Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PNEUMONIA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi 5

Dosen Pengampu : Arif Santoso, S.Farm,. Apt.

Disusun Oleh:

HIMATUL MUKAROMAH (1513206002)


ALIEF ARI MEGA VIDIAN PUTRI (1513206017)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)

KARYA PUTRA BANGSA

TULUNGAGUNG

September 2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena dengan izin-Nya kita masih di beri
kesempatan dalam menyelesaikan penyusunan Makalah yang berjudul
“PNEUMONIA”. Dan tak lupa pula penulis haturkan shalawat dan salam atas
junjungan Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat serta para
pengikutnya sampai akhir zaman amin.

Adapun maksud penyusunan Makalah ini untuk memenuhi tugas mata


kuliah Farmakoterapi 5. Penyusun telah berusaha semaksimal mungkin dalam
penyusunan makalah ini dengan memberikan gambaran secara deskriptif agar
mudah di pahami.

Namun penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan, maka dari pada itu penyusun memohon saran dan arahan yang
sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah ini, dimasa akan datang dan
penyusun berharap makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Tulungagung, 14 September 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 1
C Tujuan Penulisan ................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi .............................................................................................. 1
B. Epidemiologi ..................................................................................... 1
C. Etiologi .................................................................................................
D. Patofisiologi ........................................................................................
E. Tanda dan Gejala ................................................................................
F. Terapi ..................................................................................................
G. Managemen ........................................................................................
H. Farmakokinetik Obat ..........................................................................
I. Monitoring dan Evaluasi ....................................................................
J. Farmakoekonomi ................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 16
B. Saran ................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara yang berada di daerah tropis berpotensi menjadi


daerah endemik penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman bagi
kesehatan masyarakat. Salah satu penyakit infeksi tersebut adalah peyakit
Pneumonia. Pneumonia adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
pneumococcus, staphylococcus, streptococcus, dan virus yang cara penularannya
dapat melalui medium udara, percikan ludah, kontak langsung melalui mulut dan
melalui kontak benda-benda yang digunakan bersama (Achmadi, 2011 : 124).
Pneumonia merupakan bagian dari pernapasan bagian bawah dan yang sering
mengalami infeksi terutama bagian paru. Anatomi bagian paru terdiri dari saluran
(bronkhi) yang kemudian dibagi2 (dua) menjadi saluran yang lebih kecil
(bronkhioles), dan akan berakhir di bagian kantung yang kecil (alveoli).
Alveoli ini akan terisi oksigen yang memberikan tambahan ke darah dan
karbondioksida dibersihkan. Ketika seseorang menderita pneumonia, didalam
alveoli terisi pus dan cairan, sehingga menganggu pertukaran gas di alveoli, hal
ini mengakibatkan orang tersebut akan mengalami kesulitan dalam bernapas
(UNICEF/WHO, 2006).
Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
kardiovaskuler dan tuberkulosis. Faktor sosial ekonomi yang rendah
mempertinggi angka kematian. (Jeremy, dkk, 2007, Hal 76-78). Penyakit
Pneumonia sering kali diderita sebagian besar orang yang lanjut usia (lansia) dan
mereka yang memiliki penyakit kronik sebagai akibat rusaknya sistem kekebalan
tubuh (Imun), akan tetapi Pneumonia juga bisa menyerang kaula muda yang
bertubuh sehat. Saat ini didunia penyakit Pneumonia dilaporkan telah menjadi
penyakit utama di kalangan kanak-kanak dan merupakan satu penyakit serius
yang meragut nyawa beribu-ribu warga tua setiap tahun. (Jeremy, dkk, 2007,
Hal 76-78)

1
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa bahwa makalah ini perlu
dibuat dengan tujuan dapat membantu meningkatkan pelayanan kesehatannya
terutama dalam mengetahui penatalaksanaan terapi penyakit pneumonia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian pneumonia?


2. Bagaimana epidemiologi pneumonia?
3. Bagaimana etiologi pneumonia?
4. Bagaimana patofisiologi pneumonia?
5. Bagaimana tanda dan gejala pneumonia?
6. Bagaimana terapi pneumonia?
7. Bagaimana manajemen terapi pneumonia?
8. Bagaimana farmakokinetik obat pneumonia ?
9. Bagaimana monitoring dan evaluasi pneumonia?
10. Bagaimana farmakoekonomi pneumonia?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian pneumonia.


2. Untuk mengetahui epidemiologi pneumonia.
3. Untuk mengetahui etiologi pneumonia.
4. Untuk mengetahui patofisiologi pneumonia.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala pneumonia.
6. Untuk mengetahui terapi pneumonia.
7. Untuk mengetahui manajemen terapi pneumonia.
8. Untuk mengetahui farmakokinetik obat pneumonia.
9. Untuk mengetahui monitoring dan evaluasi pneumonia.
10. Untuk mengetahui farmakoekonomi pneumonia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Pneumonia
Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat
disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit.
Pneumonia menjadi penyebab kematian tertinggi pada balita dan bayi serta
menjadi penyebab penyakit umum terbanyak. Pneumonia dapat terjadi sepanjang
tahun dan dapat melanda semua usia. Manifestasi klinik menjadi sangat berat pada
pasien dengan usia sangat muda, manula serta pada pasien dengan kondisi kritis
(Depkes RI, 2005).

Gambar 1. Paru dengan pneumonia


1. Klasifikasi Pneumonia
a. Berdasarkan klinis dan epideologis :
1) Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia). Pneumonia
komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia
komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka
kematian tinggi di dunia. Menurut kepustakaan penyebab pneumonia

3
komuniti banyak disebabkan bakteri gram positif dan dapat pula bakteri
atipik.
2) Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia). Pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi
setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua
infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.
3) Pneumonia aspirasi. Pneumonia aspirasi merupakan peradangan yang
mengenai parenkim paru, distal dari bronkio bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.yang
disebabkan oleh aspirasi benda asing baik yang bersal dalam tubuh
maupun di luar tubuh penderita.
4) Pneumonia pada penderita Immunocompromised. Penderita
immunocompromised seperti penderita Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) seringkali mendapatkan infeksi oportunistik yang
disebabkan karena penurunan imunitas. Salah satunya adalah
Pneumocystis pneumonia (PCP) yang merupakan penyakit oportunistik
pada infeksi HIV (human immunodefi ciency virus). Infeksi pneumonia
ini disebabkan oleh jamur Pneumocystis jiroveci.

b. Berdasarkan mikroorganisme penyebab :


1) Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri tendensi yang menyerang seseorang misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi
influenza.
2) Pneumonia atipikal, disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia
3) Pneumonia virus
4) Pneumonia jamur sering terjadi infeksi sekunder. Predilaksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah.

c. berdasarkan predileksi infeksi

4
Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua.
1) Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan
sekunder disebabkan olehobstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi
benda asing atau proses keganasan
2) Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
3) Pneumonia interstisial
(PDPI, 2003).

2. Faktor Resiko
a. Usia tua atau anak-anak
b. Merokok
c. Adanya penyakit paru yang menyertai
d. Infeksi Saluran Pernapasan yang disebabkan oleh virus
e. Splenektomi (Pneumococcal Pneumonia)
f. Obstruksi Bronkhial
g. Immunocompromise atau mendapat obat Immunosupressive seperti –
kortikosteroid
h. Perubahan kesadaran (predisposisi untuk pneumonia aspirasi) (IDAI,
2008)

B. Epidemiologi Pneumonia
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang
terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir diseluruh
dunia. Di Inggris Pneumonia menyebabkan kematian 10 kali lebih banyak dari
pada penyakit infeksi lain, sedangkan di AS merupakan penyebab kematian
urutan ke-15 (Qaulyiah, 2010).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan prevalensi Nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka
nasional), angka kesakitan (morbidita) Pneumonia pada Bayi: 2,2 %, Balita: 3%,

5
angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5% (Depkes RI,
2007).
Pneumonia pada balita dapat terjadi tanpa kelainan imunitas yang jelas.
Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita Pneumonia didapati
adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh.
Frekuensi relative terhadap Mikroorganisme petogen paru bervariasi menurut
lingkungan ketika infeksi tersebut didapat. Misalnya lingkungan masyarakat,
sanitasi fisik rumah, panti perawatan, ataupun rumah sakit. Selain itu faktor iklim
dan letak geografis mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi penyakit ini
(Qaulyiah, 2010).

C. Etiologi Pneumonia
Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam etiologi meliputi infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, fungi, parasit). Penyebab paling
sering pneumonia adalah bakteri dan virus. Penyebab yang jarang menyebabkan
infeksi pneumonia ialah fungi dan parasit. Selain disebabkan oleh infeksi,
pneumonia juga bisa disebabkan oleh hal lain (non infeksi) misalnya bahan kimia
atau benda asing yang teraspirasi, seperti:

a. Pneumonia Lipid : Disebabkan karena aspirasi minyak mineral.


b. Pneumonia Kimiawi : Inhalasi bahan-bahan organik dan anorganik atau uap
kimia seperti berillium.
c. Extrinsik alergik alveolitis : Inhalasi bahan debu yang mengandung alergen
seperti spora aktinomisetes termofilik yang terdapat pada ampas debu di
pabrik gula.
d. Pneumonia karena obat : Nitofurantoin, busulfan, metotreksat.
e. Pneumonia karena radiasi
(Jeremy, 2007).

D. Patofisiologi Pneumonia
Pada keadaan sehat, pada paru-paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru-paru. Terdapatnya mikroorganisme di paru merupakan akibat

6
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,
sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
penyakit. Resiko infeksi di paru-paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran nafas.
Masuknya mikroorganisme ke saluran nafas dan paru-paru dapat melalui berbagai
cara, yaitu inhalasi (penghirupan) mikroorgnisme dari udara yang tercemar,
aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring, penyebaran
melalui pembuluh darah dari infeksi di organ tubuh yang lain, migrasi
(perpindahan) organisme langsung dari infeksi di dekat paru-paru (Fransisca,
2000).

1) Virus
Virus menyerang dan merusak sel untuk berkembang biak. Biasanya virus
masuk kedalam paru-paru bersamaan droplet udara yang terhirup melalui mulut
dan hidung. Setelah masuk virus menyerang jalan nafas dan alveoli. Invasi ini
sering menunjukan kematian sel, sebagian virus langsung mematikan sel atau
melalui suatu tipe penghancur sel yang disebut apoptosis.Ketika sistem imun
merespon terhadap infeksi virus, dapat terjadi kerusakan paru-paru. Sel darah
putih, sebagian besar limfosit, akan mengaktivasi sejenis sitokin yang membuat
cairan masuk ke dalam alveoli. Kumpulan dari sel yang rusak dan cairan dalam
alveoli mempengaruhi pengangkutan oksigen ke dalam aliran darah. Sebagai
tambahan dari proses kerusakan paru-paru, banyak virus merusak organ lain dan
kemudian menyebabkan fungsi organ lain terganggu. Virus juga dapat membuat
tubuh rentan terhadap infeksi bakteri. Untuk alasan ini, pneumonia karena bakteri
sering merupakan komplikasi dari pneumonia yang disebabkan oleh virus.
Pneumonia virus biasanya disebabkan oleh virus seperti vitus influensa, virus
syccytial respiratory (RSV), adenovirus dan metapneumovirus. Virus herpes
simpleks jarang menyebabkan pneumonia kecuali pada bayi baru lahir. Orang
dengan masalah pada sistem imun juga berresiko terhadap pneumonia yang
disebabkan oleh cytomegalovirus (CMV) (Fransisca, 2000).

2) Bakteri

7
Bakteri secara khusus memasuki paru-paru ketika droplet yang berada di
udara dihirup, tetapi mereka juga dapat mencapai paru-paru melalui aliran darah
ketika ada infeksi pada bagian lain dari tubuh. Banyak bakteri hidup pada bagian
atas dari saluran pernapasan atas seperti hidung, mulut dan sinus dan dapat
dengan mudah dihirup menuju alveoli. Setelah memasuki alveoli, bakteri
mungkin menginvasi ruangan di antara sel dan di antara alveoli melalui rongga
penghubung. Invasi ini memacu sistem imun untuk mengirim neutrofil yang
adalah tipe dari pertahanan sel darah putih, menuju paru-paru. Neutrofil menelan
dan membunuh organisme yang berlawanan dan mereka juga melepaskan sitokin,
menyebabkan aktivasi umum dari sistem imun. Hal ini menyebabkan demam,
menggigil dan mual umumnya pada pneumonia yang disebabkan bakteri dan
jamur. Neutrofil, bakteri dan cairan dari sekeliling pembuluh darah mengisi
alveoli dan mengganggu transportasi oksigen (Fransisca, 2000).
Bakteri sering berjalan dari paru-paru yang terinfeksi menuju aliran darah
menyebabkan penyakit yang serius atau bahkan fatal seperti septik syok dengan
tekanan darah rendah dan kerusakan pada bagian-bagian tubuh seperti otak, ginjal
dan jantung. Bakteri juga dapat berjalan menuju area antara paru-paru dan dinding
dada (cavitas pleura) menyebabkan komplikasi yang dinamakan empyema.
Penyebab paling umum dari pneumonia yang disebabkan bakteri adalah
Streptococcus pneumoniae, bakteri gram negatif dan bakteri atipikal. Penggunaan
istilah “Gram positif” dan “Gram negatif” merujuk pada warna bakteri (ungu atau
merah) ketika diwarnai menggunakan proses yang dinamakan pewarnaan Gram.
Istilah “atipikal” digunakan karena bakteri atipikal umumnya mempengaruhi
orang yang lebih sehat, menyebabkan pneumonia yang kurang hebat dan berespon
pada antibiotik yang berbeda dari bakteri yang lain (Fransisca, 2000).
Tipe dari bakteri gram positif yang menyebabkan pneumonia pada hidung
atau mulut dari banyak orang sehat. Streptococcus pneumoniae, sering disebut
”pneumococcus” adalah bakteri penyebab paling umum dari pneumonia pada
segala usia kecuali pada neonatus. Gram positif penting lain penyebab dari
pneumonia adalah Staphylococcus aureus. Bakteri Gram negatif penyebab
pneumonia lebih jarang daripada bakteri gram negatif. Beberapa dari bakteri gram
negatif yang menyebabkan pneumoni termasuk Haemophilus influenzae,

8
Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan
Moraxella catarrhalis. Bakteri ini sering hidup pada perut atau intestinal dan
mungkin memasuki paru-paru jika muntahan terhirup. Bakteri atipikal yang
menyebabkan pneumonia termasuk Chlamydophila pneumoniae,Mycoplasma
pneumoniae,dan Legionella pneumophila (Fransisca, 2000).

3) Fungi
Pneumonia yang disebabkan jamur tidak umum, tetapi hal ini mungkin
terjadi pada individu dengan masalah sistem imun yang disebabkan AIDS, obat-
obatan imunosupresif atau masalah kesehatan lain. Patofisiologi dari pneumonia
yang disebabkan oleh jamur mirip dengan pneumonia yang disebabkan bakteri.
Pneumonia yang disebabkan jamur paling sering disebabkan oleh Histoplasma
capsulatum,Cryptococcus neoformans, Pneumocystis jiroveci dan Coccidioides
immitis. Histoplasmosis paling sering ditemukan pada lembah sungai Missisipi
dan Coccidiomycosis paling sering ditemukan pada Amerika Serikat bagian barat
daya (Fransisca, 2000).

4) Parasit
Beberapa varietas dari parasit dapat mempengaruhi paru-paru. Parasit ini
secara khas memasuki tubuh melalui kulit atau dengan ditelan. Setelah memasuki
tubuh,mereka berjalan menuju paru-paru, biasanya melalui darah. Terdapat seperti
pada pneumonia tipe lain, kombinasi dari destruksi seluler dan respon imun yang
menyebabkan ganguan transportasi oksigen. Salah satu tipe dari sel darah putih,
eosinofil berespon dengan dahsyat terhadap infeksi parasit. Eosinofil pada paru-
paru dapat menyebabkan pneumonia eosinofilik yang menyebabkan komplikasi
yang mendasari pneumonia yang disebabkan parasit. Parasit paling umum yang
dapat menyebabkan pneumonia adalah Toxoplasma gondii, Strongioides
stercoralis dan Ascariasis (Fransisca, 2000).

E. Tanda dan Gejala Pneumonia


1. Tanda
a. Demam

9
b. Takipnea
c. Takikardia
d. Hipoksemia ringan
e. Menghilangnya suara nafas di area yang terkena
f. Pekak pada perkusi dada
g. Vowel perubahan pada auskultasi (fremitus taktil, whispered pectoriloquy,
dan egofoni)
h. Ronki basah pada inspirasi selama pengembangan paru
i. Konsolidasi pada roentgent dada
j. Peningkatan hitung sel darah putih dengan pergeseran ke kiri

2. Gejala :
a. Menggigil
b. Batuk produktif
c. Sputum purulen, berwarna seperti karat
d. Nyeri dada pleuritik (tajam, seperti terkena pisau)
(Lyrawaty dan Leonita, 2012)
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung mikroorganisme
penyebab, usia pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Gejala
yang terjadi pada pasien pneumonia sering kali disertai batuk. Pada awalnya
keluhan batuk yang tidak produktif, tapi selanjutnya akan berkembang menjadi
batuk produktif dengan mucus purulen kekuning-kuningan, kehijau-hijauan.
Orang dengan pneumonia, batuk dapat disertai dengan adanya darah,sakit
kepala,atau mengeluarkan banyak keringat dan kulit lembab. Pasien biasanya
mengeluh mengalami demam tinggi, peningkatan suhu tubuh dan menggigil.
Selain itu pasien mengalami peningkatan frekuensi pernafasan, sesak nafas yang
ditandai dengan dinding dada bawah tertarik kedalam atau nafas cepat 40-50
kali/per menit, nyeri dada seperti pada pleuritis, nyeri tajam atau seperti ditusuk,
tanda konsolidasi paru (pekak pada perkusi, peningkatan fremitus, esofonia, suara
nafas bronkhial dan ronkhi) (Jeremy, 2007).

Gejala-gejala umum yang biasa ditemukan pada kondisi pneumonia seperti


batuk produktif, demam yang disertai menggigil bergetar, sulit bernapas, nyeri

10
dada yang tajam atau menghunjam selama menarik napas dalam-dalam, dan
peningkatan laju respirasi (Hoard, 2006). Tanda-tanda dan gejala khusus pada
anak-anak balita yaitu demam, batuk, dan napas yang cepat atau sulit. Tanda-
tanda dan gejala yang lebih parah meliputi: kulit biru, rasa haus berkurang,
konvulsi, muntah-muntah yang menetap, suhu ekstrim, atau penurunan tingkat
kesadaran (Singh, 2012).

F. Terapi Pneumonia
a. Tujuan Terapi
1. Menghilangkan organisme pengganggu dengan pemilihan antibiotik yang
sesuai. Pemilihan antibiotik yang tepat dan lengkap sebagai tujuan terapi
untuk pneumonia.
2. Meminimalisir morbiditas.
3. Meminimalisir obat-obat yang dapat mengganggu disfungsinya organ
ginjal,paru, dan hati.
4. Kasus radang virus pneumoni yang self limiting, dari antivirus influenza
pneumonia (amantadine atau rimatadine) pemulihan dapat dipercepat.
5. Terapi dengan biaya yang hemat.
6. Penggunaan obat secara oral atau parenteral jika dimungkinkan.
7. Mendorong untuk lebih perawatan jalan daripada rawat inap

b. Strategi Terapi
Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti
infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara
empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah
bakteri pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang
berspektrum sempit sesuai patogen.

1. Terapi antibiotika awal : menggunakan tebakan terbaik berdasarkan pada


klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organism, karena hasil
mikrobiologis tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada
hasil dan sensitivitas antibiotika (Jeremy,2007).

11
2. Tindakan suportif : meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa
(SaO2 < 90%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi : ventilasi non invasive (misalnya tekanan
jalan napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau
ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan
bronkoskopi membantu bersihan sputum (Jeremy, 2007).

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian


antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme
dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu penyakit yang
berat dapat mengancam jiwa dan bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum
tentu sebagai penyebab pneumonia. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris

c. Tatalaksana Terapi

Pengobatan pada pneumonia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Terapi Non Farmakologi


a. Pemberian oksigen pada pasien yang menunjukkan tanda sesak,
hipoksemia. Pemberian oksigen dapat diberikan dengan nasal atau masker,
monitor dengan pulse oxymetri. Bila ada tanda gagal nafas diberikan
bantuan ventilasi mekanik.
b. Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme.
c. Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum.
d. Hidrasi yang cukup
e. Nutrisi yang memadai
f. Hindari merokok, karena asap rokok (aktif maupun pasif) dapat
menimbulkan bronkokontriksi dan memperburuk pernapasan
g. Kontrol pola hidup sehat seperti menghindari kegemukan dan lakukan
kegiatan fisik (senam asma).
(Depkes RI, 2005).

2. Terapi Farmakologi

12
Awalnya penggunaan antibiotik empiris spektrum luas yang relatif efektif
terhadap bakteri patogen setelah sesuai kultur dan spesimen untuk evaluasi
laboratorium telah diperoleh. Beberapa faktor yang membantu untuk
mendefinisikan potensial patogen yang terlibat termasuk usia pasien, riwayat
sebelum dan saat pengobatan, penyakit yang mendasari, fungsi organ utama, dan
kehadiran status klinis. Faktor-faktor ini harus dievaluasi untuk memilih ketepatan
dan keefektifan rejimen empiris,antibiotik serta rute yang paling tepat untuk
pemberian obat (oral atau parenteral). Pilihan empiris yang tepat untuk
pengobatan bakteri pneumonia relatif terhadap pasien yang mendasari penyakit
akan ditampilkan dalam tabel 1 untuk orang dewasa dan tabel 2 untuk anak-anak.

Tabel 1 Terapi antibiotik empiris untuk pasien dewasa penderita pneumonia

Tabel 2. Terapi antibiotik empiris untuk pasien anak penderita pneumonia

Umur Patogen Terapi


1 bulan Grup B Streptococcus, H. Ampicilin/sulbaktam,
influenza,E.coli, S.aureus, sefalosporin, karbapenem.

13
listeria CMV, RSV, Ribavirin untuk RSV
Adenovirus.
1-3 bulan. Chlamydia, kemungkinan Makrolida/azilide,Trimetropim
ureaplasma, CMV, -sulfametoksazol
pneumocytis carinii, Ribavirin
RSV Semisintetic penisilin atau
Pneumococus S.aureus. sefalosporin.
3 bulan - 6 Pneumococus, h.influenza, Amoxicillin atau sefalosporin,
tahun. RSV, adenovirus, ampicilin &sulbaktam,
parainfluenza. amoxicillin &clavulanat,
ribavirin for RSV
6 tahun Pneumococus, micoplasma Makrolida/azilide,
pneumonia, adenovirus sefalosporin, amoxiclav.

Keterangan. : CMV : Cytomegalovirus.

RSV : Respiratory sincitial virus

( Dipiro et al, 2008.1863)

Tabel 6. Dosis Antibiotik untuk Terapi Bakteri Pneumonia

14
a. Antibiotika Pada Pneumonia
1) Golongan Betalaktam
a) Sefalosporin
Sefalosporin memiliki aktivitas antimikroba yang luas dengan mekanisme
kerja menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang dihambat ialah reaksi
transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.
Sefalosporin aktif terhadap kuman Gram-positif maupun Gram-negatif, tetapi
spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi. Sefalosporin dibagi
menjadi 4 generasi berdasarkan aktivitas antimikrobanya, yang secara tidak
langsung juga sesuai dengan urutan masa pembuatanyya. Dewasa ini sefalosporin
yang lazim digunakan dalam pengobatan, telah mencapai generasi keempat
(Gan,V.H.S., 2007).

(1) Sefalosporin generasi pertama


Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif terhadap
sebagian besar S. aureus dan streptococcus termasuk S. pyogenes, S. viridans,
dan S. pneumoniae. Mikroba yang resisten antara lain S. aureus resisten
metisilin (MRSA), S. epidermis dan S. faecalis. Sefaleksin, sefradin, dan
sefadroksil aktif pada pemberian per oral.
(2) Sefalosporin generasi kedua
Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan
generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif. Misalnya H.
influenzae, P. mirabilis, E. coli dan Klebsiella (Gan,V.H.S., 2007). Sebagian
senyawa juga aktif terhadap kelompok B. Fragilis. Sefalosporin generasi ini
kurang aktif terhadap bakteri gram positif, terlebih pada Enterococcus atau
Pseudomonas aeruginosa. Kelompok ini antara lain : sefprozil, sefaklor,
sefamandol, sefoksitin, sefotetan, sefmetazol, dan sefuroksim (Goodman dan
Gilman, 2007). Sefoktisin aktif terhadap kuman anaerob (Gan, V.H.S., 2007).
Golongan ini yang biasa digunakan pada pengobatan pneumonia adalah
sefuroksim dengan dosis 500 mg tiap 12 jam selama 7 hari (Therapeutic
guideline), 750-1,5g IV tiap 12 jam (AHFS) dan sefprozil dengan dosis 250-
500 mg tiap 12 jam selama 10 hari (AHFS).
(3) Sefalosporin generasi ketiga

15
Golongan ini umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama
terhadap kokus gram positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap
Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase (Gan,V.H.S.,
2007). Keuntungan dari sefalosporin golongan ini adalah peningkatan
aktivitasnya melawan bakteri gram negatif. Ciri penting lain generasi ini
adalah kemampuannya untuk mencapai sistem saraf pusat dan cairan spinal
dengan konsentrasi yang cukup. Kelompok ini antara lain : sefoperazon,
sefotaksim, seftriakson, seftazidim, sefiksim, sefotiam, sefpodoksim dan
seftributen (Jawetz et al, 2005). Seftriakson memiliki waktu paruh yang lebih
panjang dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga cukup diberikan satu
kali sehari (Depkes, 2000). Seftazidim dan sefoperazon aktif terhadap P.
Aeruginosa (Gan,V.H.S., 2007). Antibiotika golongan ini yang biasa
digunakan pada pengobatan pneumonia adalah sefpodoksim, seftriakson dan
sefotaksim. Dosis sefotaksim 1g IV tiap 6-8 jam. Dosis seftriakson 1g IV tiap
12 jam. Dosis sefpodoksim 200 mg tiap 12 jam selama 10 sampai 14 hari
(AHFS).
(4) Sefalosporin generasi keempat
Antibiotika golongan ini (misalnya sefepim) mempunyai spektrum aktivitas
lebih luas dari generasi ketiga dan lebih stabil terhadap hidrolisis oleh
betalaktamase. Antibiotika tersebut dapat berguna untuk mengatasi infeksi
kuman yang resisten terhadap generasi ketiga (Gan,V.H.S., 2007).

2) Penisilin

Penicilin merupakan derifat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisid


dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Penisilin
menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding
sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, penisilin akan menghasilkan efek
bakterisid (Gan,V.H.S., 2007). Obat golongan penisilin yang digunakan dalam
terapi pneumonia komunitas adalah amoksisilin. Dosis dewasa untuk amoksisilin
yaitu 500mg setiap 8 jam atau 875 mg tiap 12 jam (AHFS).

3) Golongan Kuinolon

16
Obat golongan kuinolon bekerja dengan menghambat DNA gyrase sehingga
sintesis DNA kuman terganggu. Kuinolon baru (gatifloksasin, moksifloksasin,
gemifloksasin dan levofloksasin) mempunyai daya antibakteri yang cukup baik
terhadap kuman gram positif, gram negatif, dan kuman atipik penyebab infeksi
saluran nafas bawah. Uji klinik menunjukkan bahwa kuinolon baru ini efektif
untuk community acquired pneumonia (Setiabudi, R, 2007). Dari prototipe awal
yaitu asam nalidiksat berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat,
cinoksacin, norfloksacin. Generasi awal mempunyai peran dalam terapi
gramnegatif infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya yaitu generasi kedua
terdiri dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin, lomefloksasin,
fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi
community-acquired maupun infeksi nosokomial. Lebih jauh lagi ciprofloksasin,
ofloksasin, peflokasin tersedia sebagai preparat parenteral yang memungkinkan
penggunaannya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan agen lain
(Depkes, 2005).

Obat golongan ini yang biasa digunakan untuk pneumonia adalah


levofloksasin, moksifloksasin, gemifloksasin dan gatifloksasin. Dosis
levofloksasin untuk pengobatan pneumonia komuniti 500 mg sekali setiap 24 jam
selama 7-14 hari. Atau, 750 mg sekali setiap 24 jam selama 5 hari dapat
digunakan untuk pengobatan pneumonia komuniti disebabkan oleh S. pneumoniae
(strain penisilin-rentan), Haemophilus influenzae, H. parainfluenzae,
Chlamydophila pneumoniae, atau Mycoplasma pneumoniae. Ketika digunakan
dalam rejimen empiris untuk pengobatan pneumonia komuniti, Infectious
Diseases Society of America (IDSA) dan American Thoracic Society (ATS)
merekomendasikan levofloksasin yang diberikan dalam dosis 750 mg sekali
sehari. Untuk pengobatan pneumonia nosokomial pada orang dewasa, dosis biasa
levofloksasin 750 mg sekali sehari selama 7-14 hari. Dosis moksifloksasin 400
mg per hari selama 7-14 hari. Dosis gemifloksasin 320 mg per hari selama 7 hari
(Mandel et al, 2007).

4) Makrolida

17
Terdiri dari eritromisin, klaritromisin dan azitromisin. Kadar azitromisin
yang tercapai dalam serum setelah pemberian oral relatif rendah, tetapi kadar di
jaringan dan sel fagosit sangat tinggi. Obat yang disimpan di jaringan ini
kemudian dilepaskan perlahan lahan sehingga dapat diperoleh masa paruh
eliminasi sekitar 3 hari. Dengan demikian obat cukup diberikan sekali sehari dan
lama pengobatan dapat dikurangi. Absorbsinya berlangsung cepat namun
terganggu bila diberikan bersama dengan makanan. Obat ini tidak menghambat
antikrom P-450 sehingga praktis tidak menimbulkan interaksi obat. Obat
golongan ini yang biasa digunakan untuk pneumonia adalah azitromisin,
klaritromisin dan eritromisin. Dosis klaritromisin 250mg tiap 12 jam selama 7-14
hari. Dosis azitromisin 500mg sekali hari sebagai dosis awal dan dilanjutkan
dengan 250mg sekali hari pada hari ke dua sampai hari ke lima (Setiabudi, R,
2007).

G. Managemen Pneumonia
Terdapat berbagai macam manajemen terapi untuk pasien CAP. Stratifikasi
penatalaksanaan pasien CAP menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
dibagi menjadi berikut.

1. Pasien rawat jalan


a. Pengobatan suportif / simptomatik
1) Istirahat di tempat tidur
2) Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
3) Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
4) Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
5) Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai tabel) kurang dari 8 jam
2. Pasien rawat inap di ruang rawat biasa
a. Pengobatan suportif / simptomatik
1) Pemberian terapi oksigen
2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
3) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
4) Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai tabel) kurang dari 8 jam
3. Pasien rawat inap di Ruang Rawat Intensif

18
a. Pengobatan suportif / simptomatik
1) Pemberian terapi oksigen
2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan
3) Elektrolit
4) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
5) Pengobatan antibiotik (sesuai tabel) kurang dari 8 jam.
(PDPI, 2003)

H. Farmakokinetik Obat Pneumonia


1. Sefalosporin
Dari sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi 2 golongan.
Sefaleksin, sefrain, sefaklor dan sefadroksil dapat diberikan peroral karena
diabsorbsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan
secara parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v karena
menimbulkan iritasi pada pemberian i.m beberapa sefalosporin generasi ketiga
misalnya moksalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan sefriakson mencapai kadar
tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan
mengitis purulena. Selain itu, sefalosporin juga melewati sawar plasenta,
mencapai kadar tinggi dalam cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada
pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif
tinggi, tetapi tidak mencapa vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi,
terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh ke
urin, kecuali sefoperazonyang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Oleh
karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (ISO
farmakoterapi, 2013).
2. Penisilin
Penisilin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis
dinding sel. Obat ini berdifusi baik di jaringan dan cairan tubuh, tetatp penetrasi
ke dalam cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami infeksi.
Obat ini diekskresikan ke urin dalam kadar terapeutik. Probenesid menghambat
ekskresi penisilin oleh tubulus ginjal sehingga kadar dalam darah lebih tinggi dan
masa kerjanya lebih lama (ISO farmakoterapi, 2013).

19
3. Kuinolon

Quinolon, merupakan bakterisida karena menghambat lepasnya untai DNA


yang terbuka pada proses superkoil dengan menghambat DNA girase (enzim yang
menekan DNA bakteri menjadi superkoil). Untuk memasukkan DNA untai ganda
yang panjang kedalam sel bakteri, DNA diatur dalam loop (DNA terrelaksasi)
yang kemudian diperpendek oleh proses superkoil. Sel eukariotik tidak
mengandung DNA girase. Sifat penting dari Quinolon adalah penetrasinya yang
baik ke dalam jaringan dan sel (bandingkan dengan Penisilin), efektivitasnya bila
diberikan secara oral, dan toksisitasnya relatif rendah (Neal, 2006).

4. Makrolida
a. Pemberian : Eritromisin basa dihancurkan oleh asam lambung sehingga obat
ini diberikan dalam bentuk tablet salut enterik atau ester. Semua obat ini
diabsorpsi secara adekuat setelah pemberian per oral. Klaritromisin dan
azitromisin stabil terhadap asam lambung dan siap diabsorpsi. Makanan dapat
mempengaruhi absorbsi eritromisin dan azitromisin tetapi mungkin
meningkatkan insidens tromboflebitis.
b. Distribusi : Distribusi eritromisin ke seluruh cairan tubuh baik kecuali ke
cairan serebrospinalis. Obat ini merupakan satu diantara sedikit antibiotika
yang berdifusi ke dalam cairan prostat dan mempunyai sifat akumulasi unit
ke dalam makrofag. Obat ini berkumpul di hati. Adanya inflamasi
menyebabkan penetrasinya ke jaringan lebih baik. Demikian juga, dengan
klaritromisin dan azitromisin absorbsi keduanya luas ke jaringan. Kadar
serum azitromisin rendah, obat ini berkumpul di neutrofil, makrofag dan
fibroblas.
c. Metabolisme : Eritromisin dimetabolisme secara ekstensif dan diketahui
menghambat oksidasi sejumlah obat melalui interaksinya dengan sistem
sitokrom P-450. Klaritromisin dioksidasi menjadi derivat 14-hidroksi yang
mempunyai aktivitas antibakteri: mempengaruhi metabolisme obat seperti
teofilin dan karbamazepin. Azitromisin tidak mengalami metabolisme.
d. Ekskresi : Eritromisin dan azitromisisn terutama dikumpulkan dan
diekskresikan dalam bentuk aktif dalam empedu. Reabsorpsi parsial terjadi
melalui sirkulasi enterohepatik. Sebaliknya, Klaritromisin dan metabolitnya

20
dieliminasi oleh ginjal serta hati dan obat ini direkomendasikan pada
penderita gangguan ginjal dengan dosis yang disesuaikan.
(Rampengan, N. 2013)

I. Monitoring dan Evaluasi Pneumonia


Setelah dilakukan terapi, parameter klinis tetap harus di monitor untuk memastikan
kemanjuran dan keamanan regimen terapi. Pada pasien pneumonia ringan sampai
berat harus dilakukan pemantauan mengenai waktu resolusi batuk, produksi sputum,
demam serta gejala- gejala konstitusional lainnya seperti mual, muntah, dan kelesuan. Pada
pasien pneumonia nosokomial parameter tambahan pelu dilakukan yaitu WBC dan anallisa
gas darah. Selanjutnya, kemungkinan perlunya terapi antijamur (amfoterisin B) harus
dipertimbangkan. Beberapa resolusi gejala harus diamati dalam waktu 2 hari mulai
terapi antibiotik yang tepat, dengan resolusi lengkap di harapkan dalam waktu 10
sampai 14 hari (Dipiro, 2008 : 1960).

J. Farmakoekonomi Pneumonia

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

22
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F., 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan, Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada.
Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2013. ISO
Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta.
Depkes RI, 2000. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut Pada Anak, Jakarta: Ditjen PPM & PLP.
Depkes RI, 2007. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita, Jakarta: Depkes.
Depkes RI., 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Dipiro JT, Wells BG, Schwinghammer TL, Hamiton CW. Pharmacoterapy hand
book, seventh editions. New York : Lange Medical Book/ Mc Graw Hill.
2008.
Fransisca. 2000. Pneumonia. Surabaya.
Gan, V.H.S., dan Istiantoro, V.H ., 2007, Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik
Betalaktam Lainnya, dalam Farmakologi dan Terapi Edisi V, 664-693,
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Goodman dan Gilman, 2007, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Vol.2, 48:
1247-1253, Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB,
Penerbit Buku Kedokteran.
Howard, C.R, Chantry, C.J, dan Auinger P. 2006. Full Breastfeeding Duration
And Assoiated In Respiratory Tract Infection In US Children. Official
Journal of American Academy of pediatrics journal 117 (2): 425-432.
IDAI, 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Pertama. N. N. Rahajoe, B. Supriyatno,
& D. B. Setyanto, eds., IDAI.
Jawetz, E, J. melnick, et al., 2005. Jakarta: EGC Jawetz, melnick & Adelberg
Mikrobiologi Kedokteran.
Lyrawaty dan Leonita, 2012. sistem pernafasan: Assessment, patofisiologi, dan
Terapi Gangguan Pernafasan. Malang: PSF-FKUB Universitas Brawijaya.
Mendel LA, Wuderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC,
Dowell SF, et al. Infectious Disease Society Of America / American

23
Thoracic Society Consensus Guidelines On The Management Of
Community-Acquired Pneumonia In Adults. Clinical Infectious Disease.
2007; 44: 527-72
Neal M.J., 2006, At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta
PDPI, 2003, Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Qauliyah,A. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Pneumonia. Diakses
6 November 2010 dari http://astaqauliyah.com/2010/07/referat-
kedokteran-diagnosis-dan-penatalaksanaan-penyakit-pneumonia
Rampengan, N. 2013. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi Pada
Anak. Sari Pediatri Vol. 14 No. 5 Edisi Februari. Jakarta. Hal : 271 – 276
Setiabudi, R., 2007, Pengantar Antimikroba.,dalam Gunawan, S.G., Setiabudy, R.,
Nafrialdi. dan Elysabeth., Farmakologi dan Terapi,Hal 585, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Singh YD. Pathophysiology of community acquired pneumonia. J Assoch.
Physicians India 2012;60 Suppl:7-9.
WHO & UNICEF, 2006. The forgotten killer of children, New york: WHO.
Jeremy P.T., 2007, At Glance Sistem Respirasi, Edisi Kedua, Erlangga
Medical Series, Jakarta, pp. 76-77.

24

Anda mungkin juga menyukai