Anda di halaman 1dari 5

Bagaimana mekanisme terbentuknya urin?

(bagaimana proses filtrasi, reabsorpsi, sekresi


pada ginjal)
1. Penyaringan (filtrasi)
Proses pembentukan urin diawali dengan penyaringan darah yang terjadi di kapiler
glomerulus. Sel-sel kapiler glomerulus yang berpori (podosit), tekanan dan permeabilitas
yang tinggi pada glomerulus mempermudah proses penyaringan. Selain penyaringan, di
glomelurus juga terjadi penyerapan kembali sel-sel darah, keping darah, dan sebagian besar
protein plasma. Bahan-bahan kecil yang terlarut di dalam plasma darah, seperti glukosa, asam
amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat dan urea dapat melewati saringan dan menjadi
bagian dari endapan. Hasil penyaringan di glomerulus disebut filtrat glomerolus atau urin
primer, mengandung asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-garam lainnya
2. Penyerapan kembali (reabsorbsi)
Bahan-bahan yang masih diperlukan di dalam urin pimer akan diserap kembali di tubulus
kontortus proksimal, sedangkan di tubulus kontortus distal terjadi penambahan zat-zat sisa
dan urea. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam amino meresap
melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui peristiwa osmosis. Penyerapan air terjadi pada
tubulus proksimal dan tubulus distal. Substansi yang masih diperlukan seperti glukosa dan
asam amino dikembalikan ke darah. Zat amonia, obat-obatan seperti penisilin, kelebihan
garam dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan bersama urin. Setelah terjadi reabsorbsi maka
tubulus akan menghasilkan urin sekunder, zat-zat yang masih diperlukan tidak akan
ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun
bertambah, misalnya urea.
3. Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di tubulus
kontortus distal. Dari tubulus-tububulus ginjal, urin akan menuju rongga ginjal, selanjutnya
menuju kantong kemih melalui saluran ginjal. Jika kantong kemih telah penuh terisi urin,
dinding kantong kemih akan tertekan sehingga timbul rasa ingin buang air kecil. Urin akan
keluar melalui uretra. Komposisi urin yang dikeluarkan melalui uretra adalah air, garam, urea
dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi memberi warna dan bau
pada urin.
Mengapa refa mengalami ascites?
Konsentrasi protein plasma yang rendah, terutama albumin, menurunkan tekanan osmotik
plasma. Normalnya, tekanan osmotik yang relatif tinggi cenderung menarik cairan
ekstravaskular kembali ke intravaskular. Pada keadaan hipoproteinemia, gradien osmotik
berkurang sehingga cairan yang ditarik dari ekstravaskular juga sedikit. Jika jumlah cairan
ekstravaskular melebihi kapasitas limfatik hepar dan usus, maka terjadilah asites.

Mengapa edema hanya terjadi di beberapa bagian tubuh?


Contoh oedema pada organ tertentu yaitu :
1) Cerebal oedema adalah akumulasi cairan ekstraseluler dalam otak. Ini dapat terjadi pada
metabolik beracun atau tidak normal dan kondisi negara seperti lupus sistemik. Ini yang
menyebabkan mengantuk atau pulmonary oedema terjadi ketika tekanan di pembuluh darah
di paru-paru dinaikkan karena obstruksi untuk penghapusan darah melalui vena paru-paru.
Hal ini biasanya disebabkan oleh kegagalan ventrikel kiri jantung dapat juga terjadi pada
penyakit ketinggian atau menghirup bahan kimia beracun, menghasilkan oedema paru dan
sesak nafas. Efusi pleura dapat terjadi ketika cairan juga mneumpuk di rongga pleura.
2) Oedema juga dapat ditemukan dalam kornea mata dengan glukoma, konjungtivitis berat
atau keratitis atau setelah operasi. Itu mungkin menghasilkan warna lingkaran cahaya
disekitar lampu-lampu terang.
3) Oedema di sekitar mata disebut priorbital oedema atau kantung mata. Periorbital jaringan
yang paling trasa bengkak segera setelah bangun, mungkin karena redistribusi gravitasi cairan
dalam posisi horizontal.
4) Oedema pada exstremitas bawah sering terjadi pada pasien dengan gagal jantung, hal ini
ada tiga faktor penyebab yaitu sebagai berikut: jika terjadi tekanan vena sentral naik ke
saluran kelenjar toraks kemudian perintah untuk mengalirkan cairan ke jaringan akan
terhambat, adanya gagal jantung berat yang merupakan salah satu kondisi yang paling
melelahkan bagi penderita sehingga cenderung menghabiskan waktu untuk duduk untuk
membuat bernafas lebih mudah dan menggantungkan kaki mereka bergerak di lantai.
Immobilitas yang paling umum menjadi faktor penyebab oedema pada exstremitas bawah.
b. Mekanisme terjadinya oedema
1) Adanya kongesti
Pada kondisi vena yang terbendung (kongesti), terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intra
vaskula (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskula oleh kerja pompa
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma
ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi edema).
2) Obstruksi limfatik
Apabila terjadi gangguan aliran limfe pada suatu daerah (obstruksi/penyumbatan), maka
cairan tubuh yang berasal dari plasma darah dan hasil metabolisme yang masuk ke dalam
saluran limfe akan tertimbun (limfedema). Limfedema ini sering terjadi akibat mastek-tomi
radikal untuk mengeluarkan tumor ganas pada payudara atau akibat tumor ganas
menginfiltrasi kelenjar dan saluran limfe. Selain itu, saluran dan kelenjar inguinal yang
meradang akibat infestasi filaria dapat juga menyebabkan edema pada scrotum dan tungkai
(penyakit filariasis atau kaki gajah/elephantiasis).
3) Permeabilitas kapiler yang bertambah
Endotel kapiler merupakan suatu membran semi permeabel yang dapat dilalui oleh air dan
elektrolit secara bebas, sedangkan protein plasma hanya dapat melaluinya sedikit atau
terbatas. Tekanan osmotic darah lebih besar dari pada limfe. Daya permeabilitas ini
bergantung kepada substansi yang mengikat sel-sel endotel tersebut. Pada keadaan tertentu,
misalnya akibat pengaruh toksin yang bekerja terhadap endotel, permeabilitas kapiler dapat
bertambah. Akibatnya ialah protein plasma keluar kapiler, sehingga tekanan osmotic koloid
darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotic cairan interstitium bertambah. Hal ini
mengakibatkan makin banyak cairan yang meninggalkan kapiler dan menimbulkan edema.
Bertambahnya permeabilitas kapiler dapat terjadi pada kondisi infeksi berat dan reaksi
anafilaktik.
a) Hipoproteinemia
Menurunnya jumlah protein darah (hipoproteinemia) menimbulkan rendahnya daya ikat air
protein plasma yang tersisa, sehingga cairan plasma merembes keluar vaskula sebagai cairan
edema. Kondisi hipoproteinemia dapat diakibatkan kehilangan darah secara kronis oleh
cacing Haemonchus contortus yang menghisap darah di dalam mukosa lambung kelenjar
(abomasum) dan akibat kerusakan pada ginjal yang menimbulkan gejala albuminuria
(proteinuria, protein darah albumin keluar bersama urin) berkepanjangan. Hipoproteinemia
ini biasanya mengakibatkan edema umum
b) Tekanan osmotic koloid
Tekanan osmotic koloid dalam jaringan biasanya hanya kecil sekali, sehingga tidak dapat
melawan tekanan osmotic yang terdapat dalam darah. Tetapi pada keadaan tertentu jumlah
protein dalam jaringan dapat meninggi, misalnya jika permeabilitas kapiler bertambah.
Dalam hal ini maka tekanan osmotic jaringan dapat menyebabkan edema. Filtrasi cairan
plasma juga mendapat perlawanan dari tekanan jaringan (tissue tension). Tekanan ini
berbeda-beda pada berbagai jaringan. Pada jaringan subcutis yang renggang seperti kelopak
mata, tekanan sangat rendah, oleh karena itu pada tempat tersebut mudah timbul edema.
c) Retensi natrium dan air
Retensi natrium terjadi bila eksresi natrium dalam kemih lebih kecil dari pada yang masuk
(intake). Karena konsentrasi natrium meninggi maka akan terjadi hipertoni. Hipertoni
menyebabkan air ditahan, sehingga jumlah cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan
interstitium) bertambah. Akibatnya terjadi edema. Retensi natrium dan air dapat diakibatkan
oleh factor hormonal (penigkatan aldosteron pada cirrhosis hepatis dan sindrom nefrotik dan
pada penderita yang mendapat pengobatan dengan ACTH, testosteron, progesteron atau
estrogen).

Apa penyebab dan bagaimana mekanisme dari sindrom nefrotik?


Wirya IW. Sindrom Nefrotik. In: Buku Ajar Nefrologi: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2004.p.
381.
Widajat HRR, Muryawan MH, Mellyana O. Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid. In: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro;
2011.p. 252-9
Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik
Idiopatik pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.

Anda mungkin juga menyukai