Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

Morbus Hansen : Cara Penularan, Diagnosis dan Pengobatan


dr. William Wibowo
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSPAD Gatot Subroto, Jakarta,
Indonesia

Abstrak
Kusta merupakan suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae.
prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000 penduduk. Kusta dapat menyerang
segala usia, yang terbanyak dijumpai antara 10 – 20 tahun dan 30 – 60 tahun dengan jumlah
penderita laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (2 – 3 kali lebih besar). Artikel ini
membahas cara penularan, gejala, diagnosis, tatalaksana penyakit ini
Kata Kunci : Kusta, Morbus Hansen, Mycobacterium leprae

Abstract
Leprosy is a chronic infection caused by Mycobacterium leprae. The prevalence of leprosy
ranges from 0.79 to 0.96 every 10,000 population. Leprosy can affect all ages, the most
encountered between 10-20 years and 30-60 years with the number of male patients more than
women (2-3 times greater). This article discusses how the transmission, symptoms, diagnosis,
treatments. William Wibowo. Morbus Hansen : Transmission, Diagnosis, Treatments
Keywords : Morbus Hansen, Mycobacterium leprae, leprosy
Definisi
Kusta adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini pada dasarnya merupakan penyakit saraf
perifer, tetapi juga mengenai kulit dan kadang-kadang beberapa jaringan tertentu
lainnya, khususnya mata, mukosa saluran nafas bagian atas, otot, tulang dan testis.1

Epidemiologi
WHO pada tahun 2014 melaporkan bahwa Indonesia menempati urutan
ke-3 dalam jumlah kasus baru setelah India dan Brazil. Data yang diperoleh dari
Pusat Data dan Informasi mengenai Profil Kesehatan Indonesia menunjukkan
prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000 penduduk. Jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, data tersebut menunjukkan penurunan
prevalensi kusta.2
Kusta dapat menyerang segala usia, yang terbanyak dijumpai antara 10 –
20 tahun dan 30 – 60 tahun dengan jumlah penderita laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan (2 – 3 kali lebih besar).3
Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae atau
kuman Hansen, yang ditemukan pertama kali oleh seorang dokter dari Norwegia,
Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873.4
M.leprae berbentuk batang lurus dengan panjang 1-8 µm dan diameter 0,3
µm. Pada jaringan yang terinfeksi, batang-batang kuman ini dapat bertumpuk atau
bergumpal-gumpal dalam globi dan ada yang tersebar.1
Penularan
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar ahli berpendapat

bahwa kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan bagian atas dan kontak kulit

yang tidak utuh. Secara teoritis penularan dapat terjadi dengan cara kontak yang lama,

erat dan berulang dengan penderita.4 Sumber penularan penyakit ini diduga adalah

penderita kusta terutama tipe lepromatosa yang belum mendapat pengobatan oleh

karena tingginya bacterial load dan kemampuannya untuk melepaskan sejumlah besar

bakteri dari hidung mereka .3,5 namun tidak menutup kemungkinan oleh tipe

tuberkuloid. Resiko penularan anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita
kusta sekitar 4 – 10 kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak tinggal serumah

dan resiko penularan dari orang tua yang berpenyakit kusta kepada anak-anaknya lebih

besar dibandingkan risiko terhadap pasangan hidupnya .3

Menilai periode inkubasi yang akurat pada kusta sangat sulit, disebabkan oleh

onset yang lambat, tanda klinis awal yang tidak jelas, dan kesulitan melakukan

transmisi eksperimental pada manusia. Meskipun periode 3 bulan sampai 40 tahun telah

dilaporkan, namun masa inkubasi 2-4 tahun dianggap yang umum terjadi (Bryceson

and Pfaltzgraff, 1990). Masa inkubasi yang lama dan belum adanya pemeriksaan yang

dapat dengan spesifik mengukur paparan terhadap M. leprae disebabkan oleh besarnya

jumlah populasi yang terinfeksi M. leprae lebih besar daripada jumlah orang yang

menderita manifestasi klinis kusta, menjadi dua penyebab utama kesulitan dalam

memahami penularan kusta. 5

Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta berdasarkan pada 3 tanda kardinal penyakit
tersebut, yaitu:6
1. Bercak kulit yang disertai hilangnya sensasi
Hilangnya sensasi pada makula atau plak merupakan tanda diagnostik kusta.
Hilangnya sensasi kulit seringkali bersifat parsial, terhadap rasa sentuhan ringan
(anestesi), terhadap nyeri (analgesia) atau terhadap perbedaan temperatur ( panas
dan dingin).
2. Pembesaran saraf perifer
Semua saraf perifer dapat membesar pada kusta. Dua saraf yang paling sering
terkena, saraf ulnaris dan saraf poplitea lateral (juga disebut saraf peroneus). Dapat
disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena, yaitu :
- Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
- Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
- Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
3. Hapusan kulit positif
Pemeriksaan bakteriologi merupakan prosedur skrining penting untuk semua pasien
yang dicurigai menderita kusta setelah pemeriksaan klinis. Pemeriksaan
bakteriologis dapat membantu dalam: diagnosis kusta, klasifikasi kusta,
pengawasan respon pengobatan pada pasien dengan hasil hapusan kulit positif, dan
untuk mengeksklusi diagnosis kusta. Hapusan kulit diambil dari lesi yang dicurigai,
khususnya dari tepi lesi yang paling aktif dan pada kusta lepromatosa diambil dari
tempat dengan kemungkinan BTA paling banyak, yaitu lobus telinga, dahi, dagu,
ekstensor lengan, dorsal jari, bokong dan ekstensor lutut.

Klasifikasi

Sistem klasifikasi kusta yang paling luas digunakan adalah yang


dilaporkan oleh Ridley & Jopling (1966). Berdasarkan sistem ini, kusta
dikelompokkan atas dasar parameter imunologi, histopatologi, dan mikrobiologi
menjadi 5 tipe yaitu: tipe TT (polar tuberkuloid, tuberkuloid tuberkuloid), tipe BT (
borderline tuberkuloid), tipe BB (mid borderline, borderline borderline), tipe BL
(borderline lepromatosa), tipe LL (polar lepromatosa, lepromatosa lepromatosa).7

Berdasarkan kriteria Ridley dan Jopling, gambaran klinis kusta adalah:

Tipe Polar Tuberkuloid.

Pada kusta TT kekebalannya kuat seperti yang terlihat oleh penyembuhan

secara spontan dan tidak adanya penurunan sebagai sikap perlawanan host yang kurang.

Lesi kulit primer TT adalah plak berbatas tajam, sering annular sekunder untuk

propagasi perifer dan bagian sentralnya tampak bersih. Biasanya, lesi tegas mengeras,

meningkat, eritematosa, bersisik, kering, berbulu, dan hipopigmentasi.8

Sebuah saraf sensorik terdekat mungkin membesar atau mungkin tidak

membesar, tetapi lesi itu sendiri bersifat anestesi dan anhidrotic. lesi kulit sering soliter,

terutama pada pasien dengan TT, sebagai kontras dengan orang-orang yang BTnya

berkembang menjadi TT, di mana beberapa lesi, biasanya tidak lebih dari tiga, dapat

ditemukan. Pada kedua kelompok, kekebalan cukup untuk mempengaruhi


penyembuhan, dengan demikian, menempatkan batas atas dari 10 cm pada ukuran lesi,

terapi antibiotik dianjurkan.8

Gambar 1. Polar Tuberkuloid.8

Tipe Borderline Tuberkuloid.

Pada penyakit BT, resistensi kekebalan cukup kuat untuk menahan infeksi,

dalam hal ini pertumbuhan penyakit terbatas dan terjadi retardasi pertumbuhan basiler,

tapi respon host tidak cukup untuk menyembuhkan diri. Pasien-pasien ini agak tidak

stabil - resitansi dapat meningkat, berkembang menjadi TT, atau berkurang, turun

menjadi BI.8

Lesi kulit utama BT adalah plak dan papul . Seperti di TT, konfigurasi annular

adalah gejala umum dan kedua batasnya berbatas tajam tetapi lesi annular atau plak

mungkin memiliki batas tajam berupa papula satelit. Hipopigmentasi mungkin

menyolok pada pasien berpigmen gelap. Berbeda dengan TT, biasanya, ada sedikit atau

tidak ada skuama, kurang eritema, kurang indurasi, dan kurang elevasi, tetapi lesi dapat

menjadi jauh lebih besar, yaitu, diameternya lebih dari 10 cm, lesi tunggal kadang-

kadang melibatkan seluruh ekstremitas. Beberapa, lesi asimetris adalah gambaran khas,

tetapi lesi soliter juga merupakan gambaran khas yang tidak jarang. Penurunan sensasi

di lesi kulit adalah gambaran khas dan keterlibatan saraf (pembesaran atau

kelumpuhan), biasanya tidak lebih dari dua dan asimetris, yang umum.
Gambar 2. Borderline Tuberkuloid.8

 Tipe Midborderline (BB)

Gambaran klinis tipe ini memperlihatkan campuran karakteristik dua kutub,

seringkali aneh dan membingungkan.1 Tipe ini sangat tidak stabil, dan kondisi

pasien dapat dengan cepat meningkat atau menurun ke kondisi granulomatosa yang

lebih stabil dengan atau tanpa adanya reaksi klinis. Tanda khas lesi kulit yakni lesi

anuler dengan batas dalam dan batas luar yang jelas, plak besar dengan bagian

tengah tampak normal sehingga tampak seperti penampilan “Swiss Cheese”, atau

lesi dimorfik klasik. 8

Terdapat banyak lesi kulit, namun tidak sebanyak pada tipe LL. Lesi cenderung

simetris, makula memiliki ukuran dan bentuk bervariasi, beberapa berbatas tegas,

sementara yang lain tidak. Lesi yang meninggi memiliki tepi luar yang mengkilat

dan berlekuk seperti pada lesi lepromatosa, tetapi cekung pada bagian tengah, yaitu

suatu bagian yang tampak “punch-out” atau jelas menyembuh seperti pada lesi

tuberkuloid. Lesi kulit hipoestesi.1 Pemeriksaan BTA hapusan kulit biasanya


positif sedang tes lepromin biasanya negatif.1

Gambar 3. MidBorderline (BB) lesi "Punch out".8

 Tipe Borderline Lepromatosa (BL)

Gambaran klinis tipe ini merupakan campuran yang disebabkan oleh invasi

bakteri dan oleh ketidakstabilan pada bagian tengah spektrum. Lesi kulit

menyerupai pada kusta lepromatosa, tetapi ada beberapa perbedaan, dimana lesi

tidak terdistribusi secara tepat simetris, terdapat daerah kulit yang normal antara

lesi, dan lesi kulit memiliki ukuran dan bentuk yang berbeda-beda. Papul dan nodul

tampak jelas menonjol keluar di atas kulit, daripada bergabung membentuk

infiltrasi.1 Papul dan nodul berbatas tidak tegas seperti pada kusta lepromatosa

dapat berjumlah banyak, tetapi biasanya juga terdapat lesi yang berbatas tegas.8

Anestesi seperti yang ditemukan pada lesi lepromatosa, namun tidak benar-

benar simetris. Pemeriksaan BTA hapusan kulit positif, dan tes lepromin biasanya

negatif. 1
Gambar 4. Borderline Lepromatosa.9

 Tipe Lepromatosa (LL)

Pada tipe LL, imunitas seluler yang rendah menyebabkan replikasi bakteri yang

tidak terbatas dan tersebar luas ke organ tubuh yang lain.9 Tipe ini menyebabkan

pasien rentan menderita komplikasi dari reaksi antigen-antibodi dan penyakit

kompleks imun. 1

Lesi awal tipe LL berupa makula yang tersebar luas, simetris bilateral dan

sangat banyak. Tepi tidak jelas, dengan permukaan mengkilat dan eritematosa

(Bryceson A & Pfaltzgraff R, 1990). Lesi yang paling umum adalah nodul yang

berbatas tidak tegas, dengan diameter sampai 2 cm dan terdistribusi simetris.

Terjadi kerontokan rambut, yang paling sering pada alis mata, kemudian pada bulu

mata dan ekstremitas.8

Gambar 5. Lepromatosa , makula eritem dan infiltrat.9


Hilangnya kelenjar ekrin akibat kerusakan saraf simpatis menyebabkan telapak

tangan dan kaki kering. Lesi kulit dapat atau tidak hipoestesia. Kelumpuhan saraf

dapat terjadi, tetapi tidak sesering seperti pada tipe BL. Gangguan sensoris dengan

pola stocking glove sering terjadi dan jika semakin berat menyebabkan

kelumpuhan pada tangan dan kaki.9 Pada tahap akhir, dapat terjadi gambaran klinis

yang berat berupa face leonina, kerusakan tulang hidung serta gangguan pada

berbagai organ dalam yang lain.1

Pemeriksaan BTA hapusan kulit positif kuat, dan tes lepromin negatif.1

Gambar 6. Lepromatous leprosy. Infiltrat Difus pada kulit dan Nodul pada hidung

dan bibir.9

Gambar 7. Lepromatous leprosy. Nasal kolaps dan kerut dahi.9


Gambar 8. Lepromatous leprosy. Menunjukkan pembengkakan jari jari tangan

karena leprous dactylitis.9

Pengobatan

Saat ini WHO telah merekomendasikan 3 rejimen pengobatan kusta yaitu


: MDT PB untuk kusta tipe PB, MDT MB untuk kusta tipe MB dan ROM dosis
tunggal untuk PB lesi tunggal.10
MDT-MB

Obat dalam rejimen WHO (WHO 1982) :11

1. Dapson (DDS, 4,4diamino-difenil-sulfon).


Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dehidrofolat
sintetase. Resistensi terhadap dapson timbul akibat kandungan enzim sintetase yang
terlalu tinggi pada kuman kusta. Dapson biasanya diberikan sebagai dosis tunggal,
yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa, atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak.
Indeks morfologis kuman penderita LL yang diobati dengan dapson biasanya
menjadi nol setelah 5-9 bulan. Obat ini sangat murah, efektif dan relatif aman. Efek
samping yang mungkin muncul antara lain : erupsi obat, anemia hemolitik,
lekopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis damn
methemoglobinemia. Namun efek samping tersbut jarang dijumpai pada dosis lazim.
1

2. Rifampisin.
Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan
bersifat bakterisidal pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim
polymerase RNA yang berkaitan secara ireversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau
5,15 mg/kg berat badan) mampu membunuh kuman kira-kira 99,9% dalam waktu
beberapa hari. Pemberian seminggu sekali dengan dosis tinggi (900-1200 mg) dapat
menimbulkan gejala yang di sebut flu like syndrome. Pemberian 600 mg atau 1200
mg sebulan sekali ditoleransi dengan baik. Efek samping yang harus diperhatikan
adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, dan erupsi kulit. Obat ini
harganya mahal, dan saat ini telah dilaporkan adanya resistensi.1
3. Klofazimin (lamprene).
Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek
bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan
metabolisme radikal. Di samping ini obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi
sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta, khususnya eritema nodosum
leprosum. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan
untuk anak-anak 1mg/kg berat badan/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga
diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe 1 dan tipe 2. Kekurangan obat
ini adalah harganya mahal, di samping itu menyebabkan pigmentasi kulit yang
sering merupakan masalah pada ketaatan berobat penderita. Efek sampingnya hanya
terjadi pada dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare,
anoreksia, dan vomitus).1
4. Ofloksasin

Ofloksasin adalah antimikroba dengan spektrum luas dan merupakan


turunan fluorokuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae dibandingkan dengan
siprofloksasin dan pefloksasin. Obat ini mempunyai efek bakterisidal terhadap M.
leprae pertama kali didemonstrasikan pada tahun 1986 pada metode dengan telapak
kaki tikus (MFP) dan secara uji klinis. Ofloksasin adalah a fluorinated
carboxyquinolone-9-floro-2,3-dihydro-3 methyl-10-(4-methyl-1-piperazinyl)-7-
oxo-7H-pyridol[1,2,3-de]-1,4-benzoxazine-6carboxylic acid. Struktur kimianya
C18H20FN3O4 dengan berat molekul 361,4. Dosis untuk dewasa adalah 400 mg
sedangkan dosis untuk anak-anak 5-14 tahun adalah 200 mg.4

Mekanisme kerjanya dengan menghambat sub unit alfa dari enzim girase
DNA suatu tipe II topoisomerase, yang dapat mengganggu replikasi DNA basil.
Adanya perubahan struktur ini secara dramatis dapat meningkatkan daya
antibakterinya, memperlebar spektrum antibakteri, memperbaiki penyerapannya
dari saluran cerna dan memperpanjang masa kerja obat. Obat ini diserap dengan
cepat melalui saluran cerna, didistribusi secara luas ke dalam jaringan dan hanya
bekerja secara aktif dengan waktu paruh antara 5-8 jam. Ofloksasin dimetabolisme
di hati dan diekskresikan melalui ginjal, dengan konsentrasi maksimal serum 1-2
jam setelah penggunaan secara oral 400 mg. Efek samping yang dilaporkan bersifat
sedang dan jarang, seperti diare, nausea, gangguan saluran cerna, berbagai gangguan
sistem saraf pusat seperti nyeri kepala, insomnia, halusinasi dan kecemasan. Obat
ini dikontraindikasikan pada anak dibawah usia 5 tahun, wanita hamil dan menyusui,
serta alergi terhadap komponen obat dan derivatnya.4

5. Minosiklin

Minosiklin hydrochloride adalah derivat semi sintetik dari tetrasiklin,


mempunyai struktur kimia C23H27N3O7HCl dengan berat molekul 493,94. Diantara
turunan tetrasiklin, minosiklin merupakan satu-satunya obat yang aktif terhadap M.
leprae karena mungkin disebabkan oleh sifat lipofiliknya sehingga menyebabkan
mampu menembus dinding sel M. leprae dibandingkan dengan turunan yang lain.
Minosiklin sendiri dapat diindikasikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan
oleh gram positif maupun gram negative.4,12
Dosis minosiklin untuk dewasa yaitu 100 mg dan pada anak-anak 5-14
tahun dosis 50 mg, dapat dikonsumsi dua kali sehari (setiap 12 jam). Tidak
direkomendasikan untuk wanita hamil dan anak-anak kurang dari 5 tahun.
Mekanisme kerjanya dengan menghambat sintesis protein. Uji klinis minosiklin
pada penderita kusta lepromatosa menunjukkan bahwa dengan pemberian
minosiklin 100 mg/hari terjadi perbaikan klinis nyata setelah pemberian selama 3
bulan. Obat ini dimetabolisme di hati, dengan waktu paruh 11-22 jam, dan
diekskresikan melalui feses dan ginjal. Uji klinis pada telapak kaki tikus
menunjukkan bahwa konsentrasi hambat minimum minosiklin 0,2 g/ml. Selain itu
minosiklin dapat menembus kulit dan jaringan saraf yang banyak mengandung M.
leprae. Efek samping pemberian minosiklin jarang dilaporkan seperti adanya gatal
pada daerah rektum atau vagina, sakit perut, diare, pusing atau fotofobia dan lidah
menjadi kehitaman.4
Skema Rejimen Pengobatan Kusta WHO menjadi sebagai berikut :13
Tabel. Obat dan dosis regimen MDT-PB selama 6 bulan.13
Dosis Dapsone Rifampicin

Dewasa 100 mg/hari 600mg/bulan(diawasi)

Anak-anak 50 mg/hari 450mg/bulan(diawasi)


10 - 14 tahun
* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25
mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi).

Tabel. Obat dan dosis rejimen MDT-MB selama 12 bulan.13


Dosis Dapson Rifampisin Klofazimin
Dewasa 100 mg/hari 600 mg/bulan 50 mg/hari dan 300
(diawasi) mg/bulan (diawasi)

Anak-anak 10-14 50 mg/hari 450 mg/bulan 50 mg/hari dan 150


tahun* (diawasi) mg/bulan (diawasi)
* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun.Misalnya, dapson 25
mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi), klofazimin 50 mg 2 kali seminggu, dan
klofazimin 100 mg/bulan (diawasi).

Tabel. Obat dan dosis rejimen PB lesi tunggal diberikan dosis tunggal.13

Dosis Rifampicin Ofloxacin Minoksiklin

Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg

Anak-anak 300 mg 200 mg 50 mg


5 - 14 tahun
c
Tidak direkomendasikan pada ibu hamil dan anak-anak kurang dari 5 tahun.

Simpulan
Kusta adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh M.leprae. Diagnosis
berdasarkan manifestasi klinis, gambaran histologi. Tatalaksana terbagi menjadi
3, yaitu MDT-PB, MDT-MB, PB lesi tunggal dengan ROM dosis tunggal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bryceson, A. & E.Pfaltzgraff, R. Leprosy. London: Churchill Livingstone; 1990


2. Widyaningsih,O. Eradikasi Kusta : Apakah Memungkinkan ?. Program Studi
Pendidikan Dokter,FK Universitas Indonesia; 2015
3. Noordeen, S. K. Epidemiology of leprosy. dalam Hastings, R. C. & Opromolla, D. V.
A. (Eds.) Leprosy. 2nd ed. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1994
4. Amiruddin, MD. Penyakit kusta sebuah pendekatan klinis. Makassar: Brillian
Internasional; 2012
5. Martins MVSB, Guimares MMS, Spencer JS, Hacker MAVB, Costa LS, Carvalho FM,
et.al. Pathogen-specific epitopes as epidemiological tools for defining the magnitude of
Mycobacterium leprae transmission in areas endemic for leprosy. PloS Negl Trop Dis
; 2012. 6(4): e1616
6. Noto S, Schreuder PAM, Naafs B. The Diagnosis of Leprosy. In Leprosy Mailing List;
2011. p.8-20.
7. Parkash O. Classification of leprosy into multibacillary and paucibacillary groups: an
analysis. FEMS Immunol Med Microbiol ; 2009. 55: 1-5
8. Williams,I,R.,Rich,B,E.,& Kupper,T,S. Leprosy .In Wolf K,Goldsmith LA.Katz
SI,Gilchrest BA. (Eds).Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine 8th ed.New York,
McGraw-Hill Medical; 2012
9. Griffiths, C., Barker,J., Bleiker,T., Chalmers,R., Creamer,D., Leprosy in Rook's
Textbook of Dermatology. 9th ed. USA, Blackwell Science; 2016. Volume 1 : 28.1
10. Worobec, S.M. Current approaches and future directions in the treatment of leprosy.
Research and Reports in Trop Med; 2012. 3: 79-91.
11. WHO. Chemotherapy of leprosy for control programmes.Report of WHO Study Group.
WHO techical report series 675.World Health Organization,Geneva,Switzerland; 1982
12. Mesa NG, Zarzuelo A, Galvez J. Minocycline: far beyond an antibiotic. Br J
Pharmacol; 2013. 169: 337-352
13. Sjamsoe-Daili, E,S.,Menaldi,A,L.,Ismiarto,S,P.,Nilasari,H. Kusta. Balai penerbit FK-
UI:Jakarta; 2003

Anda mungkin juga menyukai