Anda di halaman 1dari 48

PRA – PROPOSAL

PERBEDAAN PENGGUNAAN EKSTRAK ETANOL DAUN CEPLUKAN

(Physalis minima Linn.) DAN CACING TANAH (Lumbricus rubellus)

SEBAGAI IMUNOMODULATOR DALAM MENURUNKAN

JUMLAH ANTIBODI IgM ANTI LPS-Salmonella typhi

SECARA in vivo

Oleh:

Citra Amaniah Anhar, S.Si

Latar Belakang

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah serius dalam dunia

kesehatan yang disebabkan oleh mikroba patogen (Darmadi, 2008). Salah satu

mikroba patogen yang ada di kehiduoan manusia yaitu bakteri Salmonella typhi.

Bakteri Salmonella typhi ini menjadi salah satu penyebab penyakit infeksi akut

yang dapat menyerang manusia yaitu demam tifoid. Salmonella typhi merupakan

bakteri gram negatif berbentuk batang, bersifat motil dan patogenik (Radji, 2010).

Demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella typhi masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di

dunia dan menyebabkan 216.000 – 600.000 kematian (Centers Disesase Control,

2008). Studi yang dilakukan di daerah urban di beberapa negara Asia pada anak

usia 5–15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif

mencapai 180–194 per 100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5–15 tahun sebesar
400–500 per 100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100–200 per 100.000 penduduk,

dan di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 penduduk (Ochia et al.,

2007). Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak,

karena penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat.

Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier

(carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga

menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan (Keputusan Menkes, 2006). Pada

tahun 2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000

penduduk, dengan sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1

tahun), 148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan

51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak

adalah pada kelompok usia 2-15 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Penyakit demam tifoid atau tifus merupakan penyakit sistemik akut

menyerang usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Tifus ditularkan

melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi

(Zulkarnaen, 2010). Penyakit tifus menunjukkan gejala antara lain demam selama

satu minggu atau lebih disertai gangguang pada saluran pencernaan (Rampengan,

2007). Gambaran klinis demam tifoid bervariasi,dari ringan sampai berat.

Gambaran klinis ringan misalnya panas dingin, sakit kepala, malaise, anoreksia,

dan batuk ringan. Gambaran klinis berat adalah gangguan abdomen, seperti rasa

tidak enak di perut sampai berbagai komplikasi berat, misalnya perforasi di usus

(Vollaard, et al, 2005). Sehingga berdasarkan dari gambaran klinis tersebut,

penyakit demam tifoid merupakan penyakit yang mengganggu keseimbangan

sistem imunitas seseorang, sehingga diperlukan adanya pengobatan yang bukan


hanya berperan dalam membunuh bakteri Salmonella typhi, tapi juga harus

memiliki peran dalam meningkatkan antibodi penderita.

Dalam pengobatan terhadap infeksi Salmonella typhi, antibiotik

levofloxacin merupakan terapi pilihan yang tepat dan tidak memiliki resiko efek

samping. Hal ini sesuai dengan penelitian yang sudah saya teliti pada tahun 2017

yaitu, dari ke 11 antibiotik yang umumnya digunakan sebagai terapi dalam demam

tifoid, antibiotik levofloxacin memiliki daya hambat paling besar dalam

menghambat pertumbuhan Salmonella typhi secara in vitro sebesar 34 mm.

Namun di sisi lain, kita tidak selamanya ketergantungan dengan antibiotik.

Saat ini digalakkan adanya pengobatan tradisional pada penderita demam tifoid,

terutama bahan-bahan alam yang memiliki senyawa aktif yang dapat memicu

sistem imum dalam tubuh atau yang biasa dikenal sebagai imunomodulator.

Imunomodulator merupakan salah satu senyawa yang berfungsi untuk

meningkatkan pertahanan tubuh dan memperbaiki sistem imun yang melemah.

Sebetulnya secara alami tubuh mempunyai sel-sel yang dapat memelihara sistem

imunitas, namun pada kondisi tertentu sel-sel tubuh tersebut dapat mengalami

penurunan fungsi bahkan dapat memberikan efek yang negatif yang tidak

diinginkan apabila jumlah yang diproduksi terlalu banyak. Sehingga tubuh

memerlukan suatu senyawa yang dapat membantu memperbaiki kondisi tersebut,

senyawa yang diperlukan adalah senyawa yang memiliki sifat imunomodulator.

Prinsip imunostimulan adalah memperbaiki kerja sistem imun yang terdapat dalam

tubuh. Fungsi utamanya adalah dengan mencegah infeksi yang disebabkan

mikroorganisme seperti bakteri, virus, fungi dan parasit (Levinson, 2006)


Cacing tanah mampu mengobati berbagai infeksi saluran pencernaan seperti

tifus, demam, diare, serta gangguan perut lainnya seperti mag. Selai itu bisa juga

untuk mengobati penyakit infeksi saluran pernafasan seperti batuk, asma, influenza,

dan TBC (Indriati, 2012). Beberapa tempat di Indonesia seperti Jawa Barat,

Palembang, dan Lampung, cacing tanah sudah dimanfaatkan sebagai obat

tradisional. Salah satu jenis cacing tanah yang sering digunakan adalah Lumbricus

rubellus yang mengandung protein cukup tinggi yaitu 64-76% berat kering, selain

itu juga mengandung banyak jenis asam asmino.. Dalam ekstrak air cacing tanah

terdapat zat antipurin, antipretik, antidota, vitamin, dan beberapa enzim misalnya

lumbrokinase, peroksidase, katalase, dan seslulosa yang berkhasiat untuk

pengobatan (Priosoeryanto, 2011). Pada Lumbricus rubellus mengandung bioaktif

Lumbricin yang mempunyai aktivitas antimikroba yang merupakan golongan

peptida antimikroba spektrum luas yang dapat menghambat bakteri gram positif

maupun negatif (broad spectrum). Peptida antimikroba bekerja dengan cara

menyebabkan perubahan mekanisme permeabilitas membran sehingga sel

mengalami lisis (Damayanti, 2009). Pemberian cacing tanah Lumbricus rubellus yang

bersifat imunomodulator yang di dalamnya terdapat enzim selulosa dan enzim katalase

berkerja yaitu untuk melancarkan sistem pencernaan dan dapat meningkatkan nafsu

makanan yang dapat membuat stimulus untuk sumsum tulang menghasilkan limfosit B

yang mekanisme kerjanya adalah menandai molekul-molekul asing (bakteri Salmonella

typhi) tempat mereka meningkatkan diri dan kemudian melumpuhkannya (Waspodo,

2008).

Selain dari cacing tanah Lumbricus rubellus, terdapat penelitian lainnya

yang berpotensi sebagai imunomodulator yaitu berasal dari daun Ceplukan.

Menurut (Nurmaya, 2014), Ekstrak etanol daun Ceplukan dapat meningkatkan


aktivias Imunoglobulin M, dengan menghasilkan rata-rata titer immunoglobulin M

sebesar 1/8.

Dengan menitikberatkan permasalahan pada sistem kerja imunomodulator

pada kedua bahan tersebut, maka dari itu peneliti ingin melihat perbedaan

penggunaan ekstrak cacing tanah dan daun ciplukan sebagai imunomodulator

dalam menurunkan jumlah antibody IgM anti Salmonella typhi secara in vivo.

Dimana uji diagnosa yang akan diteliti adalah uji serologi secara kuantitatif dengan

menggunakan metode TUBEX dan ELISA yang memiliki kesensitifitasan dan

keefektifitas tertinggi dalam mendeteksi sistem imun dalam hal ini adalah

immunoglobulin M.

Rumusan Masalah

1. Apakah pemberian ekstrak etanol daun Ceplukan (Physalis minima Linn.)

berpengaruh signifikan sebagai imunomodulator dalam menurunkan jumlah

antibodi IgM anti LPS- Salmonella typhi secara in vivo?

2. Apakah pemberian ekstrak etanol cacing tanah (Lumbricus rubellus)

berpengaruh signifikan sebagai imunomodulator dalam menurunkan jumlah

antibodi IgM anti LPS- Salmonella typhi secara in vivo?

Tujuan Penelitian

1. Membuktikan bahwa pemberian ekstrak etanol daun Ceplukan (Physalis

minima Linn.) berpengaruh signifikan sebagai imunomodulator dalam

menurunkan jumlah antibodi IgM anti LPS- Salmonella typhi secara in vivo
2. Membuktikan bahwa pemberian ekstrak etanol cacing tanah (Lumbricus

rubellus) berpengaruh signifikan sebagai imunomodulator dalam

menurunkan jumlah antibodi IgM anti LPS- Salmonella typhi secara in vivo

Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan informasi bahwa pengobatan secara herbal adalah

alternative yang paling baik karena langsung tertuju memperbaiki sistem imun

dalam tubuh yaitu melalui mendeteksi antibody yang terbentuk dari adanya bakteri

dalam melawan bakteri Salmonella typhi

Tinjauan tentang Salmonella typhi

Klasifikasi

Berdasarkan Salmonella typhi diklasifisikan sebagai berikut :

Phylum : Eubacteria

Class : Prateobacteria

Ordo : Eubacteriales

Family : Enterobacteriaceae

Genus : Salmonella

Spesies : Salmonella typhi

Gambar 1. Bakteri Salmonella typhi


Epidemiologi

Makanan yang terkontaminasi Salmonella typhi merupakan sumber

penularan utama salmonelosis. Banyak hewan ternak seperti ayam,

kalkun, babi, sapi, atau hewan lain secara alamiah terinfeksi Salmonella

dan mengandung bakter di dalam jaringannya. Karena Salmonella dapat

hidup di dalam daging, telur, dan produk-produk makanan lain, makanan

yang tidak dimasak dengan baik merupakan sumber utama penularan

salmonelosis. Penelitian epidemologi juga menunjukkan bahwa

penularan dapat disebabkan oleh penularan orang per orang. Penyebaran

Salmonella typhi melalui air yang terkontaminasi tinja yang

mengandung Salmonella typhi merupakan cara penyebaran yang paling

sering terjadi. Identifikasi Salmonella typhi melalui penentuan sidik jari

DNA dan tipe faga pada isolat Salmonella typhi penting dilakukan ketika

terjadi wabah salmonelosis untuk mencegah penyebaran Salmonella

typhi ke lingkungan sekitar (Radji, 2010).

Fakor penting yang perlu diperhatikan dalam epidemiologi

salmonelosis adalah sekitar 3% penderita salmonelosis akan membawa

bakteri Salmonella typhi (carrier) dan akan menjadi sumber penularan

salmonelosis. Oleh sebab itu, orang yang pernah menderita salmonelosis

tidak diperkenankan menjadi pramusaji atau menyiapkan makanan dan

minuman untuk orang lain. Hal lain yang penting diperhatikan adalah

penggunaan antibiotik sebagai campuran pakan ternak dapat

meningkatkan angka kejadian resistensi Salmonella typhi terhadap


berbagai antibiotik sehingga akan mempersulit upaya penanggulangn

bakteri ini jika menginfeksi manusia ( Radji, 2010).

Morfologi dan Fisiologi

Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif, tidak berspora,

tidak mempunyai simpai, tanpa fimbria, dan mempunyai flagel peritrik

kecuali Salmonella pullorum dan Salmonella gallinarum. Flagel yang

dimiliki mengandung protein yang disebut flagellin yang memberi

sebagai signal bahaya kepada sistem kekebalan tubuh. Beberapa strain

dari penelitian di Indonesia, mempunyai flagella yang berbeda disebut

Hz66 (Baker, 2007). Selain itu mempunyai dinding sel yang terdiri atas

murein, lipoprotein, fosfolipid, protein, dan lipopolisakarida (LPS),

ukuran selnya 1-3,5 µm x 0,5-0,8 µm. Besar koloni dalam media

pembenihan rata-rata 2-4 mm (Radji, 2010).

Salmonella typhi tumbuh pada suasana aerob dan anaerob fakultatif

pada suhu 15-410 C. Suhu pertumbuhan optimum 37,50 C dengan pH

media 6-8. Salmonella typhi memiliki gerak positif, dapat tumbuh

dengan cepat pada pembenihan biasa; tidak meragi laktosa, sukrosa;

membentuk asam; memberikan hasil positif pada reaksi fermentasi

manitol dan sorbitol; dan memberikan hasil negatif pada reaksi

fermentasi sukrosa dan laktosa. Bakteri ini tidak tumbuh pada larutan

KCN, hanya sedikit membentuk gas H2S dan tidak membentuk gas pada

fermentasi glukosa. Salmonella akan mati pada suhu 560 C dan pada

keadaan kering, sedangkan di dalam air dapat bertahan selama 4 minggu.

Dapat hidup subur dalam media yang mengandung garam empedu


berkonsentrasi tinggi dan tahan terhadap brilliant green, natrium

tetrationat, dan natrium deoksikolat. Senyawa-senyawa ini menghambat

pertumbuhan bakteri coliform sehingga dapat digunakan untuk

mengisolasi bakteri Salmonella dari tinja dalam media (Radji, 2010).

Struktur dan Tipe Antigen

Salmonella typhi memiliki tiga jenis antigen utama, yaitu sebagai

berikut (Radji, 2010) :

1. Antigen somatik atau antigen O

Antigen somatik atau antigen O adalah bagian dinding sel bakteri

yang tahan terhadap pemanasan 1000 C, alkohol, dan asam. Struktur

antigen somatik mengandung lipopolisakarida. Beberapa diantaranya

mengandung jenis gula yang spesifik. Antibodi yang terbentuk terhadao

antigen O adalah IgM.

2. Antigen flagel atau antigen H

Antigen ini mengandung beberapa unsur imunologik. Pada

Salmonella typhi, antigen ditemukan dalam 2 fase yaitu fase 1 spesifik

dan fase 2 tidak spesifik. Antigen H dapat dirusak oleh asam, alkohol,

dan pemanasan di atas 600 C. Antibodi terhadap antigen H adalah IgG.

3. Antigen kapsul atau antgen Vi

Antigen ini merupakan polimer sakarida bersifat asam yang terdapat

di bagian paling luar badan bakteri. Antigen Vi dapat dirusak oleh asam,

fenol, dan pemanasan 600 C selama 1 jam.

Patogenesis
Hospes,Patogenitas merupakan kemampuan suatu organisme untuk

menyebabkan penyakit. Proses infeksi terjadi ketika mkroorganisme

menyerang hospes, yang berarti mikroorganisme masuk ke dalam

jaringan tubuh dan berkembang biak. Respon hospes terhadap infeksi

dapat berupa terganggunya fungsi tubuh, yang disebut dengan penyakit

infeksi. Kemampuan suatu mikroorganisme patogen menimbulkan

penyakit infeksi tidak hanya dipengaruhi oleh sifat-sifat

mikroorganisme, tetapi juga oleh kemampuan hospes menahan infeksi.

Kemampuan mikroorganisme untuk meningkatkan patogenitas sangat

bergantung pada faktor virulensi mikroorganisme itu. Faktor virus

mikroorganisme adalah daya invasi dan toksigenitas.

Infeksi Salmonella typhi ke dalam tubuh dapat memberikan efek

sistemik yang disebabkan oleh pengaruh toxin yang virulen. Toxin

tersebut dapat diterima oleh reseptor sel yang berbahan dasar

glcoprotein. Penularan bakteri Salmonella typhi dapat melalui jari tangan

atau kuku. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan

dirinya seperti mencuci tangan sebelum makan maka bakteri Salmonella

typhi dapat masuk ke tubuh oang sehat melalui mulut (Zulkoni, 2010).

Setelah masuk melalui mulut (rute oral), bakteri Salmonella typhi

akan menuju ke bagian lambung dna akan menempel pada sel M

(microfold) di bagian peyer patches dan di bagian eritrosit, Bakteri

tersebut akan menetap dan bereplikasi di vakuola endosit (Murray,

2009). Kemudian bakteri ini diangkut dala phagosmes ke lamina propria

untuk dilepaskan. Sesampainya di sana, Salmonella typhi akan


menyebabkan masuknya makrofag (strain nin typoidal) ataunetrofil

(strain typoidal) (Brooks, 2004).

Antigen Vi dalam S. Typhi penting dalam mencegah oposisi

mediasi-antibodi dan komplemen-mediasi lisis. Dengan induksi

pelepasan sitokin dan migrasi sel mononuclear, organism S.typhi akan

menyebar melalui sistem retikuoendotelial terutama ke hati, limpa, dan

sumsum tulang. Dalam waktu 14 hari, bakteri akan muncul dalam darah,

memfasilitasi sekunder metafase foci (misalnya abses limpa). Infeksi

Salmonella non-typhoidal umumnya mempresipitasi respon local,

sedangkan S.typhi dan bakteri yang virulen akan menyerang dengan lebih

dalam melui limfatik dan kapiler serta akan menyebabkan respon imun

utama (Klotchko, 2011).

Tingkat keparahan penyakit pada individu dengan Salmonellosis

tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor virulen tetapi juga sifat dari sel

hostnya (Ohl, 2006). Dalam suatu penelitian terbaru, dilaporkan faktor

risiko yang paling umum ditemukan adalah pengguna kortikosteroid,

keganasan, diabetes, infeksi HIV, pengambilan terapi antimikroba

sebelumnya dan juga terpai imunosupresif (Klotchko, 2011). Dengan

terjadinya infeksi, maka akan berlakulah respon inflamasi di system

gastrointestinal dan akan mengeluarkan mediator seperti prostaglandin,

stimulasi cAMP, dan sekresi cairan secara aktif (Murray, 2009).

Uji Diagnostik

1. Pemeriksaan Darah Tepi


Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit

normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan

trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser

ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif,

terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan

mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leuokosit serta laju endap

darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesivisitas, dan nilai ramal

yang cukup tinggi untuk dipaka dalam membedakan antara penderita

demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositsis

relative menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid (Hoffman, 2002).

2. Pemeriksaan Bakteriologis

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan

bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum

tulang, cairan duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka

bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang

pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin

dan feses (Towns, et.al, 2002).

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid akan

tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya

tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil

biakan meliputi jumlah darah yang diambil, perbandingan volume darah

dari media empedu dan waktu pengambilan darah (Sudoyo, 2007).

Volume 5-10 ml dianjurkan untuk orang dewasa, sedangkan pada

anakanak dibutuhkan 2-4 ml, sedangkan volume sumsum tulang yang


dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 ml. Bakteri dalam sumsum

tulang juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum

tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah

walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah

mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk kuman penyebab demam tifoid adalah media

empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat

meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi

yang dapat tumbuh pada media tersebut (Sudoyo, 2007). Biakan darah

terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada

perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif

40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan

positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun

pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan

meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media

kultur yang dipakai. Pengamatan morfologi koloni pada kultur darah

menggunakan metode gaal culture adalah Masing-masing koloni terpilih

diamati morfologinya, meliputi: warna koloni, bentuk, diameter 1-2 mm,

tepi, elevasi, sifat yaitu berdasarkan kemampuannya untuk

memfermentasikan laktosa, atau kemampuannya untuk menghemolisa

sel darah merah (Irianto, 2013).

3. Pemeriksaan serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen

antigen Salmonella maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume

darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 ml yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji

serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi uji Widal,

tes TUBEX, metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA), dan pemeriksaan dipstik (Soedarno dkk.,

2012).

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai

nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid, akan tetapi masih

didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas

pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis

antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk

melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji

(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium

dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit) (Sudoyo, 2007).

4. Pemeriksaan secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella yang akurat

adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi

dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi

DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi

antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi (Wain dan Hosoglu, 2008).

Penelitian oleh Haque et al. (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar


100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian

sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/ml darah. Penelitian

lain oleh Massi et al. (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% pada

tes Tubex bila dibandingkan dengan uji Widal (35.6%). Kendala yang

sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila

prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan

dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan

heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit.

Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum

memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya

masih terbatas dalam laboratorium penelitian (Hosoglu et al., 2008).

Tinjauan tentang Imunomodulator

Definisi Imunomodulator

Imunomodulator adalah obat yang dapat mengembalikan dan

memperbaiki sistem imun yang fungsinta tergaggu atau untuk menekan yang

fungsinya berlebihan. Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem

imun dengan cara stimulasi (imunostimulan) atau menekan dan menormalkan

reaksi imun yang abnormal (imunosupresan). Imunostimulan terdiri dari dua

golongan yaitu imunostimulan biologi dan sintetik. Beberapa contoh

imunostimulan biologi adalah sitokin, antibody monoclonal, jamur, dan

tanaman obat (herbal); sedangkan imunostimulan sintetik adalah levamisol,

isoprosin, dan muramil peptidase (Baratawidjaja&Rengganis, 2012).


Pemakaian Imunomodulator pada Penyakit Infeksi

Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui efektivitas

dari berbagai obat yang bersifat sebagai imunomodulator terhadap penyakit

infeksi baik yang disebabkan oleh virus, bakteri, maupun penyebab lainnya.

Beberapa obat yang telah dipakai dan juga beberapa obat yang masih dalam

penelitian antara lain:

1. Interferon (IFN)

Interferon (IFN) adalah suatu kelompok glikoprotein diproduksi

oleh sebagian besar sel eukariotik sebagai respons terhadap induksi

berbagai virus maupun agen bukan virus. Semua IFN mempunyai

aktivitas antivirus dan memodulasi fungsi sel-sel lain. IFN tidak

membuat virus nonaktif secara langsung, namun membuat sel resisten

terhadap virus. IFN menunjukkan adanya aktivitas spesies. Tergantung

dari sel yang membentuknya dan modus induksinya, sel manusia

membentuk tiga jenis IFN yang mempunyai sifat antigenik berbeda, yaitu

IFN-α yang diproduksi leukosit, IFN-β yang diproduksi oleh fibroblas

dan IFN-9 γ yang diproduksi oleh sel limfosit yang diaktifkan.Semua

IFN mempunyai kemampuan antivirus, antiproliferatif, dan

imunoregulator. Kemampuan antivirus terjadi oleh karena IFN

menginduksi 2'-5' A synthetase, ribonuclease L, dan protein kinase P.

Kemampuan antiproliferatif IFN 2'-5' A synthetase, menghambat

berbagai faktor pertumbuhan, meningkatkan ekspresi gen dari p53 tumor

suppresor menimbulkan down regulation dari onkogen c-myc, c-fos, c-

ras tertentu. Kemampuan imunoregulator terjadi oleh karena IFN


menginduksi antigen MHC kelas I dan II, meningkatkan jumlah sel NK

dan menghambat 1 produksi sitokin Th-2, seperti IL-4, IL-5, IL-

6.Interferon dapat diberikan pada pengobatan kondilomata akuminata

dan sarkoma kaposi terkait AIDS karena IFN mempunyai kemampuan

antivirus, antiproliferatif dan imunoregulator. IFN dapat diberikan

sebagai suntikan intralesi, preparat topikal berupa krim dan injeksi

intramuskuler (IM) atau subkutan (Yang, J; et al, 2009). Data yang ada

menunjukkan bahwa pengobatan kondilomata akuminata menggunakan

IFN tidak lebih superior daripada modalitas terapi lainnya. IFN

direkomendasikan hanya pada lesi yang jumlahnya sedikit dan ukuran

lesi yang tidak besar. Berdasarkan harganya yang mahal, terapi yang

harus dilakukan beberapa kali, rasa nyeri saat penyuntikan, maka IFN

direkomendasikan hanya pada pasien yang telah gagal dengan modalitas

terapi yang lebih sederhana dan murah. IFN menunjukkan hasil yang baik

sebagai terapi ajuvan pada kondilomata akuminata yang rekalsitran 10

termasuk papilomatosis respirasi yang rekuren (Kodner, CM; et al, 2004).

Pemberian IFN secara intralesi, dapat terjadi efek samping secara

sistemik seperti rasa lelah, demam, mialgia, anoreksia, mual/muntah,

sakit kepala. Efek samping tersebut dikenal sebagai influenza like

symptoms yang paling sering terjadi. Efek samping dipengaruhi oleh

besarnya dosis IFN yang diberikan dan menghilang bila pemberian obat

dihentikan atau dosisnya diturunkan (Yang, J; et al, 2009).


2. Imiquimod

Imiquimod merupakan imunomodulator topikal untuk pengobatan

kondilomata akuminata yang dapat diaplikasikan oleh pasien sendiri.

Imiquimod disetujui pemakaiannya oleh FDA pada tahun 1997 (Sauder,

2003), sedangkan di Indonesia sendiri belum dipasarkan.Imiquimod

mengaktivasi sistem imun melalui toll like receptor (TLR) 7 yang terlibat

dalam pengenalan patogen dipermukaan sel. Sel yang diaktivasi oleh

imiquimod melalui TLR7 mensekresi sitokin terutama interferon (IFN)-

α, interleukin (IL)-6, tumornecrosing factor (TNF)-α. Selain itu

imiquimod akan mengaktivasi sel Langerhans, yang kemudian

bermigrasi ke kelenjar limfe untuk mengaktivasi sistem imun adaptif.

Sel-sel lain yang diaktifkan oleh imiquimod adalah sel natural killer

(NK), makrofag, dan limfosit B.Imiquimod merupakan imunomodulator

yang diberikan secara topikal pada pengobatan kondilomata akuminata.

Imiquimod diberikan dalam bentuk krim 5% (Van, SM; et al, 2008).

Krim diaplikasikan pada lesi, kemudian digosok sampai menghilang.

Aplikasi dilakukan pada malam hari, seminggu tiga kali dan dicuci

setelah 6-10 jam. Pengobatan dapat dilakukan selama 16 minggu. Perlu

diperhatikan bahwa pemberian pada wanita hamil merupakan

kontraindikasi, sedangkan pemberian pada lesi di daerah perianal,

rektum, vagina dan serviks tidak dianjurkan (Baker, DA; et al, 2011).

Aplikasi imiquimod topikal dapat menimbulkan inflamasi nonspesifik.

Hal itu dapat terjadi bila ada erosi kulit karena garukan atau erosi pada

lesi di daerah lipatan. Dapat terjadi eritema, edema, indurasi, bula, erosi,
ulserasi, krusta, perasaan nyeri, panas, atau perasaan tidak nyaman. Efek

samping lainnya adalah sakit kepala, nyeri pinggang, nyeri otot, perasaan

lelah, keluhan seperti flu, pembesaran kelenjar limfa, dan diare (Van,

SM; et al, 2008).

3. Interleukin (IL)

Interleukin (IL) merupakan suatu sitokin yang disekresikan oleh

makrofag dan sel NK pada respons imun alamiah, sedangkan pada

respons imun adaptif disekresikan oleh limfosit T. Interleukin bereaksi

terhadap leukosit dan merupakan mediator pada reaksi sistem imun dan

inflamasi.Beberapa jenis IL telah dapat disintesis dengan rekayasa

genetik dan dapat diberikan pada penderita acquired immune deficiency

syndrome (AIDS) (Kayser, O; et al. 2003).

4. Imunoglobulin (Ig)

Imunoglobulin (Ig) diproduksi oleh sel plasma yang telah matang

yang berasal dari sel B yang teraktivasi. Ig intravena (IgIV) dapat

diberikan untuk mempertahankan kadar antibodi yang adekuat untuk

mencegah infeksi.IgIV mempunyai kemampuan imunoregulasi melalui

molekul IgG yang menempel pada resepor Fc. IgIV mencegah kerusakan

yang diperantarai komplemen. IgIV dapat diberikan pada pasien infeksi

HIV anak dengan dosis 100-400 mg/kg BB setiap 3 sampai 4 minggu.

Efek samping penggunaan IgIV jarang terjadi dan bersifat sembuh

sendiri. Gejala efek samping yang paling sering terjadi dalam satu jam

pertama setelah infus dimulai adalah sakit kepala, menggigil, mialgi,


nyeri bokong, nausea, dan hipotensi, namun reaksi anafilaksis jarang

terjadi (Kayser, O; et al. 2003).

5. Faktor Transfer (FT)

Faktor transfer (FT) atau ekstrak leukosit 6 mempunyai fungsi

sebagai imunostimulator.Faktor transfer dapat diberikan pada

kandidiasis mukokutan kronik dan koksidiodomikosis, kedua penyakit

tersebut sering merupakan infeksi oportunistik pada acquired immune

deficiency syndrome (Kayser, O; et al. 2003).

6. Inosipleks

Inosipleks yang lebih dikenal dengan nama isoprinosin (ISO)

merupakan bahan sintetis yang mempunyai efek antivirus dan

imunomodulator. Inosipleks berefek merestorasi imunitas yang

diperantarai sel yang terganggu serta meningkatkan respons sistem imun

humoral. Isoprinosin diduga pula membantu produksi interleukin (IL)-2

yang berperan pada diferensiasi limfosit, makrofag, dan peningkatan

fungsi sel natural killer (NK). Sebagai imunostimulator, ISO dapat

meningkatkan sitotoksisitas sel NK serta aktivitas sel T dan

monosit.Isoprinosin dapat mengurangi intensitas gejala penyakit,

memperpendek durasi infeksi,berkurangnya kejadian komplikasi,

berkurangnya frekuensi, dan beratnya episode rekurensi. Dosis yang

biasa diberikan adalah 50mg/kg BB/hari dan dapat dinaikkan sampai 1-

4 gram/hari.Pemakaian ISO selama dua tahun terus menerus tidak

menimbulkan efek samping. Efek samping yang kadang-kadang dapat

timbul adalah peningkatan asam urat plasma (Kayser, O; et al. 2003).


7. Murabutide (MUR)

Murabutide (MUR) adalah imunomodulator sintetik yang termasuk

muramil dipeptida (MDP) dapat meregulasi fungsi sel dalam

mempresentasikan antigen dan secara selektif mengaktivasi limfosit

CD4, sehingga mampu mensupresi replikasi HIV.Murabutid

meningkatkan resistensi individu terhadap infeksi virus, meningkatkan

potensi antiviral dan antitumor dari sitokin terapeutik. Terhadap HIV,

MUR menghambat replikasi virus pada makrofag dan sel dendritik yang

terinfeksi.MUR bersifat aman, tidak menginduksi reaksi inflamasi

dengan toleransi pemakai yang baik. Pemakaian secara luas masih

diperlukan penelitian dengan pemberian MUR dalam jangka waktu yang

lebih lama (Amiel, C; et al. 2002)

Tinjauan tentang Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

Klasifikasi Cacing Tanah

Cacing tanah Lumbricus rubellus diklasifikasikan sebagai berikut

(Ciptanto, 2011) :

Kingdom : Animalia

Phylum : Annelida

Class : Clitellata

Sub Class : Oligochaeta

Ordo : Haplotaxida

Family : Lumbricidae

Genus : Lumbricus
Spesies : Lumbricus rubellus

Gambar Cacing Tanah Lumbricus rubellus

Morfologi Cacing Tanah

Cacing tanah Lumbricus rubellus tergolong dalam kelompok hewan

avertebrata (tidak bertulang belakang) yang termasuk ke dalam fillum Annelida

sehingga disebut hewan lunak. Seluruh tubuh cacing ini tersusun atas segmen-

segmen yang berbentuk cincin (annulus), memiliki rongga tubuh sejati (selom)

dan tidak memiliki kerangka luar. Di setiap segmen terdapat rambut yang

relatif keras berukuran pendek yang disebut seta. Bentuk tubuhnya simetris

bilateral dan tubuh dilapisi kutikula tipis (Palungkun, 2008).

Cacing tanah jenis Lumbricus rubellus mempunyai bentuk tubuh bagian

atas (dorsal) membulat dan bagian bawah (ventral) pipih, pada tubuhna

terdapat lendir yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis untuk mempermudah

pergerakannya. Cincin atau segmen berjumlah 90-195 ruas dan klitelium

terletak pada segmen 27-32, jumlah segmen pada klitelium berjumlah 6-7

segmen. Di bagian akhir tubuhnya terdapat anus untuk mengeluarkan sisa-sisa

makanan dan tanah yang diakannya. Lubang kelamin jantan terletak pada

segmen ke-14, sedang lubang kelamin betina terletak pada segmen ke13.
Ukuran tubuh Lumbricus rubellus relatif kecil dengan panjang 4-7 cm. Warna

tubuh terutama bagian punggung berwarna coklat cerah sampai kemerahan,

perut berwarna krem dan ekor berwarna kekuningan (Ciptanto, 2011). Tubuh

semi transparan dan elastis, tidak memiliki alat gerak, dan tidak memiliki mata.

2.3.1 Habitat Cacing Tanah

Lumbricus rubellus hidup di tanah yang mengandung bahan organik

dalam jumlah besar. Bahan-bahan organik tanah dapat berasal dari serasah

(daun-daun gugur), kotoran ternak atau tanaman dan hewan yang mati. Kondisi

tanah yang dibutuhkan Lumbricus rubellus agar dapat tumbuh dengan baik

yaitu tanah yang sedikit asam sampai netral atau pH sekitar 6-7,2. Pada kondisi

ini, bakteri dalam tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan

pembusukan atau fermentasi. Kelembapan yang optimal untuk pertumbuhan

dan perkembangbiakan cacing tanah Lumbricus rubellus adalah antara 15-

30%. Suhu lingkungan yang dibutuhhkan adalah sekitar 15-250C, suhu yang

lebih tinggi dari 250C masih baik asal ada naungan yang cukup dan kelembapan

optimal (Ristek, 2009).

Kandungan Bahan Kimia Cacing Tanah

Kandungan gizi yang dimiliki oleh Lumbricus rubellus cukup tinggi,

terutama kandungan proteinnya yang mencapai 64-76% dan dinyatakan lebih

tinggi dari sumber protein lainnya, misal daging (65%) dan kacang kedelai

(45%). Hal ini menjadi salah satu alasan di Jepang, Hongaria, Thailand,

Filipina, dan Amerika Serikat menggunakan cacing ini sebagai bahan makanan

manusia selain digunakan ramuan obat dan bahan kosmetik (Sajuthi dkk.,

2003).
Protein yang terkandung dalam tubuh cacing Lumbricus rubellus terdiri

dari setidaknya sembilan macam asam amino dan empat asam amino non-

esensial. Sembilan macam asam amino essesial tersbut meliputi arginin,

histidin, leusin, isoleusin, valin, metionin, fenilalanin, lisin, dan treonin.

Sedangkan empat macam asam amino non-esensial adalah sistein, glisin, serin,

dan tirosin (Pangkulun, 2008). Dalam ekstrak cacing tanah juga terdapat zat

antipurin, antiperik, antidota, vitamin, dan beberapa enzim misalnya

lumbriokinase, peroksidase, katalase, dan selulosa (Priosoeryanto, 2001).

Selain itu kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam tubuh cacing tanah

Lumbricus rubellus antara lain lemak 7-10%, kalsium 0,55%, fosfor 1%, dan

serat kasar 1,08%, karbohidrat 17% serta mengandung auksin yang merupakan

zat perangsang tumbuh untuk tanaman (Pangkulun, 2008).

Sennyawa aktif yang terkandung dalam Lumbricus rubellus adalah

lumbricin yang merupakan golongan peptida antimikroba spektrum luas yang

dapat menghambat bakteri gram positif maupun negatif (broad spectrum).

Selain itu senyawa peptida seperti Caelomocyter (bagian sel darah putih) yang

di dalamnya terdapat lysozim juga berperan dalam aktivitas fagositosis serta

berfungsi untuk meningkatkan immunitas. Mekanisme kerja lumbricin yaitu

dengan menyebabkan perubahan mekanisme permeabilitas membran sehingga

sel mengalami lisis (Darmayanti, 2009). Peptida antimikroba lumbricin

bermuatan positif dan peptida bermuatan positif dapat diketahui secara

langsung mempengaruhi sintesis makromolekuk karena kerusakan depolarisasi

dinding sel (Hacook dan Rozek, 2002).


Pemanfaatan Cacing Tanah

Kehadiran cacing tanah di bumi telah memberi manfaat begitu besar bagi

kehidupan manusia. Salah satu jenus cacing tanah yang banyak dimanfaatkan

oleh kehidupan masyarakat yaitu Lumbricus rubellus. Lumbricus rubellus

dipercaya mampu mengobai penyakit infeksi saluran pencernaan seperti typus.

Pengobatan dilakukan dengan cara cacing dicuci bersih terlebih dahulu dan

direbus, kemudian air rebusan cacing Lumbricus rubellus tersebut diminum.

Cara pengobatan tradisional ini dianggap murah dan lebih praktis dalam

penyajiannya. Manfaat lain dari Lumbricus rubellus adalah sebagai penghancur

dan pendaur ulang limbah bahan organik sehingga mampu memperbaiki aerasi

dan struktur tanah; menyuburkan lahan pertanian; keberadaan cacing tanah

akan meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan tanaman;

kotorannya bisa dijadikan sebagai pupuk organik; bahan baku berkualitas

untuk pakan unggas ternak, ikan, dan burung kicau; sebagai bahan kosmetik;

dan makanan sumber protein (Ciptanto, 2011).

Tinjauan tentang Ceplukan (Physalis angulata L.)

Klasifikasi Ceplukan (Physalis angulata L.)

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Magnolopsida

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Physalis

Spesies : Phyasalis angulata L.


Gambar 3. Tanaman Ceplukan (Djajanegra, 2012)

Morofologi Tanaman Ceplukan

Akar

Tanaman ceplukan termasuk tanaman berbiji belah, memiliki akar

tunggang, akar cabang, dan akar serabut. Akar merupakan bagian dari

tumbuhan yang berada di dalam tanah. Bentuk akar bulat, memanjang,

dan berwarna putih. Dari akar utama, tumbuhan akar cabang, dan dari

akar cabang ini tumbuh akar serabut. Perakarana tanaman ceplukam tidak

intensif, tumbuhan menyebar dan tidak masuk jauh ke dalam lapisan

tanah bawah. Akar tanaman ceplukan berasa aga pahit.

Batang

Batang tanaman ceplukan tegak, dengan tinggi kadangkala dapat

mencapai 1 meter, batang bawah bulat, beralur kecoklatan. Batang yang

telah tua berkayu, berongga, dan berusuk atau bersegi tajam. Kulit batang

berwarna hijau, ada yang berbulu, namun ada pula yang gundul.

Daun

Daun tanaman ceplukan yang muncul pertama hingga kelima,

berbentuk oval, berurat jelas, tepi polos, dan tidak berlekuk atau

bergerigi. Daun pertama berukuran palin kecil, sedang daun-daun yang


tumbuh selanjutnya berukuran besar. Daun kenam dan daun berikutnya

berlekuk di bagian tepinya. Secara umum, daun ceplukan berbentuk bulat

telur memanjang (lanset), berujung runcing, dengan panjang 5-15 cm dan

lebar 2,5-10,5 cm. Helaian daun ceplukan tipis, tampak kaku, dan cepat

menjadi kayu setelah dipetik. Ibu tulang daun bagian pangkal berwarna

keunguan. Tangkai daun berwarna hijau dan berurat keputihan. Pangjang

tangkai daun sekitar 2 cm dan kadang mencapai 9 cm.

Bunga

Bunganya berbentuk tunggal. Biasanya muncul dari ketiak daun

kedelapan. Bunga ceplukan terdiri atas beberapa bagian antara lain :

tangkai bunga, kelopak bunga, mahkota bunga, tangkai sari, dan tangkai

putik.

Buah

Bakal buah tumbuh menjadi buah kecil berwarna hijau kekuningan,

dan berkembang hingga mencapai ukuran normal. Buah ceplukan

merupakan buah buni, yang berbenuk bulat seperti kelerang, dengan kulit

yang tipis dan licin. Panjangnya berkisar 14-18 mm dengan diameter 1,2

cm. Daging buahnya memiliki rasa agak manis dan beratoma harum.

Tanaman ini mampu menghasilkan hingga 250 buah selama hidupnya.

Biji

Biji ceplukan berkulit keras, dengan panjang < 1 mm lebih kecil

dibandingkan biji tomat. Memiliki bentuk bulat kecil, gemuk, berwarna

putih, dan terdapat di sela-sela daging buah yang berwarna putih

kehijauan (Sudarsono, dkk, 2002).


Manfaat Tanaman Ceplukan

Ekstrak atau infus dari tanaman ini telah digunakan di berbagai

negara dalam pengobatan populer sebagai pengobatan untuk berbagai

penyakit, seperti malaria, asma, hepatitis, dermatitis dan rematik (Santos,

dkk, 2003; Soares, dkk, 2003). Sari buah ceplukan berfungsi sebagai obat

sedatif dan depuratif untuk mengobati rematik dan sakit telinga. Daunnya

dapat digunakan untuk mengobati inflamasi pada kandung kemih, spleen

dan liver (Lorenzi, 1982). Saponin dan alkaloid yang terkandung dalam

ceplukan memberikan rasa pahit dan berkasiat sebagai antitumor dan

menghambat pertumbuhan kanker, terutama kanker usus besar (Lin

dkk.,1992). Ekstrak etanol ceplukan memiliki spektrum luas dari aktifitas

biologi, termasuk diantaranya antibakteri, antimoluska, antiprotozoa,

antikanker, sitotoksik dan aktifitas immunimodulator (Fauzi dkk., 2011;

Ismail dan Alam, 2001; Januario dkk., 2002; Manggau dkk., 2007; Santos

dkk., 2003; Soares dkk., 2003).

Tinjuang tentang Imunoglobulin M (IgM)

Definisi Imonoglubulin M (IgM)

Imonoglobulin M (IgM) ditemukan pada permukaan sel B yang matang

dan memiliki waktu paruh biologi selama 10 hari. Imunoglobulin ini hanya

dibentuk oleh fetus. Peningkatan jumlah IgM mencerminkan adanya infeksi

baru atau adanya antigen (imunisasi/vaksinasi). IgM merupakan agglutinin

yang efisien dan merupakan isoemaglutinin alamiah. IgM sangat efisien dalam

mengaktifkan komplemen (Darmono, 2006).


IgM mempunyai struktur pentamer dan merupakan immunoglobulin

terbesar. IgM merupakan paling aktif dalam aktivasi komplemen jalur klasik.

Molekul IgM diikat oleh rantai J. Kebanyakan sel B mengandung IgM pada

permukaan sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk terlebih dahulu pada respon

imun primer terhadap kebanyakan antigen. Kebanyakan antibody alamiah

seperti isoaglutinin, golongan darah AB, antibody heterofil adalah IgM. IgM

dapat mencegah gerakan mikroorganisme pathogen, memudahkan fagositosis

dan merupakan aglutinor poten antigen (Karnen Garna, 2004).

Macam Jenis Pemeriksaan Imunoglobulin M (IgM) terhadap Salmonella typhi

1. TUBEX

TUBEX merupaka alat diagnostic demam tifoid yang diproduksi

oleh IDL Biotech, Sollentuna, Sweden (Liem, et al, 1998). Tes ini sangat

cepat 5-10 menit, simpel, dan akurat. Tes TUBEX ini menggunakan

sistem pemeriksaan yang unik dimana tes ini mendeteksi serum antibody

Immunoglobulin M (Ig M) terhadap antigen O9 (LPS) yang sangat

spesifik terhadap bakteri Salmonella typhi (Tam, et al, 2008). Pada orang

yang sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS. Metode dari tes

TUBEX ini adalah mendeteksi antibody melalui kemampuannya untuk

memblok ikatan antara reagen monoclonal anti-O9 S.typhi (antigen-

coated magnetic particle) sehingga terjadi pengendapan dan pada

akhirnya tidak terjadi perubahan warna (IDL Biotech, 2005).

Prinsip kerja dari tes TUBEX adalah sebagi berikut yaitu ketika

partikel magnet yang diselimutin oleh anti-s typhi LPS (O9) antybody,

maka kedua jenis partikel in berikatan satu dengan yang lainnya. Ketika
pada akhir eksperiman tabung berbentuk V tempat terjadinya proses

reaksi di atas diletakkan di atas magnetic stand, maka particle yang telah

berikatan dengan antigen-coated magnetic particle akan ikut

tesedimentasi pada bagian

bawah tabung. Sehingga terjadi

perubahan warna dari biru

menjadu merah. Hal ini

menunjukkan tidak adanya

anti-s typhi 09 antibodi pada

serum milik pasien dan hasil reaksi dikatakan negative (pasien tidak

terindikasi menderita demam tifoid, lihat gambar 3 (Tam, et al, 2008).

Gambar 2. 3. Ilustrasi kerja tes TUBEX dalam mendeteksi anti O9 antibodi


Atau mendeteksi antigen O9 s.typhi (Tam, et al, 2008)

Hasil tes TUBEX akan bernilai positif (pasien terindikasi menderita

penyakit demam tifoid) apabila tidak terjadi perubahan warna (tetap

berwarna biru). Hal ini menunjukkan terdapatnya anti s typhi O9

antibody yang mampu menghambat ikatan antara antigen-coated


magnetic particle dengan blue latex antibody-coated indicator particle,

sehingga pada akhir reaksi blue latex particle tidak ikut tersedimentasi

pada dasar tabung, sehingga warna tabung tetap berwarna biru. Tes

TUBEX merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara

membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan TUBEX color

scale yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna

paling merah) hingga nilai 10 (warna paling biru) (Tam, et al, 2008)..

Adapun cara membaca tes TUBEX adalah sebagai berikut:

1) Nilai <2 menunjukkan nilai negatif (tidak ada indikasi demam

tifoid)

2) Nilai 3 inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang

3) Nilai 4 menunjukkan positif lemah

4) Nilai >5 menunjukkan nilai positif (indikasi kuat terjadi demam

tifoid)

Nilai TUBEX yang menunjukkan nilai positif ditambah dengan

simptoms dan sign yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan

indikasi yang kuat terjadinya demam tifoid (IDL Biotech, 2008).

Keuntungan dari tes TUBEX adalah menggunakan anti-O9 s.typhi

yang mampu membedakan organisme ini dari >99% serotype bakteri

salmonella lainnya, metodenya menggunakan kemampuan inhibitor

aktivitas dari antibody yang memiliki keuntungan lebih mudah dideteksi

walaupun dengan kadar antibodi yang rendah, dan fokus langsung

mendeteksi IgM yang secara teoritis muncul lebih awal dari awal

daripada IgG (Tam, et al, 2008).


2. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)

Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) adalah sebuah tes

untuk mendeteksi adanya antibodi Ig G, Ig A, dan Ig M anti-LPS

Salmonella typhi Antigen yang digunakan berupa subseluler struktur

yaitu LPS, outer membrane (OM), flagella (d-H) yang sangat spesifik

terhadap s.typhi , yang paling bagus dalam memberikan hasil adalah LPS

dan OM antigen. Tes uji diagnostic ini jauh lebih sensitif dan spesifik

daripada uji Widal. Oleh karena itu, tes ini hanya perlu menggunakan

satu kali tes sampel darah pasien untuk menegakkan diagnosis demam

tifoid tidak seperti uji Widal yang memerlukan pengulangan. Adapun

yang paling spesifik dalam tes ELISA adalah mendeteksi antibodi Ig M

anti-LPS karena antibodi ini lebih dahulu muncul daripada Ig G,

sehingga dapat digunakan pada fase akut dan memiliki nilai yang akurat

dengan hanya satu kali pemeriksaan (Drive, Nancy, 2009).

Prinsip dari tes ini adalah dengan menggunakan serum pasien yang

telah diencerkan (pengenceran serum mengandung sorbent untuk

menghilangkan rheumatoid factor dan human Ig G) kemudian

ditambahkan dengan antigen yang telah dimurnikan (antigen spesifik

LPS s.typhi). Jika terdapat antibodi spesifik Ig M, maka antibodi ini akan

berkaitan dengan antigen sehingga terbentuknya antibodi-antigen

komplek. Setelah itu dilakukan pencucian untuk menghilangkan semua

material yang tidak berikatan. Selanjutnya ditambahkan enzyme

conjugate yang nantinya akan berikatan dengan antibodi-antigen

komplek. Kemudian dilanjutkan kembali dengan pencucian untuk


menghilangkan enzyme conjugate yang berlebihan dan dilanjutkan

dengan penambahan substrat. Setelah itu plate tempat reaksi tersebut

terjadi diinkubasi untuk membiarkan proses hydrolysis substrat oleh

enzym terjadi. Warna yang terbentuk akan sesuai dengan proporsi jumlah

dari antibodi spesifik Ig M yang terdapat pada sampel serum (Drive,

Nancy, 2009).

Hipotesis

Hipotesis secara umum merupakan jawaban sementara yang berfungsi sebagai

pedoman dalam pemecahan masalah penelitian yang ada. Maka pada permasalahan

diatas dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

1. Pemberian ekstrak ekstrak etanol daun Ceplukan (Physalis minima

Linn.) sangat berpengaruh signifikan sebagai imunomodulator dalam

menurunkan jumlah antibodi IgM anti LPS- Salmonella typhi secara in

vivo

2. Terdapat perbedaan yang signifikan pada pemberian ekstrak etanol daun

Ceplukan (Physalis minima Linn.) dengan ekstrak etanol cacing tanah

(Lumbricus rubellus) sebagai imunomodulator dalam menurunkan

jumlah antibodi IgM anti LPS- Salmonella typhi secara in vivo

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pendekatan Pre-Post Test Control Group

Design yang menggunakan binatang coba sebagai objek penelitian dengan cara
membandingkan keadaan variabel terikat (jumlah IgM anti LPS-Salmonella typhi

sebelum dan setelah diberi perlakuan baik menggunakan metode TUBEX dan

ELISA). Data yang digunakan adalah data primer kuantitatif yaitu hasil perhitungan

jumlah antibodi IgM anti LPS-Salmonella typhi menggunakan dua metode yaitu

metode TUBEX dan ELISA. Kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah mencit dengan strain Balb/c jantan, usia 8-12 minggu, berat 25-30 gram, dan

tidak terdapat kelainan anatomis. Kelompok penelitian memiliki 2 faktor uji yang

masing-masing faktor uji akan dibagai menjadi 6 kelompok dan di tiap kelompok

terdapat 4 ekor mencit. Kelompok 1 (K-), mencit yang terinfeksi S.typhi tidak diberi

perlakuan; kelompok 2 (Kontrol Obat), mencit yang terinfeksi S.typhi diberikan

antibiotic Levoflaxacin dengan konsentrasi 0,2% b/v; kelompok 3 (Perlakuan),

mencit yang terinfeksi S.typhi diberikan perlakuan ekstrak cacing tanah dengan

konsentrasi 8% b/v; kelompok 4 (Perlakuan), mencit yang terinfeksi S.typhi

diberikan perlakuan ekstrak cacing tanah dengan konsentrasi 12% b/v; kelompok 5

(Perlakuan), mencit yang terinfeksi S.typhi diberikan perlakuan ekstrak daun

Ceplukan dengan konsentrasi 8% b/v; kelompok 6 (Perlakuan), mencit yang

terinfeksi S.typhi diberikan perlakuan ekstrak ekstrak daun Ceplukan dengan

konsentrasi 12% b/v.

Rancangan pikiran dapat dituliskan sebagai berikut :

Mencit Balb/c jantan terinfeksi Salmonella typhi

Menghitung jumlah antibodi IgM anti LPS-


Salmonellatyphi yang terbentuk
Dengan Metode TUBEX Dengan Metode ELISA

Diberikan perlakuan pengobatan

Ekstrak Cacing Tanah Antibiotik Levoflaxacin Ekstrak Teripang Emas


(Lumbricus rubellus) (Kontrol Obat) (Stichopus hermanii)
Konsentrasi: Konsentrasi:
1. 8 % b/v Konsentrasi: 1. 8 % b/v
2. 12 % b/v 1 % b/v 2. 12 % b/v

Menghitung jumlah antibodi IgM anti LPS-


Salmonellatyphi yang tersisa

Dengan Metode TUBEX Dengan Metode ELISA

DATA PENELITIAN
(Membandingkan jumlah antibodi IgM anti LPS-
Salmonellatyphi typhi sebelum dan setelah
diberikan perlakuan dan mempresentasekan hasil
penurunan nya)

Gambar 3.1. Rancangan Penelitian

Populasi dan Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah mencit strain Balb/c.

Sampel dalam penelitian ini adalah 48 ekor mencit jantan, usia 8-12 minggu, berat

20-25 gram, dan tidak terdapat kelainan anatomis.


Variabel dan Definisi Variabel Operaasional Penelitian

Variabel

Variabel bebas : Pemberian ekstrak cacing tanah Lumbricus

rubellus dan Daun Ceplukan (Physalis minima

Linn.)

Variebel terikat : Jumlah antibodi IgM anti LPS-Salmonella typhi

menggunakan metode TUBEX dan jumlah

antibodi IgM anti LPS-Salmonella typhi

menggunakan metode ELISA

Variabel kendali : Suhu tubuh mencit, interval waktu pemberian

perlakuan, jumlah dosis yang diberikan

Definisi Operasional Variabel

1. Pemberian larutan ekstrak cacing tanah Lumbricus rubellus adalah

ekstrak cacing tanah menggunakan metode maserasi dengan etanol 96%

sebagai pelarutnya, dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator

hingga berbentuk pasta, membuat larutan ekstak untuk konsentrasi yaitu

8% b/v dan 12% b/v dengan menggunakan pelarut Na-CMC 1%, dan

diberikan secara peroral sebanyak 1,0 ml.

2. Pemberian larutan ekstrak daun ceplukan (Physalis minima Linn.) adalah

ekstrak daun ceplukan menggunakan metode maserasi dengan etanol

96% sebagai pelarutnya, dipekatkan dengan menggunakan rotary

evaporator hingga berbentuk pasta, membuat larutan ekstak untuk

konsentrasi yaitu 8% b/v dan 12% b/v dengan menggunakan pelarut Na-

CMC 1%, dan diberikan secara peroral sebanyak 1,0 ml.


3. Jumlah antibodi IgM anti LPS-Salmonella typhi menggunakan metode

TUBEX adalah titer antibodi immunoglobulin M (IgM) dari serum darah

mencit yang terinfeksi antigen LPS- Salmonella typhi yang kemudian

dideteksi dengan reagen TUBEX yang didalamnya terdapat reagen

antigen-coated magnetic particle / Brown reagent dan antibody-coated

indicator paricle/ Blue reagent.

4. Jumlah antibodi IgM anti LPS-Salmonella typhi menggunakan metode

ELISA adalah titer antibodi immunoglobulin M (IgM) dari serum darah

mencit yang terinfeksi antigen LPS- Salmonella typhi yang kemudian

dideteksi dengan reagen kit ELISA (Human Salmonella typhi (ST)

antibody (IgM) ELISA kit).

Tahapan Penelitian

Metode Pemeriksaan

Penelitian ini dilakukan secara in vivo menggunakan 2 metode

pemeriksaan yaitu TUBEX dan ELISA dengan menghitung jumlah antibodi

IgM anti LPS-Salmonellatyphi typhi yang kemudian diberikan perlakuan

pengobatan ekstrak cacing tanah dan ekstrak daun ceplukan dengan konsentrasi

8% b/v dan 12% b/v. Hal ini bertujuan untuk menghitung penurunan jumlah

antibodi IgM anti LPS-Salmonellatyphi typhi antara sebelum dan setelah

dilakukan perlakuan.

Persiapan Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam membuat ekstrak adalah timbangan

analitik, blender, spatula, rotary evaporator, gelas ukur, beaker glass, corong

gelas, kertas saring, aluminium foil, dan bejana maserasi. Alat yang digunakan
dalam uji secara in vivo adalah kertas saring, spuit 1 cc, dan sonde mencit. Alat

yang digunakan untuk pengujian jumlah antibodi IgM adalah TUBEX cup,

mikropipet, yellow tipes, rotary shaker, ELISA reader, mikroplate.

Bahan yang digunakan dalam membuat ekstrak adalah daun ceplukan

(Physalis minima Linn.), cacing tanah (Lumbricus rubellus), aquades, dan

etanol 96%. Bahan yang digunakan dalam uji secara in vivo adalah mencit

jantan dengan berat 25-30 gram, Na-CMC 1%, obat antibiotik (Levoflaxacin),

dan biakkan Salmonella typhi. Bahan yang digunakan untuk pengujian jumlah

antibodi IgM adalah serum mencit sebanyak 1 ml; reagen TUBEX (antigen-

coated magnetic particle / Brown reagent, antibody-coated indicator paricle/

Blue reagent); reagen kit ELISA (Human Salmonella typhi (ST) antibody (IgM)

ELISA kit)

Prosedur Penelitian

1. Pembuatan Ekstrak Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

1) Mensortir cacing tanah (dipisahkan antara cacing tanah antara

yang baik dan yangg rusak).

2) Mencuci bersih menggunakan air hingga tanah yang menempel

di permukaan kulit cacing tanah.

3) Mengeringkan cacing tanah dengan sinar matahari selama 7 hari.

4) Memasukkan ke dalam bejana maserasi.

5) Menambahkan pelarut etanol 96% hingga sampai teredam dan

dibiarkan selama 5 hari dengan sesering mungkin diaduk

6) Setelah 5 hari, disaring kemudian diperas dan ditambah cairan

penyari lagi (etanol 96%), penyaringan dilakukan tiga kali


7) Menguapkan sari yang telah diperoleh menggunakan rotary

evaporator

2. Pembuatan Ekstrak Daun Ceplukan (Physalis minima Linn.)

1) Memetik daun ceplukan pada daun kelima dari pucuk dan saat

pukul 10.00

2) Memotong daun yang telah terkumpul menjadi kecil-kecil.

3) Mengeringkan cacing tanah dengan sinar matahari selama 7 hari.

4) Memasukkan ke dalam bejana maserasi.

5) Menambahkan pelarut etanol 96% hingga sampai teredam dan

dibiarkan selama 5 hari dengan sesering mungkin diaduk

6) Setelah 5 hari, disaring kemudian diperas dan ditambah cairan

penyari lagi (etanol 96%), penyaringan dilakukan tiga kali

7) Menguapkan sari yang telah diperoleh menggunakan rotary

evaporator

3. Membuat suspensi Na-CMC 1%

1) Menimbang Na-CMC sebanyak 5 gram

2) Menambahkan sedikit demi sedikit ke dalam aquades panas

sambil dikocok dengan batang pengaduk.

3) Kemudian ditambahkan dalam larutan tersebut 250 ml aquades

yang tidak dipanaskan sedikit demi sedikit sambil diaduk.

4) Memasukkan ke dalam labu ukur 500 ml dan tambahkan hingga

tepat tanda.

4. Membuat suspensi ekstrak cacing tanah dan daun ceplokan dengan

beberapa konsentrasi
1) Konsentrasi 8% b/v : dibuat dengan cara menimbang ekstrak

sebanyak 8 gram kemudian digerus dalam mortar, lalu

ditambahkan larutan Na-CMC 1% b/v dalam 100 ml.

2) Konsentrasi 12% b/v : dibuat dengan cara menimbang ekstrak

sebanyak 12 gram kemudian digerus dalam mortar, lalu

ditambahkan larutan Na-CMC 1% b/v dalam 100 ml.

5. Perlakuan Terhadap Hewan Uji

1) Kelompok I (Kelompok Kontrol Negatif): mencit jantan

diinfeksikan Salmonella typhi 105 CFU secara intraperitoneal.

Selanjutnya diberi suspensi Na-CMC 1% dengan volume 1 ml

secara oral selama 6 hari, kemudian mengambil darah mencit

secara intrakardial

2) Kelompok II (Kelompok Kontrol Obat): mencit jantan

diinfeksikan Salmonella typhi 105 CFU secara intraperitoneal.

Selanjutnya diberi suspensi obat levoflaxacin dengan volume 1

ml secara oral selama 6 hari, kemudian mengambil darah mencit

secara intrakardial

3) Kelompok III (Kelompok Perlakuan): mencit jantan

diinfeksikan Salmonella typhi 105 CFU secara intraperitoneal.

Selanjutnya diberi suspensi ekstrak etanolik cacing tanah

(Lumbricus rubellus) dengan konsentrasi 8% b/v dengan volume

1 ml secara oral selama 6 hari, kemudian mengambil darah

mencit secara intrakardial


4) Kelompok IV (Kelompok Perlakuan): mencit jantan

diinfeksikan Salmonella typhi 105 CFU secara intraperitoneal.

Selanjutnya diberi suspensi ekstrak etanolik cacing tanah

(Lumbricus rubellus) dengan konsentrasi 12% b/v dengan

volume 1 ml secara oral selama 6 hari, kemudian mengambil

darah mencit secara intrakardial

5) Kelompok V (Kelompok Perlakuan): mencit jantan diinfeksikan

Salmonella typhi 105 CFU secara intraperitoneal. Selanjutnya

diberi suspensi ekstrak etanolik daun ceplukan (Physalis minima

Linn.) dengan konsentrasi 8% b/v dengan volume 1 ml secara

oral selama 6 hari, kemudian mengambil darah mencit secara

intrakardial.

6) Kelompok VI (Kelompok Perlakuan): mencit jantan

diinfeksikan Salmonella typhi 105 CFU secara intraperitoneal.

Selanjutnya diberi suspensi ekstrak etanolik daun ceplukan

(Physalis minima Linn.) dengan konsentrasi 12% b/v dengan

volume 1 ml secara oral selama 6 hari, kemudian mengambil

darah mencit secara intrakardial.

6. Pemeriksaan IgM anti LPS-Salmonella typhi dengan TUBEX

1) Masukkan 45μl antigen-coated magnetic particle (Brown

reagent) pada reaction container yang disediakan (satu set yang

terdiri dari enam tabung berbentuk V)

2) Masukan 45μl serum sampel (serum harus jernih), lalu

campurkan keduanya dengan menggunakan blue tipes


3) Menginkubasi dalam 2 menit.

4) Menambahkan 90μl antibody-coated indicator particle (Blue

reagent).

5) Menutup tempat reaksi tersebut dengan menggunakan strip, lalu

ubah posisi tabung dari vertikal menjadi horisontal dengan sudut

90°. Setelah itu goyang-goyangkan tabung kedepan dan

kebelakang selama 2 menit dengan rotary shaker. Perlakuan ini

bertujuan utuk memperluas bidang reaksi.

6) Pada akhir proses reaksi ini tabung berbentuk V ini diletakkan

diatas magnet stand, lalu diamkan selama 5 menit untuk

membiarkan terjadi proses pemisahan (pengendapan).

Pembacaan skor hasil dari reaksi ini dilakukan dengan cara

mencocokkan warna yang terbentuk pada akhir reaksi dengan

skor yang tertera pada color scale

7. Pemeriksaan IgM anti LPS-Salmonella typhi dengan ELISA

1) Melakukan pengenceran Diluent Solutuion 5x (untuk

mendapatkan 10 ml diluent solution 1X = 2 ml Diluent Solution

+ 8 ml Aquadest

2) Melakukan pengenceran sampel

Tabung I : 5 µl serum ditambah 495 µl Diluent 1X

: 1/100 dilution disentrifuge

Tabung II : 5 µl tabung I ditambah 495 µl diluent 1X

: 1/1000 dilution disentrifuge

3) Menyiapkan Standar sebanyak 8 tabung eppendorf


Standar 7 : 8 µl Human Salmonella typhi antibody + 677 µl,

disentrifuge

Standar 6 : 300 µl standard 7 + 300 µl Diluent 1X, sentrifuge

Standar 5 : 300 µl standard 6 + 300 µl Diluent 1X, sentrifuge

Standar 4 : 300 µl standard 5 + 300 µl Diluent 1X, sentrifuge

Standar 3 : 300 µl standard 4 + 300 µl Diluent 1X, sentrifuge

Standar 2 : 300 µl standard 3 + 300 µl Diluent 1X, sentrifuge

Standar 1 : 300 µl standard 2 + 300 µl Diluent 1X, sentrifuge

Standar 0 : 600 µl Diluent 1X

4) Meyiapkan sumuran ELISA (Anti-Human Salmonella typhi

antibody (IgM) ELISA Mikroplate)

- Dengan menggunakan mikropipet, memasukkan standar 7-0

ke dalam sumuran kolom 1 (A-H) sebanyak 100 µl

- Dengan menggunakan mikropipet, memasukkan sampel 1-3

ke dalam sumuran kolom 2 (A-H) sebanyak 100 µl.

- Diinkubasikan pada suhu ruangan selama 60 ± 2 menit.

Tutup well plate dengan plastik transparan dan dalam posisi

sejajar.

5) Menyiapkan Wash Solution 20X, 1X sebanyak 100 ml dengan

campuran 5 ml Wash solution + 95 ml Aquades

6) Setelah selesai diinkubasi, well plate dicuci dengan larutan wash

solution sebanyak 4 kali dengan menggunakan alat Elisa Washer


7) Menyiapkan ke masing-masing sumuran 100 µl enzim yang

telah diencerkan. Kemudian tutup dengan aluminium foil (dalam

keadaan gelap) dan inkubasi selama 30±2 menit.

8) Melakukan pencucian kembali.

9) Memasukkan 100 µl TMB Substrate Solution (Chromogen-

Substrate Solution) pada masing-masing sumuran dan inkubasi

dengan suhu ruangan dalam keadaan gelap selama 10 menit.

10) Memasukkan 100 µl Stop Solution pada masing-masing

sumuran

11) Memasukkan seluruh well ke ELISA Reader, multiskan GO dan

lakukan pembacaan hasil dengan gelombang absorbansi 450 nm.

Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh adalah penurunan jumlah antibodi IgM anti LPS-

Salmonella typhi. Perhitungan dinyatakan dalam units/µl serum, sebagai jumlah

antibody anti LPS-Salmonella typhi setiap 1 µl serum. Data diuji normalitasnya

dengan uji Saphiro Wilk. Apabila diperoleh data berdistribusi normal, maka uji

hipotesis dilakukan dengan menggunakan statistik parametrik One-Way Analysis of

Variance (ANOVA) dan dilanjutkan uji Post Hoc untuk perbandingan tiap

kelompok, sedangkan apabila distribusi data tidak normal dilakukan uji non

paramaterik Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Semua

data yang diperoleh diolah menggunakan aplikasi SPSS dengan batas signifikan

p<0,05 .
Rencana Sumber Biaya

Anggaran Untuk Pembeliaan Alat


No Nama Peralatan Jumlah Biaya Satuan (Rp) Biaya Total (Rp)
1 Blender 1 buah 300.000 300.000
2 Spatula 10 buah 7.500 75.000
3 Tabung vial 100 buah 2.000 200.000
4 Kertas Saring 10 gulung 5.000 50.000
5 Aluminium Foil 2 buah 20.000 40.000
6 Spuit 1 cc (BD) 2 pack 180.000 360.000
(@100 pcs)
7 Sonde 20 buah 25.000 500.000
8 Yellow Tipes 1 pack 110.000 110.000
9 Mikroplate 10 buah 50.000 500.000
10 Mortar + stemper 3 buah 45.000 135.000
TOTAL 2.270.000
Anggaran Untuk Bahan Habis Pakai
No Nama Peralatan Jumlah Biaya Satuan (Rp) Biaya Total (Rp)
1 Daun Ceplukan 1000 g 190 190.000
2 Cacing Tanah 1000 g 160 160.000
3 Aquades 10 L 40.000 400.000
4 Etanol 96% 5L 500.000 2.500.000
5 Mencit BalB/C 50 ekor 25.000 1.300.000
6 Levoflaxacin 1 strip 17.000 17.000
7 Biakkan murni 1 tabung 300.000 300.000
Salmonella typhi
8 1 set Reagen TUBEX 2 pack 3.200.000 6.400.000
9 (Human Salmonella 1 pack 5.600.000 5.600.000
typhi (ST) antibody
(IgM ELISA kit)
10 Na-CMC 1 kg 400.000 400.000
11 Pemeliharaan Mencit 20 pack 50.000 1.000.000
TOTAL 18.267.000
Anggaran Untuk Persewaan Alat
No Nama Peralatan Jumlah Biaya Satuan (Rp) Biaya Total (Rp)
1 Rotary Evaporator 10 jam 30.000 300.000
2 Rotary Shaker 2 minggu 200.000 400.000
3 ELISA Reader 48 sampel 30.000 1.440.000
4 Mikropipet 2 minggu 200.000 400.000
5 Sewa Laboatorium 1 bulan 500.000 500.000
TOTAL 3.040.000

TOTAL KESELURUHAN BIAYA: Rp 23.577.000,00


DAFTAR PUSTAKA

Ayu, N.S., Junaidi A.R., Maria, U,. 2010. Karakteristik Tersangka Demam Tifoid
Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Periode
Tahun 2010. Palembang : Laporan penelitian Universitas Muhammadiyah
Palembang.
Baratawidjaja, Karmen Garna., Rengganis, I. 2012. Imunologi Dasar. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI.
Beker, D.A., Feris, D.G., Martens, M.G., Fife, KH., Tyring, SK., Edwards, L. 2011.
Intiquimod 3,75% cream applied daily to treat anogeital warts. Combined
results from women in two randomized, placebocontrolled studies. Infect Dis
Obstet Gynecol:1-11.
Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse, S.A. 2004. Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 23.
Jakarta: EGC.
CDK-217. 2014. Terapi Demam Tifoid, vol 41 No. 6.
Centers for Disease ContHrol and Prevenion Morbidity and Mortality Weekly
Report (MMWR), 2008; 83 (6): 49 – 60.
Ciptanto, S., Ulfah, P,. 2011. Mendulang Ema Hitam Melalui Budidaya Cacing
Tanah. Yogyakarta : Lily Publisher.
Damayanti, E., H.Julendera, A.Sofyan. 2008. Aktivitas antibakteri tepung cacing
tanah (Lumbricus rubellus) dengan Metode Pembuatan yang Berbeda
terhadap Escherichia coli. Yogyakarta: Prosiding Seminar Nasional Pangan.
Darmowandowo, W. 2006. Demam Tifioid : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :
Infeksi & Penyakit Tropis edisi 1. Jakarta: BP FKUI..
Guntur, A.H., 2007. The Role Of Cefepime: Emperical Treatment in Critical Illness.
Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Jakarta: Dexa Media Vol. 20 No. 2.
Hancock, R.E.W., Rozek, A. 2002. Mini review role of membranes in the activities
of antimikrobial cationic peptides
Handoyo, I. 2004. Diagnostic Laboratorium Demam Tifoid. Jurnal Kimia Klinik
Indonesia.ak V., Alkalin S., Geyik MF., Ayaz C. 2008. Evaluation of false
negativity of the widal test among culture proven Typhoid fever cases. J Infect
Dev Cities.
IDL Biotech. 2005. A review article of Rapid Detection of Thyphoid fever.
Indriati G, dkk. 2012. Pengaruh Air Rebusan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli/ Medan: Journal Prosiding
Semirata BKs Ptn-B-MIPA, Universitas Negeri.
Irianto, Koes. 2013. Mikrobiologi Medis (Medis Microbiology). Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Kegiatan Pengendalian Tifoid 2015-2019.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 365/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid.
Kresno, B.S., 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium Edisi IV.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Murray, PR., Rosenthal KS., Pfaller M.A. 2009. Medical Microbiology (6th ed.).
Philadelphia: Mosby Elsevier.
Palungkun, R., 2008. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Jakarta :
Penebat Swadaya.
Prasetyo, D H. 2006. Psikoneuroimonologi Untuk Keperawatan Edisi 2. Surakarta:
UNS Press.
Prioseoeryanto, B.P.P., dkk,. 2001. Aktivitas Antibakteri dan Efek Terapeutik
Ekstrak Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Secara Invitro dan Invivo Pada
Mencit Berdasarkan Gambaran Patologi Anatomi dan Histopatologi. Bogor:
Jurnal Balai Penelitiaan Veteriner (BALITVET).
Rampengan, T.H., 2007. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC.
Sofyan, A.E., Damayanti, Julendra. 2008. Aktivitas Antibakteri dan Retensi Protein
Tepung Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) sebagai pakan imbuhan dengan
taraf penambahan kitosan. JITV Vol 3. Hal 182-187.
Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 4. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Syarif. A, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi Lima. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Van, SM., Van, BM., Ten, Kate J. 2008. Treatmen of Vulval Intraepithelial
neoplasia with topical imiquimod. New Eng J Med. 358 (14): 465-473.
Young, J., GuoPu, Y., Ming, Z., Jim, Z., Hung, N., Wen, Q. 2009. Interferon for
the treatment of genital warts. a systemic review. BMC Infectious Disease,
9:156.

Anda mungkin juga menyukai