Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Inflammatory bowel disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan


saluran cerna yang sampai saat ini penyebab pastinya belum diketahui secara
jelas. Secara garis besar IBD terbagi 3 jenis yaitu kolitis ulseratif, chron disease,
dan bila sulit membedakan keduanya, maka dimasukan kedalam kategori
intermediate colitis. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan
penyakit inflamasi usus lainnya yang telah diketahui penyebabnya seperti infeksi,
ischemik dan radiasi. Kolitis ulseratif ditandai dengan adanya eksaserbasi secara
intermitten dan remisinya gejala klinik. (Djojoningrat, 2007)
Kolitis ulseratif adalah suatu subkelompok penyakit peradangan usus dengan
penyebab yang belum diketahui secara pasti. Menurut The Crohn’s and Colitis
Foundation of America mengelompokkan beberapa jenis kolitis ulseratif ke
dalam :
a. Penyakit ulserasi yang hanya atau sering menyerang bagian paling distal
dari kolon dan rektum disebut sebagai proktitis ulseratif.
b. Penyakit ulserasi dari kolon desenden sampai rektum disebut kolitits distal
c. Penyakit ulserasi yang mengenai seluruh kolon disebut sebagai pankolitis.
(Kathleen and Julie, 2003)
Insidensi penyakit kolitis ulseratif di Amerika Serikat kira-kira 15 per
100.000 penduduk secara respektif dan tetap konstan. Prevalensi penyakit ini
diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk. Sementara puncak kejadian
penyakit tersebut adala usia 15-35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi
dalam setiap dekade kehidupan. (Glickman RM, 2000)
Penyebab pasti dari kolitis ulseratf tidak diketahui, tetapi penyakit ini
tampaknya multifaktor dan polygenic. Terdapat beberapa usulan penyebab
diantaranya faktor lingkungan, disfungsi kekebalan tubuh, dan kecenderungan
faktor genetik. Beberapa berpendapat bahwa anak-anak lahir di bawah berat rata-

1
rata yang lahir dari ibu dengan kolitis ulseratif memiliki risiko lebih besar terkena
penyakit ini. (Adam, 2010)
Kolitis adalah penyakit seumur hidup yang memiliki dampak sosial dan
emosional yang mendalam pada pasien yang terkena. Diagnosis kolitis ulserativa
paling baik dibuat dengan endoskopi dan biopsi mukosa untuk
histopatologi. Studi laboratorium sangat membantu untuk menyingkirkan
diagnosis lain dan menilai status gizi pasien, tapi pertanda serologi dapat
membantu dalam diagnosis penyakit colitis. Pencitraan radiografi memiliki peran
penting dalam hasil pemeriksaan pasien dengan suspect kolitis dan dalam
diferensiasi kolitis ulserativa dengan penyakit Crohn. Perlakuan awal untuk colitis
ulceratif meliputi pemberian kortikosteroid, agen anti-inflamasi, agen antidiare,
dan rehidrasi. Bedah dianggap perlu jika pengobatan medis gagal atau jika
keadaan darurat bedah berkembang. (Adam, 2010)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon. Kolitis
ulseratif adalah salah satu dari 2 jenis utama penyakit radang usus (IBD) ,
bersama dengan penyakit Crohn . Tidak seperti penyakit Crohn, yang
dapat mempengaruhi setiap bagian dari saluran pencernaan, kolitis
ulseratif bersifat hanya melibatkan usus besar, dan ileum terminal pada
10% pasien. (Gambar 1 dan 2). (Adam, 2010)
Kolitis ulseratif merupakan penyakit yang menyerang kolon dan
rektum di bagian jaringan paling luar atau mukosa. Bentuk lesi ini berupa
daerah peradangan dan ulserasi kontinu tanpa segmen jaringan normal.
(Kathleen and Julie, 2003)

Gambar 1. Kolon normal dan kolitis ulseratif

Gambar 2. Jaringan kolon normal dan kolitis ulseratif

3
B. EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit kolitis ulseratif ini sama dengan penyakit chron.
Banyak ditemukan di negara barat dan sedikit di negara Asia dan Afrika.
Kolitis ulseratif lebih sering terjadi di negara industri. Negara Kanada adalah
negara dengan angka kejadian kolitis ulseratif terbanyak di dunia. Akan tetapi
akhir-akhir ini lebih banyak kasus Crohn ditemukan di Indonesia, mungkin
juga karena lebih banyak orang berobat ke dokter dan adanya kemajuan di
bidang teknik untuk diagnosa. Insidensi penyakit kolitis ulseratif di Amerika
Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan tetap konstan.
Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk.
Sementara puncak kejadian penyakit tersebut adala usia 15-35 tahun,
penyakit ini telah dilaporkan terjadi dalam setiap dekade kehidupan.
(Glickman RM, 2000)
Prevalensi terjadinya kolitis ulseratif di antara pria dan wanita adalah
1 : 1. Walaupun demikian, menurut literatur tertentu wanita sedikit lebih
banyak mengalami kolitis ulseratif daripada pria. Kebanyakan penyakit ini
menyerang remaja awal, tetapi gambaran klinisnya baru tampak pada usia ke-
50 sampai ke-60 dan biasanya terjadi pada usia ke-70 sampai ke-80.
(Hopkins, 2013)
Di RSCM tahun 2001 – 2006 terdapat 3,9% pasien yang terdeteksi
dari 1541 pasien yang dilakukan endoskopi, dan di RSGS tahun 2002 – 2006
terdapat 6,95% pasien yang terdeteksi sebagai kolitis ulseratif dari 532 pasien
yang dilakukan endoskopi.( Djojoningrat dkk, 2011)

C. ETIOLOGI
Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran
tertentu penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal
ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik.
(Glickman RM, 2000)

4
 Faktor familial/ genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih
dibandingkan orang kulit hitam atau cina, dan insidensinya meningkat (3
sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi dibandingkan dengan non Yahudi.
Hal ini menunjukan bahwa dapat ada predisposisi genetik terhadap
perkembangan penyakit ini. (Glickman RM, 2000)
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada
orang kulit hitam dan orang kulit kuning. (Ariestine, 2008) Saudara pada
pohon faktor tingkat pertama dari pasien kolitis ulseratif memiliki faktor
terkenanya IBD 4-20 kali lebih sering dengan absolut faktor risiko sekitar
7%. Kembar monozigot memiliki tingkat risiko lebih besar daripada
kembar dizigot, terutama untuk penyakit Crohn. Akan tetapi, faktor
genetik lebih berperan pada penyakit Crohn daripada kolitis ulseratif.
(Daniel K. Podolsky, 2002).

 Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian
terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping banyak
usaha untuk menemukan agen bakteri, jamur, virus, belum ada yang
sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel
Pseudomonas atau agen lain yang dapat ditularkan yang dapat
menghadirkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus
dikonfirmasi. (Glickman RM, 2000)

 Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep
bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini
(misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan
bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat
menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-
70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA
(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA

5
tidak terlibat dalam patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia
dikaitkan dengan alel HLA-DR2, di mana pasien dengan p-ANCA negatif
lebih cenderung menjadi HLADR4 positif. (Glickman RM, 2000)

 Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan.
Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang,
sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan
seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit
radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka
menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang
atau mengeksaserbasi gejalanya. (Glickman RM, 2000)

 Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis
ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif
menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi
apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian sekarang
menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara perokok
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan
risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan
dengan yang bukan perokok. (Glickman RM, 2000)

D. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan
mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan
menyebar/ progresif ke proksimal. Perjalanan penyakit kolitis ulseratif bisa
dimulai dengan gejala pertama yang berat ataupun dimulai dari gejala
ringan kemudian akan semakin berat bertahap setiap minggu. Hal ini
didasarkan pada panjang kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus
dan hanya melibatkan lapisan mukosa. (Ariestine, 2008)

6
Sebagai respon terhadap kerusakan lapisan mukosa, perbaikan
jaringan perlahan akan membentuk suatu pseudopolip. Pseudopolip ini
bisa menutup saluran kolon sehingga dapat menyebabkan terjadinya
konstipasi. Mekanisme lainnya adalah ulserasi yang dalam akan merusak
persarafan kolon sehingga dapat memperlemah kontraksi kolon.
Kelemahan kontraksi ini akan menghambat pegerakan faeces keluar tubuh.
Terjadilah konstipasi. (Ariestine, 2008)

Gambar 4. Colonoscopy colon normal, Chron’s disease, dan colitis


ulcerative

Selain itu, perbaikan jaringan atas kolitis ulseratif dapat menyebabkan


kolon terlalu membengkak menjadi gangrenosa. Keadaan tersebut dikenal
sebagai megakolon. Jaringan baru yang terbentuk ini rentan sekali
mengalami displasia sehingga meningkatkan kemungkinan terkena tumor
kolon. (Ariestine, 2008)

7
Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria
oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya
belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun
sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab
IBD (Price, 2005)
Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba
non patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal.
Hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek
genetik pada fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun
yang tidak terkontrol pada flora normal kolon (Price, 2005)
Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen
yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori ini, pasien menghasilkan
respon imun inisial melawan antigen lumenal, yang tetap dan diperkuat
karena kesamaan antara antigen lumenal dan protein tuan rumah. Hipotesis
autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epitelial oleh sitotoksisitas
seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated secara
langsung (Price, 2005)

Gambar 3. Patogenesis Kolitis Ulseratif

8
Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada
peningkatan sekresi antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG
dan IgM yang melengkapi komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan
meningkatnya produksi IgG (oleh limfosit Th2) dan IgG, sub tipe yang
respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent. Ada juga peningkatan
produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α
[TNF-α], terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang
lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini
menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam
penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam
pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies
oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang
meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen
kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi
dan edema. ( Djojoningrat dkk, 2011)

Secara umum diakui bahwa imun respon cell mediated terlibat dalam
patogenesis IBD. Akan tetapi belum jelas secara pasti apakan respon imun
yang terjadi dikarenakan oleh defek intrinsik (aktivasi konstitutif atau
kegagalan meknisme down regulation) atau stimulasi terus-menerus sehingga
terjadi perubahan perlindungan mukosa epitel. Penyakit kolitis ulseratif
ditandai oleh respon limfosit CD4+ dengan sel T-helper tipe 2. Respon ini
lebih dicirikan dengan mengeluarkan transforming growth factor β (TGF- β)
dan interleukin-5 (IL-5) tanpa mengeluarkan IL-4. Terjadi penurunan jumlah
supresor sel T (Th3 atau Tr1). Penurunan ini akan mengurangi aktivasi down
regulation sitokin IL-10 dan TGF- β. (Daniel K. Podolsky, 2002)

Ada peningkatan sekresi antibody oleh sel mononuclear intestinal,


terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen. Colitis ulseratif
dihubungkan dengan meningktanya produksi IgG1 (oleh limfosit Th2) dan
IgG3, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell dependent.

9
Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan
tumor necrosis factor-α (TNF- α), terutama pada aktivasi makrofag di lamina
propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek
produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat
dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam
pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies
oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang
meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen
kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi
dan edema (Ariestine, 2008).

Tingkat keparahan penyakit ini didasarkan pada gambaran


histologi berupa adanya gambaran abses kripte yang khas. Epitelium kripte
rusak sehingga terjadi sebukan sel polimorfonuklear ke dalam lumen usus.
Lamina propia terisi oleh leukosit. Bersamaan dengan rusaknya kripte,
struktur mukosa normal hilang dan digantikan oleh luka sehingga
memperpendek lekukan-lekukan jonjot-jonjot usus. (Ariestine, 2008).

E. KLASIFIKASI KOLITIS ULSERATIF


1. Kolitis ulserosa dini aktif
Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum hipermia dan
edema, erosif dan ulserasif kecil. Gambaran histopatologi biopsi,
menunjukkan kelainan kombinasi antara erosi dan ulserasi. Kuantitas
elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan vaskularisasi
pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang
terdiri dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses
kemudian pecah dan proses radang meluas pada submukosa. (Jugde TA,
2009)

2. Kolitis ulserosa kronik aktif


Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan proses
penyembuhan dengan regenerasi mukosa. Mikroabses pada kripta

10
jumlahnya berkurang atau menghilang, pada lamina propria jaringan
limfoid mengalami hiperplasia. Kelenjar mukosa mengalami hiperplasia,
muncul dalam bentuk psedopolip. (Jugde TA, 2009)

3. Kolitis Ulserosa Tenang


Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada proses
regenerasi kelenjar, menonjol, akan tetapi vaskularisasi sudah berkurang.
Bila kolitis ulserosa sudah berlangsung lama, dapat dijumpai displasia atau
prakanker. Itulah alasannya ulserosa dianggap sebagai resiko tinggi untuk
karsinoma kolon dan rektum. (Jugde TA, 2009)

Tabel 1. Klasifikasi Tahapan Kolitis Ulseratif

Perihal Perubahan Akut Resolving Stage Chronic-healed Stage


Kongesti vaskular ++ +
Deplesi mukosa + -
kriptitis, abses kripte ++ +
Hilangnya epitel dan ulserasi ++ -
PMN, eosinofil, dan sel mast ++ +
Pus usus ++ -
Sel plasma basal ++ ++
Regenerasi epitel - ++
Ekspansi sel mitotik aktif - ++
Distorsi struktur
• atrofi ++
• bercabang ++
• pemendekan kripte ++
• permukaan villi ++
Metaplasia pilorik ++
Metaplasia sel Paneth ++
Hiperplasia limfoid ++
Epithelial displacement ++

11
Peningkatan mononukleous ++
Hiperplasia sel endokrin ++
Metaplasia sel skuamous ++
(Judge TA, 2009)

Klasifikasi dari kolitis ulseratif (Hopkins, 2013)


a. Proktitis
Hanya terbatas pada rektum saja (15 cm kolon desenden). Gambaran
endoskopi dari prokitis berupa edema, eritema, berkurangnya
vaskularisasi. Pada tingkat yang lebih berat dapat terlihat gambaran
granular dan ulserasi frank.

b. Kolitis sisi kiri


Terjadi di kolon distal atau 40 cm sebelum rektum hingga ke rektum
itu sendiri. Klasifikasi penyakit ini berdasarkan pada tidak adanya
penyebaran sepanjang fleksus splenik, kronik inflamasi, atau distorsi
struktur kronik.

c. Pankolitis
Pankolitis telah menyebar sepanjang fleksura splenik. Klasifikasi ini
akan dicirikan dengan adanya hematokezia dan diare yang bisa disertai
nyeri dan kram perut; demam, adan atau menurunnya berat badan dengan
inflamasi persisten. Terdapat pula hilangnya gambaran haustra normal
dengan pemendekan generalisata dan tubularisasi kolon. Pada tingkat
yang lebih berat mukosa dapat menjadi nodular dengan pseudopoliyp.

F. GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis ulseratif
adalah sakit pada perut dan diarrhea yang disertai pendarahan. Di samping itu
dapat juga dijumpai anemia, kelelahan (mudah lelah), kehilangan berat
badan, pendarahan pada rektum, kehilangan nafsu makan, kehilangan cairan
tubuh dan gizi, lesi pada kulit dan radang sendi, pertumbuhan yang

12
terganggu, terutama anak-anak. Hanya sebagian pasien yang terdiagnosa
dengan kolitis ulseratif yang mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang
menderita demam, diarrhea dengan perdarahan, nausea, rasa nyeri pada perut
yang hebat. (Judge TA, 2009)

Gejala kolitis ulseratif biasanya nonspesifik seperti distensi abdomen


atau nyeri sepanjang kolon. Gejala utama kolitis ulseratif adalah nyeri
abdomen yang disertai diare berdarah (disebut melena) dengan garis-garis
lendir di sekelilingnya. Nyeri perut ini akan berkurang setelah defekasi
dilakukan. Namun seiring penyakit ini berkembang, gejala konstipasi akan
muncul (Ariestine, 2008).

Pada tingkat ringan gejala yang dirasakan pasien adalah kotoran yang
semakin encer, kram perut, dan diare. Penyakit ini akan berkembang dari
ringan ke berat yang ditandai dengan adanya gejala : penurunan berat badan,
kelelahan, dan penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu makan ini akan
disertai dengan defisiensi nutrisi, terdapat lendir pada kotoran, perdarahan
peranal berat, demam, dan anemia. (Kathleen and Julie, 2003) Pada kasus berat
seringkali disertai dengan demam dan penurunan berat badan. Dapat juga
terlihat gejala berat demam, takikardia, dan hipotensi postural (Ariestine,
2008).

Gejala ekstrakolon yang dapat terjadi, sebagai berikut (Ariestine, 2008):


a. Penyakit okular (iritis, uveitis, episkleritis)
b. Penyakit kulit (eritema nodosum, pioderma, gangrenosum)
c. Atralgia/ artritis (periferal dan aksial artropati)
d. Kolangitis sklerosing

Ada pun organ yang terlibat pada kolitis ulseratif seperti pada gambar 5
dibawah ini. (Judge TA, 2009)

13
Gambar 5. Keterlibatan organ pada kolitis ulseratif. (Judge TA, 2009)

Tabel 2. Perbandingan gambaran klinis kolitis ulseratif dan penyakit Crohn


Tanda/ Gejala Kolitis Ulseratif Penyakit Crohn
Genetik HLA-B27 -
Otoimun Tidak ada konsensus Secara umum dikenal sebagai
Terkadang dihubungkan penyakit otoimun
dengan Th2 Berhubungan dengan Th17
Merokok Faktor risiko rendah Faktor risiko tinggi
Distribusi Selalu rektum sampai kolon Paling sering terjadi pada
retrograd ileum terminal, namun bisa
Jarang mengenai ileum terjadi di bagian manapun
terminal dan anus dari usus termasuk kolon
Terkadang mengenai rektum

14
dan anus
Dapat mengenai seluruh
dinding usus.
Distribusi Bagian paling luar dari Dapat diselingi dengan
jaringan kolon dan kontinyu jaringan normal di antara
tanpa adanya diselingi bagian abnormal.
jaringan normal
Gejala tersering Melena cair Nyeri, diare, penurunan berat
badan
Diare 4 kali/ hari 4 kali/ hari
Nyeri/ kram perut Ketegangan ringan di bagian Ketegangan sedang sampai
bawah perut berat pada kuadran kanan
bawah perut
Melena Tergantung pada tingkat Tergantung pada tingkat
keparahan penyakit keparahan penyakit
Kelelahan Hilangnya darah berlebih Hilangnya darah berlebih,
dan anemia anemia, dan absorpi nutrisi
terganggu
Demam Tidak tinggi pada kasus Tidak tinggi pada kasus berat
berat
Penurunan berat badan Penurunan berat badan Penurunan berat badan dan
terjadi pada kasus sedang anoreksia biasa terjadi karena
atau berat pencernaan dan absorpsi di
usus tidak adekuat
Nafsu makan Sering menurun saat periode Sering menurun saat periode
eksaserbasi penyakit eksaserbasi penyakit
Manifestasi ekstrakolon Biasa terjadi Jarang terjadi
Pemeriksaan fisik Iritasi perianal, fisura, Iritasi peritoneal, massa
hemoroid, fistul, dan abses abdominal atau pelvis
pada pemeriksan RT

15
Makroskopis Ulserasi ektensif dan Ulserasi fokal aptha diselingi
kontinyu jaringan mukosa normal
Pseudopolyps Ulserasi dalam dengan
bentukan seperti ular
(serpiginous)
Fisura linier
Gambaran cobblestone
Penebalan dinding usus,
“linitis plastic”
Creeping fat
Mikroskopis Abses kripte Noncaseating Granuloma
Tes Serologik Perinuclear Anca (PANCA) Asca positif
positif
Peradangan Terbatas pada mukosa dan Transmural
submukosa Ulkus dalam sampai ke
Ulkus dangkal jaringan
Biopsi granuloma Tidak ada granuloma kripte Mungkin terdapat granuloma
periintestinal kripte periintestinal
nonnekrosis
Pembedahan Seringkali sembuh dengan Biasanya kambuh di dekat
pengangkatan kolon bagian usus yang terkena
Komplikasi Megakolon toksik Striktur, stenosis
Obstruksi
Abses
Fistul
Risiko terkena kolangitis Meningkat Tidak meningkat
sklerosing primer
Risiko terkena kanker kolon Meningkat (5-25 %) Meningkat (1-3 %)
(Kathleen and Julie, 2003) (Marc D, 2011)

16
Tabel 3. Perbedaan ulkus pada kolitis ulseratif dan penyakit Crohn

Gambaran Kolitis Ulseratif Crohn’s Disease


Lesi inflamasi (hiperemia, ulserasi, dll) +++ +
Adanya skip area (adanya mukosa normal
0 +++
di antara lesi)
Keterlibatan rectum +++ +
Lesi mudah berdarah +++ +
Cobblestone appearance / pseudopolip + +++
Sifat ulkus :
Terdapat pada mukosa yang inflamasi +++ +
Keterlibatan ileum 0 ++++
Lesi ulkus bersifat diskrit + +++
Bentuk ulkus :
Diameter > 1 cm + +++
Dalam + +++
Bentuk linier (longitudinal) + +++
Aphtoid 0 ++++
Keterangan : 0 = tidak ada, ++++ = sangat diagnostik (karakteristik)
(Ariestine, 2008)

G. DIAGNOSIS
Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri
abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus
berat. Pada penyakit yang ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang
setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi
sistemik. (Marc D, 2011)
Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan
ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya
anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove).

17
Tabel 4. Klasifikasi Truelove dan Witts (Klasifikasi Derajat Kolitis Ulseratif)

Perihal Ringan Sedang Berat

Jumlah melena <4 4–6 >6

Temperatur (°C) Afebris Sedang >37.8

Frekuensi nadi (kali/ menit) Normal Sedang >90

Hemoglobin (g/dl) >11 10.5–11 <10.5

Laju Endap Darah (mm/jam) <20 20–30 >30


(Marc D, 2011)

Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan


pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara
gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan
panjangnya kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama
hanya melibatkan lapisan mukosa. Secara endoskopik penilaian aktifitas
penyakit kolitis ulseratif relatif mudah dengan menilai gradasi berat
ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. Pada kolitis
ulseratif, terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon.
Secara makroskopik, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya
hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam
dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal.
(Djojoningrat, 2007)

1. Gambaran Fisik Diagnostik


Temuan fisis pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik; bisa terdapat
distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan,
pemeriksaan fisis umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi
postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat.
Manifestasi ekstrakolon bisa dijumpai. Hal ini termasuk penyakit okular
(iritis, uveitis, episkleritis), keterlibatan kulit (eritema nodosum, pioderma

18
gangrenosum), dan artralgia/artritis (periferal dan aksial artropati). Kolangitis
sklerosing primer jarang dijumpai. (Djojoningrat, 2007)

2. Gambaran Laboratorium
Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan
derajat dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang
mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah
kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap
darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan
elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare.
Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya
mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang berulserasi.
Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris
yang berhubungan. (Djojoningrat, 2007)
Pemeriksaan kultur feses (patogen usus dan bila diperlukan,
Escherichia coli O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile
negatif. (Marc D, 2011)
Pemeriksaan antibodi p-ANCA dan ASCA (antibodi Saccharomyces
cerevisae mannan) berguna untuk membedakan penyakit kolitis ulseratif
dengan penyakit Crohn. (Adam, 2010)

3. Gambaran Radiologi
1. Foto polos abdomen
Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus
pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah
batu ginjal, sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput
femur. Gambaran kolon sendiri terlihat memendek dan struktur haustra
menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada, sehingga, apabila
seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam
abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat
mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan

19
kematian apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila terjadi
perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya
pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left
lateral decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak. (Adam, 2010)
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk
melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto
polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium
enema merupakan kontra indikasi. (Marc D, 2011)

2. Barium enema
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila
ada kelainan pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema
maka persiapan saluran cerna merupakan pendahuluan yang sangat penting.
Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-turut dengan memakan makanan
rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air putih yang banyak.
Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral. (Marc D, 2011)
Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras
tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast)
yaitu barium sulfat dan udara. Teknik double contrast sangat baik untuk
menilai mukosa kolon dibandingkan dengan teknik single contrast,
walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit. Barium
enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan
pasien dengan kolitis ulseratif.. Adapun gambaran kolitis pada pemeriksaan
barium tampak pada gambar 4 dan 5. (Adam, 2010)
Gambaran foto barium enema pada kasus dengan kolitis ulseratif
adalah mukosa kolon yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta
kolon tampak menjadi kaku seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara
difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit
akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila
ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan kolon kiri (desendens)
selalu terlibat, karena awalnya kolitis ulseratif ini mulai terjadi di rektum

20
dan menyebar ke arah proksimal secara kontinu. Jadi rektum selalu terlibat,
walaupun rektum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian
proksimalnya. (Adam, 2010)

Gambar 6. Pemeriksaan barium enema yang menunjukkan gambaran pipa


pada Colitis ulseratif (Adam, 2010)

Gambar 7. Gambaran colitis ulseratif stadium berat dimana haustra tidak terlihat
hampir menyeluruh di semua colon. (Adam, 2010)

21
Pada keadaan di mana terjadi pan-ulseratif kolitis kronis maka
perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal
menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum berbentuk kerucut (cone-shaped
caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut
backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-
button ulcers. Pasien dengan kolitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi
menjadi adenokarsinoma kolon. (Adam, 2010)

3. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan
modalitas pemeriksaan yang diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali
merupakan pemeriksaan alternatif untuk evaluasi keadaan intralumen dan
ekstralumen. (Adam, 2010)
Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan
saluran pencernanya dengan menyarankan pasien untuk makan makanan
rendah residu dan banyak minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24
jam sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon
diisi dulu dengan air. (Anonim, 2011)
Pada pemeriksaan USG, kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan
penebalan dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang
berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur
hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan
peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau
pseudo-kidney sign pada potongan transversal atau cross-sectional. Dengan
USG Doppler, pada kolitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan
dinding usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus
tersebut. (Marc D, 2011)

4. CT-scan dan MRI


Kelebihan CT-scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung
keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh
mana komplikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan

22
kelebihan MRI terhadap CT-scan adalah mengevaluasi jaringan lunak
karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara
jaringan lunak satu dengan yang lain. . (Marc D, 2011)
Gambaran CT-scan pada kolitis ulseratif, terlihat dinding usus
menebal secara simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional maka
terlihat gambaran target sign. Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi
dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau keadaan abnormalitas
yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas memperlihatkan
fistula dan sinus tract-nya. (Anonim, 2011)

4. Gambaran Endoskopi
Pada dasarnya kolitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan
mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan
menyebar/progresif ke proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta
didapatkan bahwa lokalisasi kolitis ulseratif adalah 80% pada rektum dan
rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan
seluruh kolon (pan-kolitis). (Anonim, 2011)
Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa,
eritema difus, kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas
mukus, darah dan nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam
adalah karakteristik. Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di
rektum), tidak ada daerah mukosa normal yang menyela sebelum batas
proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun
selalu terjadi pada segmen dengan kolitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik
penuh dari kolon pada kolitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang
sakit akut. Biopsi rektal bisa memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang
lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan penampilan granuler, dan bisa
terdapat pseudopolip seperti pada gambar 6. (Marc D, 2011)

23
Gambar 8. Gambaran colitis ulsertatif cronic. (Marc D, 2011)

5. Gambaran Histopatologi
Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan arsitektur
mukosa, perubahan epitel dan perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur
mukosa meliputi perubahan permukaan, berkurangnya densitas kripta,
gambaran abnormal arsitektur kripta (distorsi, bercabang, memendek).
Perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia sel Paneth serta
permukaan villiform juga diperhatikan. Perubahan lamina propria meliputi
penambahan dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-sel
berinti banyak biasanya ditemukan. Gambaran mikroskopik ini berhubungan
dengan stadium penyakit, apakah stadium akut, resolving atau
kronik/menyembuh. Pada kolon normal, permukaan datar, kripta tegak,
sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama, dan dasar dekat muskularis
mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian atas lamina propria.
Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit kolitis
ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria
mayor harus dipenuhi untuk diagnosis kolitis ulseratif. (Marc D, 2011)
Kriteria mayor kolitis ulseratif:
 Infitrasi sel radang yang difus pada mukosa
 Basal plasmositosis
 Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa
 Abses kripta
 Kriptitis

24
 Distorsi kripta
 Permukaan viliformis
Kriteria minor kolitis ulseratif:
 Jumlah sel goblet berkurang
 Metaplasia sel Paneth
Tetapi pada kolitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat
dibedakan dari kolitis infektif. Dan kolitis ulseratif mempunyai tiga stadium
yang gambaran mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada
seorang penderita dapat ditemukan gambaran ketiga stadium dalam satu
sediaan. (Marc D, 2011)

H. DIAGNOSIS DIFERENSIAL (Adam, 2010; Marc D, 2011),


 Divertikulitis
 Penyakit crohn
 Polip colon
 Gastroenteritis bakteri
 Gastroenteritis viral
 Pendarahan gastrointestinal bagian bawah
 Colitis infeksi
 Irritable bowel syndrome
 Tuberkulosis usus

I. PENATALAKSANAAN
Karena kolitis ulserativa tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan,
tujuan pengobatan dengan obat adalah untuk 1) menginduksi remisi, 2)
mempertahankan remisi, 3) meminimalkan efek samping pengobatan, 4)
meningkatkan kualitas hidup, dan 5) meminimalkan risiko kanker (Marc D,
2011)
Pengobatan kolitis ulseratif dilakukan dengan pemberian obat-obatan
yang secara luas atau selektif efektif dalam mengontrol keakutan penykit dan

25
menghambat remisi gejala dalam jangka waktu yang lama. Pengobatan kolitis
ulseratif juga menerapkan prinsip stepladder : menggunakan regimen yang
lebih poten hanya diberikan pada pasien yang gagal berespon dengan
pengobatan sebelumnya. Terdapat beberapa regiimen obat yang digunakan,
yaitu (Daniel K. Podolsky, 2002)
Adapun Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan
kesehatan lini pertama dijelaskan pada gambar 7. Obat-obat kolitis ulserativa
meliputi .( Djojoningrat dkk, 2011)
1. Agen anti-inflamasi seperti senyawa 5-ASA, kortikosteroid sistemik,
kortikosteroid topikal, dan
2. Immunomodulators

Gambar 9. Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan


lini pertama .( Djojoningrat dkk, 2011)

26
Gambar 10.
Algoritme Tata Laksana Kolitis Ulseratif ((Daniel K. Podolsky, 2002)

27
Pilihan pengobatan untuk kolitis ulseratif dan penyakit Crohn

Derajat Kolitis ulseratif Penyakit Crohn

Distal Luas

Ringan Aminosalisilat oral atau Aminosalisilat oral Aminosalisilat atau


rektal metronidazol oral

Kortikosteroid rektal Bisa juga budesonid


atau siprofloksasin oral

Sedang Aminosalisilat oral atau Aminosalisilat oral Kortikosteroid oral


rektal (budesonid untuk ileus
atau right sided
Kortikosteroid rektal
colonic)

azatioprin atau
merkapropurin oral

Berat Kortikosteroid oral atau Kortikosteroid oral Kortikosteroid oral atau


parenteral atau parenteral parenteral

Kortikosteroid rektal Siklosporin IV Metorexat SC atau IV

Infliximab IV

Refraksional Kortikosteroid oral atau Kortikosteroid oral Infliximab IV


IV atau IV

Ditambahkan azatioprin Ditambahkan


atau merkapropurin oral azatioprin atau
merkapropurin oral

Perianal - - Antibiotik oral


(metronidazol atau

28
siprofloksasin)

Infliximab IV

azatioprin atau
merkapropurin oral

Remisi Aminosalisilat oral atau Aminosalisilat oral Bisa azatioprin atau


rektal merkapropurin oral,
azatioprin atau
mesalamin,
azatioprin atau merkapropurin oral
metronidazol
merkapropurin oral
azatioprin atau
merkapropurin oral

(Daniel K. Podolsky, 2002)

a. Obat Golongan Asam Aminosalisilat


Dilatar belakangi oleh dasar berfikir, bahwa preparat sulfasalazin
merupakan obat yang sudah dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD,
terdiri dari gabungan sulfapiridin dan aminosalisilat dalam ikatan azo yang
dalam usus dipecah menjadi sulfapiridin dan mesalazine/ 5-ASA. Telah
diketahui bahwa yang berperan sebagai efek anti inflamasi adalah 5-ASA ini.
Efek samping 5-ASA murni lebih kecil dibanding Sulfasalazin (terdapat pada
unsusr sulfapiridin), sedangkan efektivitas relatif sama dalam pengobatan
IBD. (Marc D, 2011)
Rencana tindakan: (a) Preparat murni atau derivatnya (olsalazine:
ikatan bersama dua molekul mesalazine) lebih diutamakan dibanding
mesalazine yang terikat molekul pembawa (carrir molecule: sulfasalazine dan
blasalazide), karena dapat dilepas lambat pada pH >5 (dalam lumen usus
halus/ ileum terminalisdan kolon proximal) serta lebih efektif dalam
penggunaan oral (coated) maupun rektal (foam-enema/suppository). (b) Dosis
rata-rata 5-ASA untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi

29
tercapai yang umumnya setelah 16-24 minggu diberikan kemudian dosis
pemeliharaan yang bersifat individual.Terapi jangka panjang 5-ASA dapat
pula mencegah karsinoma kolorektal dengan cara apoptosis dan menurunnya
proliferasi mukosa kolorektal pada IBD. ( Djojoningrat dkk, 2011)

b. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid ( Prednisone , prednisolone, hidrokortison, dll) telah
digunakan selama bertahun-tahun dalam pengobatan pasien dengan penyakit
Crohn sedang sampai parah dan kolitis ulseratif atau yang gagal untuk
merespon dosis optimal 5-ASA. Berbeda dengan senyawa 5-ASA,
kortikosteroid tidak memerlukan kontak langsung dengan jaringan usus yang
meradang untuk menjadi efektif. Kortikosteroid oral adalah agen anti
peradangan yang kuat seluruh tubuh. Akibatnya, mereka digunakan dalam
mengobati enteritis. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Pada pasien kritis, kortikosteroid intravena (seperti hydrocortisone)
dapat diberikan di rumah sakit. Kortikosteroid lebih cepat bertindak daripada
senyawa 5-ASA. Pasien sering mengalami perbaikan dalam gejala mereka
dalam beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid dimulai. (Adam,2010)
Rencana bertindak diawali dengan : (a) memilih obat: secara
konvensional, prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih menjadi
pilihan yang sering karena murah dan mudah dijangkau. Preparat Budesonide
dipakai untuk memperoleh tujuan konsentrasi steroid yang tinggi pada
dinding usus, dengan efek sistemik (dan efek sampingnya) yang rendah,
khususnya pada pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan colon
ascendens baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema. (b)
mempertimbangkan dosis. Dosis rata – rata yang banyak digunakan untuk
mencapai fase remisi adalah setara dengan 40 – 60 mg prednison atau setara
dengan prednisolon dengan dosis 0,5 – 1,0 mg/KgBB. Tindakan terapi
kemudian tappering off dose setelah remisi yang tercapai dalam waktu 8-12
minggu. ( Djojoningrat dkk, 2011)

30
c. Immunomodulators
Immunomodulators adalah obat-obat yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh. Pada pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulceratif,
bagaimanapun, sistem kekebalan tubuh secara abnormal dan kronis
diaktifkan. Immunomodulators mengurangi peradangan jaringan dengan
mengurangi populasi sel kekebalan tubuh dan / atau dengan mengganggu
produksi protein yang mempromosikan aktivasi kekebalan dan peradangan.
Contoh Immunomodulators termasuk azathioprine, 6-mercaptopurine (6-
MP), siklosporin, dan methotrexate. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu
pemberian 2-3 bulan sebelum memperlihatkan efek terapeutiknya. Umumnya
sebagai introduktor/ substituensi pada kasus kasus steroid dependent atau
refrakter. Umumnya dosis initial 50 mg sampai tercapai efikasi substitusi,
kemudian dinaikan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk Azathioprine atau 1,5
mg/kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering timbul adalah nausea dan
dispepsia, leukopenia, limfoma, hepatitis, dan pankreatitis. ( Djojoningrat
dkk, 2011)

d. Terapi anti TNF


Obat terapi anti-TNF yang biasa digunakan adalah infliximab. Waktu
pemberian dan dosis optimal yang diberikan harus didasarkan pada diagnosis
yang tepat. Hal ini disebabkan beberapa hal :

- Pemberian jangka lama akan mengurangi respon obat perlahan-lahan


- Akan menimbulkan reaksi seperti penolakan obat dalam serum saat
dilanjutkan kembali terapi ini setalah dihentikan selama beberapa
waktu.
- Biaya yang mahal dalam pembelian dan persiapan infus obat terapi anti-
TNF

Infliximab dapat memberikan efek samping berupa reaktivasi


tuberkulosis, sindrom menyerupai lupus, dan limfoma. CDP571 dapat

31
digunakan sebagai pengganti infliximab. Walaupun demikian, masih belum
jelas kefektivitasan obat ini dalam pengobatan kolitis ulseratif. (Daniel, 2002)

e. Antibiotik
Antibiotik masih digunakan secara terbatas pada pasien kolitis
ulseratif karena perbedaan mekanisme kerja dalam mempengaruhi flora usus.
Obat yang biasa digunakan adalah metronidazol. Metronidazole dapat
digantikan oleh siprofloksasin dan klaritromisin (Daniel K. Podolsky, 2002)

f. Pembedahan
Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat. Segera setelah
terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare
dihentikan, penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau
usus kecil dan semua cairan, makanan dan obat-obatan diberikan melalui
pembuluh darah. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis
atau perforasi. Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien
dalam 24-48 jam, segera dilakukan pembedahan, dimana semua atau hampir
sebagian besar usus besar diangkat. (Adam, 2010)
Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus
besar, maka pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan.
Pembedahan non-darurat juga dilakukan karena adanya penyempitan dari
usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan pada anak-anak. Alasan
paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang tidak sembuh-
sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis
tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan
menyembuhkan kolitis ulserativa. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara bagian terendah
usus kecil dengan lubang di dinding perut) dan kantong ileostomi. Prosedur
pilihan lainnya adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus besar dan sebagian
besar rektum diangkat, dan sebuah reservoir dibuat dari usus kecil dan
ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat diatas anus. (Marc D, 2011)

32
J. KOMPLIKASI
1. Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia
karena kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan pertama sering
menjadi berat, dengan perdarahan yang hebat, perforasi atau penyebaran
infeksi. (Marc D, 2011)
2. Kolitis Toksik, terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus.
Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding
usus terhenti, sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya.
Perut tampak menggelembung. Usus besar kehilangan ketegangan
ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran. Rontgen perut akan
menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar
sangat melebar, keadaannya disebut megakolon toksik. Penderita tampak
sakit berat dengan demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan
jumlah sel darah putih meningkat. Jika perlukaan ini menyebabkan
timbulnya lubang di usus (perforasi), maka resiko kematian akan
meningkat. (Marc D, 2011)
3. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat
pada orang yang menderita kolitis ulserativa yang lama dan berat.
Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan penderita
telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa
menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara teratur,
terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama periode
bebas gejala. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker. Bila
diagnosis kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita
akan bertahan hidup. (Marc D, 2011)

K. PROGNOSIS (Marc D, 2011)


 Remisi pada 10%; eksaserbasi intermiten sebanyak 75%; penyakit aktif
berlanjut sebanyak 10%.
 Mortalitas

33
BAB III
SIMPULAN

Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar


mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut
dan demam. Kolitis ulserativa bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya
dimulai antara umur 15-30 tahun.Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa
tidak selalu memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak pernah
mengenai usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon
sigmoid (ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau
seluruh usus besar.
Pengobatan kolitis ulseratif memiliki tujuan adalah untuk
1) menginduksi remisi,
2) mempertahankan remisi,
3) meminimalkan efek samping pengobatan,
4) meningkatkan kualitas hidup, dan
5) meminimalkan risiko kanker
Prognosis dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon
terhadap pengobatan konservatif

34
DAFTAR PUSTAKA

Arisetine, Dina Aprilia. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi,
Klinik dan Patogenesa. Universitas Sumatera Utara - Fakultas
Kedokteran Medan.

Adam Schoenfeld. 2010. http://www.medicinenet.com/ulcerative_colitis


/article.htm.

Anonim. 2011. http://medicastore.com/penyakit/488/Kolitis_Ulserativa. html.

Daniels Podolsky. 2002. The New England Journal of Medicine. Inflammatory


Bowel Disease. Vol 347 No 6. pp 417-427.

Djojoningrat D. 2007. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan


Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal. 384-88.

Djojoningrat D dkk editor. 2011. Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Inflammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Editor: Djojoningrat D,
dkk. Jakarta: Interna Publishing.

Glickman RM. 2000. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan penyakit
Crohn). Dalam: Asdie AH, editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 4. Edisi ke-13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
hal. 1577-91.

Hopkins, John. 2013. Gastroenterology and Hepatology Medicine. Colitis


Ulcerative. (http://www.hopkins-gi.org)

Jugde TA, Lichtenstein GR. Inflammatory Bowel Disease. In: Friedman SL,
McQuaid KR, Grendell JH, editors. 2009. Current Diagnosis and
Treatment in Gastroenterology. 2nd ed. International ed.: McGraw-Hill.
pp. 108-30.

Kathlen A Head, Julie Jurenka. 2003. Alternative Medicine Review.


Inflammatory Bowel Disease I : Ulcerative Colitis – Pathohysiology and
Conventional And Alternative Treatment Options. Volume 8, Number 3.
pp. 247-274

Marc D Basson. 2011.http://emedicine.medscape.com/article/183084-


overview.

Price, Sylvia anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses proses


Penyakit Edisi 6.: EGC.

Wasson J et all. 2004. a–z Common Symptom Answer Guide. McGraw-Hill.

35

Anda mungkin juga menyukai