Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. MENINGITIS TB
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. Orang dengan TB di
paru menular ketika orang batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka
mendorong kuman TBC, yang dikenal sebagai basil, ke udara. Jika tidak
diobati, setiap orang dengan penyakit TB aktif akan menulari rata-rata
antara 10 dan 15 orang setiap tahun. Namun orang yang terinfeksi basil TB
tidak selalu menjadi sakit.5
Meningitis TB terjadi ketika bakteri (Myobacterium tuberculosis)
menyerang selaput dan cairan serebrospinal yang mengelilingi otak dan
sumsum tulang belakang. Infeksi biasanya dimulai di tempat lain di tubuh,
biasanya infeksi primer berada di paru-paru, dan kemudian berjalan melalui
aliran darah ke meninges mana abses kecil (disebut microtubercles)
terbentuk. Ketika abses pecah, meningitis TB adalah hasilnya. Meningitis
TB umumnya menyerang pada anak-anak usia 0 - 4 tahun di daerah dengan
prevalensi TB tinggi, sementara pada daerah prevalensi TB rendah sebagian
besar kasus meningitis TB terjadi pada orang dewasa. Mycobacterium
tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif,
berukuran 0,4 – 3 μ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama
berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi
(setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri
yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia. Selain
Mycobacterium tuberculosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan
tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan
Mycobacterium microti.5,6,7,8
Penyakit susunan saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis adalah hal yang tidak biasa, namun tidak
diragukan merupakan manifestasi tuberkulosis yang berat. TBC tuberkulosis
menyumbang hanya 10% dari semua kasus tuberkulosis, membawa
mortalitas tinggi dan tingkat morbiditas neurologis yang menyedihkan.9

a. Definisi
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer.
Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk.
Komplikasi meningitis TB terjadi setiap 300 TB primer yang tidak
diobati. Insiden meningitis TB sebanding dengan TB primer,
umumnya bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat,
umur, status gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun
seseorang. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih
sering dibanding dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama
kehidupan. Jarang ditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir
tidak pernah ditemukan pada usia dibawah 3 bulan.5,6,7
Meningitis TBC adalah infeksi mycobacterium tuberculosis
yang mengenai arachnoid, piameter dan cairan cerebrospinal di dalam
sistem ventrikel. Akibatnya akan terjadi infiltrasi sel radang disertai
reaksi radang dari jaringan dan pembuluh darah didalamnya. Juga
terjadi eksudasi dari fibrinogen yang sesudah beberapa waktu akan
menjadi fibrin. Hal diatas yang disebabkan oleh toksin yang dibuat
bakteri akan memberikan gejala yaitu berupa demam, nyeri kepala
hebat, gangguan kesadaran, dan kejang. Dan adanya tanda rangsang
meningeal, yaitu kaku kuduk, brudzinski test dan kernig test positif.5,6

b. Patofisiologi
Meningitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara
hematogen ke meningen. Dalam perjalanannya meningitis TB melalui
2 tahap, yaitu:5,6,8
- Pertama, terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran
basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran
secara hematogen juga dapat terjadi pada TB kronik, tetapi
keadaan ini jarang ditemukan.
- Kedua, meningitis TB terjadi akibat terlepasnya basil dan
antigen TB dari lesi permukaan diotak akibat dari trauma atau
proses imunologik, langsung masuk ke ruang subarachnoid.
Meningitis TB biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru,
namun dapat juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe
leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari
fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus
torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi
berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa
fokus metastase yang biasanya tenang.5,8
Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis
dibedakan menjadi 4 tipe, yaitu:8
- Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier
- Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering
menyebabkan meningitis yang difus
- Acute inflammatory caseous meningitis
 Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di
korteks
 Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
- Meningitis proliferatif
 Terlokalisasi, pada selaput otak
 Difus dengan gambaran tidak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi
bersamaan pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan lamanya sakit,
respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan,
virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang
mempengaruhi.6,8

c. Gejala klinis dan diagnosis meningitis TB


Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing
penderita. Faktor- faktor yang bertanggungjawab terhadap gejala
klinis erat kaitannya dengan perubahan patologi yang ditemukan.
Tanda dan gejala klinis meningitis TB muncul perlahan dalam waktu
beberapa minggu.
Diagnosis meningitis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
riwayat kontak dengan penderita TB, uji tuberculin dan kelainan pada
LCS, berupa penurunan kadar glukosa<50% kadar glukosa darah,
peningkatan kadar protein dan jumlah sel dengan MN>PMN.
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa
dikelompokkan dalam tiga stadium:8,9
- Stadium I (stadium inisial/stadium non spesifik/fase prodromal)
 Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
 Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan,
tanpa kelainan neurologis
 Gejala: demam (tidak terlalu tinggi), rasa lemah, nafsu
makan menurun (anorexia), sakit kepala, tidur
terganggu,mual, muntah, konstipasi, apatis, irritable
 Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan
manifestasi yang sering ditemukan. Sedangkan pada anak
yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati
yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis,
mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul kejang
intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar
10-15%.
- Stadium II (stadium transisional/fase meningitik)

Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput
otak/meningen.

Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat
yang terbentuk diatas lengkung serebri.

Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan
Brudzinski (+) kecuali pada bayi.

Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat di dasar otak
 menyebabkan gangguan otak/batang otak.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah
adalah gejala utamanya, sedangkan sakit kepala jarang
dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit kepala
adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.
Kadang terjadi juga gangguan otak/batang otak/gangguan saraf
kranial. Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III,
IV, VI, dan VII. Tanda: strabismus, diplopia, ptosis, reaksi pupil
lambat, gangguan penglihatan kabur
- Stadium III (koma/fase paralitik)
 Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama ± 2-3
minggu
 Gangguan fungsi otak semakin jelas.
 Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh
darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami
organisasi.
 Gejala: pernapasan irregular, demam tinggi, edema papil,
hiperglikemia, kesadaran makin menurun, irritable dan
apatik, mengantuk, stupor, koma, otot ekstensor menjadi
kaku dan spasme,opistotonus, pupil melebar dan tidak
bereaksi sama sekali, nadi dan pernafasan menjadi tidak
teratur, hiperpireksia

d. Kriteria diagnosis
- Dari anamnesis: adanya riwayat kejang atau penurunan
kesadaran (tergantung stadium penyakit), adanya riwayat kontak
dengan pasien tuberkulosis (baik yang menunjukkan gejala,
maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang
ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis
tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan
dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi,
distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang
(pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3%
kasus)
- Dari pemeriksaan fisik: tergantung stadium penyakit. Tanda
rangsang meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak
ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun.
- Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat
negatif.
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan
screening tuberkulosis yang paling bermanfaat. Penelitian
menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat
mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin,
tetapi hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada
uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein
Derivative) dari kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan
bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam
kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah
penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi)
yang terjadi.
Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux:
1. Pembengkakan : 0–4 mm → uji mantoux negatif.
(Indurasi) Arti klinis: tidak ada infeksi Mycobacterium
tuberculosa.
2. Pembengkakan : 3–9 mm → uji mantoux meragukan.
(Indurasi) Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang
dengan Mycobacterium atypic atau setelah
vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan : ≥ 10 mm → uji mantoux positif.
(Indurasi) Arti klinis: sedang atau pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosa.

- Dari hasil pemeriksaan laboratorium


 Darah:
o anemia ringan
o peningkatan laju endap darah pada 80% kasus
 Cairan otak dan tulang belakang/liquor cerebrospinalis
(dengan cara pungsi lumbal):
o Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan
membentuk batang-batang. Dapat juga berwarna
xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung
lama dan ada hambatan di medulla spinalis.
o Jumlah sel: 100 – 500 sel/μl. Mula-mula, sel
polimorfonuklear dan limfosit sama banyak
jumlahnya, atau kadang-kadang sel
polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis
mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase
akut dapat mencapai 1000/mm3.
o Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200
mg/mm3). Hal ini menyebabkan liquor
cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom.
o Kadar glukosa: biasanya menurun
- Dari pemeriksaan radiologi:

Foto toraks: dapat menunjukkan adanya gambaran
tuberkulosis.

Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan
kelainan kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan difus
atau fokal.

CT-scan kepala: dapat menentukan adanya dan luasnya
kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya
hidrosefalus.

Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala pada pasien meningitis
tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring
berkembangnya penyakit, gambaran yang sering
ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak
hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda
edema otak atau iskemia fokal yang masih dini.

e. Penatalaksanaan
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat,
termasuk kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan
elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus segera
diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis
tuberkulosis. Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis
yakni:
- Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti
tuberkulosis, yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
streptomisin, dan etambutol.
- Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.
Pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamasi, menurunkan
tekanan intrakranial, dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai
adalah Prednison dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, selama 4-6 minggu,
setelah itu tappering off selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya
pemberian regimen. Pada bulan pertama pasien harus tirah baring
total.5,7,8

f. Komplikasi dan prognosis


Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis
adalah gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah
paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas.
Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia,
gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada
mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran
dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh
penyakitnya sendiri.
Pasien meningitis TB yang tidak diobati biasanya akan
meninggal dunia. Prognosis tergantung pada faktor stadium penyakit
saat pengobatan dimulai dan umur pasien. Semakin lanjut tahapan
klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Prognosis juga tergantung
pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun
mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua
usianya.7,8

2. TUBERKULOMA

a. Definisi
Tuberkuloma berbentuk padat, avaskular, sferis, dengan ukuran
bervariasi antara 2 cm dan 10 cm. Tuberkuloma dibatasi dengan baik,
dan jaringan otak yang terkompresi di sekitarnya menunjukkan edema
dan gliosis. Bagian dalam massa mengandung daerah nekrotik dari
kasus di mana tuberkel bacilli dapat ditemukan. Abses tukerkulus otak
adalah kondisi yang berbeda. Untuk diagnosis histopatologi lesi ini,
bukti mikroskopik pus dalam cavitas dengan perubahan mikroskopik
di dinding abses, bersama dengan adanya tuberkulum bacilli, bersifat
wajib. Abses umumnya lebih besar dan soliter dan tumbuh lebih
cepat.9
Kecuali pada anak-anak dan orang dewasa yang terinfeksi HIV,
biasanya terdapat periode laten yang panjang antara episode pertama
infeksi dengan perkembangan tuberkuloma intraserebral.10
Terdapat dua tipe tuberkuloma otak telah diklasifikasikan. Tipe
pertama adalah tipe vaskular superfisial yang menghasilkan tanda-
tanda fokal awal, biasanya tanpa peningkatan tekanan intrakranial.
Tipe kedua merupakan tipe vaskular profunda disertai dengan
peningkatan tekanan intrakranial.10

b. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tuberkuloma dan abses tuberkulosis
tergantung secara jelas pada lokasi mereka, sebagian besar berada di
kompartemen supratentorial, dengan sakit kepala, kejang, papiledema
dan defisit fokal dapat dialami oleh pasien. Presentasi abses otak lebih
subakut (1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi), tetapi jauh lebih
lambat daripada abses otak piogenik. Tuberkuloma bisa terjadi
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun setelah infeksi. Telah
dilaporkan bahwa lokasi dominan tuberkuloma adalah supratentorial
pada orang dewasa dan infratentorial pada anak-anak.9,10

c. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan dengan computerized tomography (CT)
scanning atau magnetic resonance imaging (MRI) dengan atau tanpa
biopsi lanjutan. Peningkatan basal meningeal atau tuberkuloma atau
keduanya bersifat 89% sensitif dan 100% spesifik untuk meningitis
TB. Beberapa karakteristik spesifik dari peningkatan basal telah
dijelaskan oleh berbagai penulis. Sekuel jangka panjang dapat
mencakup area kalsifikasi.9,10
Pada CT Scan, tuberkuloma tampak sebagai massa bundar atau
massa berdensitas rendah atau tinggi dengan dinding tidak beraturan
yang menunjukkan peningkatan homogen setelah pemberian kontras.
Tuberkuloma mungkin soliter atau multipel dan memiliki predileksi
terjadi di lobus frontal dan parietal. Gambaran radiografi tuberkuloma
diduga bergantung pada apakah lesi bersifat non-kaseosa atau kaseosa
dengan inti padat atau kaseosa dengan inti cairan. Derajat edema
perilesional telah digambarkan sebagai berbanding terbalik dengan
durasi lesi. Yang disebut "target sign" dengan pusat nidus kalsifikasi
dikelilingi oleh cincin enhancement yang pernah dianggap diagnostik
tuberkuloma, tetapi sekarang dianggap tidak cukup spesifik. Magnetic
resonance spectroscopy telah diusulkan sebagai metode untuk
membedakan tuberkuloma dari sistiserkosis.9
Gambar 1. Scan MR dari 6 tahun dengan lesi ganda yang ditemukan
kemudian sebagai turberuloma

Laju endap darah (LED) dianggap sebagai uji yang membantu


untuk diagnosis tuberkulosis paru dan luar paru dan dilaporkan
meningkat pada tuberkuloma serebral dalam persentase kecil kasus.10

d. Terapi
Perawatan medis lebih baik daripada terapi pembedahan yang
disediakan untuk diagnosis, atau untuk pengobatan komplikasi.8
Respons terhadap kemoterapi antituberkulosis ditemukan baik dan
kortikosteroid hanya diindikasikan jika ada peningkatan tekanan
intrakranial. Intervensi bedah telah dilakukan pada pasien yang
dianggap memiliki tumor otak dan yang kelima karena efek massa
yang signifikan terlepas dari pengobatan. Indikasi operasi saat ini
sangat sedikit karena kemoterapi yang memadai dengan tindakan anti-
edema dan deksametason dapat menghalangi perkembangan efek
massa akut pada sebagian besar kasus.9,10
Kebanyakan lesi hilang dengan pengobatan konservatif.
Beberapa peneliti menganjurkan pengangkatan subtotal dalam situasi
ini untuk membantu diagnosis dan pengurangan tekanan intrakranial,
daripada mencoba pengangkatan radikal. Manifestasi klinis
tuberkuloma tergantung pada lokasi – dan mungkin terletak
supratentorial, di batang otak, di tempat lain di fossa posterior, atau
bahkan di sella. Beberapa tuberkuloma bahkan telah dijelaskan
berlokasi di otak dan sumsum tulang belakang secara bersamaan.
Kasus tuberkuloma intraventrikular yang muncul sebagai tumor
ventrikel telah dijelaskan, dan dalam situasi ini pengangkatan
diperlukan.9,10

Gambar 2. Tuberkuloma kecil pada anak usia 7 tahun yang beresolusi


dengan pengobatan konservatif (3 bulan setelah pemberian AT)

3. SUSPEK PARESE N. VI
Meningitis TB adalah infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang kritis
dengan konsekuensi serius dari diagnosis yang terlewat atau terlambat.
Meskipun diagnosis meningitis TB semata-mata atas dasar temuan klinis
tidak mungkin dilakukan, masih terdapat gambaran klinis tertentu seperti
palsi nervus kranial dan rigiditas nuchal meningkatkan kemungkinan
meningitis TB pada kelompok berisiko tinggi. Nervus kranial terlibat dalam
lebih dari 1/3 kasus meningitis TB dan nervus n.VI adalah nervus kranial
yang paling sering terkena. Keterlibatan saraf kranial dikaitkan dengan
mortalitas dan disabilitas yang lebih tinggi. Dalam sebuah penelitian,
penulis mencatat bahwa saraf keenam terlibat dalam 35% pasien
tuberkulosis meningitis. Stadium klinis meningitis TB yang melibatkan
nervus kranialis digambarkan dalam tabel.11,12
Tabel 1. Stadium klinis meningitis TB11
Frekuensi
Stadium Sindrom neurologis
(n=43)
Stadium I Non-spesifik (misal malaise umum,
11 (25.4%)
(Early) demam, anoreksia)
Letargi
Stadium II Meningism
23 (53.5%)
(Intermediate) Defisit neurologis fokal moderat (misal
palsi nervus kraniales)
Kejang
Stadium III
Defisit neurologis berat (misal paresis) 9 (20.9%)
(Advanced)
Stupor atau koma

Palsi nervus kranial terjadi pada 20-30% pasien dan mungkin


merupakan manifestasi dari meningitis tuberkulosis. Beberapa eksudat
gelatin terbentuk di meningitis TB yang menetap di pangkal otak
menyebabkan patologi SSP melaluI vaskulitis serebral, penyumbatan jalur
LCS (hidrosefalus) dan entrapment nervus kranial. Nervus III dan VI
dengan perjalanan terpanjang intrakranial merupakan nervus kranialis yang
paling rentan. Nervus VI biasanya terlibat pertama dan paling sering
terkena. Keterlibatan saraf okulomotor dapat terjadi karena meningitis basal
karena perjalanan panjang saraf ini di dasar otak, karena vaskulitis di arteri
yang memasok daerah otak tengah, atau karena tuberkuloma yang terletak di
wilayah otak tengah.11,12,13
Nervus VI yang juga dikenal sebagai nervus abdusens, mempersarafi
otot rektus lateral ipsilateral yang berfungsi untuk gerakan abduksi bola
mata ipsilateral. Pasien dengan kelumpuhan nervus abdusens biasanya
datang dengan diplopia horizontal binokuler (penglihatan ganda
menghasilkan gambar side-by-side dengan kedua mata terbuka) dan
esotropia (convergent squint) dalam pandangan utama. Penyebab umum
palsi nervus VI adalah aneurisma, neuropati diabetik, peningkatan tekanan
intrakranial, infeksi (meningitis atau sinusitis), infark, trauma, dan tumor.11

4. HIPONATREMIA DD/ CSW DAN SIADH


Hiponatremia adalah gangguan elektrolit umum pada gangguan sistem
saraf pusat (SSP) dan sering dikaitkan dengan syndrome of inappropriate
secretion of antidiuretic hormone (SIADH). Sindrom ini ditandai oleh
hiponatremia dalam kondisi urin yang tidak terkonsentrasi, peningkatan
konsentrasi Na+ urin dengan adanya bukti volume intravaskular normal atau
sedikit meningkat. Sebaliknya, terdapat pasien dengan penyakit intrakranial
yang mengalami hiponatremia dengan karakteristik serupa, tetapi berbeda
dalam hal ada bukti klinis dari volume cairan ekstraseluler (extracellular
fluid [ECF]) menurun. Bentuk hiponatremia ini disebabkan oleh ekskresi
Na+ ginjal yang berlebihan, yang dihasilkan dari proses mediasi terpusat,
dan diistilahkan sebagai cerebral salt wasting (CSW).14,15,16
Syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH)
dan cerebral salt wasting (CSW) adalah dua potensi penyebab hiponatremia
adalah pasien dengan gangguan sistem saraf pusat. Membedakan antara dua
penyebab ini dapat menjadi tantangan karena ada banyak tumpang tindih
dalam tampilan klinis. Perbedaan utama terletak pada penilaian effective
arterial blood volume (EABV). SIADH adalah keadaan volume-terekspansi
akibat retensi air ginjal yang dimediasi hormon antidiuretik. CSW ditandai
dengan EABV yang berkurang akibat pembuangan garam ginjal.14,15
Penegakan diagnosis yang akurat adalah penting karena tatalaksana
kedua kondisi tersebut sangat berbeda. Penggantian garam dalam jumlah
besar diperlukan pada pasien dengan CSW, sedangkan pembatasan cairan
adalah pengobatan pilihan pada pasien dengan SIADH.14,15
Gambar 3. Pendekatan umum untuk pasien hiponatremia. Cerebral salt
wasting (CSW) dan syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic
hormone (SIADH) dapat dibedakan paling efektif
dengan penilaian status volume pasien.14
Singkatan: ECF, extracellular fluid; EABV, effective arterial blood volume

a. SIADH
SIADH merupakan keadaan volume-terekspansi. Mekanisme
patogenik primer yang mendasari SIADH adalah pelepasan hormon
antidiuretik (ADH) berlebihan yang menyebabkan reabsorpsi air
ginjal dan menghasilkan ekspansi volume ECF. Pada SIADH,
perluasan volume ECF biasanya tidak disertai dengan tanda-tanda
hipervolemia, seperti edema atau distensi vena leher, karena hanya
sepertiga dari air yang tertahan didistribusikan di ruang ECF. Namun
demikian, ekspansi sederhana volume intravaskular menghasilkan
peningkatan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan peningkatan aliran
plasma ginjal. Selain itu, ekspansi volume menyebabkan penurunan
proksimal Na+ reabsorpsi dan eksresi Na+ urin meningkat dan sama
dengan asupan Na+ makanan. Zat seperti asam urat dan nitrogen urea,
yang diserap proksimal bersamaan dengan Na+, juga cenderung
berkurang karena reabsorpsi proksimal berkurang.14,15

b. CSW
CSW adalah keadaan volume-deplesi. Pada CSW, ditemukan
volume darah dan plasma menurun pada pasien yang memenuhi
kriteria laboratorium sederhana SIADH. Banyak pasien bedah saraf
yang mengalami hiponatremia dan sebaliknya memenuhi kriteria
klinis untuk diagnosis SIADH namun memiliki status volume yang
tidak konsisten dengan diagnosis tersebut. Sebaliknya, bukti
keseimbangan garam negatif dan reduksi volume plasma dan volume
darah total pada pasien ini lebih konsisten dengan diagnosis CSW.14,16
Onset gangguan ini biasanya terlihat dalam sepuluh hari pertama
setelah prosedur bedah saraf atau setelah kejadian pasti, seperti
perdarahan subarakhnoida atau stroke. Onset gangguan yang sangat
tertunda (hari 35 pasca operasi) telah dijelaskan pada satu pasien yang
menjalani operasi transphenoidal untuk pengobatan makroadenoma
pituitari. CSW juga telah dijelaskan pada gangguan intrakranial
lainnya, seperti meningitis karsinomatosa atau menular dan karsinoma
metastasis. Terjadinya CSW dalam gangguan ini menekankan bahwa
CSW harus dimasukkan dalam diagnosis banding hiponatremia pada
setiap pasien dengan penyakit CNS.14

c. Patofisiologi CSW
Mekanisme di mana penyakit serebral menyebabkan
pembuangan garam hingga saat ini belum dipahami dengan baik.
Proses yang paling mungkin melibatkan gangguan input saraf ke
dalam ginjal dan/atau elaborasi sentral dari faktor natriuretik yang
bersirkulasi. Dengan salah satu atau kedua mekanisme, peningkatan
ekskresi Na+ urin akan menyebabkan penurunan EABV, dan dengan
demikian memberikan stimulus baroreseptor untuk pelepasan arginin
vasopresin (AVP). Pada gilirannya, meningkatkan kadar AVP akan
meningkatkan kemampuan cairan untuk menguraikan urin encer.
Dalam keadaan ini, pelepasan AVP merupakan respons yang tepat
terhadap depleasi volume. Sebaliknya, pelepasan AVP pada SIADH
benar-benar tidak tepat, karena EABV diekspansi.14

Gambar 4. Patofisiologi cerebral salt wasting (CSW).14


Singkatan: ANP, atrial natriuretic peptide; AVP, arginine
vasopressin; BNP, brain natriuretic peptide; EABV, effective arterial
blood volume; IMCD, inner medullary collecting duct.

Situs yang mungkin untuk absorpsi Na+ ginjal yang turun pada
kasus CSW adalah di nefron proksimal. Karena segmen ini biasanya
menyerap kembali sebagian besar Na+ yang telah difiltrasi, penurunan
kecil dalam efisiensinya akan menghasilkan pengiriman sejumlah
besar Na+ ke nefron distal dan akhirnya ke bentuk urin akhir.14
Penurunan input simpatik ke ginjal dapat menjadi penjelasan
gangguan reabsorpsi proksimal, karena sistem saraf simpatik (SNS)
telah terbukti mengganggu regulasi garam dan air di segmen ini
melalui berbagai mekanisme langsung dan tidak langsung. Karena
SNS juga memainkan peran penting dalam pengendalian pelepasan
renin, penurunan simpatetik dapat menjelaskan kegagalan sirkulasi
renin dan kadar aldosteron yang meningkat pada pasien CSW.
Kegagalan peningkatan kadar serum aldosteron sebagai respons
terhadap penurunan EABV dapat menjelaskan kurangnya
pembuangan K+ ginjal, meskipun terjadi peningkatan besar
pengiriman Na+ di bagian distal. Oleh karenanya, hipokalemia belum
menjadi ciri CSW.14
Selain mengurangi input saraf ke ginjal, pelepasan satu atau
lebih faktor natriuretik juga dapat berperan dalam pembuangan garam
ginjal yang terlihat pada CSW. Atrial natriuretic peptide (ANP) dan
brain natriuretic peptide (BNP) memiliki beberapa efek yang dapat
mengarah pada sindrom klinis CSW. Misalnya, infus salah satu
peptida ini ke dalam subjek manusia normal menghasilkan respons
natriuretik yang tidak terkait dengan perubahan tekanan darah.
Kemampuan senyawa ini untuk meningkatkan laju GFR untuk
beberapa natriuresis; namun, bahkan tanpa adanya perubahan GFR,
eksresi Na+ urin meningkat karena efek penghambatan langsung pada
transportasi Na+ di duktus kolektivus meduler bagian dalam.14

d. Beda SIADH dan CSW


Membedakan CSW dan SIADH dalam praktek klinis dapat
menjadi sulit, mengingat kesamaan dalam nilai laboratorium dan
tumpang tindih dalam penyakit intrakranial terkait. Penentuan volume
ECF tetap menjadi sarana utama untuk membedakan gangguan ini.
Volume ECF meningkat dalam SIADH, sedangkan itu rendah dalam
CSW.14,15,16
Temuan fisik yang mendukung diagnosis CSW termasuk
perubahan ortostatik dalam tekanan darah dan denyut nadi, membran
mukosa kering dan vena leher datar. Penurunan berat badan atau
keseimbangan cairan negatif merupakan bukti yang sangat baik untuk
mendukung penurunan volume ECF.14
Temuan laboratorium yang berguna termasuk bukti
hemokonsentrasi, yang tercermin dari peningkatan hematokrit dan
peningkatan konsentrasi serum albumin, dan temuan konsentrasi
serum bikarbonat yang meningkat, karena penurunan volume ECF
merupakan faktor penting dalam pemeliharaan alkalosis metabolik.14,15
Normalnya, kadar serum asam urat akan menjadi alat yang
berguna dalam situasi ini. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kadar
asam urat menurun pada pasien dengan SIADH, yang mencerminkan
sedikit peningkatan volume ECF. Sebaliknya, kadar asam urat pada
pasien dengan hiponatremia yang terjadi pada kondisi penurunan
volume ECF bernilai normal atau sedikit meningkat. Meskipun tidak
diteliti dengan baik, kadar asam urat serum di CSW cenderung rendah
secara tidak terduga. Faktanya, hipourisemia dan peningkatan ekskresi
urat fraksional mungkin merupakan ciri umum penyakit intrakranial
secara umum.14,15

Tabel 2. Diagnosis Banding CSW dan SIADH15

e. Tatalaksana SIADH dan CSW


Sangat penting untuk membedakan CSW dan SIADH berkaitan
dengan tatalaksana. Pembatasan cairan digunakan dalam SIADH
karena kelainan utama pada gangguan ini adalah ekspansi volume
ECF dengan air. Pemberian NaCl diindikasikan dalam CSW karena
volume ECF menurun sebagai akibat dari pembuangan garam ginjal.14
Terapi SIADH sebagian besar berasal dari pendapat ahli, bukan
berdasarkan randomized controlled trials. Agen yang digunakan
umumnya disetujui untuk indikasi lain, bukan untuk hiponatremia.
Pengecualian hanya untuk terapi vaptan.16
Jumlah modalitas tidak langsung ditemukan berguna pada
SIADH. Restriksi cairan yang menyebabkan keseimbangan cairan
negatif akan meningkatkan konsentrasi natrium serum. Untuk
mengakhiri masukan cairan harian (oral, intravena, dan produksi
metabolik) harus dikurangi di atas kehilangan cairan harian (kulit,
traktus respiratorius, faeces, dan urin). Jika masukan cairan harian
sejumlah 2 liter dengan osmolalitas urin pasti antara 350-500
mOsm/kg, reduksi masukan sebanyak 0,5 liter/hari mungkin cukup
untuk menginduksi keseimbangan cairan negatif. Namun, jika
masukan cairan harian sebanyak 1,2 liter dengan osmolalitas urin
sekitar 800 mOsm/kg, masukan ini harus berada dalam kisaran
kehilangan pasti sebanyak sekitar 1,2 liter/hari. Dalam situasi ini
konsumsi cairan secara oral harus dikurangi menjadi 0,5-0,8 liter/hari
untuk menghasilkan keseimbangan cairan negatif. Namun meskipun
restriksi cairan berguna pada pasien dengan SIADH dan umumnya
direkomendasikan pada praktik sehari-hari, restriksi mungkin sulit
dilakukan dan sulit dikontrol. Terapi patologi yang mendasari SIADH
harus dilakukan untuk mengoreksi hiponatremia.16
Pada saat-saat tertentu, cairan garam hipertonik digunakan untuk
menatalaksana SIADH di rumah sakit. Dosis yang direkomendasikan
adalah 0,5-1,0 ml/kg/jam (NaCl 3%). Modalitas ini mungkin
meningkatkan natrium serum terlalu cepat dan dapat menyebabkan
edema pulmo sehingga beberapa ahli memberikan diuretik loop
profilaksis.16

Gambar 5. Terapi SIADH16

Terapi utama CSW adalah pemberian natrium dan air yang


hilang sebagai akibat natriuresis dan diuresis patologis. Hal ini kontras
dengan terapi SIADH, yang memerlukan restriksi cairan. Pasien
dengan CSW umumnya mengalami deplesi volume ekstraseluler yang
signifikan dan defisit natrium tubuh-total setidaknya 2 mmol
natrium/kg berat badan.15
Pada pasien hipovolemik, strategi tatalaksana yang tepat adalah
pemberian normal saline dengan tujuan mengembalikan volume
intravaskuler. Ketika euvolemia dicapai, perhatian harus diarahkan
pada koreksi hiponatremia. Sebuah metode untuk mengembalikan
konsentrasi natrium serum dan volume intravaskuler yaitu dengan
mineralokortikoid. Sebuah penelitian merekomendasikan
fludrokortison dengan dosis 0,1-0,2 mg/oral dua kali sehari, dimulai
sejak diagnosis ditegakkan hingga konsentrasi natrium dan volume
intravaskuler dipertahankan dalam batas normal, biasanya 3-5 hari
kemudian.15
Ketika kadar natrium serum mencapai kadar rendah yang
berbahaya (<125 mEq/L) atau ketika volume cairan intravena dalam
jumlah besar diperlukan untuk mempertahakan euvolemia, saline
hipertonik intravena dapat digunakan sebagai terapi adjuvant. Dosis
NaCl 1,5% dapat diberikan melalui vena perifer dan dapat secara
aman dan efektif mengembalikan dan mempertahankan volume
intravaskuler dan konsentrasi natrium serum ketika diberikan pada
kecepatan yang dititrasi untuk memperoleh keseimbangan cairan
positif normal hingga sedikit tinggi. Sebuah penelitian menyatakan
penggunaan NaCl 1,5% pada kecepatan 50-150 mL per jam.15

5. SCABIES
Skabies merupakan salah satu infeksi parasit yang cukup banyak
kejadiannya dan menjadi isu penting terutama di daerah padat penduduk.
Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan berbagai kalangan sosial.
Beberapa penyebab tingginya angka kejadian skabies adalah penularan yang
cepat, siklus hidup Sarcoptes scabiei yang pendek, dan ketidakpatuhan
pasien pada terapi. Tulisan ini mengusulkan terapi permethrin 5% diberikan
tiga kali, dengan jarak satu minggu; didasarkan pada siklus hidup Sarcoptes
scabiei sekaligus mencegah kegagalan terapi. Skabies ditularkan melalui
kontak fisik langsung (skin-to-skin) ataupun tak langsung (pakaian, tempat
tidur yang dipakai bersama). Skabies menjadi masalah utama pada daerah
yang padat dengan masalah sosial, sanitasi yang buruk, dan negara
miskin.17,18

a. Epidemiologi dan etiologi


Angka kejadian skabies tinggi di negara dengan iklim panas dan
tropis. Skabies endemik terutama di lingkungan padat penduduk dan
miskin.19 Faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara
lain: higiene buruk, salah diagnosis, dan perkembangan dermografik
serta ekologi.17
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya.17

b. Gambaran klinis
Terdapat 4 tanda utama atau cardinal sign pada infestasi skabies, yaitu
pruritus nocturna, mengenai sekelompok orang, adanya terowongan,
dan ditemukan Sarcoptes scabiei.17 Pada umumnya diagnosis klinis
ditegakkan jika ditemukan dua dari empat cardinal signs, yaitu:
pruritus nocturna, mengenai sekelompok orang, menemukan
terowongan atau Sarcoptes scabiei.17,20
Lesi berupa eritema, krusta, ekskoriasi papul, dan nodul yang
sering ditemukan di daerah sela-sela jari, aspek volar pergelangan
tangan dan lateral telapak tangan, siku, aksilar, skrotum, penis, labia,
dan areola wanita. Jika ada infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi
polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain).20,23 Erupsi eritematous
dapat tersebar di badan sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen tungau. Lesi patognomonik adalah terowongan tipis dan kecil
seperti benang, linear kurang lebih 1 hingga 10 mm, berwarna putih
abu-abu, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel yang
merupakan hasil pergerakan tungau di dalam stratum korneum.
Terowongan terlihat jelas di sela-sela jari, pergelangan tangan, dan
daerah siku.20,21,23

c. Pemeriksaan penunjang
Jika gejala klinis spesifik, diagnosis scabies mudah ditegakkan;
penderita sering datang dengan lesi bervariasi. Beberapa cara untuk
menemukan tungau:17,20
- Kerokan kulit
- Mengambil tungau dengan jarum
- Tes tinta pada terowongan (burrow ink test)
- Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)
- Biopsi irisan dengan pewarnaan HE.

d. Penatalaksanaan
Terapi lini pertama adalah skabisid topikal, dapat digunakan
permethrin krim 5%. Dioleskan di seluruh permukaan tubuh, kecuali
area wajah dan kulit kepala (daerah banyak terdapat kelenjar
pilosebaceus), dan lebih difokuskan di sela-sela jari, inguinal, genital,
area lipatan kulit sekitar kuku, dan area belakang telinga. Pada pasien
anak dan skabies berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga harus
diolesi. 20,23

i. Penatalaksanaan umum
Edukasi pasien skabies:21,22
- Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan
pengobatan yang sama dan serentak selama 4 minggu.
- Pengobatan dioleskan di kulit dan sebaiknya dilakukan
pada malam hari sebelum tidur.
- Ganti pakaian, handuk, sprei kamar, dan sofa yang sudah
digunakan, selalu cuci dengan teratur, rendam dengan air
panas dan disetrika.
- Jangan ulangi penggunaan skabisid dalam kurang dari
seminggu walaupun rasa gatal mungkin masih timbul
selama beberapa hari.

ii. Penatalaksaan khusus


- Permethrin
Obat ini merupakan pilihan pertama, tersedia dalam
bentuk krim 5%, yang diaplikasikan selama 8-12 jam dan
setelah itu dicuci bersih. Apabila belum sembuh bisa
dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1 minggu,
dan pemberian ketiga.20
Target utama pengobatan adalah membran sel
skabies. Obat membuat ion Cl masuk ke dalam sel secara
berlebihan, membuat sel saraf sulit depolarisasi dan parasit
akan paralisis/ lumpuh. Obat ini efektif membunuh parasit,
tapi tidak efektif untuk telur. Oleh karena itu, penggunaan
permethrin hingga 3 kali pemberian sesuai siklus hidup
tungau.20
Pemberian kedua dan ketiga dapat membunuh
tungau yang baru menetas. Permethrin jarang diberikan
pada bayi kurang dari 2 bulan, wanita hamil, dan ibu
menyusui karena keamanannya belum dapat dipastikan.
Wanita hamil dapat diberikan dengan aplikasi yang tidak
lama sekitar 2 jam. Efek samping jarang ditemukan,
berupa rasa terbakar, perih, dan gatal, mungkin karena
kulit sensitif dan terekskoriasi.20
- Presipitat Sulfur 4-20%
Preparat sulfur tersedia dalam bentuk salep dan krim.
Tidak efektif untuk stadium telur. Pengobatan selama tiga
hari berturut-turut, dapat dipakai untuk bayi/anak kurang
dari 2 tahun.17,18

iii. Terapi simptomatik


Obat antipruritus seperti obat anti-histamin dapat
mengurangi gatal yang menetap selama beberapa minggu
setelah terapi anti-skabies yang adekuat. Untuk bayi, dapat
diberikan hidrokortison 1% pada lesi kulit yang sangat aktif dan
aplikasi pelumas atau emolient pada lesi yang kurang aktif.20
Setelah pengobatan berhasil membunuh tungau skabies,
masih terdapat gejala pruritus selama 6 minggu sebagai reaksi
eczematous atau masa penyembuhan. Pasien dapat diobati
dengan emolien dan kortikosteroid topikal; antibiotik topikal
tergantung infeksi sekunder oleh Staphylococcus aureus.
Crotamiton antipruritik topikal dapat digunakan.20
Keluhan pruritus dapat berlanjut selama 2-6 minggu
setelah pengobatan berhasil. Hal ini karena respons kekebalan
tubuh terhadap antigen tungau. Jika gejalanya menetap,
mungkin karena salah diagnosis, aplikasi obat salah, sehingga
tungau skabies tetap ada. Kebanyakan skabies kambuh karena
reinfeksi.20,24

6. BRONKOPNEUMONIA
a. Definisi dan faktor risiko
Bronkopneumonia adalah radang pada parenkim paru yang
mengenai satu atau beberapa lobus paru dengan eksudasi purulent dan
konsolidasi di mana pola penyebaran bercak dalam satu atau lebih
area terlokalisasi berpusat di sekitar bronkus, kemudian meluas ke
bronkiolus terminal dan berakhir di area parenkim paru (alveoli) di
sekitarnya. Daerah yang paling sering terkena adalah segmen lobus
bagian bawah paru.25 Faktor risiko pneumonia komunitas pada anak
dibedakan menjadi defininte, likely, dan possible. 26

Tabel 3. Faktor risiko pneumonia komunitas

b. Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting
pada perbedan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam
spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan. Secara
klinis, umumnya pneumoni bakteri sulit dibedakan dengan pneumoni
virus. Demikian juga pemeriksaan radiologis dan laboratorium,
biasanya tidak dapat menentukan etiologi, namun etiologi dapat
ditentukan berdasarkan 2 faktor, yaitu:27
i. Faktor infeksi
Tabel 4. Etiologi bronkopneumonia
Usia Bakteri Virus
Group B Streptococcus
Escherichia coli
<1 bulan Other gram-negative Cytomegalovirus
enteric bacteria
Listeria monocytogenes
Respiratory synctial
Streptococcus pneumonae
virus
Haemophilus influenza
Influenza virus
2 bulan-1 type b
Parainfluenza virus
tahun Staphylococcus aureus
Adenovirus
Pseudomonas aeruginosa
Human
Chlamydia trachomatis
metapneumovirus
Respiratory synctial
Streptococcus pneumonae virus
Haemophilus influenza Influenza virus
type b Parainfluenza virus
2-5 tahun
Mycoplasma pneumoniae Adenovirus
Mycobacterium Human
tuberculosis metapneumovirus
Rhinovirus
Streptococcus pneumonae
Chlamydophila
6-18 pneumoniae
Influenza virus
tahun Mycoplasma pneumoniae
Mycobacterium
tuberculosis
ii. Faktor non-infeksi
Faktor non-infeksi dapat terjadi akibat disfungsi menelan
atau refluks esophagus. Selain itu, setiap keadaan yang
mengganggu mekanisme menelan seperti palatoschizis,
pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemberian
makanan pada anak yang sedang menangis. Selain faktor
tersebut, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
bronkopneumonia.27

c. Patogenesis
Proses patogenesis bronkopneumonia, secara histopatologis,
dibagi menjadi 4 stadium, yaitu:28,29
- Stadium kongesti
Stadium ini menggambarkan respon inflamasi akut.
Parenkim paru menjadi berwarna merah akibat kongesti
vaskuler. Ruang alveolar terisi cairan eksudat kaya protein,
neutrofil, dan bakteri. Stadium ini berlangsung 1-2 hari.
- Stadium hepatisasi merah
Parenkim yang terkena berwarna merah akibat
ekstravasasi sel darah merah, padat, dan konsistensinya
menyerupai hepar. Pada stadium ini, eksudat protein berubah
menjadi benang-benang fibrin dan didapatkan puncak infiltrasi
neutrofil dilihat dari jumlahnya yang banyak. Pada saat ini,
mulai terbentuk konsolidasi akibat eksudat yang padat di ruang
alveolar. Hal ini akan bermanifestasi sebagai gejala sesak saat
bernapas, disebabkan oleh terganggunya proses difusi oksigen
dan karbon dioksida. Kemudian pada stadium ini, penderita juga
akan merasa sulit mengeluarkan dahak. Stadium ini berlangsung
hingga hari ke-4.
- Stadium hepatisasi kelabu
Parenkim yang terkena menjadi padat, kering, dan
berwarna keabuan akibat sel-sel darah merah yang telah lisis.
Jumlah eksudat neutrofil menurun akibat pemecahan sel-sel
inflamatori dan pada stadium ini telah berganti dengan adanya
sel makrofag. Jumlah mikroorganisme juga telah jauh menurun.
Berlangsung dari hari ke-5 hingga hari ke-7.
- Stadium resolusi
Dengan aktivitas enzim, benang-benang fibrin yang
sebelumnya terbentuk dari eksudat protein mengalami
likuefaksi, mencair, dan aerasi alveolar dan pulmo secara
keseluruhan berangsur-angsur membaik. Makrofag masih
ditemukan di alveolus. Penurunan jumlah eksudat cairan dan
seluler dari alveolus terjadi melalui mekanisme ekspektorasi
(pengeluaran dahak) dan drainase limfatik, diharapkan dapat
mengembalikan kondisi paru seperti semula dalam jangka waktu
3 minggu.

d. Klasifikasi
Berdasarkan spektrum klinis gejala dan tanda yang menyertai
bronkopneumonia tersebut, dapat dibagi menjadi:26
- Bukan bronkopneumonia
Tidak ada napas cepat atau sesak napas
Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis
- Bronkopneumonia
Bila ada napas cepat
>60x/menit untuk anak usia <2 bulan
>50x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
>40x/menit untuk anak >1 – 5 tahun
Dapat rawat jalan dan diberikan antibiotik oral
- Bronkopneumonia berat dengan tanda bahaya ( tidak mau
minum, muntuh terus menerus, penurunan kesadaran, stridor,
malnutrisi berat)
Perlu dirawat inap, diberikan antibiotik intravena
Berdasarkan tempat atau sumber infeksinya, pneumonia dapat
dibedakan menjadi:
-
Community-Acquired Pneumonia (CAP)
-
Hospital-Acquired Pneumonia (HAP)26,30

e. Manifestasi klinis
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis
bronkopneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik terkait usia anak, perbedaan mikroorganisme penyebab,
terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, dan faktor
patogenesis.31
Gambaran klinik pneumonia pada bayi dan anak bergantung
pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum yaitu:31
- Gejala infeksi umum, berupa demam, sakit kepala, gelisah,
malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal
seperti mual, muntah diare, terkadang ditemukan gejala
ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori, berupa batuk, sesak napas, retraksi
dada, takipneu, nafas cuping hidung, merintih dan sianosis.
Gejala-gejala ini lebih sering terjadi pada bayi yang lebih tua
dan pada anak. Gejala tidak khas ditemukan pada bayi kecil, hanya
berupa takipneu dan batuk. Tanda-tanda distres respiratori yang
dimaksud meliputi takipneu dan dispneu (retraksi dada, napas cuping
hidung, merintih, dan penggunaan otot-otot pernapasan tambahan).
Pada pemeriksaan fisik, dapat dijumpai tanda-tanda seperti:
- Ronkhi basah halus nyaring
Ditemukan pada 33 – 90% anak dengan pneumonia. Suara
dasar vesikuler paru dapat menurun dan lebih terdengar suara
dasar bronkhial. Suara dasar bronkhial normal terdengar di
daerah interskapular dan di atas trakea. Saat terdengar di
lapangan perifer paru, merupakan tanda adanya eksudasi dan
konsolidasi di alveolar. Ronkhi basah (crackles) halus, sedang,
atau kasar tergantung dari besarnya bronkus yang terkena dan
umumnya terdengar pada inspirasi. Ronkhi basah halus biasanya
terdapat pada bronkiolus dengan diameter lumen kecil, dan lebih
halus lagi berasal dari alveolus. Sifat ronkhi basah halus ini
dapat nyaring (oleh infiltrat) dan redup/tidak nyari (pada edema
paru).
- Mengi atau wheezing
f. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dibutuhkan pada kasus-kasus
bronkopneumonia meliputi: 1) pemeriksaan saturasi oksigen dengan
pulse oximetry; 2) pemeriksaan laboratorium darah; 3) pemeriksaan
mikrobiologi untuk penentuan etiologi; 4) uji serologis, dan 5) foto
rontgen thorax.32,25
i. Pemeriksaan laboratorium darah
Pada pneumonia bakteri umumnya ditemukan leukositosis
dengan predominan PMN. Lekositosis >15.000/UL seringkali
dijumpai. Dominasi netrofil pada hitung jenis atau adanya
shift to the left menunjukkan bakteri sebagai penyebab. Laju
endap darah dan C-reaktif protein (CRP) merupakan
indikator inflamasi yang tidak khas sehingga hanya sedikit
membantu.32,25
ii. Pemeriksaan mikrobiologi
Menentukan patogen spesifik pada anak dengan
bronkopneumonia merupakan suatu hal yang cukup sulit
dilakukan. Seringnya anak tidak mengeluarkan dahak yang
cukup untuk dilakukan pemeriksaan mikrobiologis. Swab
nasofaring tidak dapat dengan pasti menentukan
mikroorganisme penyebab. Untuk pemeriksaan mikrobiologik,
spesimen dapat berasal dari swab tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, kultur darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
Biakan darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik
tapi hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak
kecil. Kultur darah sangat membantu pada penanganan kasus
pneumonia dengan dugaan penyebab stafilokokus dan
pneumokokus yang tidak menunjukkan respon baik terhadap
penanganan awal.30
iii. Uji serologis
Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis infeksi bakteri atipik. Uji serologis juga tidak
dapat digunakan untuk memantau efektivitas dan perjalanan
terapi. 30
iv. X-photo thorax
Foto rontgen thorax pada pneumonia ringan tidak rutin
dilakukan, biasanya direkomendasikan pada pneumonia berat
yang perlu perawatan. Umumnya posisi yang digunakan
hanyalah posisi AP, karena posisi lateral tidak secara signifikan
menambah spesifisitas dan sensitivitas pemeriksaan. Foto
rontgen thorax posisi AP dan lateral hanya dilakukan pada
kasus-kasus pasien yang datang dengan keluhan distres
pernafasan berat. Secara umum, gambaran foto thorax dapat
meliputi:33,34
- Infiltrat interstitial, ditandai dengan peningkatan corak
bronkovaskular (perivaskular dan peribronkial),
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi
- Infiltrat alveolar, merupakan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat hingga
konsolidasi berbatas kurang tegas, disertai air
bronchogram, yang dapat meluas hingga daerah perifer
paru
- Konsolidasi umumnya terletak di lapangan bawah paru
- Pembesaran limfonodi hilus
- Atelektasis lobar/segmental

g. Tatalaksana
Menurut WHO tatalaksana pneumonia adalah sebagai berikut:32
- Rekomendasi 1: terdapat napas cepat, tidak ada retraksi, tidak
ada tanda bahaya diberikan amoxicillin oral 40 mg/kgBB dua
kali sehari selama 5 hari
- Rekomendasi 2: anak usia 2-59 bulan, terdapat retraksi
diberikan amoxicillin oral oral 40 mg/kgBB dua kali sehari
selama 5 hari
- Rekomendasi 3: anak usia 2-59 bulan dengan pneumonia berat
diberikan ampicillin 50 mg/kgBB atau penicillin 50.000
unit/kgBB intravena atau intramuscular setiap 6 jam selama 5
hari dan diberikan gentamicin 7,5 mg/kgBB/ hari intravena atau
intramuscular selama 5 hari. Ketika tidak ada respon pengobatan
maka obat diganti ceftriaxone.
- Rekomendasi 4: pada anak terinfeksi HIV dan bayi terpapar
serta anak <5 tahun dengan retraksi atau pneumonia berat
diberikan ampicillin dan gentamicin. Ketika tidak ada respon
pengobatan maka obat diganti ceftriaxone.
- Rekomendasi 5: pada anak terinfeksi HIV, bayi terpapar <2
bulan – 1 tahun dengan adanya retraksi atau pneumonia berat
dengan suspek Pneumocytis jirovecii diberikan cotrimoxazole
empiris.

Adapun beberapa indikasi rawat inap, yaitu:


- Hipoksemia – saturasi oksigen <92% pada bayi dan anak, PaO 2
<60 mmHg, PaCO2 >50 mmHg, sianosis sentral
- Tanda-tanda pneumonia berat – sesak napas, takipneu (bayi
>60x/menit, anak >50x/menit), distres pernapasan (retraksi,
grunting)
- Tanda-tanda dehidrasi, anak tidak mau minum/menetek
- Tanda-tanda sepsis atau syok sepsis
- Bayi usia <6 bulan
- Adanya kondisi komorbid, seperti: Penyakit Jantung Bawaan,
defisiensi sistem imun, displasia bronkopulmoner, fibrosis
kistik, dan lain-lain
- Pneumonia yang disebabkan oleh agen patogen dengan virulensi
tinggi, contoh: bakteri MRSA
- Pernah rawat jalan sebelumnya namun pasien memburuk
- Ketidakmampuan keluarga untuk merawat di rumah
Pada pasien yang dirawat inap dengan keadaan saturasi oksigen
<92%, terapi oksigen harus diberikan dengan kanul nasal, head box,
atau sungkup. Pada pasien pneumonia berat dengan dehidrasi,
diberikan cairan intravena dan dipantau balans cairannya dengan
ketat. Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga
kenyamanan pasien. Nebulisasi dengan β-2 agonis dan/atau NaCl
dapat diberikan untuk memperbaiki mucocilliary clearance. Pasien
harus diobservasi setidaknya 4 jam sekali. Kondisi anak seharusnya
akan membaik, terbukti dari evaluasi klinis dan laboratoris, dalam 48-
72 jam pertama setelah penanganan yang adekuat. Kegagalan
perbaikan mewajibkan pemeriksaan dan investigasi lebih lanjut akan
kecurigaan adanya komplikasi, mikroorganisme resisten, maupun
diagnosis alternatif.

h. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor
penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat
serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi
prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian
penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat
jalan sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%.
Menurut Infectious Disease Society Of America (IDSA) angka
kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas
yaitu kelas I 0,1% da kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III
sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%.35

7. HIPERTENSI STAGE I
a. Definisi
Hipertensi telah lama diketahui sebagai salah satu masalah
kesehatan. Walaupun prevalensi secara klinis sangat sedikit pada anak
dan remaja dibanding pada dewasa, namun cukup banyak bukti yang
menyatakan bahwa hipertensi esensial pada orang dewasa dapat
berawal pada masa kanak-kanak dan remaja. Hipertensi merupakan
manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik sistem
kardiovaskular yang mana patofisiologinya adalah multi faktorial.
Task Force Report on High Blood Pressure in Children and
Adolescents pada tahun 1987 dan 1996 mengemukakan beberapa
definisi hipertensi. Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah apabila
rata-rata tekanan darah lebih tinggi atau sama dengan persentil ke-95
terhadap umur dan jenis kelamin pada tiga kali pemeriksaan. Tekanan
darah pada anak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan
ukuran/massa otot tubuh. Dalam keadaan normal, makin tua seorang
anak, makin tinggi tekanan darahnya. Tekanan darah anak lelaki lebih
tinggi dibandingkan tekanan darah anak perempuan seusianya, dan
makin banyak massa otot seorang anak maka makin tinggi tekanan
darahnya. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka batasan tekanan
darah normal pada anak, berbeda-beda untuk setiap kelompok umur,
jenis kelamin, dan tinggi badan anak.36,37,38

b. Etiologi
Ditinjau dari penyebabnya, hipertensi pada anak dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu hipertensi yang disebabkan oleh
penyakit tertentu dan hipertensi yang tidak disebabkan oleh penyakit,
yang dikenal sebagai hipertensi primer/esensial. Pada anak kecil dan
pra-remaja sebagian besar merupakan hipertensi yang disebabkan oleh
penyakit; penyakit ginjal dan pembuluh darah ginjal merupakan
penyebab tersering, contohnya seperti peradangan ginjal, infeksi ginjal
kronik, penyumbatan aliran urin, batu ginjal, kelainan kongenital
saluran kemih, penyempitan pembuluh darah ginjal, dan sebagainya.
Hipertensi primer atau esensial lebih sering ditemukan pada remaja,
meliputi 85-90% kasus. Hipertensi primer sangat jarang ditemukan
pada anak berusia kurang dari 10 tahun. Faktor risiko yang dikaitkan
dengan terjadinya hipertensi esensial adalah riwayat hipertensi dalam
keluarga dan kegemukan/obesitas.37,38

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi


Tekanan darah dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan
ukuran/massa otot tubuh. Dalam keadaan normal, makin tua seorang
anak, makin tinggi tekanan darahnya; tekanan darah anak lelaki lebih
tinggi dibandingkan tekanan darah anak perempuan seusianya, dan
makin banyak massa otot seorang anak maka makin tinggi tekanan
darahnya. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka batasan tekanan
darah normal pada anak, berbeda-beda untuk setiap kelompok umur,
jenis kelamin, dan tinggi badan anak. Hal ini berbeda dengan dewasa
yang menggunakanbatasan tekanan darah normal untuk semua umur,
jenis kelamin, dan ukuran tubuh. Di samping itu, tekanan darah juga
dipengaruhi oleh aktivitas fisik, stres (misalnya anak menangis), dan
rangsangan yang lain. Oleh karena itu pengukuran tekanan darah
memerlukan kondisi anak yang tenang, dilakukan di dalam ruang yang
menyenangkan anak, setelah anak beristirahat sejenak.37,38

d. Diagnosis
Hipertensi pada anak dapat diketahui dengan cara penggunaan
tabel tekanan darah yaitu sebagai berikut:
- Pergunakan grafik pertumbuhan Center for Disease Control
(CDC) (www.cdc.gov/growthcharts) untuk menentukan
persentil tinggi anak.
- Ukur dan catat TDS dan TDD anak.
- Gunakan tabel TDS dan TDD yang benar sesuai jenis kelamin.
- Lihat usia anak pada sisi kiri tabel. Ikuti perpotongan baris usia
secara horizontal dengan persentil tinggi anak pada tabel (kolom
vertikal).
- Kemudian cari persentil 50, 90, 95, dan 99 TDS di kolom kiri
dan TDD di kolom kanan.
- Interpretasikan tekanan darah (TD) anak:
 TD: <persentil 90 adalah normal.
 TD: antara persentil 90-95 disebut pre-hipertensi. Pada
anak remaja jika >120/80 mmHg disebut prehipertensi.
 TD >persentil 95 kemungkinan suatu hipertensi.
- Bila TD >persentil 90, pengukuran TD harus diulang sebanyak
dua kali pada kunjungan berikutnya di tempat yang sama, dan
rerata TDS dan TDD harus dipergunakan.
- Bila TD >persentil 95, TD harus diklasifikasikan dan dievaluasi
lebih lanjut.

e. Tatalaksana
Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi
risiko jangka pendek maupun panjang terhadap penyakit
kardiovaskuler dan kerusakan organ target. Tujuan akhir pengobatan
hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga di bawah persenil
ke 95 berdasarkan usia, jenis kelamindan tinggi badan anak.
- Terapi medikamentosa
Dapat diberikan golongan obat ACE-inhibitor seperti kaptopril
dengan dosis maksima 6 mg/kg/hari, lisinopil dengan dosis
maksimal 0,2-1 mg/kg/hari. Golongan ARB contohnya seperti
Losartan dengan dosis maksimum 1,4 mg/kg/kali tiap 24 jam.
Selain itu dapat diberikan diuretik seperti Hidroklorotiazid
dengan dosis 4 mg/kg/hari. Furosemid 12 mg/kg/hari dan
spironolakton 3,3 mg/kg/hari tiap 6-12 jam.
- Terapi suportif
Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup
yaitu penurunan berat badan (apabila berlebih), diet rendah
lemak dan garam, olahraga teratur.

8. SUSPEK GLAUKOMA KONGENITAL ODS


a. Definisi
Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang
ditandai oleh pencekungan (cuppirzg) diskus optikus dan pengecilan
lapangan pandang; biasanya disertai peningkatan tekanan intraokular.
Pada sebagian besar kasus, glaukoma tidak disertai dengan penyakit
mata lainnya (glaukoma primer).39
Glaukoma kongenital jarang ditemukan. Glaukoma ini terbagi
menjadi (1) glaukoma kongenital primer, me nunjukkan kelainan
perkembangan yang terbatas pada sudut bilik mata depan; (2) anomali
perkembangan segmen anterior-sindrom Axenfeld-Reiger dan anomali
peters, keduanya disertai kelainan perkembangan iris dan kornea; dan
(3) berbagai kelainan lain – termasuk aniridia, sindrom Sturge-Weber,
neurofibromatosis-1, sindrom Lowe, dan rubela kongenital – di sini,
anomali perkembangan sudut disertai dengan kelainan okular dan
ekstraokular lain.39
Mekanisme penjngkatan tekanan intraokular pada glaukoma
adalah gangguan aliran keluar aqueous humor akibat kelainan sistem
drainase sudut bilik mata depan (glaukoma sudut terbuka) atau
gangguan akses aqueous humor k6 sistem drainase (glaukoma sudut
tertutup). Terapi ditujukan untuk menurunkan tekanan intraokular dan,
apabila mungkin, memperbaiki sebab yang mendasarinya. Walaupun
tekanan intraokular glaucoma tekanan normal berada dalam kisaran
normai, penurunan tekanan intraokulai mungkin masih ada
manfaatnya.39
Tekanan intraokular diturunkan dengan cara mengurangi
produksi aqueous humor atau dengan meningkatkan aliran keluarnya,
menggunakan obat, laser, atau pembedahan. Obat-obatan yang
biasanya diberikan secara topikal, tersedia untuk menurunkan
produksi aqueous atau meningkatkan aliran keluar aqueous.
Pembuatan pintas sistem drainase melalui pembedahan bermanfaat
pada kebanyakan bentuk glaukoma bila terdapat kegagalan respons
terapi dengan obat. Pada kasus-kasus yang sulit ditangani, dapat
digunakan laser, krioterapi, dan diatermi untuk mengablasi corpus
ciliare sehingga produksi aqueous humor menurun.39

b. Klasifikasi glaukoma kongenital


- Glaukoma kongenital primer
- Glaukoma yang berkaitan dengan kelainan perkembangan lain
 Sindrom-sindrom pembelahan bilik mata depan
o Sindrom Axenfeld
o Sindrom Reiger
o Sindrom Peter
 Aniridia
- Glaukoma yang berkaitan dengan kelainan perkambangan
ekstraokuler
 Sindrom Sturge-Weber
 Sindrom Marfan
 Neurofibromatosis 1
 Sindrom Lowe
 Rubela kongenital

c. Temuan klinis
Lima puluh persen kasus glaukoma kongenital bermanifestasi
sejak lahir, 70% kasus didiagnosis dalam 6 bulan pertama, dan 80%
kasus terdiagnosis di akhir tahun pertama. Gejala paling dini dan
paling sering adalah epifora. Dapat dijumpai fotofobia dan
berkurangnya kilau kornea. Tanda utamanya adalah peningkatan
tekanan intraokular. Pencekungan diskus optikus akibat glaukoma
merupakan kelainan yang terjadi relatif dini dan yang terpenting.
Temuan-temuan lanjut meliputi peningkatan diameter kornea
(melebihi 11,5 mm dianggap bermakna), edema epitel, robekan
membran Descem'et, dan peningkatan kedalaman bilik mata depan
(yang disertai pembesaran generalisata segmen anterior mata), serta
edema dan kekeruhan stroma kornea.39

d. Perjalanan penyakit dan prognosis


Pada kasus yang tidak diobati, kebutaah timbul secara dini. Mata
mengalami peregangan hebat dan bahkan dapat ruptur hanya karena
trauma ringan. pencekungan diskus optikus khas glaukoma timbul
relatif cepat, menekankan perlunya terapi'segera. Terapi selalu dengan
tindakan bedah, dan dapat dilakukan goniotomi atau trabekulektomi.39

i. Anomali perkembangan segmen anterior


Kelompok penyakit yang jarang ini membentuk suatu
spektrum gangguan perkembangan segmen anterior, yang
mengenai sudu! iris, kornea, dan kadang-kadang lensa. Biasanya
terdapat sedikit hipoplasia sfroma anterior iris disertai jembatan-
jembatan filamen yang menghubungkan stroma iris dengan
kornea. Apabila jembatan filament terbentuk di perifer dan
berhubungan dengan garis Schwalbe yang mencolok dan
tergeser secara aksial (embriotokson posterior), penyakit yang
timbul dikenal sebagai sindrom Axenfeld. Apabila terjadi
perlekatan iridokornea yang lebih luas yang disertai disrupsi iris,
dengan polikori4 dan anomali tulang serta gigr, kelainan yang
ada disebut sindrom Rieger (suatu contoh disgenesis
iridotrabekula). Apabila perlekatan terjadi di antara iris sentral
dan bagian sentral.permukaan posterior kornea, penyakitnya
disebut anomali peters (suatu contoh trabekulodisgenesis
iridokornea).39
Penyakit-penyakit ini biasanya diwariskan secara dominan
walaupun dilaporkan adanya kasus-kasus sporadik. Mutasi pada
kromosom 4, 6, dan 13, yang kemungkinan besar melibatkan
gen-gen homebox, didapatkan pada pedigre sindrom Axenfeld-
Rieger. Glaukoma terjadi pada sekitar 50% mata dengan
kelainan tersebut dan sering belum muncul sampai masa kanak-
kanak akhir atau dewasa muda. Angka keberhasilan goniotomi
jauh lebih rendah pada kasus-kasus ini, dan mungkin dianjurkan
trabekulotomi atau trabekulektomi. Banyak pasien semacam ini
memerlukan terapi glaukoma medis jangka panjang, dan
prognosis bertahannya fungsi penglihatan jangka panjang yang
baik meragukan.39
ii. Aniridia
Gambaran khas aniridia, seperti yang diisyaratkan oleh
namanya, adalah iris tidak berkembang (vestigial). Pada banyak
kasus, hanya ditemukan tidak lebih dari akar irig atau suatu
batas iris yang tipis. Dapat dijumpai deformitas mata yang lairy
misalnya katarak kongenital, distrofi kornea, dan hipoplasia
fovea. Penglihatan biasanya buruk. Glaukoma sering kali timbul
sebelum masa remaja dan biasanya tidak merespons
penatalaksanaan medis atau bedah.39
Sindrom yang jarang ini diwariskan secara genetis. Pernah
dilaporkan kasus-kasus autosomal dominan dan autosomal
resesif. Apabila terapi medis tidak efektif, dilakukan tindakan
bedah drainase glaukoma.39
DAFTAR PUSTAKA (Termasuk BAB 1)

1. Kalbemed. Fluoroquinolone untuk meningitis tuberkulosa. Jurnal kalbemed.


Vol 39 no.3 2012
2. Apriliana, ety. Penatalaksanaan yang tepat pada meningitis tuberculosis.
Lampung: Jurnal Medula Unila.2016
3. Elvina, Fahilah, Yazid,Johanes. Update diagnosis dan tatalaksana meningitis
tuberkulosa anak. Sumatera Utara: Majalah Kedokteran Nusantara. 2017
4. Samuel, andy. Bronkopneumonia on pediatric patient. Lampung: Jurnal
Agromed Unila. 2014
5. World Health Organization. Early detection of tuberculosis: An overview of
approaches, guidelines and tools. Geneva: WHO; 2011.
6. Chin JH. Tuberculous meningitis: Diagnostic and therapeutic challenges.
Neurol Clin Pract. 2014; 4(3): 199–205.
7. Markum A.H. Buku ajar ilmu kesehatan anak I. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI; 1991.
8. Marx GE, Chan ED. Tuberculous Meningitis: Diagnosis and Treatment
Overview. Tuberc Res Treat. 2011; 1: 798764.
9. Chatterjee S. Brain tuberculomas, tubercular meningitis, and post-tubercular
hydrocephalus in children. J Pediatr Neurosci. 2011; 6(Suppl1): S96-S100.
10. Zein TM, Fletcher PS, Mirghani ZM. Intracranial tuberculoma.
Neurosciences. 2000; 5(2): 131-4.
11. Irfan M. Lateral rectus palsy: An important sign in diagnosing tuberculous
meningitis. KUST Med J. 2011; 3(1): 10-14.
12. Sharma P, Garg RK, Verma R, Singh MK, Shukla R. Incidence, predictors
and prognostic value of cranial nerve involvement in patients with
tuberculous meningitis: A retrospective evaluation. European Journal of
Internal Medicine. 2011; 22: 289-95.
13. Komolafe MA, Sunmonu TA, Esan OA. Tuberculous meningitis presenting
with unusual clinical featuresin Nigerians: Two case reports. Cases J. 2008;
1: 180.
14. Palmer BF. Hyponatremia in patients with central nervous system disease:
SIADH versus CSW. TRENDS in Endocrinology and Metabolism. 2003;
14(4): 182-7.
15. Yee AH, Bums JD, Wijdicks EFM. Cerebral salt wasting: Pathophysiology,
diagnosis, and treatment. Neurosurg Clin N Am. 2010. 21: 339-52.
16. Gross P. Clinical management of SIADH. Ther Adv Endocrinol Metab.
2012; 3(2): 61-73.
17. Handoko RP, Djuanda A, Hamzah M. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7 th
ed. Jakarta: FKUI; 2016.
18. Siregar RS, Wijaya C, Anugerah P. Saripati penyakit kulit dan kelamin. 3 rd
ed. Jakarta: EGC; 1996.
19. World Health Organization. Scabies [Internet]. 2015 [cited 2018 September
14]. Available from: http:
//www.who.int/lymphatic_filariasis/epidemiology/scabies/en/
20. Chosidow O. Scabies. N Engl J Med. 2006; 354: 1718-27.
21. Stephen PS, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies. Fitzpatrick’s dermatology
in general medicine. 5th ed. USA: McGrawHill; 2012.
22. Centers of Disease Control and Prevention. Parasites - Scabies [Internet].
2010. [cited 2018 September 14]. Available from: http:
//www.cdc.gov/parasites/scabies/
23. Habif TP, Hodgson S. Clinical dermatology. 4th ed. London: Mosby; 2004.
24. American Academy of Dermatology. Scabies [Internet]. 2015 [cited 2018
September 15]. Available from: https:
//www.aad.org/public/diseases/contagious-skin-diseases/scabies
WHO. Buku Saku pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2009.
25. Igor R. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Bulletin of the
World Health Organization. 2008; 86(5): 408-16.
26. Stuckey-Schrock K, Hayes BL, George CM. Community-acquired
pneumonia in children. Am Fam Physician. 2012; 86(7): 661-7.
27. Mc Cance KL, Huether SE. Pneumonia. In: Pathophysiology: The biologic
basis for disease in adults and children. 5th ed. St. Louis: Elsevier; 2006.
28. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar respirologi anak. 1 st ed. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2012.
29. Mc Cance KL, Huether SE. Pneumonia. In: Pathophysiology: The biologic
basis for disease in adults and children. 5th ed. St. Louis: Elsevier; 2006.
30. Mubarak A. Cerebral Palsy Presenting as Reccurent Pneunomia. JSZMC.
2011; 3(2): 291-6.
31. Alberta Medical Association. Guidelines for the diagnosis and management
of community acquired pneumonia: Pediatrics [intenet]. 2008 [cited 2018
September 15].
Available from url:http:
//www.centralhealth.nl.ca/assets/PandemicInfluenza/
PNEUMONIAPEDIATRICS.pdf
32. Ngozi N, Chidinma O, Martin N. A Correlation between clinical and chest
radiographic diagnosis of pneumonia in nigerian children. Adv Biores. 2011;
2(2): 18-21.
33. Magree HC, Russell FM, Sa’aga R, et al. Chest x-ray-confirmed pneumonia
in children in fiji. bulletin of the World Health Organization. 2005; 83: 422-
7.
34. Bradley JS, Byington C, Alverson B, et al. The management of community-
acquired pneumonia in infants and children older than 3 months of age:
clinical practice guidelines by the pediatric infectious diseases society and
the infectious diseases society of america [internet]. Clinical Infectious
Diseases Guideline. 2011 [cited 2018 September 15]. Available from:
http: //www.idsociety.org/uploadedFiles/IDSA/Guidelines-
Patient_Care/PDF_Library/2011%20CAP%20in%20Children.pdf
35. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
36. Saing JH. Hipertensi pada remaja. Sari Pediatri. 2005; 6(4): 159-65.
37. Indonesian Pediatric Society. Hipertensi pada anak [intenet]. 2016 [cited
2018 September 14]. Available from: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-
kesehatan-anak/hipertensi-pada-anak
38. Eva-Riordan E. Whitcher JP. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury. 17 th
ed. Jakarta: EGC; 2010.

Anda mungkin juga menyukai