Personal Development - Perilaku Submisif
Personal Development - Perilaku Submisif
4
ARIF YULYANTO
KOMALA SARI
NOVI MARLENA
Orang yang berperilaku submisif adalah orang yang kurang menghargai hak dan
kebutuhan mereka sendiri. Banyak orang submisif yang cenderung mengalah dan
membiarkan orang lain melanggar hak mereka dan mengabaikan kebutuhan mereka. Pada
kehidupan sekolah, orang dengan sikap ini sering menjadi objek olok-olokan di kelas.
Mereka selalu lebih mendahulukan keinginan orang lain, sukar menyatakan masalah
atau hal yang diinginkannya, terlalu mudah mengalah dan mudah tersinggung, cemas serta
kurang yakin pada diri sendiri (Fensterheim & Baer, l980). Sebenarnya orang-orang yang
tidak asertif ini tahu tentang apa yang seharusnya mereka lakukan ketika berada dalam posisi
yang mengharuskan ia berkata apa adanya. Namun mereka memiliki perasaan bahwa jika
perasaan itu atau hal-hal tersebut diekspresikan maka orang lain akan membenci dirinya
(Goddard, l981). Umumnya hal itu terjadi karena faktor belajar/ pengalaman.
Orang bertipe submisif sering berkata bahwa ia tidak peduli dengan dirinya, baginya
hak orang lain lebih penting dibandingkan dirinya, sehingga mereka sering menolong orang
lain tanpa pamrih sehingga selalu dimanfaatkan. Orang yang submisif adalah orang yang
kurang menghargai dirinya sendiri, yang berdampak pada lingkungan disekitarnya dimana
orang-orang disekitarnya terlihat tidak mandiri dan suka melempar tanggung jawab ke
dirinya.
Paling tidak, ada tiga kalangan yang melukiskan karakter orang selama ingar-bingar
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Persiden. Yaitu kalangan Agresif, Asertif dan submisif.
Menyimak berbagai media, baik media arus utama ataupun media sosial, kecenderungan
tiga kalangan ini kian mengemuka, selama musim kampanye, bahkan masa tenang.
Perilaku itu bisa diidentifikasi dari ungkapan dan tindakan. Ada kalangan yang agresif.
Jujur dan terbuka, namun acapkali cara mengungkapkan tidak tepat. Cenderung keras dan
memaksakan kehendak. Bernada menyalahkan dan menjatuhkan orang lain, sehingga tidak
jarang menimbulkan ketegangan.
Berbeda halnya dengan kalangan yang digolongkan pada perilaku submisif. Kalangan
ini cenderung menghindari konflik, dikuasai rasa takut, dan cenderung bereaksi di belakang.
Sosok calon presiden yang dijagokan sudah dikantongi. Tetapi enggan mengungkapkan
secara terbuka. Kalangan ini selalu terhambat untuk menyuarakan isi hati, lantaran dibayangi
kekhawatiran melukai perasaan orang.
Pilihan submisif terjadi manakalah masyarakat mencapai titik jenuh sehingga pasrah
dengan kondisi yang ada tanpa perlawanan - biasanya sikap ini didominasi oleh masyarakat
ekonomi kebawah. Hal ini dimulai dari konstruksi sejarah kelam masyarakat atas jaminan
sosial berupa distribusi keadilan disegala sektor yang ternyata hanya sebatas janji.
Ketidaknyataan jaminan sosial inilah yang menjadi “biang keladi” mengapa masyarakat
akhirnya submisif atas praktik politik elite.
Tipe perilaku ini lalu membentuk karakter dan struktur sosial masyarakat yang lebih
mementingkan kebutuhan perut sendiri daripada kepentingan yang lebih besar lagi. Ini
terjadi karena yang ada di kamus pikiran mereka adalah bahwa yang menentukan
keberlanjutan hidup mereka adalah diri sendiri dan bukan negara. Sehingga dalam kasus ini,
peran negara bagi mereka hanya sebatas simbol kedaulatan semata. Logika partisipasi politik
yang bermain di sini bukanlah logika pertukaran sosial melainkan logika pilihan rasional.
Misalnya, kesadaran atas kewajiban dirinya sebagai warganegara untuk berpartisipasi dalam
kegiatan Pemilu maupun Pilkada. Secara psikopolitik, masyarakat dalam posisi ini tidak
memiliki tujuan dan harapan selain tindakan yang sifatnya formalistik. Bahkan banyak
diantara mereka yang melakukan golput pada saat pemilihan pilpres kemarin.
Terburuk Sepanjang Sejarah, Golput Pilpres
Capai 56,7 Juta
Jakarta, HanTer – Upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) menekan angka golput dalam
gelaran Pilpres 2014 berada di bawah 25%, tidak berhasil. Bahkan angka golput pada Pilpres
tahun ini lebih buruk dibanding Pilpres 2009.
Tingkat golput dalam gelaran Pilpres 2014 mencapai 29,8% atau 56.732.857 suara.
Angka golput Pilpres 2014 lebih parah dibanding Pilpres 2009 yang mencapai 27,7%. Bahkan
lebih buruk dibanding Pilpres 2004 (yang hanya mencapai 24%).
Data KPU menyebut, total warga yang berhak menggunakan hak pilihnya dan masuk
dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pilpres 2014 adalah 190.307.134. Namun yang
menggunakan hak pilihnya sebanyak 133.574.277 suara.
Buruknya angka partisipasi masyarakat dalam gelaran Pilpres 9 Juli 2014 menurut
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow, dikarenakan data pemilih
yang diolah KPU kurang valid. Bahkan sebelum dilakukan pemilihan, potensi golput mencapai
lebih dari 20%.
Dikatakan Jeirry, kondisi ini diperparah dengan banyaknya warga yang menggunakan
hak suara lewat jalur Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb). Atas banyaknya jumlah
DPKTb, Jeirry memperkirakan, jumlah golput dalam gelaran Pilpres 2014, bisa berada di atas
angka 30% atau lebih dari 60 juta suara.
Disinggung soal tudingan kubu Prabowo-Hatta yang menyatakan, jika hal tersebut
merupakan kesalahan KPU, Jeirry menilai wajar. Namun Jeirry mengingatkan, untuk
memperkuat tudingannya itu, kubu Prabowo-Hatta harus menyertakan laporannya dengan
bukti-bukti.
"Nah itu dia (kecurangan) harus dibuktikan. Publik tidak diberikan bukti. Ini yang
harus dijelaskan oleh KPU. Mungkin menurut saya, ini bukan kecurangan tetapi ini aneh,
maka ada asumsi ada kecurangan," ungkapnya.
Sementara untuk provinsi, Jawa Barat menjadi provinsi tertinggi untuk golput di Pulau
Jawa. Daftar pemilih yang tercatat dalam DPT, DPTb, DPK dan DPKTb sebanyak 33.821.378
orang. Dari jumlah pemilih itu, yang menggunakan hak pilih sebanyak 23.990.089 orang
dengan suara sah 23.697.696 dan suara tidak sah 292.393 suara. Tingkat golput untuk Jawa
Barat mencapai 29,07%.
Kendati tingkat golput tinggi, tambah Jeirry, bukan berarti presiden terpilih tidak sah.
“Angka golput yang tinggi hanya mengindikasikan tingkat legitimasi di masyarakat akan
presiden terpilih menjadi rendah. Secara hukum tidak ada pengaruhnya, tetap sah sesuai
raihan suara hasil rekapitulasi nasional suara oleh KPU," pungkasnya.
Sementara itu Komisioner KPU, Ida Budiarti mengatakan tingkat golput yang hampir
mendekati 30% ini tidak lantas mengurangi legitimasi keterpilihan presiden terpilih. "Tidak
ada hubungan kehadiran dengan tidak legitimitnya pemilu. Presiden terpilih tetap sah
dengan perolehan suara terbanyak," kata Ida saat ditemui di Kantor KPU. Menurutnya
apabila ada keberatan atas keputusan KPU, pihak-pihak yang merasa keberatan dapat
mengajukan keberatan. "Prinsipnya kalau kita, pemilih itu pelembagaan konflik maka di
dalam pemilu demokratis tersedia ruang komplain. Komplain itu menjadi tanggung jawab
kita untuk menjelaskan," ujarnya.
Anonim. 2012. “politik submisif, agresif dan asertif”. http://duddy.web.id/. diakses pada
tanggal 16 November 2014.
Angga. 2014. “Terburuk Sepanjang Sejarah, Golput Pilpres Capai 56,7 Juta“
http://www.harianterbit.com/read/2014/07/23/5622/26/26/Terburuk-Sepanjang-Sejarah-
Golput-Pilpres-Capai-567-Juta . diakses pada tanggal 20 November 2014.