Anda di halaman 1dari 7

1.

Sejarah Perkembangan Biofertilizer


Biofertilizer (pupuk hayati) telah dikenal dan digunakan oleh para petani di
berbagai belahan dunia sejak berabad-abad yang lalu. Petani padi Cina menggunakan
Azolla sebagai biofertilizer tanaman padi sejak 1500 tahun yang lalu. Hal ini
diketahui dari sebuah buku yang ditulis oleh Jia Ssu Hsieh (Jia Si Xue) pada 540 AD
dengan judul “The Art of Feeding the People” (Chih Min Tao Shu). Pada akhir
Dinasti Ming di awal abad ke-17, penggunaan Azolla sebagai “Green compost” ditulis
pada berbagai media lokal. Bangsa Romawi, Yunani dan Israel mengetahui tentang
biofertilizer dalam sistem pertanian organik (organic farming) bahkan sejak 1000
tahun sebelum Masehi. Berbagai referensi penggunaan biofertilizer dalam budidaya
tanaman tertera dalam teks-teks gereja. Di Amerika Serikat, selama berabadabad para
petani tidak menyadari bahwa mereka telah mempraktekkan kegiatan budidaya
pertanian dengan memanfaatkan biofertilizer “Rhizobia”. Mereka hanya belajar dari
pengalaman bahwa menginokulasi tanaman nonlegum dengan tanah yang diambil dari
tanaman legum sebelumnya, dapat meningkatkan hasil tanaman mereka. Pada akhir
abad ke- 19, pencampuran tanah (yang telah diinokulasi secara alami dengan tanaman
legum) dengan benih tanaman, merupakan metode yang direkomendasikan dalam
proses budidaya tanaman (Smith, 1992).
Pengembangan biofertilizer untuk tujuan komersialisasi pertama kali
dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1896. Dua orang ilmuwan Jerman, F.
Nobbe dan L. Hiltner mendapatkan paten dari “Proses inokulasi benih dengan
inokulan Rhizobium sp.”. Inokulan ini dipasarkan dengan nama Nitragin. Kemudian
pada tahun 1930-an dan 1940-an berjuta-juta ha lahan di Uni Sovyet yang ditanami
dengan berbagai tanaman diinokulasi dengan Azotobacter. Bakteri ini diformulasikan
dengan berbagai cara dan disebut sebagai pupuk bakteri Azotobakterin. Sementara itu,
di Eropa Timur, biofertilizer yang digunakan secara luas adalah Fosfobakterin.
Produk ini mengandung bakteri Bacillus megaterium yang mampu menyediakan
fosfat terlarut dari tanah ke tanaman (Bashan, 1998). Selama hampir 100 tahun,
inokulan Rhizobium sp. telah diproduksi di seluruh dunia. Di Brazil, tanaman kacang-
kacangan, seperti kedelai (Glycine max L. (Merr.) tidak dipupuk dengan nitrogen,
tetapi hanya diinokulasi dengan inokulan Rhizobium sp. Pemanfaatan biofertilizer ini
memberikan dampak positif yang signifikan pada produksi kedelai dan kacang-
kacangan lainnya di Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina. Hal yang sama juga
terjadi di Australia, Amerika Utara, Eropa Timur, Mesir, Israel, Afrika Selatan,
Selandia Baru, dan sebagian Asia Tenggara. Namun demikian di negara-negara
kurang berkembang seperti Asia, Afrika, dan Amerika Tengah dan Selatan, teknologi
inokulan tidak berdampak secara signifikan pada produktivitas pertanian. Hal ini
diduga karena inokulan tidak digunakan sesuai rekomendasi atau inokulan yang
digunakan berkualitas buruk (Bashan, 1998).
Pengembangan biofertilizer di Indonesia baru dimulai pada tahun 1980-an,
meskipun beberapa penelitian terkait dengan pembuatan inokulan rhizobia telah
dimulai sejak tahun 1938 (Simanungkalit, 2006). Pembuatan inokulan rhizobia dalam
skala komersial dimulai pada tahun 1981, berpusat di Laboratorium Mikrobiologi,
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Namun demikian, pengguna produk
tersebut masih terbatas hanya untuk memenuhi permintaan para petani transmigran
yang mendapat bantuan dana program intensifikasi kedelai (Jutono, 1982). Secara
umum, komersialisasi produk inokulan di Indonesia tidak berkembang secara
signifikan. Petani lebih memilih menggunakan pupuk kimia, karena praktis digunakan
dan lebih mampu meningkatkan produksi dibandingkan dengan tanpa pemupukan.
Apalagi pupuk mendapat subsidi dari pemerintah sehingga harganya relatif murah.
Namun demikian setelah perlahan-lahan subsidi pupuk mulai dikurangi, dan bahkan
dicabut, maka kesadaran petani tentang pupuk hayati mulai dibangun. Kesadaran
petani untuk menggunakan biofertilizer terasa semakin meningkat dalam beberapa
tahun terakhir ini. Intensifikasi pertanian melalui gerakan Revolusi Hijau sejak tahun
1970-an, yang lebih mengutamakan penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi, di satu
sisi memang menyebabkan produktivitas pertanian mengalami peningkatan yang
cukup signifikan, namun di sisi lain, penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara
terus menerus dan tidak terkendali, mengakibatkan dampak negatif terhadap
lingkungan (tanah, air dan manusia). Saat ini kondisi lahan-lahan pertanian yang
mendapatkan pupuk sintetis secara berlebihan dan terus menerus, sudah mulai
menunjukkan gejala sakit. Pupuk sintetis yang dipercaya dapat meningkatkan hasil,
ternyata penambahannya sudah tidak meningkatkan hasil lagi atau terjadi gejala
leveling off produksi (Kasno, 2010). Mikroorganisme penyeimbang kondisi fisik,
kimia dan biologi tanah sudah jarang ditemukan. Munculnya berbagai penyakit
degeneratif yang dipicu atau disebabkan oleh konsumsi bahan pangan yang tidak
sehat (residu bahan kimiawi beracun terutama dari penggunaan pestisida kimia yang
tidak bijaksana), semakin menyadarkan masyarakat untuk segera beralih ke teknologi
pertanian yang lebih ramah lingkungan. Berbagai kajian dan pengembangan pertanian
berbasis teknologi ramah lingkungan, tidak hanya berkembang di Indonesia, trend ini
bahkan telah berkembang lebih awal di berbagai belahan dunia. Berbagai negara
seperti India, Thailand, Jepang, Cina, Brazil, Taiwan dan negara maju lainnya telah
lama beralih dari pupuk kimia ke biofertilizer. Permintaan produk pangan organik
berbasis biofertilizer juga menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan dari tahun
ke tahun. Sebagian orang lebih memilih untuk mengkonsumsi produk-produk pangan
organik walaupun dengan harga yang lebih mahal. Kondisi ini membuka peluang
yang sangat besar untuk berbagai kajian dan pengembangan teknologi yang
berorientasi pada dihasilkannya produk organik, karena memberi manfaat ekonomis
sekaligus ekologis. Oleh karena itu teknologi biofertilizer sebagai salah satu faktor
kunci untuk pencapaian tujuan tersebut, perlu terus dikembangkan dan disebarluaskan
penggunaannya di seluruh negeri ini
2. Pengertian Biofertilizer
Biofertilizer (pupuk hayati) atau pupuk mikroba didefinisikan sebagai
formulasi mikroorganisme atau organisme hidup yang bila diterapkan pada benih,
permukaan tanaman atau tanah, mengolonisasi rizosfer atau bagian dalam tanaman
dan meningkatkan pertumbuhan dengan meningkatkan pasokan atau ketersediaan
nutrisi utama untuk tanaman inang (Vessey, 2003).
Beberapa Ilmuwan lainnya mendefinisikan biofertilizer sebagai sistem
penyediaan nutrisi tanaman yang melibatkan proses biologis (Aggani, 2013), bahan
yang mengandung mikroba hidup yang membantu dalam meningkatkan kesuburan
tanah baik melalui fiksasi nitrogen atmosfer, pelarutan fosfor atau pengomposan
limbah organik atau dengan menghasilkan hormon tumbuh melalui aktivitas
biologisnya untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman
(Narula et al., 2005), produk yang mengandung pembawa (padat atau cair)
berbasis mikroorganisme hidup yang berguna dalam bidang pertanian misalnya
sebagai pemfiksasi nitrogen, pelarut fosfor atau mobilisasi nutrisi, untuk
meningkatkan produktivitas tanah dan/atau tanaman (Simiyu– Wafukho dan Masso,
2013). Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa biofertilizer
adalah produk atau formulasi yang fungsi dan prinsip penggunaannya sama seperti
pupuk kimia yaitu menyediakan unsur hara N, P, K atau unsur hara dan substansi
lainnya (hormon tumbuh) untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman.
3. Komponen Biofertilizer
Komponen utama biofertilizer adalah mikroba yang memiliki keunggulan
sesuai dengan label kemasannya, misalnya biofertilizer pemfiksasi N mengandung
Rhizobia atau Azzospirillum atau Azotobacter, atau campuran beberapa mikroba
sekaligus. Komponen lainnya adalah carrier (bahan pembawa) berupa cairan atau
bahan padatan dan bahan perekat. Jenis carrier yang banyak digunakan adalah bahan-
bahan organik berasal dari limbah pertanian seperti kompos, pupuk kandang, serbuk
sekam, serbuk tongkol jagung (Wang et al., 2014), serbuk bata merah atau serbuk
arang sekam (Sutariati et al., 2011), vermicompost atau cascing (Gandhi dan
Sivakumar, 2010; Packialakshmi dan Riswana, 2014), serbuk sekam padi, dedak
gandum, tanah liat, gambut, dan campuran gambut dengan vermikulit (Abd El-Fattah
et al., 2013), campuran gambut dan kompos (Danapriatna dan Simarmata, 2011).
Sebagai bahan perekat umumnya digunakan sukrosa, pepton, gliserol dan molase
(Saleh et al., 2013), gum (Nandi et al., 2013), gum arabic dan jaggery (Suman et al.,
1995), carboxymethylcellulose (Hameeda et al., 2008). Agar dapat dikomersialkan
secara luas kepada masyarakat/pengguna, maka produk biofertilizer yang dihasilkan
harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional
dalam bentuk SNI, atau yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dalam bentuk
Persyaratan Teknis Minimal (Peraturan Menteri Pertanian Nomor
70/Permentan/SR.140/10/2011).
4. Jenis-jenis Biofertilizer
Beberapa jenis biofertilizer yang umum dijumpai di pasaran yaitu:
a. biofertilizer sumber nitrogen melalui kemampuannya mengikat nitrogen bebas
untuk diubah menjadi amoniak yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh
tanaman, antara lain Azotobacter, Azospirillum, Herbaspirillum, Rhizobium,
Clostridium, Azolla, Cyanobacter dan lain-lain;
b. Biofertilizer sumber fosfat dan mineral lainnya (kalium, sulfur), seperti
Bacillus, Pseudomonas, dan Mikoriza. Kelompok mikroba ini menyediakan
fosfat atau mineral lainnya dengan cara melarutkan fosfat (P) atau kalium (K)
yang tidak larut menjadi fosfat atau kalium terlarut sehingga dapat diserap
oleh tanaman;
c. Biofertilizer penyedia biohormon. Biohormon adalah hormon yang dihasilkan
oleh mikroba untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Mikroba-
mikroba penyedia biohormon adalah Azotobacter, Azospirillum,
Pseudomonas, dan Bacillus. Pada umumnya, biohormon dapat berupa auksin,
sitokinin, dan giberelin. hormon-hormon ini sangat diperlukan oleh tanaman,
baik untuk perkecambahan, pertumbuhan tunas dan batang, perpanjangan
akar, pembungaan maupun pembuahan.
5. Keunggulan dan Kelemahan Biofertilizer
Keunggulan Biofertilizer
a. Pupuk hayati meningkatkan ketersediaan unsur hara (nitrogen dan fosfor) bagi
tanaman dengan cara lebih alami dibandingkan dengan pupuk kimia. Pupuk
hayati juga dapat menambah dan memobilisasi nutrisi penting untuk
pertumbuhan tanaman seperti hormon tumbuh, protein dan vitamin. Beberapa
spesies mikroba juga dapat memproduksi senyawa anti mikroba (patogen) dan
pestisida alami.
b. Pupuk hayati mengembalikan kesuburan tanah secara normal melalui
peningkatan aktivitas biologis mikroba penyusunnya dan asosiasinya dengan
berbagai mikroorganisme lainnya. Peningkatan aktivitas mikroba dapat
meningkatkan jumlah bahan organik sehingga tekstur dan struktur tanah
menjadi lebih baik.
c. Pupuk hayati meningkatkan hasil hingga 50%. Pupuk hayati membantu
tanaman mengembangkan sistem akar yang lebih kuat dan tumbuh lebih baik.
d. Pupuk hayati mampu memproteksi mikroorganisme berbahaya dalam tanah,
seperti fungi, bakteri dan nematoda patogen. Aplikasi pupuk hayati pada
benih, memberikan perlindungan lebih awal terutama terhadap patogen
terbawa benih.
e. Mekanisme proteksi mikroba bersifat selektif, artinya mikroba yang terdapat
dalam pupuk hayati hanya akan menyerang hama penyakit target, dan tidak
menyerang mikroorganisme/ organisme bermanfaat.
f. Pupuk hayati tidak mencemari tanah atau lingkungan, sedangkan pupuk kimia
sering mengakibatkan terlalu banyak fosfat dan nitrogen dalam tanah.
g. Pupuk hayati lebih murah dan mudah digunakan, bahkan untuk petani pemula.
Pupuk hayati tidak membahayakan (tidak memiliki efek samping) bagi
penggunanya.
Penggunaan pupuk hayati dalam jangka panjang tidak mengakibatkan
resistensi hama atau penyakit.
h. Penggunaan pupuk hayati mengurangi ketergantungan pada sumberdaya alam
(energi bumi tak terbarukan) yang merupakan bahan baku pupuk kimia.

Kelemahan Biofertilizer

a. Secara umum efektivitas pupuk hayati lebih rendah dibandingkan dengan


pupuk kimia. Mekanisme perbaikan pertumbuhan atau proteksi terhadap
organisme pengganggu tanaman (OPT) berjalan lebih lambat, sehingga hal ini
seringkali mengakibatkan petani kembali beralih ke pestisida kimiawi,
dikarenakan ketidaksabaran menunggu hasil aksi mikroba pupuk hayati.
b. Dinamika perkembangan populasi mikroba di daerah rizosfer setelah aplikasi
sulit diprediksi (memerlukan isolasi dan pengujian berkala untuk memastikan
keberadaan dan kontribusinya bagi tanaman).
c. Lebih optimal jika digunakan untuk preventif (melalui perlakuan pada benih),
karena membutuhkan waktu untuk pertumbuhannya. Keterlambatan aplikasi
pada tanaman mengakibatkan pupuk hayati kurang efektif.
d. Pupuk hayati memerlukan aplikasi berulang untuk mempertahankan
populasinya pada kondisi seimbang.

Anda mungkin juga menyukai