Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Kebakaran merupakan bencana yang disebabkan oleh api yang tidak
dikehendaki yang dapat menimbulkan kerugian yang besar baik berupa harta benda
maupun jiwa manusia. Saat ini kebakaran sudah menjadi masalah nasional, karena
bukan saja merugikan pribadi secara individual, melainkan meliputi instalasi atau
sarana vital yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti pabrik, pembangkit
tenaga listrik, pelabuhan, dan instalasi-instalasi lain yang vital dan sangat mahal
harganya.
Dalam era perkembangan teknologi sekarang ini akan mempengaruhi kemajuan
dibidang bangunan gedung. Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan
bangunan termasuk rumah dan gedung adalah pengamanan terhadap bahaya
kebakaran. Realisasi tindakan pengamanan ini umumnya diwujudkan dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Tindakan pengamanan ini dilakukan
dengan penyediaan atau pemasangan sarana pemadam kebakaran seperti alat
pemadam api ringan (APAR), Hidran, Springkler, detektor, Integrated System dan
lain sebagainya.
Sesuai dengan ketentuan pokok yang berkaitan dengan K3 penanggulangan
kebakaran adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-Undang 1 tahun
1970 yang tersirat pada konsideran UU 1/70 yaitu tentang tujuan umum K3 yang
termasuk penanggulangan kebakaran yang bertujuan untuk melindungi tenaga
kerja dan orang lain, aset perusahaan dan lingkungan masyarakat. Dan yang tertera
pada ketentuan pasal 3 ayat (1) huruf b,d,q bahwa penanggulangan kebakaran
meliputi pencegahan, pengurangan dan pemadaman kebakaran, memberikan
kesempatan jalan untuk menyelamatkan diri pada waktu kebakaran serta
pengendalian penyebaran panas, asap dan gas. Selain itu pada Kepmenaker
186/Men/1999 yang menjelaskan bahwa perusahaan wajib mencegah, mengurangi
dan memadamkan kebakaran di tempat kerja.
Meskipun tingkat kesadaran akan pentingnya sistem proteksi kebakaran
semakin meningkat, namun masih banyak dijumpai bangunan-bangunan yang tidak
dilindungi dengan sarana proteksi kebakaran, atau sarana yang terpasang tidak
memenuhi persyaratan atau sarana yang terpasang tidak memenuhi persyaratan.
Dari pengamatan kasus-kasus kebakaran selama ini, Diketahui bahwa dari 1121
kasus kebakaran, 76,1 % terjadi di tempat kerja, dari sejumlah kasus tersebut
diketahui bahwa api terbuka penyebab paling banyak pertama dengan jumlah kasus
415 kasus, penyebab paling banyak kedua yaitu listrik dengan jumlah 297 kasus
(Laboratorium Forensik Mabes Polri tahun 2005 sampai 2010). Selain itu,
diketahui bahwa listrik menjadi penyebab paling banyak kedua setelah api terbuka
dengan perbandingan 31 % berbanding 34 % (Disnaker Propinsi Jawa Timur).
Salah satu kasus kebakaran yang telah terjadi yakni kebakaran di Hotel
Paragon, jalan Gajah Mada-Jakarta Barat yang terjadi pada hari Senin, 2 Januari
2017 lalu. Setidaknya pada kebakaran tersebut ada 25 mobil pemadam kebakaran
diturunkan untuk menjinakkan si jago merah. Pada insiden tersebut, menyebabkan
dua orang tewas yang tak lain merupakan pegawai hotel itu sendiri. Kebakaran
disebabkan karena hubungan arus pendek dari sound system yang terjadi di ruang
karaoke. Pada saat kejadian, menurut saksi tidak terdengar tanda bahaya kebakaran
atau sirine yang menyala. Namun, para karyawan hotel cukup tanggap dengan
mengetuk dan memberitahu pengunjung di setiap kamar untuk menyelamatkan diri
dari kebakaran
Dari data kasus kebakaran di atas terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan, antara lain adalah bahwa sistem proteksi kebakaran tidaklah cukup
hanya dengan penyediaan alat pemadam api ringan (APAR) atau hidran saja yang
disebut sebagai sistem proteksi aktif. Diperlukan sarana proteksi lainnya yakni
seperti detektor dan alarm sebagai deteksi dini yang mendukung mobilitas APAR
dan hidran sebagai sistem proteksi aktif. Oleh karena itu berbagai langkah dan
upaya penanggulangan bahaya kebakaran merupakan hal yang penting diterapkan
dan dilaksanakan guna mencegah terjadinya bahaya kebakaran di suatu gedung.
Pada umumnya terjadinya kebakaran diawali dengan api yang kecil. Bila sejak dini
dapat diatasi/dipadamkan, maka kebakaran yang dapat menimbulkan berbagai
macam kerugian dapat dihindarkan salah satunya yaitu dengan pemasangan
detektor dan alarm pada gedung apartemen Atlas Victoria.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tentang perancangan sistem detektor dan alarm di
atas, maka rumusan masalah pada tugas pencegahan dan penanggulangan
kebakaran ini adalah :
1. Bagaimana merencanakan detektor dan alarm yang sesuai dengan SNI 03-
3985-2000 sebagai pencegahan kebakaran pada bangunan apartemen Atlas
Victoria?
2. Bagaimana teori tentang sistem perancangan detektor dan alarm serta tata cara
pemasangannya?

1.3.Tujuan
Maksud dan tujuan pada makalah ini adalah :
1. Mampu merencanakan sistem detektor dan alarm yang sesuai dengan SNI 03-
3985-2000 sebagai pencegahan kebakaran pada bangunan apartemen Atlas
Victoria.
2. Dapat memahami teori tentang sistem perancangan detektor dan alarm serta tata
cara kerja alat tersebut pada gedung apartemen Atlas Victoria.
1.4.Manfaat
Adapun manfaat dari dibuatnya makalah Sistem Pencegahan dan
Penanggulangan Kebakaran tentang detektor adalah :
A. Bagi Mahasiswa :
1. Untuk mengembangkan ilmu mengenai kebakaran khususnya merancang
sistem pemadam otomatis.
2. Dapat mengembangkan teori dengan langsung membuat sistem
penanggulangan dan penanggulangan kebakaran.
3. Dapat mengetahui dan mempraktekkan dasar hukum mengenai sistem
pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
4. Hasil dari pengerjaan tugas ini dapat digunakan sebagai alat bantu dalam
proses belajar-mengajar, khususnya mengenai kebakaran.

B. Bagi Management Gedung


1. Dapat dijadikan masukan dan analisa ulang apabila terjadi kesalahan pada
sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran pada bangunan
apartemen Atlas Victoria.
BAB II

DASAR TEORI

2.1. Teori Dasar Kebakaran


Menurut Bickerdike (1996) api adalah proses pembakaran dengan
karakteristit timbulnya emisi panas yang diikuti dengan smoke dan flame. Nyala
api adalah suatu fenomena yang dapat diamati gejalanya yaitu adanya cahaya dan
panas dari suatu bahan yang sedang terbakar. Gejala lainnya yang dapat diamati
adalah, bila suatu bahan telah terbakar maka akan mengalami perubahan baik
bentuk fisiknya maupun sifat kimianya. Keadaan fisik bahan yang telah terbakar
akan berubah menjadi arang, abu, atau hilang menjadi gas dan sifat kimianya
akan berubah pula menjadi zat baru. Gejala perubahan tersebut menurut teori
perubahan zat dan energi adalah perubahan secara kimia.
2.1.1.Fenomena Kebakaran
Fenomena kebakaran atau gejala pada setiap tahapan mulai awal terjadinya
penyalaan sampai kebakaran padam, dapat diamati beberapa fase tertentu seperti
dilukiskan pada gambar :
Gambar 2.1 Diagram Fenomena Kebakaran
(Sumber : Depnakertrans R.I., 2004)

Penjelasan :
1. Tidak diketahui kapan dan dimana awal terjadinya api/kebakaran, tetapi
yang pasti ada sumber awal pencetusnya (source energy), yaitu adanya
potensi energi yang tidak terkendali.
2. Apabila energi yang tidak terkendali kontak dengan zat yang dapat terbakar,
maka akan terjadi penyalaan tahap awal (initiation) bermula dari sumber
api/nyala yang relatif kecil.
3. Apabila pada periode awal kebakaran tidak terdeteksi, maka nyala api akan
berkembang lebih besar (growth) sehingga api akan menjalar bila ada media
disekelilingnya.
4. Intensitas nyala api meningkat dan akan menyebarkan panas ke semuaarah
secara konduksi, konveksi, dan radiasi, hingga pada suatu saat kurang lebih
3 – 10 menit atau setelah temperatur mencapai 300°C akan terjadi
penyalaan api serentak yang disebut Flashover, yang biasanya ditandai
pecahnya kaca.
5. Setelah flashover, nyala api akan membara yang disebut periode kebakaran
mantap (steady / full development fire). Temperatur pada saat kebakaran
penuh (full fire) dapat mencapai 600 – 1000°C. Bangunan dengan struktur
konstruksi baja akan runtuh pada temperatur 700°C. Bangunan dengan
konstruksi beton bertulang setelah terbakar lebih dari 7 jam dianggap tidak
layak lagi untuk digunakan.
6. Setelah melampaui puncak pembakaran, intensitas nyala akan
berkurang/surut dan berangsur – angsur akan padam, yang disebut periode
surut (decay).

2.1.2.Teori Segitiga Api (Triangle of fire)


Teori segitiga api (Triangle of fire) menjelaskan bahwa untuk dapat
berlangsungnya proses nyala api diperlukan adanya tiga unsur pokok yaitu
adanya unsur: bahan yang dapat terbakar (Fuel), Oksigen (O2) yang cukup dari
udara atau dari bahan oksidator, dan panas yang cukup.

Gambar 2.4 Segitiga Api


(Sumber: http://www.pp.okstate.edu, 2010)
Dengan teori itu maka apabila salah satu unsur dari segitiga api tersebut
tidak berada pada keseimbangan yang cukup, maka api tidak akan terjadi.
Bahan yang dapat terbakar jenisnya dapat berupa bahan padat, cair, maupun gas.
Sifat penyalaan dari jenis-jenis bahan tadi terdapat perbedaan, yaitu gas lebih
mudah terbakar dibandingkan dengan bahan cair maupun padat, demikian juga
bahan cair lebih mudah terbakar dibandingkan dengan bahan padat, disini
menggambarkan adanya tingkat suhu yang berbeda pada setiap jenis bahan.
Nyala api akan dapat berlangsung apabila ada kesimbangan besaran angka-
angka yang menghubungkan segitiga api. Besaran angka-angka fisika yang
menghubungkan sisi-sisi pada segitiga api tersebut antara lain “flash point,
ignition temperature, dan flammable range”.

2.1.3.Teori Piramida Bidang Empat (Tetrahedron of Fire)


Gambar di atas menjelaskan hubungan antara tiga unsur yang dapat
menyebabkan timbulnya api. Jika salah satu unsur tersebut tidak ada, maka api
tidak akan terjadi. Namun study selanjutnya mengenai fisika dan kimia,
menyatakan bahwa peristiwa pembakaran mempunyai tambahan lagi mengenai
pengertian dimensi pada segi tiga api, menjadi teori model baru yang disebut
bidang empat api atau “Tetrahedron Of Fire”.

Gambar 2.5 Bidang Empat Api


(Sumber: www.himarraya.com, 2011)
Studi ini menjelaskan bahwa pembakaran tidak hanya terjadi atas tiga
unsur, namun reaksi kimia yang terjadi menghasilkan beberapa zat hasil
pembakaran yaitu : CO, CO2, SO2, asap dan gas. Hasil yang lain dari reaksi ini
adalah adanya radikal-radikal bebas dari atom oksigen dan hidrogen dalam
bentuk hidroksil (OH).
Bila ada dua gugus OH, maka akn pecah menjadi H2O dan radikal bebas
O. Dimana reaksinya 2OH → H2O + O radikal. O radikal ini selanjutnya akan
berfungsi lagi sebagai umpan pada proses pembakaran sehingga disebut reaksi
pembakaran berantai (Cain Reaction Of Combustion). Dari reaksi kimia, selama
proses pembakaran berlangsung ini memberikan kepercayaan pada hipotesa baru,
dari prinsip segi tiga api kemudian terbentuk bidang empat api. Dimana sisi yang
ke empat sebagai sisi dasar yaitu rantai reaksi pembakaran.Lebih jelasnya,
perbedaan antara Teori Segi Tiga Api dan Tetrahedron Of Fire adalah sebagai
berikut:
1. Pada Teori Segi Tiga Api, bahan bakar sendiri tidak terbakar. Tapi
mengalami pemanasan hingga menghasilkan gas dan uap. Gas dan uap yang
terbakar tersebut oleh karena letaknya yang berdekatan dengan bahan bakar
(fuel), sehingga bahan bakar akan terlihat seolah-olah terbakar.
2. Pada Tetrahedron Of Fire bahan bakar mengalami pemanasan sehingga
mengeluarkan gas dan uap yang menyala akibat timbulnya reaksi kimia.
Pada akhirnya bahan bakar (fuel) akan terbakar dan habis.
Prosentasi oksigen di atmosfer adalah 21%, namun terkadang pada ruang
atau kondisi tertentu prosentasi oksigen dapat berubah. Prosentase oksigen yang
dapat membuat api tetap menyala adalah kisaran antara 12% hingga 21%. Api
akan padam jika prosentase oksigen kurang dari 12%, sedangkan api akan sulit
sekali dipadamkan jika prosentase oksigen diatas 21% karena oksigen dengan
prosentase tersebut menjadi bersifat flammable.
Selain ketersediaan oksigen, ketersediaan bahan bakar juga mempengaruhi
muncul atau tidaknya api. Bahan bakar dibagi menjadi tiga macam, yaitu bahan
bakar padat (contoh: kayu, kertas, batu bara, arang, dll), cair (bensin, solar,
minyak tanah, alkohol, dll) dan gas (Elpiji, nitrogen oksida, propana).
Oksigen dan bahan bakar tidak akan pernah menjadi api jika tidak ada
panas. Jika suhunya tidak mencukupi, oksigen dan bahan bakar tidak akan pernah
terbakar. Sumber panas yang paling berperan dalam munculnya api adalah
matahari. Jadi reaksi antara ketiga unsur tersebut yang menjadi asal mula
terjadinya api yang selama ini kita kenal sebagai teori segitiga api.

2.1.3.Klasifikasi Kebakaran
Yang dimaksud klasifikasi kebakaran adalah penggolongan atau pembagian
kebakaran berdasarkan atas jenis bahan bakarnya (Wahyudi,1991). Klasifikasi
jenis kebakaran terdapat dua versi standard yang sedikit agak berbeda. Klasifikasi
jenis kebakaran menurut Standard Inggris yaitu LPC (Loss Prevention
Committee) yang sebelumnya adalah FOC (Fire Office Committee) menetapkan
klasifikasi kebakaran dibagi Klas A, B, C, D, dan E sedangkan Standard Amerika
yaitu NFPA (National Fire Preventio Assosiation), menetapkan klasifikasi
kebakaran menjadi klas A, B, C, dan D. Pengklasifikasian jenis kebakaran yang
didasarkan menurut jenis material yang terbakar seperti dalam daftar tabel
dibawah ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi Kebakaran
Standard Amerika (NFPA) Standard Inggris (LPC)
Klas Jenis Kebakaran Klas Jenis Kebakaran
Bahan padat kecuali Bahan padat kecuali
logam, seperti kayu, arang, logam,
A kertas, tekstil, plastik, dan A seperti kayu, arang
sejenisnya.
kertas tekstil, plastik dan
sejenisnya
Bahan cair dan gas, seperti Bahan cair seperti
bensin, solar, minyak bensin,
B tanah, aspal, gemuk, B
solar, minyak tanah, dan
alkohol, gas alam, gas
sejenisnya.
LPG dan sejenisnya.
Peralatan listrik yg Bahan gas, seperti gas
C C
bertegangan. alam, gas LPG.
Bahan logam, seperti Bahan logam, seperti
D magnesium, alumunium, D magnesium, alumunium,
kalium, dan lain-lain. kalium, dan lain-lain.
Peralatan listrik yg
E - E
bertegangan.
(Sumber: Depnakertrans R.I., 2010)

Klasifikasi kebakaran di Indonesia mengacu pada Standar NFPA, yang


dimuat dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sifat-sifat dari
masing-masing klasifikasi kebakaran diatas adalah:

1. Klas A, terbakar sampai bagian dalam atau terdapat bara,


2. Klas B (cair), terbakar pada permukaan,
3. Klas B (gas), terbakar pada titik sumber gas mengalir,
4. Klas C atau klas E menurut Standard British, adalah ditinjau dari aspek
bahaya terkena aliran listrik bagi petugas,
5. Klas D, pada kebakaran logam akan bertemperatur tinggi, sehingga bila
dipadamkan dapat terjadi peledakan karena perubahan fase media pemadam
menjadi gas.

2.1.4. Bahaya Kebakaran


Bahaya kebakaran adalah bahaya yang ditimbulkan oleh api yang tidak
terkendali, sehingga dapat mengancam keselamatan jiwa, harta benda dan
lingkungan (Wahyudi, 1991). Kemudahan suatu zat untuk terbakar ditentukan
oleh:
1. Titik nyala (flash point) yakni suhu terendah dimana uap zat dapat
dinyalakan.
2. Titik bakar (ignition point) yakni suhu dimana zat terbakar dengan
sendirinya.
3. Konsentrasi mudah terbakar (flammable limits) yakni daerah konsentrasi
uap gas yang dapat dinyalakan.
a. Low Flammable Limit (LFL) yakni konsentrasi uap zat terendah yang
masih dapat dinyalakan.
b. Upper Flammable Limit (UFL) yakni konsentrasi uap tertinggi yang
masih dapat dinyalakan.
Jadi daerah mudah terbakar dibatasi oleh LFL dan UFL serta sifat
kemudahan membakar bahan lain ditentukan oleh kekuatan oksidasinya.
Berdasarkan NFPA 10 tahun 1998, bahaya kebakaran diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu:
1. Bahaya kebakaran ringan (light / low hazard)
Yang termasuk bahaya kebakaran ringan yaitu lokasi atau tempat
dimana jumlah class A combustible material termasuk perabot, dekorasi,
dan isinya berada dalam jumlah yang kecil. Hal ini dapat dimiliki oleh
gedung atau ruangan seperti kantor, ruang kelas, gereja, ruang tamu di
hotel atau motel, dan lain-lain. Sejumlah kecil class B flammable material
yang digunakan untuk duplicating machines, art departments dan lain-lain
juga termasuk.
2. Bahaya kebakaran sedang (ordinary / moderate hazard)
Yang termasuk bahaya kebakaran sedang yaitu lokasi atau tempat
dimana jumlah class A combustible dan class B flammable material yang
ada lebih besar dari yang diharapkan pada bahaya kebakaran ringan. Lokasi
atau tempat yang termasuk bahaya kebakaran sedang bisa seperti ruang
makan, mercantile shop, light manufacturing, auto showroom, area parkir,
bengkel, dan lain-lain.
3. Bahaya kebakaran berat (extra/high hazard)
Yang termasuk bahaya kebakaran sedang yaitu lokasi atau tempat
dimana jumlah class A combustible dan class B flammable material yang
ada, di dalam tempat penyimpanan (storage), diproduksi, digunakan,
produk akhir, atau dicampur melebihi dan diatas jumlah yang diharapkan
pada bahaya kebakaran sedang. Lokasi yang termasu dalam bahaya
kebakaran berat bisa seperti pekerjaan yang berhubungan dengan material
kayu, vehicle repair, aircraft dan boat servicing, area memasak, dan tempat
penyimpanan serta proses manufaktur seperti painting, dipping, and
coating, termasuk penanganan cairan flammable.

2.1.5.Karakteristik Pertumbuhan dan Penyebaran Api


Karakteristik pertumbuhan dan penyebaran api, sama seperti penyalaan api,
kecepatan penyebaran, dan pemancaran panas, asap dan gas berbahaya,
ditentukan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Kondisi geometris ruangan
2. Bahan yang ada
3. Sumber isi
4. Jarak antara sumber api dengan material yang terbakar
5. Karakteristik dari material interior
6. Tipe dan volume material
7. Kondisi dan penataan ruangan
Api dengan cepat berkembang besar melalui konveksi, dan kemudian
menyebar secara lateral terus ke langit-langitbila ruangan terbatas. Sesuatu yang
terbakar, disamping menghasilkan gas, juga asap dan pans. Panas gas yang timbul
peristiwa kebakaran bisa mencapai 650 ºC – 950 ºC. Salah satu fenomena khas
terjadi peristiwa kebakaran adalah terjadinya “flashover”, dimana api tiba-tiba
membesar dengan nyala yang besar pula.

2.1.6.Klasifikasi Sifat Hunian


Klasifikasi sifat hunian adalah klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran
yang diklasifikasikan berdasarkan struktur bahan bangunan, banyaknya bahan
yang disimpan di dalamnya, serta sifat kemudahan terbakarnya, juga ditentukan
oleh jumlah dan sifat penghuninya. Klasifikasi sifat hunian dibagi atas:
1. Hunian bahaya kebakaran ringan.
Macam hunian yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar
rendah dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah, sehingga
menjalarnya api lambat.
2. Hunian bahaya kebakaran sedang kelompok I.
Macam hunian yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar
sedang, penimbunan bahan yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih
dari 2,5 m dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang,
sehingga menjalarnya api sedang.
3. Hunian bahaya kebakaran sedang kelompok II.
Macam hunian yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar
sedang, penimbunan bahan yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih
dari 4 m dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga
menjalarnya api sedang.
4. Hunian bahaya kebakaran sedang kelompok III.
Macam hunian yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi
dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas tinggi, sehingga
menjalarnya api cepat.
5. Hunian bahaya kebakaran berat.
Macam hunian yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi
dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas tinggi, penyimpanan cairan
yang mudah terbakar, sampah, serat, atau bahan lain yang apabila terbakar
apinya cepat menjadi besar dengan melepaskan panas tinggi sehingga
menjalarnya api cepat.
6. Hunian khusus.
Untuk hunian khusus seperti penyimpanan atau tempat dimana
penggunaan cairan yang mempunyai kemudahan terbakar tinggi dapat
digunakan sistem pancaran serentak. Karena keadaan yang
menguntungkan, beberapa macam hunian dapat memperoleh keringanan
satu kelas lebih rendah dengan persetujuan instansi yang berwenang.
2.1.7.Keselamatan Kebakaran (Fire Safety)
Keselamatan kebakaran (fire safety) biasanya dipertimbangkan untuk
melindungi keselamatan orang dan barang, pada suatu bangunan dan area
sekitarnya yang berpotensi kebakaran. Untuk itu objektif fire safety yang harus
dipertimbangkan si arsitek gedung ada 2 yaitu keselamatan hidup orang dan
perlindungan terhadap barang.
Berikut ini lima taktik yang dapat dijadikan acuan oleh si arsitek untuk
memenuhi objektif keselamatan hidup orang dan perlindungan barang :
1. Prevention (Pencegahan)
Memastikan bahwa api tidak terjadi dengan melakukan kontrol terhadap
pembakaran dan sumber bahan bakar.
2. Communications (Komunikasi)
Memastikan bahwa jika pembakaran terjadi, penghuni gedung
mengetahui dan semua sistem proteksi kebakaran aktif bekerja.
3. Escape (Penyelamatan diri)
Memastikan bahwa penghuni gedung dan area sekitarnya dapat
bergerak menuju tempat yang aman sebelum mereka terancam oleh panas
api dan asap.
4. Containment (Pengurungan/Pembatasan)
Memastikan bahwa api yang terjadi tetap berada pada batas area terkecil
yang memungkinkan terjadinya kerusakan sejumlah barang dan
keselamatan hidup sejumlah orang.
5. Extinguishment (Pemadaman)
Memastikan bahwa api dapat dipadamkan dengan cepat dan dengan
konsekuensi kerusakan gedung seminimal mungkin.

2.1.8.Prinsip Dasar Pemadaman


Pada dasarnya teori pemadaman kebakaran dapat dilakukan dengancara
menghilangkan salah satu atau lebih dari unsur yang terdapat pada bidang empat
api (Tetrahedron). Prinsip tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
:
1. Starvation
Teknik pemadaman starvation ini adalah teknik pemadaman yang
dilakukan dengan cara mengambil bahan bakar atau mengurangi bahan
bakar yang terbakar sampai di bawah batas bisa terbakar bawah (Lower
Flammable Limit).
2. Smothering
Smothering adalah teknik pemadaman yang dilakukan dengan cara
memisahkan atau mengisolasi udara dengan bahan bakar yang terbakar
pada proses pembakaran.
3. Dilution
Dillution adalah merupakan suatu pemadaman dengan cara mengurangi
atau melakukan pengenceran kadar O2 di udara sampai di bawah batas
minimum sehingga pembakaran tidak lagi dapat berlangsung. Teknik
pemadaman ini dilakukan misalnya dengan menggunakan CO2.
4. Break Chain Reaction
Teknik pemadaman ini dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara
yaitu secara fisis dan kimiawi. Secara fisis misalnya dilakukan dengan cara
menebas api. Sedangkan secara kimiawi dapat dilakukan dengan
menyemprotkan sejumlah media pemadam.
5. Cooling (Pendinginan)
Teknik pemadaman ini dilakukan dengan cara pendinginan (Cooling)
terhadap material yang terbakar sampai titik dimana bahan bakar tidak
cukup untuk cukup mengeluarkan uap yang dapat terbakar.
2.2. Sistem Deteksi dan Sistem Kebakaran (Detektor)
Fungsi dari alat pengindera otomatis adalah sebagai pengindera kebakaran
dan penyampaian isyarat sedini mungkin dapat mencegah atau menanggulangi
kebakaran sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar, baik jiwa,
harta benda maupun lingkungan. Alat-alat ini dipasang pada langit-langit atau
plafon suatu bangunan dan akan bekerja apabila ada panas, asap atau radiasi.
Kondisi ini akan dapat diidentifikasi dengan cepat, karena adanya perkembangan
lebih lanjut sebagai akibat terjadinya kebakaran seperti:
1. Setelah penyalaan terjadi dan terlepasnya hasil pembakaran
2. Jika asap kebakaran telah mulai timbul
3. Jika kebakaran telah menghasilkan nyala api
4. Jika suhu akibat kebakaran meningkat dengan cepat

Klasifikasi sistem alarm dan deteksi kebakaran meliputi:


1. Manual
2. Otomatik (semi addressable atau fully addressable)
Pada sistem ini hanya sebagian yang bekerja secara otomatis,
sedangkan peralatan yang lain masih diperlukan tenaga manusia untuk
memadamkan api.
3. Otomatic integrated system (deteksi, alarm dan pemadaman)
Pada sistem ini alat deteksi bahaya api selain mengaktifkan alarm
bahaya juga langsung mengaktifkan alat-alat pemadam kebakaran

Komponen sistem alarm kebakaran otomatik terdiri dari:


1. Detektor dan tombol manual (input signal)
Detektor adalah alat untuk mendeteksi kebakaran secara otomatik, yang
dapat dipilih tipe yangs sesuai dengan karakteristik ruangan, diharapakan
dapat mendeteksi secara cepat akurat dan tidak memberikan informasi
palsu.
Pada prinsipnya detektor dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Detektor asap (smoke detector) tipe foto elektrik dan ionisasi. Alat ini
memberi alarm bila terjadi asap diruangan tempat alat dipasang.
b. Detektor nyala api (flame detector) tipe ultraviolet dan inframerah.
Mendeteksi adanya nyala api yang tidak terkendali dengan cara
menangkap sinar ultraviolet ataupun inframerah yang dipancarkan
oleh nyala api.
c. Detektor panas (heat detector) tipe suhu tetap maupun tipe kenaikan
suhu. Mendeteksi adanya bahaya kebakaran dengan cara membedakan
kenaikan temperatur (panas) yang terjadi diruangan (Suko
Wahyudi,1991).
Detektor dipasang ditempat yang tepat sehingga memiliki jarak
jangkauan yang efektif sesuai spesifikasinya.
Tombol manual adalah alat yang dapat dioperasikan secara manual
yang dilindungi dengan kaca yang dapat diaktifkan secara manual dengan
memecahkan kaca terlebih dahulu, apabila ada yang melihat kebakaran
tetapi detektor otomatik belum bekerja.
2. Panel indikator kebakaran (sistem control)
Merupakan pusat pengendali sistem deteksi dan alarm, yang dapat
mengindikasikan status standby normal, mengindikasikan signal input dari
detektor maupun tombol manual dan mengaktifkan alarm tanda kebakaran.
Pada panel kendali dapat diketahui alamat atau lokasi datangnya panggilan
detektor yang aktif atau tombol manual yang diaktifkan.
3. Alarm audible atau visible (signal output)
Merupakan indikasi adanya bahaya kebakaran yang dapat didengar
(audible alarm) berupa bell berdering, sirene atau yang dapat dilihat
(visible alarm) berupa lampu.

2.2.1 Klasifikasi Detektor Kebakaran


Secara umum sistem deteksi dan sistem alarm kebakaran bekerja
berdasarkan sinyal kondisi fisik dari sumber kebakaran, misalnya suhu, nyala api,
asap dan gas yang dihasilkan dari sumber kebakaran. Kemudian sinyal fisik
tersebut di tangkap oleh detektor berdasarkan jenis-jenis sensor detektor yang
dipasang di dalam detektor. Setelah itu detektor mengubah sinyal yang ditangkap
menjadi energy listrik yang dialirkan ke panel indikator yang secara otomatis
akan menyalakan switch alarm kebakaran. Jenis-jenis alat deteksi kebakaran
untuk mencegah/mengantisipasi perkembangan terjadinya kebakaran adalah:
1. Detektor asap (smoke detektor)
2. Detektor panas (heat detektor)
3. Detektor api (flame detektor)
Pemilihan alat deteksi kebakaran tergantung pada resiko bahaya kebakaran
yang mungkin terjadi. Bagaimanaupun alat deteksi yang digunakan harus dapat
diandalkan, kuat, dan ekonomis pada umumnya.

1. Detektor Asap (Smoke Detector)


Alat ini berfungsi untuk pengindera adanya produk hasil pembakaran
yang berupa asap sebagai akibat terjadinya kebakaran. Asap adalah
keseluruhan partikel yang melayang-layang baik kelihatan maupun tidak
kelihatan dari suatu pembakaran. Sesuai dengan cara kerjanya smoke
detector dapatdibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Ionisation Detector
Alat ini berfungsi untuk penginderaan akan adanya produk hasil
pembakaran yaitu semenjak asap mulai timbul. Pendeteksian cara
ionisasi lebih bereaksi terhadap partikel yang tidak kelihatan (ukuran
lebih kecil dari 1 mikron) yang diproduksi oleh kebanyakan nyala
kebakaran. Reaksinya agak lebih rendah terhadap partikel yang lebih
besar dari kebanyakan api tanpa nyala. Secara umum gambaran prinsip
pendeteksian ionisation detector adalah sebagai berikut:
Radio-
active

Gambar 2.6 Pendekatan Ionisation Detector


(Sumber: www.smokealarmdetectors.com, 2011)
Suatu detektor asap jenis ionisasi ini mempunyai sejumlah kecil
bahan radio aktif yang mengionisasikan udara di dalam ruang
penginderaan, dengan demikian menjadikan udara bersifat konduktif
dan membolehkan arus mengalir menembus dua elektroda yang
bermuatan. Ini menjadikan kamar pengindera suatu konduktivitas listrik
yang efektif. Ketika partikel asap memasuki daerah ionisasi, partikel ini
menurunkan konduktansi dari udara dengan jalan mengikatkan diri ke
ion-ion. Mengakibatkan penurunan mobilitas. Ketika konduktansi
rendah dibandingkan suatu tingkat yang ditentukan terlebih dahulu,
detektor akan bereaksi.

Gambar 2.7 Pendekatan Ionisation Detector


(Sumber: www.smokealarmdetectors.com, 2011)
Pada kondisi normal, dimana daerah ionisasi bebas dari asap maka
electrical circuit dalam keadan balance atau seimbang. Electrical
circuit ini berfungsi sebagai switch atau sakelar maknetik guna
mengaktifkan relay pada alarm jika terjadi kebakaran. Sewaktu asap
masuk ruangan ionisasi akan menyebabkan terhambatnya perpindahan
ion yang mengakibatkan elektrical circuit tidak seimbang . Hal ini
berakibat voltage yang mengalir ke relay terhambat kemudian relay
aktif dan mengaktifkan alarm sebagai sinyal pertanda terjadinya
kebakaran.
b. Optical Detector
Bila ionisation detector dapat mengindera produk pembakaran yang
tidak bisa dilihat (invisible light), maka optical detector berfungsi untuk
mengindera produk pembakaran yang bisa dilihat (visible light),
misalnya partikel-partikel carbon dan bahan-bahan kimia yang apabila
terbakar menghasilkan asap.
Optical detector memiliki 2 komponen penting, yaitu sumber
cahaya dan photo-electric cell. Berdasarkan cara kerjanya optical
detector dapat dibagi menjadi dua, yaitu : Light Scatter Detector dan
Obscuration Detector.
1. Light Scatter Detector
Prinsip kerja dari detector jenis ini adalah karena adanya cahaya
yang masuk pada photo electric cell. Sumber cahaya dan photo-
electric cell berada dalam ruangan yang kedap cahaya dan dirancang
agar asap kebakaran dapat masuk keruangan tersebut. Bila tidak ada
asap yang masuk (tidak terjadi kebakaran) maka posisi cahaya dari
sumber cahaya akan lurus (tidak mengarah pada photo-electric cell).
Poto
To alarm electric cell

Light
sources Gambar 2.8 Light Scatter Detector
(Sumber: Study Lapangan, 2010)
2. Detector dan Obscuration Detector
Sedang pada saat terjadi kebakaran, maka partikel-partikel asap
kebakaran akan masuk keruangan tersebut, sehingga cahaya dari
sumber akan membelok dan mengarah ke photo-electric cell sebagai
akibat dari terkena asap kebakaran. Dengan membeloknya cahaya
ke photo electric cell maka dapt mengatifkan aliran listrik dalam
circuit detector yang ditangkap oleh amplifier untuk menggerakkan
relay alarm.

Gambar 2.9 Detector dan Obscuration Detector


(Sumber: Study Lapangan, 2010)
2. Detektor Panas (Heat Detector)
Detektor Panas (Heat detektor) adalah detektor yang bekerjanya
berdasarkan pengaruh panas (temperatur) tertentu. Heat detektor dirancang
untuk mengindera adanya kebakaran pada tingkatan yang lebih besar lagi,
dimana temperatur lokasi yang dilindungi oleh ini mulai meningkat.

Gambar 2.6 Detektor Panas


(Sumber: http://www.promptfire.com/image/heat-detector-
250x250.jpg)

Panas sebagai akibat dari kebakaran adalah prinsip dasar cara


bekerjanya heat detektor ini, yaitu :

1. Melelehnya material karena panas


2. Memuainya padatan, gas atau cairan
3. Listrik akibat kebakaran

Detektor bertemperatur tetap yang bekerja pada suatu batas


panas tertentu (fixed temperature).
Detektor yang bekerjanya berdasarkan kecepatan naiknya
temperatur (Rate of Rise).
Detektor kombinasi yang bekerjanya berdasarkan kenaikan
temperatur dan batas temperatur maksimum yang ditetapkan.
Heat detektor menggunakan metal campuran yang meleleh pada waktu
kena panas. Metal campuran biasanya akan meleleh pada temperatur
rendah, yaitu antara 55° - 180°C. Yang perlu diperhatikan adalah
temperatur kamar dimana alat ini hendak dipasang, sehingga dapat
dihindari terjadinya alarm palsu.

3. Detektor Nyala Api (flame detector)


Detektor Nyala Api adalah detektor yang bekerjanya berdasarkan
radiasi nyala api. Ada dua tipe detektor nyala api, yaitu:

Detektor Nyala Api Ultra Violet


Detektor Nyala Api Infra Merah

Gambar 2.7 Detektor Nyala Api

(Sumber: http://lctech-engineering.com/v2/wp-
content/uploads/2012/11/sierramonitor-IR3.jpg)

2.2.2 Prosedur Perencanaan Sistem Pencegahan Kebakaran


2.2.2.1. Kriteria Desain Detektor
Dalam pemasangan detektor tidak bisa dilakukan secara sembarangan
namun memiliki aturan-aturan yang harus dilakukan. Aturan-aturan tersebut
dilaksanakan guna mendapatkan keefektifan kerja dari detektor itu sendiri.
Pemasangan komponen-komponen detektor harus memiliki merk
dagang, terdaftar sebagai pengesahan kualitas standart, memperoleh rekomendasi
dari instansi yang berwenang, dan harus dilengkapi dengan sertifikat dari
laboratorium. Pemilihan jenis detektor juga harus sesuai dengan fungsi ruangan
dan juga luas lantai bangunan.
Tabel 2.1 Jenis Detektor Sesuai Fungsi Ruangan

(Sumber : Training material K3 Penanggulangan Kebakaran)


Keterangan:
BT = Detektor bertemperatur tetap
KNT = Detektor berdasarkan kecepatan naiknya temperature
ROR = Rate-of Rise Detektor
2.2.2.2. Smoke Detector
Kriteria desain dalam pemasangan smoke detektor (detektor asap)
adalah harus memenuhi aturan-aturan sebagai berikut :

1. Detektor asap optic digunakan untuk mendeteksi kebakaran


yang menghasilkan asap tebal, seperti kebakaran PVC.
2. Detektor asap ionisasi digunakan untuk mendeteksi asap
kebakaran yang terdiri dari partikel-partikel kecil yang
biasanya berupa pembakaran sempurna.
3. Penempatan detektor asap harus sesuai dengan fungsi
ruangan.
4. Pada atap datar, detektor asap tidak boleh dipasang pada jarak
kurang dari 10 cm dari dinding dan tidak boleh lebih dari 30
cm dari langit-langit

Gambar 2.8 Penempatan Detektor Asap pada Atap Datar


(Sumber: SNI 03-3985-2000)
5. Balok-balok pada langit-langit dengan tebal dan tingginya
sama atau kurang dari 20 cm maka dapat dianggap sebagai
langit-langit rata.
6. Untuk atap pelana, deretan detektor dipasang didaerah atap
yang berjarak 90 cm dari puncak atap yang diukur mendatar.
Deretan detektor asap yang lain dipasang sesuai dengan jarak
yang diperbolehkan.

Gambar 2.9 Penempatan Detektor Asap pada Atap Pelana


(Sumber: SNI 03-3985-2000)
7. Penempatan dan jarak pemasangan detektor asap harus
disesuaikan dengan bentuk dan pemukaan langit-langit, tinggi
langit-langit, dan sistem ventilasi ruangan.
8. Detektor asap tidak boleh dipasang dalam jarak kurang dari 1,5
meter dari lubang udara masuk.

Gambar 2.10 Penempatan Detektor dari lubang udara masuk


(Sumber: SNI 03-3985-2000)
9. Detektor asap harus dipasang pada daerah dekat lubang udara
balik, dengan jarak kurang dari 1,5 meter.
Gambar 2.11 Penempatan Detektor dari lubang udara balik
(Sumber: SNI 03-3985-2000)
10. Pada setiap luas lantai 92 m2 dengan tinggi langit-langit 3 m,
harus dipasang sebuah alat detektor.
11. Untuk langit-langit yang terbagi-bagi dalam balok-balok,
pemasangan detektor sesuai dengan ketentuan sebagai berikut
:

Gambar 2.12 Penempatan Detektor asap pada langit-langit yang


terbagi dalam balok-balok
(Sumber: SNI 03-3985-2000)
12. Zona detektor harus dibatasi maksimal 20 detektor asap yang
dapat melindung area seluas 1000 m2 luas lantai.
13. Penentuan zona dan jumlah zona untuk suatu bangunan
dipengaruhi oleh luas ruangan dan bentuk bangunan.

Anda mungkin juga menyukai