PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan ini, segala perbuatan manusia baik itu perilaku maupun tutur
katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari’at yang
tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunah, maupun yang tidak tercantum didalam keduanya
akan tetapi terdapat pada sumber lainyang diakui oleh jumhur ulama yaitu ijma’ dan
qiyas.
Hukum syari’at atau yang biasa disebut dengan hukum syara’ sangatlah penting
untuk dipelajari, terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh. Jika kita bicara tentang ushul
fiqh maka hukum syara’ adalah inti atau puncak dari imu ushul fiqh. Dengan kita
mengetahui hukum syara’ maka kita akan menjalankan kehidupan ini terutama ibadah
yang dikerjakan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Melalui makalah ini, kami akan mencoba menjelaskan tentang hukum syara’ yang
berhubungan dengan hukum taklifi dan sekilas hukum wadhi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, kami merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan hukum syara’?
2. Bagaimana pembagian hukum syara’?
3. Apakah yang dimaksud dengan hukum taklifi?
4. Apakah yang dimaksud dengan hukum wadhi?
C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah yang dibuat, makalah ini disusun dengan tujuan:
1. Mengetahui dan mendeskripsikan hukum syara’.
2. Mengetahui pembagian hukum syara’.
3. Mengetahui dan mendeskripsikan hukum taklifi.
4. Mengetahui dan mendeskripsikan hukum wadhi
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum taklifi secara terperinci dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu: wajib,
sunah, haram, makruh, dan mubah.
1. Wajib dan macamnya
Wajib adalah perbuatan yang dituntut allah SWT untuk dilakukan oleh
mukallaf dengan sifat mesti ( tidak boleh tidak) dilakukan, yang jika perbuatan itu
dilaksanakan maka pelakunya diberi pahala, dan jika ia meninggalkan maka ia
dikenakan dosa.
Hukum wajib dapat ditinjau dari bebrapa segi, diantaranya:
a. Wajib ditinjau dari segi melaksanakannya
1) Al-wajib al-aini
Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i untuk dikerjakan oleh setiap
individu mukallaf. Kewajiban itu harus dilakukan sendiri dan tidak mungkin
dilakukan oleh orang lain atau karena perbuatan orang lain. Misal puasa dan
shalat.
2) Al-wajib al-kafa’i
Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i untuk dikerjakan oleh
sekumpulan mukallaf, bukan oleh setiap individu mukallaf. Misal
melaksanakan amal ma’ruf nahi mungkar, shalat jenazah, dan lain-lain.
b. Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaanya
1) Al-wajib al-muthlaq
Kewajiban yang tidak ditentukan oleh waktu pelaksanaanya, dengan arti
tidak salah bila waktu pelaksaannya ditangguhkan sampai waktu yang ia
sanggup melakukannya. Misal mengqadha puasa ramadhan yang tertinggal
karena udzur. Ia wajib melakukannya dan dapat dilakukan kapan saja ia
mempunyai kesanggupan
2) Al-wajib al-mu’aqqat
Kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu
dan tidak sah dilakukan diluar waktu yang telah ditentukan. Dalam hal itu al-
mu’aqqat dibagi menjadi tiga macam yaitu: al-wajib al-muwassa, al-wajib al-
mudhayyaq dan al-wajib zu syabhain.
a) Al-wajib al-muwassa adalah suatu kewajiban yang waktu
pelaksanaannya lebih luas dari pada ukuran waktu pelaksanaan
perbuatan yang diwajibkan. Misal shalat dzuhur.
b) Al-wajib al-mudhayyaq adalah suatau kewajiban yang panjang
waktunya sama dengan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaanya
perbuatan yang diwajibkan. Misal puasa ramadhan
c) Al-wajib zu syabhain adalh suatu kewajiban yang waktu pelaksanaanya
jika ditinjau dari satu sisi bersifat muwassa tetapi jika ditinjau dari sisi
lain bersifat mudhayyaq. Misal ibadah haji.
c. Wajib ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan
1) Al-wajib al-mu’ayyan
Suatu kewajiban yang asy-syari memerintahkan untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu. Artinya subjek hukum baru dinyatakan telah menunaikan
tuntutan bila suatu yang tertentu itu telah dilaksanakannya dan tidak ada
pilihan untuk melakukan yang lainnya. Misal membayar utang
2) Al-wajib al-mukhayyar
Suatu kewajiban yang asy-syari memerintahkan untuk melakukan salah
satu dari beberapa perbuatan tertentu.
d. Wajib ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan
1) Al-wajib al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syari menentukan perbuatan mukallaf itu
berdasarkan kadar/ukuran tertentu. Misal zakat fitrah
2) Al-wajib ghair al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syari tidak menentukan kadar/ukuran kewajiban
itu secara tertentu.misal nafkah untuk kerabat.
e. Wajib ditinjau dari segi pertanggung jawaban pelaksanaanya.
1) Al-wajib al-qadha’i
Suatu yang dapat dimintakan pertanggung jawaban pelaksanaannya
didunia melalui kekuasaan pemerintah atau keputusan pengadilan. Misal
kewajiban membayar zakat
2) Al-wajib ad-diyani
Kewajiban yang jika tidak dilaksanakan maka ia akan disiksa di akhirat,
tetapi kewajiban tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya didunia. Misal
kewajiban seorang ibu untuk menyusukan anaknya untuk pertama kali anak itu
dilahirkan.
4. Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti sesuatu yang dibenci. Dalam istilah ushul
fiqh kata makruh menurut mayoritas ulama berarti sesutau yang dianjurkan syariat
untuk ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa.
Seperti halnya berkumur dan memasukkan air kehidung secara berlebihan di siang
hari pada saat berpuasa. (Zein, 2009)
5. Mubah
Secara bahasa berarti sesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan. Menurut para
ahli ushul fiqh mubah adalah sesuatu yang diberikan kepada mukallaf untuk
memilih antara melakukan atau meninggalkannya.
Abu ishaq al-syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat menbagi mubah menjadi tiga
macam, yaitu:
a. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang
wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum hukumnya mubah, namun
mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban kewajiban
yang dibebankan kepadanya seperti shalat dan mencari rezeki. Mubah yang
seperti ini bukan berarti dianggap mubah dalam hal memilih makan atau tidak
makan, karena meninggalkan makan sama sekali dalam hal ini akan
membahaykan dirinya.
b. Sesutau baru dianggap mubah bila dilakukan sekali-kali, tetapi haram
hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misal bermain musik.
c. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu
yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah untuk kepentingan
kesenangan. Hidup senang itu hukumnya mubah dan untuk mencapai
kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya
harus bersifat mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak
layak dengan menggunakan sesuatu yang dilarang.(Zein, 2009).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang
tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua
umat yang beragama islam.
2. Hukum islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i
3. Hukum taklifi adalah khitbah Allah atau sabda Nabi Muhammad saw yang
mengandung tuntunan, baik perintah maupun larangan. Sedang bentuk perintah atau
larangan itu ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti. Jika perintah itu berbentuk
pasti, maka disebut wajib, jika tidak pasti disebut mandub (sunah). Demikian juga
dengan larangan, bila berbentuk pasti maka disebut haram, bila tidak pasti disebut
makruh. Sedang yang disebut takhyir (pilihan) adalah hukum mubah
4. Hukum wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya
sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai
penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut
B. Saran
Dengan adanya pembuatan makalah ini diharapkan kita semua dapat mengetahui
konsep hukum syara’ dalam islam dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
MAKALAH
HUKUM SYARA’ DAN PEMBAGIANNYA
Mata Pelajaran :
Fiqih
Di susun oleh
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata pelajaran Fiqih yang di berikan oleh
pengajar. Dalam makalah ini kami membahas tentang Hukum Syara’ dan Pembagiannya.
Dalam pembuatan makalah ini, kami menyadari adanya berbagai kekurangan, baik
dalam isi materi maupun penyusunan kalimat. Namun demikian, perbaikan merupakan hal
yang berlanjut sehingga kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini sangat kami
harapkan.
Akhir kata, tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pengajar dan teman-teman
sekalian yang telah membaca dan mempelajari makalah ini.
Penulis
DAFTAR PUSTAKA