Anda di halaman 1dari 7

Pengaruh AW pada Mikroba Dalam Bidang Pangan

Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor – faktor sebagai berikut : pertumbuhan dan
aktivitas mikroba terutama bakteri, kapang, khamir, aktivitas enzim – enzim di dalam bahan pangan,
serangga, parasit dan tikus, suhu termasuk oksigen, sinar dan waktu. Mikroba terutama bakteri, kapang
dan khamir penyebab kerusakan pangan yang dapat ditemukan dimana saja baik di tanah, air, udara, di
atas bulu ternak dan di dalam usus.

Tumbuhnya bakteri, kapang dan khamir di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan
pangan. Beberapa diantaranya dapat menghidrolisa pati dan selulosa atau menyebabkan fermentasi gula
sedangkan lainnya dapat menghidrolisa lemak dan menyebabkan ketengikan atau dapat mencerna protein
dan menghasilkan bau busuk atau amoniak. Bakteri, kapang dan khamir senang akan keadaan yang
hangat dan lembab. Sebagian besar bakteri mempunyai pertumbuhan antara 45 – 55oC dan disebut
golongan bakteri thermofilik. Beberapa bakteri mempunyai suhu pertumbuhannya antara 20 – 45oC
disebut golongan bakteri mesofilik, dan lainnya mempunyai suhu pertumbuhan dibawah 20oC disebut
bakteri psikrofilik.

Umumnya bakteri membutuhkan air (Avalaible Water) yang lebih banyak dari kapang dan ragi. Sebagian
besar dari bakteri dapat tumbuh dengan baik pada aw mendekati 1,00. Ini berarti bakteri dapat tumbuh
dengan baik dalam konsentrasi gula dan garam yang rendah kecuali bakteri – bakteri yang memiliki
toleransi terhadap konsentrasi gula dan garam yang tinggi. Media untuk sebagian besar bakteri
mengandung gula tidak lebih dari 1% dan garam tidak lebih dari 0,85% (larutan garam fisiologis).
Konsentrasi gula 3% – 4% dan garam 1 – 2% dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri.

Jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan
maupun komposisi kimia dan cita rasa bahanpngan tersebut. Perubahan yang dapat terlihat dari luar yaitu
perubahan warna, pembentukan lapisan pada permukaan makanan cair atau padat, pembentukan lendir,
pembentukan endapan atau kekeruhan pada miniman, pembentukan gas, bau asam, bau alkohol, bau
busuk dan berbagai perubahan lainnya (Anonim, 2010).

Prinsip Pengawetan Pangan dengan Pengendalian Aktivitas Air

Nilai Aw berperan penting dalam menentukan tingkat stabilitas dan keawetan pangan, baik yang
disebabkan oleh reaksi kimia, aktivitas enzim maupun pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba
dalam bahan pangan erat kaitannya dengan jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba
didalamnya. Jumlah air didalam bahan yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba dikenal dengan istilah
aktivitas air (water activity = Aw). Aw pada bahan pangan mempengaruhi pertumbuhan mikroba dan
aktivitas enzim. Sedangkan, pertumbuhan mikroba sangat erat kaitannya dengan keamanan pangan (food
safety). Dengan kata lain, Aw sangat penting untuk kita perhitungkan, baik dalam pengolahan,
penyimpanan, maupun distribusi bahan pangan. Beberapa jenis mikroba yang erat kaitannya dengan
pangan serta nilai Aw minimum dimana mikroba tersebut dapat hidup .
Semakin tinggi nilai Aw (mendekati 1), semakin banyak mikroba yang dapat tumbuh. Terlihat pula
bahwa jenis mikroba yang paling sakti (mampu hidup pada Aw cukup rendah) adalah kapang (mold),
disusul oleh khamir (yeast) , dan terakhir bakteri yang memerlukan Aw relatif tinggi.
Cara untuk meningkatkan stabilitas dan keawetan pangan adalah dengan melakukan pengendalian Aw,
yaitu dengan menurunkan nilai Aw pangan hingga berada di luar kisaran dari faktor penyebab kerusakan.
Proses pengeringan, evaporasi, penambahan gula, penambahan bahan tambahan pangan yang bersifat
higroskopis atau penambahan garam adalah di antara cara untuk menurunkan nilai Aw. Pengeringan
ditujukan untuk menurunkan jumlah air yang terdapat dalam pangan dimana sebagian air dari pangan
diuapkan. Penguapan air ini dapat menurunkan Aw pangan. Agar dapat menghambat pertumbuhan
mikroba, maka pengeringan harus dilakukan sehingga Aw dari pangan yang dikeringkan berada di bawah
kisaran pertumbuhan mikroba (Aw<0.60). Pada kondisi ini, pangan tidak mengandung lagi air bebas yang
diperlukan bagi pertumbuhan mikroba. Jika kandungan air bahan diturunkan, maka pertumbuhan mikroba
akan diperlambat. Pertumbuhan bakteri patogen terutama Staphylococcus aureus dan Clostridium
botulinum dapat dihambat jika Aw bahan pangan < 0.8 sementara produksi toksinnya dihambat jika Aw
bahan pangan kurang dari < 0.85. Sehingga, produk kering yang memiliki Aw < 0.85, dapat disimpan
pada suhu ruang. Tapi, jika Aw produk >0.85 maka produk harus disimpan dalam refrigerator untuk
mencegah produksi toksin penyebab keracunan pangan yang berasal dari bakteri patogen. Perlu
diperhatikan bahwa nilai Aw < 0.8 ditujukan pada keamanan produk dengan menghambat produksi toksin
dari mikroba patogen. Pada kondisi ini, mikroba pembusuk masih bisa tumbuh dan menyebabkan
kerusakan pangan. Bakteri dan kamir butuh kadar air yang lebih tinggi daripada kapang. Sebagian besar
bakteri terhambat pertumbuhannya pada Aw < 0.9; kamir pada Aw < 0.8 dan kapang pada Aw < 0.7.
Beberapa jenis kapang dapat tumbuh pada Aw sekitar 0.62. Karena itu, kapang sering dijumpai
mengkontaminasi makanan kering seperti ikan kering dan asin yang tidak dikemas. Penghambatan
mikroba secara total akan terjadi pada Aw bahan pangan < 0.6.
Pengeringan juga dapat menghambat reaksi kimia, seperti reaksi hidrolisis, reaksi Maillard dan reaksi
enzimatis. Sebagaimana proses pengeringan, proses evaporasi (pemekatan) pun dapat menghilangkan
sebagian air, sehingga dapat menekan reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba. Cara lainnya untuk
menurunkan Aw pangan adalah dengan menambahkan gula dan garam dengan konsentrasi tinggi. Gula
bersifat higroskopis yang disebabkan oleh kemampuannya membentuk ikatan hidrogen dengan air.
Adanya ikatan hidrogen antara air dan gula ini menyebabkan penurunan jumlah air bebas dan penurunan
nilai Aw, sehingga air tidak dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba. Penambahan garam NaCl
dapat menurunkan Aw, karena garam dapat membentuk interaksi ionik dengan air, sehingga air akan
terikat yang menurunkan jumlah air bebas dan Aw-nya. Penambahan gula dan garam yang semakin tinggi
akan menyebabkan penurunan nilai Aw. Produk pangan yang mengandung gula tinggi (misal molases,
sirup glukosa, permen, dan madu) atau yang bergaram tinggi (misal ikan asin) relatif awet. Cara lain
untuk menurunkan nilai Aw adalah dengan menambahkan ingredien pangan yang bersifat higroskopis,
misalnya gula polihidroksil alkohol. Sorbitol adalah salah satu gula alkohol yang sering ditambahkan
pada pangan semi basah, misalnya dodol. Gugus fungsional polihidroksil dari sorbitol dapat mengikat air
lebih banyak melalui ikatan hidrogen, sehingga dapat menurunkan Aw air dari bahan. Dengan demikian,
walaupun dodol memiliki kadar air yang relatif tinggi, namun Aw-nya rendah (0,5-0,6) yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroba. Di samping dapat memperpanjang daya awet pangan, penurunan Aw
dengan cara pengolahan di atas dapat menurunkan tingkat resiko keamanan pangan. Pangan dengan Aw
dan pH tinggi (Aw>0,85 dan nilai pH>4,5) atau disebut dengan pangan berasam rendah (misalnya daging,
susu, ikan, tahu, mie basah, dan sebagainya) merupakan kelompok pangan yang beresiko tinggi.
Kelompok pangan ini mudah rusak oleh mikroba pembusuk dan sumber nutrisi yang baik bagi
pertumbuhan mikroba patogen, terutama bakteri. Dengan menurunkan nilai Aw di bawah Aw optimum
pertumbuhan mikroba, maka tingkat resikonya dapat diturunkan.

Kadar air dan aktivitas air sangat berpengaruh dalam menentukan masa simpan dari makanan, karena
faktor-faktor ini akan mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat-sifat fisiko-
kimia, perubahan-perubahan kimia, kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis terutama pada
makanan yang tidak diolah (Winarno, 2004). selama penyimpanan akan terjadinya proses penyerapan uap
air dari lingkungan yang menyebabkan produk kering mengalami penurunan mutu menjadi lembab/tidak
renyah (Robertson, 2010).

Menurut Labuza (1982), hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas adalah sebagai
berikut:

1. Produk dikatakan pada selang aktivitas air sekitar 0.7-0.75 dan di atas selang tersebut
mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun.
2. Pada selang aktivitas air sekitar 0.6-0.7 jamur dapat mulai tumbuh.
3. Aktivitas air sekitar 0.35-0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya.
4. Produk pasta yang terlalu kering selama pengeringan atau kehilngan air selama distribusi atau
penyimpanan, akan mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan
mekanis. Hal ini terjadi pada selang aktivitas air 0.4-0.5.
Aktivitas air ini juga dapat didefinisikan sebagai kelembaban relative kesetimbangan (equilibrium relative
humidity = ERH) dibagi dengan 100 (Labuza, 1980 diacu dalam Arpah, 2001).
Aktivitas air menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan
disekitarnya yang berada dalam keadaan seimbang dengan bahan tersebut. Bertambah atau berkurangnya
kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan lingkungan sangat tergantung pada ERH
lingkungannya.

Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat kaitannya dengan jumlah air yang tersedia untuk
pertumbuhan mikroba didalamnya. Jumlah air didalam bahan yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba
dikenal dengan istilah aktivitas air (water activity = aw). Jika kandungan air bahan diturunkan, maka
pertumbuhan mikroba akan diperlambat. Pertumbuhan bakteri patogen terutama Staphylococcus aureus
dan Clostridium botulinum dapat dihambat jika aw bahan pangan < 0.8 sementara produksi toksinnya
dihambat jika aw bahan pangan kurang dari < 0.85. Sehingga, produk kering yang memiliki aw < 0.85,
dapat disimpan pada suhu ruang. Tapi, jika aw produk >0.85 maka produk harus disimpan dalam
refrigerator untuk mencegah produksi toksin penyebab keracunan pangan yang berasal dari bakteri
patogen. Perlu diperhatikan bahwa nilai aw < 0.8 ditujukan pada keamanan produk dengan menghambat
produksi toksin dari mikroba patogen. Pada kondisi ini, mikroba pembusuk masih bisa tumbuh dan
menyebabkan kerusakan pangan. Bakteri dan khamir butuh kadar air yang lebih tinggi daripada kapang.
Sebagian besar bakteri terhambat pertumbuhannya pada aw < 0.9; kamir pada aw < 0.8 dan kapang pada
aw < 0.7. Beberapa jenis kapang dapat tumbuh pada aw sekitar 0.62. Karena itu, kapang sering dijumpai
mengkontaminasi makanan kering seperti ikan kering dan asin yang tidak dikemas. Penghambatan
mikroba secara total akan terjadi pada aw bahan pangan < 0.6.

Saat ini pengukuran aw sudah berkembang demikian pesatnya. Kebutuhan industri pangan terhadap
instrumen yang memiliki akurasi, presisi, dan kecepatan telah banyak dijawab oleh industri penyedia
instrumentasi. Dengan tersedianya peralatan yang memadai, industri pangan dapat dengan mudah
melakukan pengontrolan aw produk yang dihasilkannya.

Keracunan makanan yang terjadi di masyarakat seringkali menelan korban jiwa. Kita perlu mewaspadai
makanan yang mengandung bakteri patogen dan zat-zat beracun yang dijual dan beredar di pasaran.
Makanan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Salah satu
ciri makanan yang baik adalah aman untuk dikonsumsi. Jaminan akan keamanan pangan merupakan hak
asasi konsumen. Makanan yang menarik, nikmat, dan tinggi gizinya, akan menjadi tidak berarti sama
sekali jika tak aman untuk dikonsumsi. Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1996, keamanan pangan
didefinisikan sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia. Makanan yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme
atau bakteri dan bahan kimia berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar sehingga sifat dan zat
gizinya tidak rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia. Karena itu, kualitas makanan,
baik secara bakteriologi, kimia, dan fisik, harus selalu diperhatikan.

Kualitas dari produk pangan untuk konsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh mikroorganisme.
Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan memegang peran penting dalam pembentukan senyawa
yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan menjadi tak layak makan. Beberapa
mikroorganisme yang mengontaminasi makanan dapat menimbulkan bahaya bagi yang mengonsumsinya.
Kondisi tersebut dinamakan keracunan makanan. Infeksi dan Keracunan Menurut Volk (1989), foodborne
diseases yang disebabkan oleh organisme dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu infeksi
makanan dan keracunan makanan. Infeksi makanan terjadi karena konsumsi makanan mengandung
organisme hidup yang mampu bersporulasi di dalam usus, yang menimbulkan penyakit. Organisme
penting yang menimbulkan infeksi makanan meliputi Clostridium perfringens, Vibrio
parahaemolyticus, dan sejumlah Salmonella. Sebaliknya, keracunan makanan tidak disebabkan
tertelannya organisme hidup, melainkan akibat masuknya toksin atau substansi beracun yang disekresi ke
dalam makanan. Organisme penghasil toksin tersebut mungkin mati setelah pembentukan toksin dalam
makanan. Organisme yang menyebabkan keracunan makanan meliputiStaphylococcus aureus,
Clostridium botulinum, dan Bacillus cereus. Semua bakteri yang tumbuh pada makanan bersifat
heterotropik, yaitu membutuhkan zat organik untuk pertumbuhannya. Dalam metabolismenya, bakteri
heterotropik menggunakan protein, karbohidrat, lemak, dan komponen makanan lainnya sebagai sumber
karbon dan energi untuk pertumbuhannya. Kandungan air dalam bahan makanan memengaruhi daya
tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba. Kandungan air tersebut dinyatakan dengan istilah Aw
(water activity), yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhannya. Setiap mikroorganisme mempunyai Aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik,
misalnya bakteri pada Aw 0,90; khamir Aw 0,80-0,90, serta kapang pada Aw 0,60-0,70. Lebih dari 90
persen terjadinya foodborne diseases pada manusia disebabkan kontaminasi mikrobiologi, yaitu meliputi
penyakit tifus, disentri bakteri atau amuba, botulism dan intoksikasi bakteri lainnya, serta hepatitis A dan
trichinellosis. WHO mendefinisikan foodborne diseases sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi
atau racun yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna.
https://lordbroken.wordpress.com/2018/04/13/water-activity-dalam-pengawetan-produk-pangan/

Widiantoko, R.K.

Anda mungkin juga menyukai