan pruritus yang hebat. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor
psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.

II. PATOFISIOLOGI

 Multifaktor
DA mempunyai penyebab multi faktorial antara lain faktor genetik, emosi, trauma, keringat,
imunologik.
 Respon Imun Sistemik
Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada
darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan
peningkatan IgE.
 Imunopatologi Kulit
Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun
reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di
pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T
dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel
yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab
apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh
sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang
melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap proses
apoptosis di kulit. Apoptosis keratinocyte diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di
permukaan sel-sel T atau yang berada di microenvironment
 Respon imun kulit
Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+
CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan
IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi
pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik
didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan
eosinofil.
 Genetik
Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta
kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi.
Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit
atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Resiko seorang kembar monosigotik yang saudara
kembarnya menderita DA adalah 86%.

III. GEJALA KLINIK

 Onset. Sekitar 50% gejala muncul pata tahun pertama kehidupan. Sekitar 30%
terdiagnosa pada usia 1-5 tahun.
 Macam-macam lesi. Lesi akut, sub-akut atau kronik. Lesi akut ditandai oleh papula dan
papula-vesikula yang sangat gatal dengan eksudat serosa yang dilatarbelakangi eritema.
Lesi kronik ditandai likenifikasi (penebalan kulit dan penonjolan pola permukaan kulit) dan
prurigo nodularis (papula fibrotik).
Divisi Alergi dan Imunologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 17

 Bentuk klinis
1. Bentuk infantil : Berlangsung sampai 2 tahun, predileksi pada daerah muka terutama
pada pipi lebih sering pada bayi yang lebih muda.
2. Bentuk anak : Lanjutan dari bentuk infantil, berupa kulit kering dengan predileksi daerah
fleksura antikubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita.
3. Bentuk dewasa : Terjadi pada usia 20 tahun, umumnya berlokasi di daerah lipatan,
muka, leher, badan bagian atas, dan ekstremitas.

IV. CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSIS

Untuk memudahkan diagnosa, telah dibuat banyak kriteria, diantara kriteria-kriteria tersebut
yang sering dipakai adalah :

 Untuk Bayi : Modifikasi Kriteria Hanifin and Rajka pada bayi :


1. Kriteria mayor :
Riwayat keluarga DA
Dermatitis dengan tanda gatal
Dermatitis yang typical facial atau eczematous ekstensor atau dermatitis likenifikasi
2. Kriteria minor :
Xerosis/iktiosis/hyperlinear palms
Perifollicular accentuation
Chronic scalp scaling
Periauricular fissures
Diagnosa bisa ditegakkan bila ada sedikitnya 2 gambaran pada kriteria mayor atau 1
gambaran pada kriteria mayor plus 1 gambaran pada kriteria minor.

 Untuk Anak : Kriteria Hanifin untuk anak :


1. Krireria mayor (harus punya 3)
Pruritus
Morfologi dan distribusi typical
Lesi yang melibatkan muka dan ekstensor selama bayi dan masa anak
Flexural lichenification dan linearity by adolescence
Dermatitis kronik atau dermatitis kronik kambuhan
2. Kriteria minor
Xerosis
Iktiosis/palmar hyperlinearity/keratosis pilaris
IgE reactivity (increased serum IgE, RAST, or prick test positivity)
Hand/foot dermatitis
Cheilitis
Dermatitis kulit kepala (e.g., cradle cap)
Kepekaan terhadap infeksi kulit (khususnya S. aureus dan herpes simplex)
Perifollicular accentuation (especially in pigmented races)

V. DIAGNOSA BANDING

Dermatitis Kontak Alergi Dermatophytosisataur dermatophytids


Sindrom defesiensi imun Sindrom Wiskott-Aldrich
Sindrom Hyper-IgE Penyakit Neoplastik
Langerhans' cell histiocytosis Penyakit Hodgkin
Dermatitis Numularis Skabies
Dermatitis Seborrheic Differential Diagnosis of Atopic Dermatitis

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 18

VI. PENYULIT

Pada anak penderita DA 75% akan disertai penyakit alergi lain dikemudian hari. Penderita DA
mempunyai kecenderungan untuk mendapat infeksi virus (herpes simplex) maupun bakteri
(impetigo, folikulitis, abses), vaksinia, molluscum contagiosum.

VII. PENATALAKSANAAN

 Membutuhkan terapi yang integral dan sistemik, meliputi hidrasi kulit, terapi topikal,
identifikasi dan eliminasi faktor penyebab dan pencetus dan bila perlu terapi sistemik.
 Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun
berat, berupa berupa perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars,
antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi faktor-faktor pencetus kekambuhan.
 Perawatan Kulit
Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan
kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik. untuk
mencegah evaporasi. Mandi selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas
dan tidak menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan
moisturizers disarankan Setelah mandi memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut.
Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah mandi karena penetrasi obat jauh lebih
baik. Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-in-oil moisturizers sediaan
lactic acid.
 Kortikosteroids topikal
Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor.
Yang perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah
mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari;
bentuk salep untuk kulit lembab bisa menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya
cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang berambut; pilihannya adalah obat
yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus diperhatikan adalah:
atropi, depigmentasi, steroid acne dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan
supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian
diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol,
dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi.
 Antihistamin
Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal
karena rasa gatal pada DA bisa tak terkait dengan histamin.
 Tars
Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal
pada manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi
dan dermatitis kontak.
 Antibiotik sistemik
Kadang-kadang diperlukan karena infeksi sekunder dapat menyebabkan kekambuhan dan
penyulit. Infeksi di curigai bila ada krusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis.
S. aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga
ada resistensi penisilin, dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini
pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian pada
pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan
lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.
 Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi
Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga
keringat dapat juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari.
Eliminasi alergen makanan, binatang dan debu rumah.

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 19

VIII. PENATALAKSANAAN DERMTITIS ATOPIK BERAT

 Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan gradasi berat-ringannya


DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Langeland sebagaimana tabel berikut :

I. Luasnya lesi kulit


fase anak/dewasa
< 9% luas tubuh 1
9-36% luas tubuh 2
> 36 % luas tubuh 3
fase infantil
< 18% luas tubuh 1
18-54% luas tubuh 2
> 54% luas tubuh 3
II. Perjalanan penyakit
remisi > 3 bulan/tahun 1
remisi < 3 bulan/tahun 2
kambuhan 3
III. Intensitas penyakit
gatal ringan, gangguan tidur + 1
gatal sedang, gangguan tidur + 2
gatal berat, gangguan tidur + 3

Penilaian skor 3-4 : ringan 5-7 : sedang 8-9 : berat

 Selain manajemen dasar dilaksanakan pada DA berat terapi imunomodulasi sudah harus
dilaksanakan.
 Kortikosteroid sistemik.
Efek perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila
tetap harus diberikan, tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan.
 Thymopentin.
Untuk dapat mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan timopentin subkutan 10 mg/
dosis 1 kali/hari selama 6 minggu, atau 3 kali/minggu selama 12 minggu.
 Interferon-gamma.
Dosis yang digunakan g /m2/ hari subkutan diberikan selama 12 minggu.g-100antara 50
 Siklosporin A.
Pemberian per oral 5 mg/kg/hari selama 6 minggu. Dapat pula diberikan secara topikal
dalam bentuk salep atau gel 5%.
 Tacrolimus.
Digunakan takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali sehari. Obat ini umumnya
menunjukan perbaikan pada luasnya lesi dan rasa gatal pada minggu pertama pengobatan.
Tacrolimus tidak mempengaruhi fibroblasts sehingga tidak menyebabkan atropi kulit.
Divisi Alergi dan Imunologi
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 20

 Pimecrolimus
Pemakaian pimecrolimus 1,0 % mereduksi gejala sebesar 35 %.
 Gammaglobulin
Bekerja sebagai antitoksin, antiinflamasi dan anti alergi. Pada DA Gammaglobulin intravena
(IVIG) adalah terapi yang sangat mahal, namun harus dipertimbangkan pada kasus kasus
khusus.
 Probiotik
Lactobacillus rhamnosus GG 1 kapsul (109) kuman/dosis dalam 2 kali/hari memperbaiki
kondisi kulit setelah 2 bulan.

IX. PROGNOSIS

Menghindari faktor pencetus biasanya memberikan prognosis yang baik. Infeksi mumnya akan
memberikan respons buruk terhadap pengobatan topikal.

Divisi Alergi dan Imunologi


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Jayapura 21

5. SINDROM STEVEN-JOHNSON

I. BATASAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai
gejala umum berat.

II. PATOFISIOLOGI

 Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun
pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
 Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya :
- Infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit),
- Obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif),
- Makanan (coklat)
- Fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),
- Lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
 Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit
T yang spesifik.

III. GEJALA KLINIK

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat
berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di :
 Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
 Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula
terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa,
membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis
ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
 Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema
dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari
mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31
tahun.

IV. DIAGNOSIS

 Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam.
 Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Divisi Alergi dan Imunologi
Demam Dengue Demam Berdarah Dengue
Pedoman Gejala Klinis
Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
(DD) (DBD)Anak RSUD Jayapura 22
++ Nyeri kepala +
+++ Muntah ++
+  Anemia dapat Mualdijumpai pada kasus berat +dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
++ sedikit meninggi,
Nyeri ototterdapat peningkatan eosinofil.
+
++  Kadar IgG dan
Ruam kulit IgM dapat meninggi, C3 +dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat
dideteksi adanya kompleks imun beredar.
++ Diare +
 Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.
+ Batuk direk bisa membantu diagnosa
 Imunoflurosesensi + kasus-kasus atipik.
+ Pilek +
++ V. DIAGNOSIS BANDING
Limfadenopati +
+ Kejang +
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis
0 hampirKesadaran
serupa tetapimenurun ++ lebih buruk daripada SSJ.
keadaan umum NET terlihat
0 Obstipasi +
+ VI. PENATALAKSANAAN
Uji tourniquet positif ++
++++ Petekie +++
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang
0 Perdarahan saluran cerna +
diberikan biasanya adalah :
++  CairanHematomegali +++ secara parenteral.
dan elektrolit, serta kalori dan protein
+  Antibiotik spektrum
Nyeri perut luas, selanjutnya berdasarkan
+++ hasil biakan dan uji resistensi kuman dari
++ sediaan lesi kulit
Trombositopenia dan darah. ++++
0  KotikosteroidSyokparenteral: deksamentason +++ dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3
hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang
Keterangan : +mengganggap
: 25% ++ : 50% bahwa+++penggunaan
: 75% ++++steroid
: 100% sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
 Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil)
dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15
mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia
anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
 Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
 Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
 Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
 Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum
luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-
16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

VII. PROGNOSIS

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3
minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih
luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis.

Divisi Alergi dan Imunologi

Anda mungkin juga menyukai