Anda di halaman 1dari 3

ENDS

Langit telah berwarna gelap sepenuhnya, namun awan itu masih enggan meninggalkan atas kota
Palembang ia menyembunyikan dengan baik sang ratu malam dan menghebuskan dingin yang
membelai tulang.
Aku menyembunyikan telapak tangan di dalam kantong jaket tebal berwarna hijau kusam yang
melindungiku dari dinginnya malam hari ini, sejauh yang aku lihat hanya sebuah tempat kumuh,
bangunan yang menghipit satu sama lain menyisakan jalan dengan lebar tak lebih dari dua meter
yang penuh dengan genangan air kotor.
Aku terus melaju, membelah kesunyian ah tidak, masih terdengar suara televisi dan beberapa
cahaya dari bangunan di sampingku, tinggal dua blok lagi dari yempat ini dan aku akan segera
sampai di tempat kerjaku, rumah bordil atau singkatnya tempat pelacuran.
Pintu berwarna coklat kotor itu terpampang di hadapanku, bisa ku dengar suara samar dari balik
nya. Aku menghela nafas berat, lalu membuka pintu tersebut. Hanya terdapat ruangan yang di
terangi satu lampu berwarna kuning dengan loker karatan serta sebuah meja tua, aku melepas
jaket dan sepatu, memasukkannya kedalam sembarang loker lalu berlalu menuju keruangan
ganti.
Seorang wanita paruh baya tengah membuka pakaiannya tepat di depn mataku, yah biarkan saja.
Dan seorang lagi sedang memoles lipstick merah tebal di bibirnya, mereka melirik ke arahku
sekilas lalu melanjutkan kembali kegiatanya.
Aku sendiri hanya menambah pakaianku dengan kemeja lengan pendek berwarna merah hati dan
membiarkan tak di kancingi, menampilkan kaos putih dengan gambar band kesukaanku,
avengersevenvold.
Seseorang membuka pintu ruangan ganti, suara decitan engsel menggema di udara, aku menoleh
dan mendapatkan sosok yang aku kenali bersandar di daun pintu, ia hanya mengenakan pakaian
mini yang sangat terbuka an mencolok, sebatang rokok terselip di bibirnya yang mengkilap
diteerpa lampu redup, ririn.
“kau sangat lama, ndra.” Aku berdiri sambil menghela nafas.
“namanya juga berjalan bukan terbang. Satu lagi, jangan panggil nama asliku.” Ia tertawa, lalu
menarik tanganku keluat dari ruang ganti.
“cepatlah, sudah ada yang menunggumu di kamar biasa, oke.”
“iya, iya.”
Disini kami semua memakai nama samaran, nama panggilanku sendiri adalah aries, dan aku
sseorang laki-laki. Yah kalian tidak salah, aku laki-laki menjijikkan yang bekerja sebagai pelacur
di sini, sangat, sangat menjijikkan.
Aku menaiki tangga, mengabaikan suara desahan dari balik pintu yang sedikit terbuka, aku
nemuju lantai kedua dan pintu ke lima, ruangan yang biasa aku gunakan untuk bercinta denga
pelanggan yang memanggilku.
Ruangan berukuran 4x4 meter tang nyaris kosong namun masih terdapat sebuah ranjang tua di
sudut ruangan dan sebuah meja kecil dan kursi kayu di dekat pintu, ruangan tang aku gunakan
selama setahun belakangan, dan diatas rabjang aku melihat seorang pria tengah memainkan
gawainya, ia menoleh kearahku.
“aries?”aku mengangguk lalu berjalan kearahnya, mengabaikan perasaan mual yang melanda
saat aku membayangkan apa yang akan kami lakukan nanti.
“benar-benar sesuai dengan apa yang aku ccari, nah kau, aku harap kau memuaskanku dan tak
menyia-nyikan uang yang sudah aku beri pada si gendut itu.” Ia mulai melepas pakaiannya
sambil menatap buas kearahku
“anda tidak akan kecewa, tuan.”Aku tersenyum, senyum yang sangat menyakitkan.
Jari jari kasarnya menyusuri leherku, ia merapatkan tubuhnya yang hanya memakai boker ke
badanku, lalu menyatukan bibir kami. Aku perlahan mulai melepas celana dan kemejaku di sela
desahannya dan ciuman yang semakin menuntut.
….
Pukul 2 pagi, si brengsek itu meninggalkanku dengan semua sisa sperma di tubuhku dan liur
tentunya. Aku berdiri lalu memunguti satu persaatu pakaian yang tercecer di lantai, di atas meja
aku melihat dua lembar uang dua puluh ribu yah, tip yang lumayan sisanya tinggal minta di
nenek gen- eh, nona lily, pemilik serta orang yang mengatur pekerjaan kami di sini.
Aku memakai pakaianku dengan cepat menghiraukan bau bajingan itu di tubuhku lalu berlalu
menuju ruangan lily.
Ruangan yang besar dengan sebuah televise yang tengah menyiarkan acara pencarian bakat,
nene-, maksudku nona lily seperti biasa sibuk menghitung uang-uang di mejanya tubuhnya yang
gendut berkeringat dan menguatkan bau alcohol yang kuat, aku meneguk ludah.
“nona, aku sudah menyelesaikan pekerjaan.” Pandngannya menusuk tepat kemataku, lalu
menyelusuri tiap inch penampilanku.
“aries, tambang uangku, kemarilah biar aku bagi bagianmu.” Ia tertawa, aku sendiri duduk di
kursi plastic dihadapannya, tangan-tangannya yang berlemak mengambil beberapa lembar uang
seratus ribu, “ambillah,”
Aku menatap tiga lenbar uang berwarna merah itu, fikiranku berkecamuk, aku sudah muak
dengan pekerjaan ini.
“satu tahun lagi, aku harap kau benar-benar melepasku dan tak mengganggu kehidupanku lagi,”
ia kembali tertawa
“tentu saja, tapi setahun adalah waktu yang lama ‘kan?”
….
Tanggal 14 juni, hari pertamaku sma. Aku memandang bangunan bertingkat 4 di hadapanku,
warna putih gading kusam yang telah terkontaminasi lumut dan beberapa pohon cemara besar
berdiri kokoh di balik pagar, di sebelah kiri berdiri sebuah masjid yang lumayan besar.
Tidak ada yang istimewa, aku melihat tempat administrasi di lobby, bunga-bunga vinca berwarna
merah dan putih yanpak bermekaran di sepanjang jalan menuju lantai.
Lantai satu merupakan lantai khusus murid sma, terdapat Sembilan ruangan kelas, sebuah
ruangan besar tempat guru dan kepala sekolah serta sebuah ruangan lagi bagi ruangan tata usaha.
Aku berjalan ke ujung bangunan sebelah kiri, murid-murid baru berdatangan sama sepertiku
mereka menuju tiga ruangan paling kiri lantai tiga, sebuah madding besar menyapa
penglihatanku, nyaris kosong hanya ada beberapa pengumuman pembayaran administrasi dan
beberapa bekas kertas yang di sobek.
ruangan ketiga dari ujung merupakan kelas X1, ruangan yang akan menjadi tempatku belajar
selama setahun kedepan. Aku memasuki ruang kelas, masih banyak yang belum datang wajar ini
masih jam setengah tujuh, pelajaran sendiri dimulai pukul tujuh.
Terdapat tujuh murid yang baru datang termasuk aku sendiri, ruangannya sendiri nyaris tidak
memiliki ventilasi kecuali bolongan-bolongan di atas dinding serta pintu, meja-mejanya sendiri
tampak masih baru walaupun terdapat banyak coretan tip-ex, aku berjalan melewati meja-meja
yang masih kosong lalu duduk di sudut kiri, paling belakang.
Pukul 6.50 kebanyakan murid telah memenuhi ruangan, menduduku bangku masing-masing dan
ber interaksi antar mereka. Aku masih setia duduk dengan tenang sambil membaca buku novel
dan brown. Di sampingku duduk seorang laki-laki, ia tak lebih tinggi dariku, wajahnya terlihat
ramah walaupun begitu tak ada percakapan di antara kami kecuali berkenalan nama, sejauh yang
aku tau ia bernama rizki.

Anda mungkin juga menyukai