Anda di halaman 1dari 19

KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK,

POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN

Bambang Irawan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian


Jl. A. Yani 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Conversion of wetland area into non-agricultural uses raises economic, social, and environmental
problems. This phenomenon is a serious problem for food security because it is unavoidable and its impact on
food production decrease is permanent, accumulative, and progressive. To control wetland conversion the
government launched many regulations but this formal approach seems ineffective due to various factors.
Accordingly, policies revitalization including economic and social approaches should be developed. Principally,
future policy of wetland conversion should be intended: (1) to reduce economic and social factors that stimulate
conversion of wetland area, (2) to control the acreage, location, and type of wetland area conversed in order to
minimize the negative impacts, and (3) to neutralize negative impacts through investments funded by the private
companies involved in the conversion.

Key words : land use, wetland, impact, economic policies, social policies

ABSTRAK

Konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian seperti kompleks perumahan, kawasan industri,
kawasan perdagangan, dan sarana publik dapat menimbulkan dampak negatif secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Bagi ketahanan pangan nasional, konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius,
mengingat konversi lahan tersebut sulit dihindari sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan
bersifat permanen, kumulatif, dan progresif. Banyak peraturan yang diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan
konversi lahan sawah tetapi pendekatan yuridis tersebut terkesan tumpul akibat berbagai faktor. Sehubungan
dengan itu maka diperlukan revitalisasi kebijakan dalam mengendalikan konversi lahan melalui pengembangan
pendekatan ekonomi dan pendekatan sosial. Pada intinya kebijakan pengendalian konversi lahan di masa yang
akan datang perlu diarahkan untuk mencapai tiga sasaran yaitu : (1) menekan intensitas faktor sosial dan
ekonomi yang dapat merangsang konversi lahan sawah, (2) mengendalikan luas, Iokasi, den jenis lahan sawah
yang dikonversi dalam rangka memperkecil potensi dampak negatif yang ditimbulkan, dan (3) menetralisir
dampak negatif konversi lahan sawah melalui kegiatan investasi yang melibatkan dana perusahaan swasta
pelaku konversi lahan.

Kata kunci : penggunaan lahan, sawah, dampak, kebijakan ekonomi, kebijakan sosial

PENDAHULUAN penduduk. Selain itu, produktivitas usahatani


padi sawah jauh lebih tinggi dibanding
usahatani padi lahan kering, dimana sekitar 90
Peningkatan ketahanan pangan meru- persen produksi beras nasional dihasilkan dari
pakan salah satu tujuan pembangunan nasio- usahatani padi sawah (Irawan et al., 2003).
nal. Dari sisi produksi, peningkatan ketahanan Kondisi demikian menyebabkan pemberdaya-
pangan tersebut diupayakan melalui pening- an lahan sawah untuk menghasilkan padi akan
katan produksi beras terutama yang dihasilkan memberikan dampak lebih besar terhadap
dari lahan sawah. Pertimbangan yang melatar- ketersediaan pangan dibanding pemberdaya-
belakangi kebijakan tersebut adalah bahwa an lahan kering.
beras merupakan bahan pangan pokok pendu-
duk yang memiliki sumbangan paling besar Akibat pertambahan jumlah penduduk
terhadap konsumsi kalori dan protein yaitu dan peningkatan konsumsi per kapita yang
sekitar 55 persen dan 45 persen (SUSENAS, dirangsang oleh kenaikan pendapatan rumah
1999). Pola konsumsi pangan demikian tangga, maka kebutuhan beras terus menga-
menyebabkan kelangkaan beras akan sangat lami peningkatan. Untuk mengimbangi pening-
mempengaruhi kecukupan konsumsi gizi katan kebutuhan tersebut, produksi beras

KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN Bambang Irawan

1
nasional harus meningkat secara memadai tetapi upaya pengendalian konversi lahan
dalam rangka mempertahankan kecukupan tersebut selama ini terkesan terabaikan, hal ini
pangan. Namun berbagai hasil penelitian ditunjukkan oleh semakin merambahnya akti-
mengungkapkan bahwa laju pertumbuhan vitas konversi lahan ke lahan sawah beririgasi
produksi beras akhir-akhir ini justru semakin teknis meskipun tidak sesuai dengan per-
lambat (Simatupang, 2000; Irawan et al., aturan yang berlaku. Banyak faktor yang
2003). Perlambatan laju pertumbuhan produksi menyebabkan kondisi tersebut, salah satunya
beras tersebut terutama disebabkan oleh adalah sikap yang melihat bahwa dampak
melambatnya laju pertumbuhan produktivitas konversi lahan tersebut sebagai “masalah
usahatani padi akibat tidak adanya terobosan kecil”.
teknologi yang mampu meningkatkan produkti- Untuk lebih memahami masalah kon-
vitas padi secara signifikan. Padahal, pengala- versi lahan sawah, makalah ini mengemu-
man selama ini menunjukkan bahwa pening- kakan beberapa aspek yang terkait. Aspek
katan produktivitas padi tersebut merupakan yang dimaksud meliputi : (1) potensi dampak
faktor utama bagi peningkatan produksi beras konversi lahan secara ekonomi, sosial dan
nasional. lingkungan, (2) lingkup dampak konversi lahan
Pada kondisi dimana produktivitas usa- terhadap ketahanan pangan, (3) sifat dampak
hatani padi semakin sulit ditingkatkan, pening- konversi lahan terhadap masalah pangan, (4)
katan luas panen padi merupakan upaya yang pola pemanfaatan lahan sawah yang dikon-
terpaksa dilakukan untuk meningkatkan pro- versi, dan (5) faktor determinan konversi
duksi padi nasional. Peningkatan luas panen lahan.
padi tersebut dapat ditempuh melalui pemba-
ngunan jaringan irigasi yang memungkinkan
peningkatan intensitas tanam padi per tahun, POTENSI DAMPAK KONVERSI LAHAN
dan peningkatan luas sawah melalui penceta- SECARA EKONOMI, SOSIAL DAN
kan sawah baru. Namun demikian, keterba- LINGKUNGAN
tasan sumberdaya lahan dan anggaran pem-
bangunan menyebabkan kedua upaya terse- Sumberdaya lahan pertanian membe-
but semakin sulit diwujudkan. Akhir-akhir ini rikan manfaat yang sangat luas secara eko-
luas lahan sawah justru cenderung berkurang nomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu
akibat dikonversi ke penggunaan nonpertani- hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke
an. Hasil Sensus Pertanian 2003 mengung- penggunaan nonpertanian akan menimbulkan
kapkan bahwa selama tahun 2000-2002 total dampak negatif terhadap berbagai aspek pem-
luas lahan sawah di Indonesia yang dikonversi bangunan.
ke penggunaan lain rata-rata 187,7 ribu hektar
per tahun, sedangkan luas pencetakan sawah Berbagai klasifikasi manfaat yang da-
baru hanya 46,4 ribu hektar per tahun, pat diperoleh masyarakat dari keberadaan
sehingga luas lahan sawah rata-rata ber- lahan pertanian misalnya dapat dilihat di dalam
kurang 141,3 ribu hektar per tahun (Sutomo, buku Munasinghe (1992), Callaghan (1992),
2004). Sogo Kenkyu (1998), dan Yoshida (1994).
Rincian manfaat yang dikemukakan oleh para
Pada situasi dimana produksi padi se- penulis tersebut dapat berbeda satu dengan
makin sulit ditingkatkan akibat meningkatnya lainnya tetapi secara umum mereka membagi
kendala perluasan lahan sawah dan stagnasi manfaat lahan pertanian dalam beberapa kate-
teknologi usahatani, konversi lahan sawah ke gori seperti diperlihatkan dalam Gambar 1.
penggunaan nonpertanian akan memperbesar
masalah pangan. Berdasarkan hal tersebut Secara garis besar, manfaat lahan
maka upaya pengendalian konversi lahan pertanian dapat dibagi atas 2 kategori yaitu :
sawah memiliki peranan yang semakin penting pertama, use values atau nilai penggunaan
dalam rangka mendukung ketahanan pangan. yang dapat pula disebut sebagai personal use
Upaya pengendalian konversi lahan sawah values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan
juga diperlukan untuk menghindari berbagai eksploitasi atau kegiatan usahatani yang
masalah sosial, ekonomi dan lingkungan yang dilakukan pada sumberdaya lahan pertanian.
dapat dirangsang oleh konversi lahan. Akan Kedua, non-use values yang dapat pula
disebut sebagai intrinsic values atau manfaat

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 1 - 18

2
KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN Bambang Irawan

3
bawaan. Yang termasuk kategori manfaat ini tangga, dan mencegah pencemaran udara
adalah berbagai manfaat yang tercipta dengan yang berasal dari gas buangan. Seluruh jenis
sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan manfaat tersebut bersifat komunal dengan
dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh cakupan masyarakat yang lebih luas, karena
pemilik lahan. Salah satu contohnya adalah masalah lingkungan yang ditimbulkan dapat
terpeliharanya keragaman biologis atau kebe- bersifat lintas daerah. Sebagai contoh, konver-
radaan spesies tertentu, yang pada saat ini si lahan pertanian di daerah Bogor dan Cianjur
belum diketahui manfaatnya, tetapi di masa tidak hanya menimbulkan masalah lingkungan
yang akan datang mungkin akan sangat ber- di kawasan tersebut yang berupa peningkatan
guna untuk memenuhi kebutuhan manusia. suhu udara tetapi dapat pula menimbulkan
Kategori manfaat pertama (use banjir di wilayah Jakarta.
values) lebih lanjut dapat dibedakan pula atas Hasil penelitian Agus et al. (2004)
manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. mengungkapkan bahwa seluruh manfaat
Manfaat langsung yang diperoleh dari kegiatan tersebut diatas yang diciptakan oleh lahan
eksploitasi yang dilakukan pada lahan perta- sawah di di wilayah DAS Citarum bernilai
nian dapat berupa 2 jenis manfaat yaitu : sekitar 17,38 juta rupiah per hektar per tahun.
(1) Berupa output yang dapat dipasarkan atau Sedangkan untuk kasus DAS Brantas Irawan
marketed output, yaitu berbagai jenis et al. (2002) mengungkapkan bahwa total nilai
barang yang nilainya dapat terukur secara manfaat lahan sawah tersebut sekitar 37,51
empirik dan diekspresikan dalam harga juta rupiah per hektar per tahun. Lebih dari 60
output. Yang termasuk kedalam jenis man- persen dari total nilai manfaat tersebut bukan
faat ini adalah berbagai produk pertanian merupakan marketed output atau manfaat
yang dihasilkan dari kegiatan eksploitasi yang bersifat individual. Artinya, sebagian
termasuk daun, jerami dan kayu yang besar manfaat yang diciptakan oleh lahan
dapat dimanfaatkan sebagai biomass. sawah merupakan jenis manfaat yang dapat
Jenis manfaat ini bersifat individual, dalam dinikmati oleh masyarakat luas atau yang
pengertian manfaat yang diperoleh secara bersifat komunal. Dengan demikian, jika lahan
legal hanya dapat dinikmati oleh para sawah dikonversi ke penggunaan nonperta-
pemilik lahan. nian, maka dampak negatif atau kerugian yang
ditimbulkan lebih dirasakan oleh masyarakat
(2) Berupa manfaat yang nilainya tidak ter- luas daripada sebagian kecil masyarakat pemi-
ukur secara empirik atau harganya tidak lik lahan.
dapat ditentukan secara eksplisit (unpriced
benefit). Jenis manfaat ini tidak hanya Hasil Sensus Pertanian tahun 2003
dapat dinikmati oleh pemilik lahan tetapi mengungkapkan bahwa total luas konversi
dapat pula dinikmati oleh masyarakat luas lahan sawah selama tahun 2000-2002 adalah
atau bersifat komunal. Contohnya adalah sebesar 563 ribu hektar. Mengacu pada ketiga
tersedianya bahan pangan, sarana rekrea- hasil penelitian tersebut diatas, maka secara
si, wahana bagi berkembangnya tradisi kasar dapat diperkirakan bahwa nilai manfaat
dan budaya pedesaan, dan tersedianya yang hilang akibat konversi lahan sawah
lapangan kerja di pedesaan yang selanjut- tersebut sekitar 26,02 triliun rupiah atau rata-
nya dapat mencegah terjadinya urbanisasi rata 8,67 triliun rupiah per tahun. Nilai tersebut
yang seringkali menimbulkan berbagai setara dengan 3,05 persen APBN 2000-2002
masalah sosial di daerah perkotaan. yang besarnya rata-rata 283,72 triliun rupiah
per tahun (BPS, 2004).
Manfaat tidak langsung dari keberada-
an lahan pertanian umumnya lebih terkait
dengan aspek lingkungan. Yoshida (1994) dan LINGKUP DAMPAK KONVERSI LAHAN
Sogo Kenkyu (1998) mengungkapkan bahwa TERHADAP KETAHANAN PANGAN
keberadaan lahan pertanian dari aspek lingku-
ngan dapat memberikan lima jenis manfaat Salah satu dampak konversi lahan
yaitu : mencegah terjadinya banjir, sebagai yang sering mendapat sorotan masyarakat
pengendali keseimbangan tata air, mencegah luas adalah terganggunya ketahanan pangan
terjadinya erosi, mengurangi pencemaran yang merupakan salah satu tujuan pemba-
lingkungan yang berasal dari limbah rumah ngunan nasional. Ketahanan pangan tersebut

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 1 - 18

4
memiliki aspek dan dimensi yang cukup luas. tingkat negara karena hal tersebut belum men-
Uraian berikut mengungkapkan konsepsi keta- jamin terjadinya kecukupan pangan sepanjang
hanan pangan dan potensi dampak konversi waktu bagi seluruh lapisan masyarakat. Sejak
lahan tarhadap beberapa aspek ketahanan itu konsep ketahanan pangan terus berkem-
pangan tersebut. bang dan disempurnakan sesuai dengan per-
masalahan pangan yang dihadapi di berbagai
negara. Pengertian ketahanan pangan yang
Konsepsi Ketahanan Pangan mencakup aspek lebih luas dan bersifat
Ketahanan pangan sebagai terjema- universal dicetuskan dalam sidang komisi
han dari food security telah dibahas secara Ketahanan Pangan FAO pada tahun 1991
mendalam pada pertemuan-pertemuan inter- yang mendefinisikan bahwa : ‘’ketahanan
nasional sejak terjadinya krisis pangan yang pangan adalah suatu kondisi ketersediaan
melanda dunia pada awal tahun 1970-an. pangan yang cukup bagi setiap orang pada
Pada waktu itu pengertian ketahanan pangan setiap saat, dan setiap individu memiliki akses
lebih difokuskan pada masalah penyediaan untuk memperolehnya baik secara fisik mau-
pangan dalam kuantitas yang sesuai dengan pun secara ekonomik’’ (Soetrisno, 1998). Ber-
kebutuhan pangan di suatu negara. Swasem- dasarkan definisi tersebut, maka permasa-
bada pangan merupakan indikator utama yang lahan substantif ketahanan pangan tidak
digunakan untuk mencerminkan kondisi keta- hanya mencakup aspek kuantitas ketersediaan
hanan pangan tersebut di suatu negara. Oleh pangan secara memadai, tetapi menyangkut
karena itulah pada tahun 1970-an seluruh pula aspek stabilitas ketersediaan pangan
negara berusaha mencapai swasembada menurut waktu dan aspek aksesibilitas pendu-
pangan dan pada tahun 1984 Indonesia duk terhadap bahan pangan yang dibutuhkan.
memperoleh penghargaan dalam sidang FAO Berdasarkan hasil konferensi interna-
di Roma karena dinilai berhasil membangun sional tentang gizi yang disponsori oleh FAO
ketahanan pangannya akibat tercapainya swa- dan WHO di Roma pada tahun 1992, aspek
sembada beras (Irawan et al., 1999). gizi mulai dimasukan kedalam konsepsi
Setelah krisis pangan berlalu, penger- ketahanan pangan (Soetrisno, 1998). Aspek
tian tentang ketahanan pangan terus menga- gizi yang dimaksud meliputi tiga hal yaitu :
lami perkembangan sesuai dengan permasa- kecukupan jumlah, mutu dan keragaman pa-
lahan dan tantangan yang dihadapi. Kondisi ngan, serta keamanan pangan bagi kehidupan
swasembada pangan mulai diragukan sebagai yang sehat. Keragaman pangan dikaitkan
satu-satunya indikator ketahanan pangan dengan masalah kecukupan gizi makanan,
suatu negara. Hal ini karena pengalaman di karena setiap jenis pangan umumnya memiliki
negara-negara yang dianggap telah mencapai keunggulan dalam zat gizi tertentu tetapi
swasembada pangan seperti Korea Selatan memiliki keterbatasan dalam kandungan zat
(1976), Filipina (1977) dan Indonesia (1984), gizi lainnya. Dengan pola konsumsi pangan
menunjukkan bahwa kondisi swasembada yang beragam, maka zat gizi makanan yang
pangan tidak selalu menjamin pemenuhan dikonsumsi penduduk akan semakin beragam
kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk di pula, sesuai dengan kebutuhan fisiologis
negara yang bersangkutan, terutama bagi manusia.
kelompok penduduk miskin. Disamping itu, Perkembangan pemikiran tentang ke-
kekurangan pangan yang diindikasikan dari tahanan pangan di Indonesia tidak terlepas
mengalirnya impor pangan, seringkali masih dari perkembangan yang terjadi di tingkat
terjadi khususnya apabila terjadi gangguan dunia. Sampai dengan akhir Pelita V masalah
produksi pangan akibat berbagai faktor seperti ketahanan pangan masih diukur dari aspek
kondisi iklim yang buruk, bencana alam, kuantitas ketersediaan pangan secara nasio-
peningkatan serangan hama dan penyakit, nal yang diukur dari kondisi swasembada
konversi lahan pertanian, dan sebagainya. pangan. Konsepsi ketahanan pangan dengan
Dengan demikian, disadari bahwa cakupan aspek yang lebih luas baru dicetus-
kondisi ketahanan pangan tidak cukup hanya kan pada Pelita VII melalui Undang-Undang
diukur dari kondisi swasembada pangan di Pangan Nomor 7 tahun 1996 dimana keta-
hanan pangan didefinisikan sebagai : ’’kondisi

KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN Bambang Irawan

5
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang aspek kuantitas ketersediaan pangan, aspek
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, stabilitas ketersediaan pangan, aspek aksesi-
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata bilitas rumah tangga terhadap bahan pangan,
dan terjangkau’’. Makna terjangkau dalam aspek kualitas konsumsi pangan dan aspek
pengertian ini adalah bahwa setiap individu keamanan pangan. Konversi lahan yang
memiliki kemampuan untuk mendapatkan ba- didorong oleh berbagai faktor dapat menimbul-
han pangan baik secara fisik (aksesibilitas kan dampak negatif terhadap tiga aspek keta-
fisik) maupun secara ekonomik (aksesibilitas hanan pangan yang pertama yaitu: aspek
ekonomik). Sedangkan ketersediaan pangan kuantitas ketersediaan pangan, aspek stabili-
yang dimaksud dapat berupa ketersediaan tas ketersediaan pangan dan aspek aksesibi-
pangan di pasar atau di tingkat rumah tangga, litas rumah tangga terhadap bahan pangan.
yang dapat diperoleh dari hasil produksi Secara ringkas mekanisme pengaruh konversi
sendiri atau membeli di pasar. lahan terhadap ketiga aspek ketahanan pa-
ngan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Berdasarkan definisi tersebut diatas
maka ruang lingkup ketahanan pangan dapat
dilihat dari tiga dimensi yaitu : (1) dimensi
Aspek Kuantitas Ketersediaan Pangan
ruang lingkup ketahanan pangan yaitu lingkup
nasional, daerah dan rumah tangga yang Kuantitas ketersediaan pangan pada da-
terkait dengan aspek kuantitas ketersediaan sarnya dapat dipenuhi melalui produksi do-
pangan, (2) dimensi waktu dan musim yang mestik atau melalui impor. Namun bagi
terkait dengan aspek stabilitas ketersediaan Indonesia yang memiliki jumlah penduduk
pangan sepanjang waktu, dan (3) dimensi sangat besar, menggantungkan penyediaan
sosial ekonomi rumah tangga yang terkait pangan melalui impor akan berisiko tinggi
dengan aspek aksesibilitas rumah tangga ter- akibat pasokan bahan pangan dunia yang
hadap bahan pangan, aspek kualitas konsumsi cukup tipis terutama untuk bahan pangan
pangan, dan aspek keamanan pangan. sereal. Disamping itu, penyediaan pangan
melalui impor dapat menguras cadangan
Soetrisno (1998) berpendapat bahwa
devisa yang semakin sulit diperoleh. Berdasar-
ketahanan pangan di tingkat nasional atau
kan hal tersebut maka bagi Indonesia dapat
daerah dapat diartikan sebagai agregasi
dikatakan bahwa tidak ada pilihan yang lebih
ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga.
baik selain memproduksi bahan pangan seca-
Namun pendapat tersebut tidak sejalan
ra mandiri melalui pemanfaatan sumberdaya
dengan Simatupang (1999), yang mengemu-
yang tersedia.
kakan bahwa lingkup ketahanan pangan mulai
dari tingkat nasional hingga tingkat individu Secara nasional sumberdaya lahan sa-
pada dasarnya merupakan suatu hirarki de- wah memiliki peranan penting dalam mempro-
ngan aspek ketahanan pangan yang tidak duksi bahan pangan. Sekitar 90 persen
selalu sama untuk setiap tingkatan hirarki. produksi padi nasional dihasilkan dari lahan
Ketahanan pangan di tingkat nasional, regional sawah dan sisanya dari lahan kering (Irawan
atau lokal tidak selalu menjamin ketahanan et al., 2003). Lahan sawah juga memiliki
pangan di tingkat rumah tangga akibat ketim- peranan besar dalam memproduksi sayuran
pangan distribusi pendapatan rumah tangga. dan palawija seperti jagung, kedelai, dan ka-
Dalam kaitan ini masalah kelancaran distribusi cang tanah yang ditanam pada musim kema-
pangan juga memiliki peranan penting agar rau. Oleh karena itu konversi lahan sawah
bahan pangan yang tersedia dapat diakses secara langsung akan mengurangi kuantitas
oleh seluruh kelompok rumah tangga miskin ketersediaan pangan akibat berkurangnya
dan kaya. lahan pertanian yang dapat ditanami padi dan
komoditas pangan lainnya. Secara tidak lang-
sung konversi lahan sawah juga dapat mengu-
Dampak Konversi Lahan terhadap rangi kuantitas ketersediaan pangan akibat
Beberapa Aspek Ketahanan Pangan terputusnya jaringan irigasi yang selanjutnya
berdampak pada penurunan produktivitas
Seperti yang telah diuraikan, masalah
usahatani.
ketahanan pangan meliputi lima aspek yaitu :

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 1 - 18

6
Aspek Stabilitas Ketersediaan Pangan tani yang menggantungkan hidupnya pada
Menurut Waktu penghasilan dari kegiatan berburuh tani. Jika
Ketersediaan pangan dalam kuantitas terjadi konversi lahan terutama lahan sawah
yang sesuai kebutuhan secara nasional meru- irigasi yang memiliki daya serap tenaga kerja
pakan syarat keharusan untuk menciptakan relatif tinggi akibat intensitas tanam yang
ketahanan pangan. Namun kondisi tersebut tinggi, maka akan terjadi penurunan kesem-
belum memenuhi syarat kecukupan apabila patan kerja buruh tani yang selanjutnya
tidak diikuti dengan distribusi pangan yang berdampak pada penurunan pendapatan para
merata menurut tempat dan waktu sehingga buruh tani. Berdasarkan hal tersebut maka
dapat diakses oleh konsumen setiap saat konversi lahan pertanian secara langsung
(Simatupang, 1999). akan mengurangi aksesibilitas ekonomik para
buruh tani terhadap bahan pangan, padahal,
Idealnya produksi beras dapat dihasil- kelompok masyarakat miskin tersebut umum-
kan setiap bulan untuk menjamin stabilitas nya rentan terhadap kerawanan pangan.
ketersediaan bahan pangan pokok selama Disamping itu, daya beli pangan kelompok
sepanjang tahun, sehingga setiap saat konsu- masyarakat lainnya juga akan berkurang aki-
men dapat memenuhi kebutuhan pangannya. bat naiknya harga pangan yang dirangsang
Namun akibat waktu tanam padi yang sangat oleh penurunan produksi pangan yang dise-
terkait dengan pola curah hujan, panen padi babkan oleh konversi lahan.
umumnya hanya dapat dilakukan pada bulan-
bulan tertentu. Pada musim kemarau biasanya
terjadi penurunan produksi beras akibat berku- SIFAT DAMPAK KONVERSI LAHAN
rangnya hasil panen dari lahan kering dan TERHADAP MASALAH PANGAN
lahan sawah tadah hujan sehingga aksesibi-
litas konsumen terhadap bahan pangan me-
ngalami penurunan. Pada musim kemarau Dari sisi produksi, munculnya masalah
tersebut sebagian besar produksi beras diha- pangan dapat disebabkan oleh berbagai faktor
silkan dari lahan sawah irigasi yang memiliki seperti: meningkatnya serangan hama, terja-
pasokan air irigasi yang lebih terjamin. dinya kekeringan atau banjir, rusaknya jaring-
Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan an irigasi, turunnya harga pangan, dan konver-
sawah beririgasi dapat mengurangi stabilitas si lahan sawah. Secara agronomis faktor-
ketersediaan pangan sepanjang tahun akibat faktor tersebut dapat menimbulkan masalah
berkurangnya kapasitas produksi pangan yang pangan melalui mekanisme yang berbeda
dapat dihasilkan pada musim kemarau. yaitu akibat turunnya luas panen atau turunnya
produktivitas usahatani. Begitu pula dampak
yang ditimbulkan oleh setiap faktor tersebut
Aspek Aksesibilitas Pangan terhadap masalah pangan memiliki sifat yang
Aksesibilitas rumah tangga terhadap berbeda pula. Uraian berikut mengungkapkan
bahan pangan dapat dibedakan atas aksesibi- beberapa sifat dampak konversi lahan sawah
litas fisik dan aksesibilitas ekonomik. Aksesibi- terhadap masalah pangan yang secara umum
litas fisik sangat dipengaruhi oleh sistem lebih merugikan dibanding dampak masalah
distribusi pangan, sedangkan aksesibilitas pangan yang disebabkan oleh faktor lainnya.
ekonomik dipengaruhi oleh daya beli pangan
rumah tangga. Sementara daya beli pangan Dampak Konversi Lahan Sawah Bersifat
setiap rumah tangga sangat tergantung kepa- Permanen
da harga pangan dan pendapatan rumah
tangga yang bersangkutan. Pada tingkat harga Berbagai faktor tersebut di atas pada
pangan yang sama rumah tangga miskin atau dasarnya dapat menimbulkan masalah pangan
rumah tangga berpendapatan rendah memiliki akibat hilangnya peluang produksi pangan,
aksesibilitas ekonomik lebih rendah dibanding baik akibat penurunan luas panen atau akibat
rumah tangga kaya. penurunan produktivitas usahatani. Namun
peluang produksi yang hilang tersebut ada
Kelompok rumah tangga miskin terse- yang bersifat temporer dan bersifat permanen.
but di atas pada umumnya adalah para buruh Pada peristiwa serangan hama, penurunan

KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN Bambang Irawan

7
harga pangan, kekeringan atau banjir masa- waktu cukup panjang. Asyik (1996) mengemu-
lah pangan yang ditimbulkan dapat dikatakan kakan bahwa diperlukan waktu sekitar 10
bersifat temporer, dalam pengertian bahwa tahun agar lahan sawah yang baru dibangun
masalah pangan tersebut hanya muncul dapat berproduksi secara optimal.
manakala peristiwa tersebut terjadi. Tetapi Ketiga, sumberdaya lahan yang dapat
pada kasus konversi lahan, masalah pangan dijadikan sawah semakin terbatas terutama di
yang ditimbulkan bersifat permanen. Artinya, daerah pulau Jawa. Disamping itu anggaran
masalah pangan tersebut tetap akan terasa pemerintah juga semakin sulit, padahal
dalam jangka panjang meskipun konversi sebagian besar kegiatan pencetakan sawah
lahan sudah tidak terjadi lagi. didukung dengan dana pemerintah. Keterba-
Sebagai ilustrasi, misalkan pada tahun tasan sumberdaya lahan dan anggaran peme-
T1 terjadi kekeringan atau serangan hama rintah, menyebabkan upaya pencetakan
sehingga produksi beras mengalami penu- sawah dan rehabilitasi jaringan irigasi untuk
runan dan negara harus mengimpor beras menetralisir peluang produksi padi yang hilang
sebesar M1 untuk memenuhi kebutuhan beras akibat konversi lahan tidak mudah diwujudkan.
didalam negeri. Seandainya pada tahun Keempat, untuk dapat mengantisipasi
berikutnya (T2 .... Tn) tidak terjadi lagi kasus peluang produksi yang hilang akibat konversi
kekeringan atau serangan hama maka impor lahan, salah satu cara yang dapat ditempuh
beras pada tahun berikutnya tidak lagi adalah dengan meningkatkan produktivitas
diperlukan karena produksi beras dalam negeri usahatani padi sawah. Namun akibat stagnasi
akan segera pulih pada kondisi semula. Akan inovasi teknologi pada akhir-akhir ini, upaya
tetapi, pada kasus konversi lahan impor beras tersebut semakin sulit diwujudkan. Hal ini
sebesar M1 per tahun masih tetap diperlukan tercerminkan pada laju pertumbuhan produkti-
pada tahun-tahun berikutnya walalupun kon- vitas padi sawah nasional yang hanya men-
versi lahan tersebut sudah tidak terjadi lagi. capai 0,04 persen per tahun selama 1993-
Hal ini karena turunnya produksi beras yang 2003, padahal selama tahun 1973-1983 dapat
disebabkan oleh konversi lahan tidak dapat mencapai 4,19 persen per tahun (Irawan et al.,
dipulihkan dengan cepat pada kondisi semula. 2003).
Terdapat empat faktor yang menye-
babkan dampak konversi lahan sawah terha-
dap masalah pangan tidak dapat segera Dampak Konversi Lahan Bersifat Kumulatif
dipulihkan yaitu : Pengurangan luas sawah yang bersi-
Pertama, lahan sawah yang sudah fat permanen menyebabkan masalah pangan
dikonversi ke penggunaan nonpertanian ver- yang disebabkan oleh konversi lahan selama
sifat pemanen atau tidak pernah berubah periode tertentu (tahun t0 hingga tn) akan
kembali menjadi lahan sawah. Dengan kata bersifat kumulatif. Gambar 2 mengilustrasikan
lain, konversi lahan sawah ke penggunaan dampak konversi lahan yang bersifat kumulatif
nonpertanian memiliki sifat irreversible (Agus tersebut. Seandainya selama periode tersebut
dan Syaukat, 2004; Simatupang dan Irawan, tidak terjadi peningkatan produktivitas usaha-
2003 ; Pakpahan dan Anwar, 1989). Hal ini tani dan intensitas tanam padi, maka produksi
karena dengan berubahnya lahan sawah men- padi per tahun sepenuhnya tergantung pada
jadi kawasan industri, kawasan perdagangan luas sawah yang tersedia. Hal ini digambarkan
atau kompleks perumahan, maka nilai lahan sebagai garis lurus Qs jika tidak ada konversi
akan naik berlipat ganda. Fenomena ini dan pencetakan sawah. Garis Qs tersebut
ditunjukkan oleh perbandingan antara nilai akan berimpit dengan garis Qd (kuantitas
sewa lahan sawah dibanding nilai sewa lahan kebutuhan beras) jika diasumsikan bahwa
nonpertanian yang sangat besar, yaitu sekitar selama periode yang sama tidak terjadi pe-
1 : 622 untuk kompleks perumahan, 1: 500 ningkatan kebutuhan beras.
untuk kawasan industri dan 1 : 14 untuk kawa- Pada tahun t0 atau sebelum terjadinya
san wisata (Nasution dan Winoto, 1996). konversi lahan sawah kuantitas produksi beras
Kedua, upaya pencetakan sawah baru sama besarnya dengan kuantitas kebutuhan
dalam rangka pemulihan produksi pangan beras, dengan kata lain, tidak diperlukan impor
pada kondisi semula membutuhkan jangka beras untuk memenuhi kebutuhan pangan.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 1 - 18

8
Produksi, permintaan,
dan impor beras

Qs=Qd
dk1=M1

Qs1
M2=dk1+dk2
dk2
Qs2

t0 t1 t2 tn Tahun

Gambar 2. Ilustrasi Dampak Kumulatif Konversi Lahan Sawah Terhadap Masalah Pangan. (Sumber :
Irawan et al., 2000).

Jika pada tahun t1 terjadi konversi lahan sawah Akan tetapi dampak konversi lahan
maka produksi padi yang dapat dicapai pada yang bersifat permanen dan kumulatif sering-
tahun t1 akan turun menjadi Qs1. Pada tingkat kali kurang disadari, sehingga evaluasi dam-
produksi tersebut pemerintah harus melakukan pak konversi lahan sawah terhadap produksi
impor beras sebesar M1 untuk memenuhi padi biasanya dilakukan dengan asumsi dam-
kebutuhan beras pada t1. Kuantitas kebutuhan pak yang bersifat temporer (lihat : Sunarno,
impor beras tersebut (M1) pada dasarnya 1996 ; Pramono et al., 1996 ; Sudaryanto,
merupakan dampak konversi lahan yang 2003). Konsekuensinya adalah dampak kon-
terjadi pada t1 atau sebesar dk1, atau selisih versi lahan sawah terhadap masalah pangan
antar Qd dan Qs1. terkesan kecil. Sebagai ilustrasi, dalam
Jika pada tahun-tahun selanjutnya Tabel 1 diperlihatkan hasil analisis dampak
tidak terjadi lagi konversi lahan, maka impor konversi lahan sawah terhadap produksi padi
beras sebesar M1 per tahun tetap diperlukan yang dihitung berdasarkan asumsi dampak
untuk memenuhi kebutuhan beras selama yang bersifat temporer dan bersifat permanen
periode t0 hingga tn. Tetapi jika pada tahun t2 atau kumulatif. Dalam analisis tersebut
terjadi lagi konversi lahan yang berdampak dipergunakan data luas konversi lahan sawah
pada penurunan produksi sebesar dk2, maka per provinsi selama tahun 2000-2002 yang
kebutuhan impor beras sejak t2 hingga tn akan diperoleh dari hasil Sensus Pertanian tahun
naik menjadi M2. Kuantitas kebutuhan impor 2003.
tersebut (M2) sama besarnya dengan dk1 + Jika digunakan asumsi dampak yang
dk2 yang merupakan dampak konversi lahan bersifat temporer, konversi lahan sawah yang
yang terjadi pada tahun t1 dan t2. Hal ini terjadi selama tahun 2000-2002 menyebabkan
mengungkapkan bahwa masalah pangan pada hilangnya peluang produksi padi sawah rata-
tahun tertentu yang disebabkan oleh konversi rata sebesar 1,19 juta ton per tahun atau 2,46
lahan pada dasarnya merupakan akumulasi persen dari produksi padi sawah tahunan
dampak konversi lahan yang terjadi pada selama 2000-2002. Sedangkan jika digunakan
tahun yang bersangkutan dan tahun-tahun asumsi dampak yang bersifat permanen atau
sebelumnya. bersifat kumulatif (asumsi ini lebih realistis),

KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN Bambang Irawan

9
Tabel 1. Dampak Konversi Lahan Sawah Tahun 2000-2002 yang Dihitung Berdasarkan Asumsi Dampak yang
Bersifat Temporer dan Bersifat Permanen atau Kumulatif

Asumsi dampak temporer Asumsi dampak permanen


Tahun
Jawa Luar Jawa Total Jawa Luar Jawa Total

Dampak luas panen (000 ha)


2000 89,3 187,1 276,4 89,3 187,1 276,4
2001 88,6 180,8 269,3 177,1 361,5 538,7
2002 87,7 202,7 290,4 263,0 608,0 871,1
Rata-rata per tahun 88,5 190,2 278,7 176,5 385,6 562,0
Persentase terhadap rata-rata luas
panen 2000-2002 (%) 1,66 3,70 2,66 3,31 7,49 5,37

Dampak produksi (000 ton)


2000 467,0 719,2 1186,2 467,0 719,2 1186,2
2001 452,4 696,1 1148,4 904,7 1392,1 2296,8
2002 460,1 793,0 1253,1 1380,3 2379,0 3759,2
Rata-rata per tahun 459,8 736,1 1195,9 917,3 1496,8 2414,1
Persentase terhadap rata-rata
produksi 2000-2002 (%) 1,66 3,53 2,46 3,32 7,17 4,97

maka peluang produksi padi yang hilang lahan tersebut dapat disebabkan oleh dua
tersebut rata-rata 2,41 juta ton per tahun atau faktor yang saling terkait (Irawan, 2003) yaitu :
4,97 persen. Kedua hasil analisis tersebut (1) Sejalan dengan pembangunan kawasan
menunjukkan bahwa dampak konversi lahan perumahan atau kawasan industri di suatu lo-
yang dihitung dengan asumsi dampak yang kasi yang mengalami konversi lahan pertanian,
bersifat permanen menghasilkan besaran seki- maka aksesibilitas di lokasi yang bersangkutan
tar 2 kali lipat lebih tinggi dibanding dampak semakin baik akibat berkembangnya sarana
konversi lahan yang dihitung berdasarkan dan prasarana transportasi. Peningkatan akse-
asumsi dampak yang bersifat temporer. De- sibilitas tersebut selanjutnya merangsang
ngan demikian, dapat dikatakan bahwa hasil peningkatan permintaan lahan oleh investor
evaluasi dampak konversi lahan terhadap lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan
masalah pangan yang telah dilakukan selama di lokasi sekitarnya mengalami peningkatan.
ini sebenarnya terlalu kecil dibanding realitas. (2) Meningkatnya harga lahan selanjutnya
mendorong petani lain di sekitarnya untuk
menjual lahannya. Pembeli tanah tersebut
Dampak Konversi Lahan Bersifat Progresif biasanya bukan penduduk setempat sehingga
Sejalan dengan perubahan struktur akan terbentuk lahan-lahan guntai yang secara
perekonomian yang merupakan ciri perkemba- umum rentan terhadap proses konversi lahan
ngan suatu negara atau daerah, kebutuhan (Wibowo, 1996).
lahan untuk kegiatan nonpertanian akan me- Sementara itu, akibat peningkatan tek-
ngalami peningkatan dari tahun ke tahun. nologi usahatani maka produktivitas usahatani
Kecenderungan tersebut menyebabkan kon- padi per tahun akan mengalami peningkatan.
versi lahan pertanian sulit dihindari, dengan Kecenderungan tersebut menyebabkan pelu-
kata lain, setiap tahunnya pasti terjadi konversi ang produksi padi yang hilang untuk setiap
lahan. Luas konversi lahan tersebut setiap padi per tahun akan mengalami peningkatan.
tahunnya akan semakin besar karena konversi Kecenderungan tersebut menyebabkan pe-
lahan pertanian umumnya bersifat menular. luang produksi padi yang hilang untuk setiap
Dengan kata lain, sekali konversi lahan terjadi hektar lahan yang dikonversi akan semakin
di suatu lokasi maka luas lahan yang dikon- besar dari tahun ke tahun. Artinya, walaupun
versi di lokasi tersebut akan semakin besar luas lahan yang dikonversi per tahun selama
akibat konversi lahan ikutan yang terjadi di periode t0 hingga tn adalah tetap, namun
lokasi sekitarnya. Gejala penularan konversi peluang produksi padi yang hilang akibat

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 1 - 18

10
Produksi, permintaan, dan impor beras

Qs=Qd
M1= dk1
Qs1

M2=dk1+dk2
dk2

Qs2

t0 t1 t2 tn Tahun

Gambar 3. Ilustrasi Dampak Konversi Lahan Terhadap Masalah Pangan yang Bersifat Progresif

konversi lahan tersebut akan semakin besar. (BPS). Namun akibat perbedaan organizatio-
Dengan kata lain, masalah pangan yang dise- nal interest dan metode pengukuran yang
babkan oleh setiap hektar lahan yang dikon- digunakan, data konversi lahan sawah yang
versi akan semakin besar dari tahun ke tahun. diterbitkan oleh masing-masing instansi berbe-
Luas konversi lahan yang semakin da satu sama lain.
besar dan meningkatnya peluang produksi pa- Di antara data konversi lahan yang
ngan yang hilang per hektar lahan yang dikon- diterbitkan oleh seluruh instansi tersebut di
versi, menyebabkan masalah pangan yang atas, data konversi lahan sawah yang diterbit-
disebabkan oleh konversi lahan akan semakin kan oleh BPS lebih dapat diterima. Hal ini
besar dari tahun ke tahun atau bersifat karena : (a) sebagai lembaga yang memiliki
progresif. Dalam Gambar 3 fenomena tersebut tugas menangani masalah data maka BPS
ditunjukkan oleh kebutuhan impor beras per sangat termotivasi untuk dapat menghasilkan
tahun (M1 dan M2) atau selisih antara Qd dan data yang sesuai dengan kondisi yang sebe-
Qs yang meningkat secara akseleratif. narnya di lapangan, (b) BPS memiliki jaringan
pengumpul data yang “lebih mendekati lapa-
POLA KONVERSI DAN FAKTOR ngan” yaitu melalui Mantis di setiap kecama-
DETERMINAN KONVERSI LAHAN SAWAH tan, dan (c) disamping data luas sawah, BPS
mengumpulkan pula data luas panen dan
Luas Konversi Lahan Sawah dan Pola produksi padi sawah yang dapat dipergunakan
Pemanfaatannya untuk mengevaluasi konsistensi data dilihat
dari segi perkembangan teknologi usahatani.
Konversi lahan sawah dapat menim-
bulkan dampak yang sangat merugikan terha- Pengkajian luas konversi lahan sawah dengan
dap ketahanan pangan dan aspek lainnya se- menggunakan data BPS dapat dilakukan
cara ekonomi, sosial dan lingkungan. Namun dengan memanfaatkan dua jenis data yaitu :
data luas konversi lahan tersebut sejauh ini (1) data konversi lahan sawah yang
belum ada yang akurat (Sumaryanto et al., dikumpulkan berdasarkan hasil monitoring
1995; Mariadi dan Suryanto, 1997; Jamal dan atau pencatatan di lapangan, dan (2) data
Djauhari, 1998). Terdapat beberapa instansi perubahan luas sawah antar tahun sebagai
yang menerbitkan data konversi lahan yaitu : estimasi luas konversi lahan sawah. Data hasil
Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kimpras- monitoring dapat dikatakan memiliki akurasi
wil, Dinas Pertanian, dan Badan Pusat Statistik lebih baik dibanding data hasil estimasi.
Namun untuk analisis jangka panjang, data

KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN Bambang Irawan

11
Tabel 2. Luas Konversi Lahan Sawah di Jawa yang Dihitung Berdasarkan Perubahan Luas Sawah di Tingkat
Kabupaten dan Tingkat Provinsi, 1978-1998 (000 hektar / tahun)

Data Data Selisih antara data kabupaten dan data provinsi


Periode
Kabupaten provinsi Luas (ha) Persentase (%)
1978-88 70,31 32,62 37,69 53,61
1988-98 36,77 15,46 21,31 57,95
1978-98 53,54 24,04 29,50 55,10
Sumber : Irawan, 2004.

Tabel 3. Konversi Lahan Sawah Selama 2000-2002 Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian 2003.

Alokasi penggunaan sawah


Konversi lahan sawah
yang dikonversi (000 ha/th)
Wilayah
Luas area Persentase terhadap luas sawah Pertanian
Nonpertanian
(000 ha/th) tahun 2002 (%) bukan sawah
Jawa 55,72 1,68 43,60 12,12
(24,73) (78,25) (21,75)
Luar Jawa 132,01 2,98 66,56 65,44
(75,27) (50,42) (49,58)
Total 187,72 2,42 110,16 77,56
(100,00) (58,68) (41,32)
Keterangan : ( ) = persentase
Sumber : Sutomo, 2004 (diolah).

hasil monitoring memiliki kelemahan karena sama maka pada tingkat provinsi seolah-olah
jenis data tersebut baru dikumpulkan untuk tidak terjadi konversi lahan dan pencetakan
seluruh wilayah Indonesia pada pelaksanaan sawah karena keduanya saling menetralisir.
Sensus Pertanian tahun 2003. Sebaliknya, Hasil penelitian Irawan (2003) meng-
data hasil estimasi dapat dipergunakan untuk ungkapkan kecenderungan tersebut di atas
analisis jangka panjang walaupun akurasinya untuk kasus di Jawa (Tabel 2). Jika digunakan
tidak sebaik data hasil monitoring. data luas sawah per provinsi, luas konversi
Untuk provinsi tertentu, estimasi luas lahan sawah di Jawa selama 1978-1998 rata-
konversi lahan yang didekati dari perubahan rata 24,04 ribu hektar per tahun. Sedangkan
luas sawah antar tahun pada dasarnya dapat jika digunakan data kabupaten maka luas
dilakukan dengan menggunakan dua jenis konversi lahan tersebut rata-rata 53,54 ribu
data yaitu : (a) data luas sawah per tahun hektar per tahun. Dengan kata lain, penggu-
pada tingkat provinsi, atau (b) data luas sawah naan data provinsi dalam estimasi luas
per tahun per kabupaten di provinsi yang konversi lahan akan menghasilkan besaran
bersangkutan. Akan tetapi penggunaan data sekitar 55 persen lebih rendah dibanding
luas sawah di tingkat provinsi cenderung penggunaan data kabupaten.
menghasilkan luas konversi lahan yang under Tabel 3 memperlihatkan luas konversi
estimate karena perubahan luas sawah antar lahan sawah selama 2000-2002 yang diper-
tahun yang dihitung berdasarkan data agregat oleh dari hasil monitoring pada pelaksanaan
provinsi pada dasarnya merupakan hasil Sensus Pertanian tahun 2003. Tampak bahwa
bersih dari luas pencetakan sawah dan luas luas konversi lahan sawah nasional selama
konversi sawah yang terjadi di kabupaten- periode tersebut rata-rata sebesar 187,72 ribu
kabupaten yang termasuk ke dalam provinsi hektar per tahun atau 2,42 persen luas sawah
tersebut. Dengan demikian, jika pada tahun yang tersedia. Konversi lahan sawah tersebut
tertentu terjadi konversi lahan sawah di suatu ternyata jauh lebih tinggi di luar Jawa diban-
kabupaten sedangkan di kabupaten lainnya ding di pulau Jawa. Rata-rata luas konversi
terjadi pencetakan sawah dengan luasan yang lahan sawah di luar Jawa sebesar 132,01 ribu

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 1 - 18

12
Tabel 4. Alokasi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian Selama 2000-2002 Berdasarkan Hasil
Sensus Pertanian 2003.

Luas konversi Alokasi penggunaan sawah yang dikonversi (000 ha/th)


Wilayah
(000 ha/th) Perumahan Industri Perusahaan/perkantoran Lainnya
Jawa 43,60 32,68 5,35 3,42 2,15
(74,96) (12,27) (7,84) (4,93)
Luar Jawa 66,56 21,25 3,69 12,61 29,01
(31,92) (5,55) (18,94) (43,59)
Total 110,16 53,93 9,05 16,02 31,16
(48,96) (8,21) (14,55) (28,29)
Keterangan : ( ) = persentase
Sumber : Sutomo, 2004 (diolah).

hektar per tahun atau 2,98 persen luas sawah sebesar 31,92 persen. Sebaliknya, konversi
yang tersedia, sedangkan di pulau Jawa lahan yang ditujukan untuk kegiatan lainnya
sebesar 55,72 ribu per tahun atau 1,68 persen. jauh lebih besar di luar Jawa yang mencapai
Beberapa provinsi di luar Jawa yang memiliki 29,01 ribu hektar per tahun atau 43,59 persen,
konversi lahan sawah tergolong tinggi yakni di sedangkan di Jawa hanya seluas 2,15 ribu
atas 30 ribu hektar per tahun adalah provinsi : hektar per tahun atau 4,93 persen.
Sumut, Sumbar, Riau, Sumsel, Kalbar, dan Uraian di atas menjelaskan bahwa
Kaltim. sumber permasalahan konversi lahan sawah
di pulau Jawa berbeda dengan di luar Jawa.
Selama tahun 2000-2002 luas konver- Konversi lahan sawah di pulau Jawa terutama
si lahan sawah yang ditujukan untuk pemba- didorong oleh kebutuhan lahan untuk pem-
ngunan kegiatan nonpertanian seperti kawa- bangunan perumahan yang dapat dirangsang
san perumahan, industri, perkantoran, jalan, oleh pertambahan jumlah penduduk yang
dan sarana publik lainnya rata-rata sebesar tinggi. Sedangkan di luar Jawa, konversi lahan
110,16 ribu hektar per tahun atau 58,68 sawah tersebut terutama disebabkan oleh
persen dari total luas sawah yang dikonversi. kebutuhan lahan untuk pembangunan sarana
Konversi lahan sawah yang ditujukan untuk transportasi dan sarana publik lainnya dalam
penggunaan kegiatan nonpertanian tersebut rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, di
sangat dominan di pulau Jawa yang memiliki samping kebutuhan lahan untuk pembangunan
pangsa luas konversi lahan sebesar 78,25 perumahan.
persen. Sedangkan di luar Jawa konversi la-
han sawah yang ditujukan untuk kegiatan non-
pertanian dan kegiatan pertanian bukan sawah Faktor Determinan Konversi Lahan
relatif berimbang yaitu 50,42 persen dan 49,58 Konversi lahan pertanian pada dasar-
persen. Yang termasuk kegiatan pertanian nya terjadi akibat adanya persaingan dalam
bukan sawah di antaranya adalah kolam, pemanfaatan lahan antara sektor pertanian
tambak, tanaman perkebunan dan lain-lain. dan sektor nonpertanian. Sedangkan persaing-
Secara nasional, konversi lahan sa- an dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul
wah ke penggunaan nonpertanian terutama akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan
dialokasikan untuk pembangunan perumahan, sosial yaitu : (a) keterbatasan sumberdaya
dengan pangsa sebesar 48,96 persen (Tabel lahan, (b) pertumbuhan penduduk, dan (c)
4). Posisi kedua ditempati oleh alokasi lahan pertumbuhan ekonomi. Di setiap daerah, luas
untuk kegiatan lainnya (jalan dan saran publik lahan yang tersedia relatif tetap atau terbatas
lainnya) yang memiliki pangsa sebesar 28,29 sehingga pertumbuhan penduduk akan me-
persen. Konversi lahan sawah untuk pemba- ningkatkan kelangkaan lahan yang dapat di-
ngunan perumahan terutama sangat besar di alokasikan untuk kegiatan pertanian dan
pulau Jawa yaitu seluas 32,68 ribu hektar per nonpertanian. Sementara itu pertumbuhan
tahun atau 74,96 persen, sedangkan di luar ekonomi cenderung mendorong permintaan
Jawa seluas 21,25 ribu hektar per tahun atau lahan untuk kegiatan nonpertanian pada laju

KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN Bambang Irawan

13
lebih tinggi dibanding permintaan lahan untuk ningkatan kebutuhan lahan untuk pembangun-
kegiatan pertanian karena permintaan produk an perumahan.
nonpertanian lebih elastis terhadap penda- Pendapat tersebut di atas sejalan
patan. Meningkatnya kelangkaan lahan (akibat dengan Kustiawan (1997) dan Pakpahan dan
pertumbuhan penduduk), yang dibarengi de- Anwar (1989) yang mengungkapkan bahwa
ngan meningkatnya permintaan lahan yang dalam persepektif makro konversi lahan
relatif tinggi untuk kegiatan nonpertanian pertanian terjadi akibat transformasi struktur
(akibat pertumbuhan ekonomi) pada akhirnya ekonomi dan masalah demografis sehingga
menyebabkan terjadinya konversi lahan per- tidak mungkin dicegah. Di negara-negara
tanian. berkembang yang mengalami pertumbuhan
Kajian empiris yang memperlihatkan ekonomi relatif tinggi, struktur ekonomi cende-
fenomena tersebut di atas misalnya dapat rung bergeser dari yang semula bertumpu
disimak dalam hasil penelitian Pakpahan dan pada sektor pertanian ke sektor nonpertanian.
Anwar (1989) di Sumatera Barat dan Sulawesi Perubahan struktur ekonomi tersebut menye-
Selatan. Hasil penelitian tersebut mengung- babkan permintaan lahan untuk kegiatan
kapkan bahwa konversi lahan pertanian dipe- nonpertanian mengalami peningkatan pesat,
ngaruhi secara positif oleh pertumbuhan sehingga merangsang terjadinya konversi la-
PDRB dan kepadatan penduduk, sedangkan han pertanian yang dialokasikan untuk pemba-
total luas lahan yang tersedia memiliki ngunan kawasan industri dan kawasan perda-
pengaruh negatif. Begitu pula Hakim (1989) gangan. Berkembangnya kedua kawasan ben-
dan Ilham (2004) mengungkapkan fenomena tuk tersebut selanjutnya menarik migrasi pen-
yang senada, yaitu konversi lahan pertanian duduk ke kawasan tersebut, sehingga terjadi
dipengaruhi oleh PDRB sektor pertanian, pula konversi lahan ikutan yang ditujukan
PDRB per kapita dan kepadatan penduduk. untuk pembangunan kompleks perumahan.
Sedangkan hasil kajian mikro yang dilakukan Sebagian besar lahan pertanian yang
oleh Irawan et al. (2000) mengungkapkan berupa sawah, tegalan, atau kebun dimiliki
bahwa konversi lahan yang ditujukan untuk oleh petani. Oleh karena itu proses konversi
pembangunan kompleks perumahan di kawa- lahan pertanian umumnya diawali dengan
san pantura umumnya mendekati daerah- transaksi penjualan lahan petani kepada pihak
daerah pusat pertumbuhan ekonomi. Hal ini lain. Berdasarkan proses tersebut, konversi
menunjukkan bahwa konversi lahan tersebut lahan dapat pula dirangsang oleh dorongan
dapat dirangsang oleh berkembangnya kegiat- penawaran lahan pertanian oleh petani
an ekonomi di suatu daerah. (Simatupang dan Irawan, 2003). Dalam jangka
Ketiga fenomena tersebut di atas sa- panjang dorongan penawaran lahan pertanian
ngat sulit dicegah terutama di negara yang tersebut dapat dirangsang oleh dua fenomena
sedang berkembang yang umumnya memiliki yaitu : (1) berlakunya sistem pewarisan lahan
laju pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan pecah-bagi yang berdampak pada pemilikan
ekonomi relatif tinggi. Berdasarkan hal terse- lahan per petani yang semakin sempit, dan (2)
but Simatupang dan Irawan (2003) mengemu- penurunan rente usaha pertanian sebagai
kakan bahwa konversi lahan pertanian meru- konsekuensi dari penurunan sekuler nilai tukar
pakan bagian dari kegiatan pembangunan pertanian dan naiknya harga lahan. Kedua
yang tidak mungkin dihindari. Selama pertum- fenomena tersebut selanjutnya mendorong
buhan jumlah penduduk yang tinggi dan ke- petani untuk menjual lahannya dan beralih ke
giatan pembangunan ekonomi masih berlang- sektor lain, karena pendapatan yang diperoleh
sung, konversi lahan pertanian pasti terjadi. dari lahan yang dimiliki dinilai tidak mencukupi
Pembangunan ekonomi akan membutuhkan kebutuhan rumah tangga petani.
lahan yang dimanfaatkan untuk pembangunan Akan tetapi fenomena seperti tersebut
sarana transportasi dan sarana publik lainnya di atas kurang didukung dengan hasil peneliti-
serta kebutuhan lahan untuk tapakan kegiatan an empiris. Penelitian mikro yang dilakukan
nonpertanian seperti kawasan industri dan oleh Jamal (1999) dan Irawan et al. (2000) di
kawasan perdagangan. Sedangkan pertum- kawasan pantura justru menunjukkan hasil
buhan jumlah penduduk akan merangsang pe- yang tidak sejalan. Kedua penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa sebagian besar petani

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 1 - 18

14
yang menjual lahan sawahnya kepada investor (Witjaksono, 1996). Oleh karena itu penjualan
untuk selanjutnya dikonversi ke penggunaan lahan yang dimiliki petani sebenarnya akan
nonpertanian, sebenarnya tidak menghendaki merugikan petani secara sosial. (3) Untuk
penjualan lahan mereka. Oleh karena itu dapat dapat beralih ke sektor nonpertanian umum-
dipahami jika konversi lahan dalam skala nya dibutuhkan keterampilan tertentu sesuai
besar seperti untuk pembangunan kompleks dengan bidang pekerjaan atau bidang usaha
perumahan dan kawasan industri seringkali yang digeluti. Padahal, keterampilan petani
melibatkan dukungan birokrasi daerah dan umumnya terbatas hanya di bidang pertanian
pihak lain (Rusastra dan Budhi, 1997 ; sehingga peluang petani untuk dapat beralih
Panjaitan, 1999 ; Hakim, 1998). ke sektor lain terbatas.
Indikasi lain yang menunjukkan bahwa Uraian di atas menyimpulkan bahwa,
konversi lahan tidak selalu dirangsang oleh dari sudut pandang ekonomi konversi lahan
keinginan petani untuk beralih ke sektor pertanian dapat disebabkan oleh tarikan per-
nonpertanian akibat pemilikan lahan yang mintaan lahan untuk kegiatan nonpertanian
sempit, dapat pula disimak dari pola peman- dan dorongan penawaran lahan pertanian oleh
faatan dana petani yang diperoleh dari hasil petani pemilik lahan. Perilaku permintaan dan
penjualan lahannya. Sekitar 70-90 persen penawaran lahan tersebut tidak terlepas dari
petani di kabupaten Karawang, Subang, dan kebijakan pembangunan ekonomi, sosial, dan
Indramayu yang menjual sawahnya untuk sarana publik sehingga fenomena konversi
selanjutnya dikonversi oleh investor, mengalo- lahan tidak terlepas pula dari kebijakan yang
kasikan sekitar 50-60 persen dana yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan
mereka peroleh untuk membeli sawah kembali subsidi untuk pembangunan rumah murah
dan kurang dari 5 persen yang dialokasikan akan memperbesar tarikan permintaan lahan
untuk investasi nonpertanian (Irawan et al., untuk pembangunan perumahan sehingga da-
2000). Sedangkan di Provinsi Jawa Barat dan pat merangsang konversi lahan. Sedangkan
Jawa Timur, terdapat sekitar 50-60 persen kebijakan di bidang sosial yang tidak mampu
petani yang membeli lahan kembali setelah menekan laju pertumbuhan penduduk dapat
menjual lahannya untuk dikonversi oleh pihak merangsang konversi lahan akibat naiknya
lain (Sumaryanto et al., 1995). Hal tersebut kebutuhan perumahan penduduk. Begitu pula
menunjukkan bahwa motivasi petani menjual kebijakan pembangunan sarana transportasi
lahan yang mereka miliki sebenarnya bukan dan sarana publik lainnya yang tidak direnca-
didorong oleh keinginan untuk beralih ke nakan dengan baik, juga dapat menyebabkan
sektor nonpertanian akibat pemilikan lahan terjadinya konversi lahan sawah.
yang sempit. Tampaknya pertimbangan bisnis Perilaku penawaran dan permintaan
lebih merupakan alasan yang dominan. Hal ini lahan seperti tersebut di atas pada dasarnya
ditunjukkan oleh hasil penelitian Sumaryanto akan mempengaruhi peluang terjadinya kon-
et al. (1996) di Kabupaten Bandung dan versi lahan. Peluang konversi lahan tersebut
Demak yang mengungkapkan bahwa lebih dari lebih besar pada lahan sawah dibanding lahan
50 persen petani menyebutkan bahwa harga kering karena tiga faktor yaitu : (1) pemba-
jual lahan yang tinggi merupakan alasan uta- ngunan kegiatan nonpertanian seperti kom-
ma petani untuk menjual lahan mereka kepada pleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan
investor. kawasan industri lebih mudah dilakukan pada
Terdapat beberapa faktor yang me- lahan sawah yang lebih datar dibanding lahan
nyebabkan petani umumnya tidak ingin men- kering, (2) akibat pembangunan masa lalu
jual lahannya dengan tujuan beralih ke sektor yang terfokus pada upaya peningkatan pro-
nonpertanian yaitu : (1) Kesempatan kerja di duksi padi maka infrastruktur ekonomi lebih
sektor nonpertanian relatif terbatas dan tidak tersedia di daerah persawahan daripada dae-
memperlihatkan peningkatan yang signifikan. rah lahan kering, dan (3) daerah persawahan
Hal ini dapat terjadi karena sektor nonperta- secara umum lebih mendekati daerah kon-
nian yang berkembang umumnya bersifat sumen atau daerah perkotaan yang relatif
padat kapital dan bukan padat tenaga kerja. padat penduduk dibanding daerah lahan
(2) Di daerah pedesaan pemilikan lahan meru- kering yang sebagian besar terdapat di wila-
pakan simbol status sosial yang kuat yah perbukitan dan pegunungan. Namun

KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN Bambang Irawan

15
peluang tersebut dapat ditekan karena peme- Keberadaan lahan sawah ternyata
rintah memiliki kewenangan yang sah untuk dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial,
mengendalikan dan mengatur pemanfaatan dan lingkungan yang bernilai tinggi. Sebagian
sumberdaya lahan, termasuk kewenangan besar manfaat tersebut bersifat komunal. Jika
untuk mengendalikan konversi lahan sawah terjadi konversi lahan sawah maka kerugian
(Nasoetion, 2003). Dengan demikian meluas- yang ditimbulkan lebih dirasakan oleh masya-
nya konversi lahan sawah akhir-akhir ini rakat luas daripada sebagian kecil masyarakat
sebenarnya tidak terlepas pula dari ketidak- pemilik lahan. Bagi ketahanan pangan, kon-
mampuan pemerintah dalam mengendalikan versi lahan sawah juga dapat menimbulkan
konversi lahan tersebut. dampak yang lebih merugikan dibanding faktor
Sedikitnya ada 9 peraturan yang lain yang dapat menyebabkan turunnya pro-
secara eksplisit maupun implisit melarang duksi pangan seperti kekeringan, serangan
konversi lahan sawah (Ilham, 2004 ; Irawan, hama dan harga pangan yang rendah. Hal ini
2000), meskipun terkesan tumpul. Beberapa karena berkurangnya produksi pangan yang
faktor penyebabnya adalah (1) Kelemahan disebabkan oleh konversi lahan sawah tidak
pada peraturan itu sendiri terutama yang mudah dipulihkan mengingat konversi lahan
terkait dengan masalah sangsi pelanggaran sawah umumnya bersifat irreversible semen-
dan akurasi obyek lahan yang dilarang tara upaya lain untuk menetralisir penurunan
dikonversi, (2) Penegakan supremasi hukum produksi pangan tersebut semakin terkendala
dewasa ini masih sangat lemah, (3) Pada oleh masalah anggaran pembangunan, keter-
masa pemerintahan otonomi peraturan-per- batasan sumberdaya lahan dan inovasi tek-
aturan tersebut yang diterbitkan secara sen- nologi.
tralistis kurang memiliki kekuatan hukum, (4) Berbagai peraturan yang ditujukan un-
Sosialisasi peraturan yang belum menjangkau tuk mencegah konversi lahan sawah sebenar-
seluruh lapisan masyarakat sehingga kontrol nya telah diterbitkan pemerintah. Namun
masyarakat tidak dapat berlangsung secara pendekatan yuridis tersebut kurang efektif dan
efektif, dan (5) Peraturan-peraturan tersebut efisien akibat berbagai faktor. Berdasarkan hal
terkesan bertentangan dengan fenomena tersebut maka revitalisasi kebijakan pengen-
konversi lahan yang tidak mungkin dihindari dalian konversi lahan perlu ditempuh dalam
selama pertumbuhan ekonomi masih merupa- rangka mengendalikan konversi lahan sawah
kan tujuan pembangunan. pada masa yang akan datang. Kebijakan
pengendalian konversi lahan sawah ke depan
seyogyanya tidak hanya mengandalkan pen-
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN dekatan yuridis tetapi didukung pula dengan
pendekatan ekonomi dan sosial. Pada intinya
Konversi lahan sawah di luar Jawa kebijakan konversi lahan sawah tersebut perlu
(132 ribu hektar per tahun) ternyata jauh lebih diarahkan untuk mencapai tiga sasaran yaitu :
tinggi daripada di pulau Jawa (56 ribu hektar (1) menekan intensitas faktor ekonomi dan
per tahun). Sebesar 58,68 persen konversi sosial yang dapat merangsang konversi lahan
lahan sawah tersebut ditujukan untuk kegiatan sawah, (2) mengendalikan luas, lokasi, dan
nonpertanian dan sisanya untuk usahatani jenis lahan sawah yang dikonversi dalam
bukan sawah. Sebagian besar konversi lahan rangka menekan potensi dampak negatif yang
untuk kegiatan nonpertanian ditujukan untuk ditimbulkan, dan (3) menetralisir dampak
pembangunan perumahan (48,96 persen) dan negatif konversi lahan sawah melalui kegiatan
pembangunan sarana publik (28,29 persen). investasi yang melibatkan dana masyarakat
Alokasi konversi lahan sawah untuk pemba- terutama kalangan swasta pelaku konversi
ngunan perumahan sangat dominan di pulau lahan.
Jawa (74,96 persen) sedangkan di luar Jawa DAFTAR PUSTAKA
konversi lahan sawah tersebut sebagian besar
ditujukan untuk pembangunan sarana publik
Agus, F. dan Y. Syaukat. 2004. Pengendalian
(43,59 persen) dan pembangunan perumahan
Konversi Lahan Sawah Secara Kom-
(31,92 persen). prehensif. Makalah disampaikan pada
Pertemuan Round Table II Pengendalian

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 1 - 18

16
Konversi dan Pengembangan Lahan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta, 14 Desember 2004. Sosial Ekonomi Pertanian.
Agus, F., Wahyunto, Robert L.W, Sidik H.T and Jamal, E. 1999. Analisis Ekonomi dan Kelemba-
Sutono. 2004. Land Use Changes and gaan Alih Fungsi Lahan Sawah ke Peng-
Their Effects on Environmental Functions gunaan Nonpertanian di Kabupaten
of Agriculture. Prosiding Seminar Multi- Karawang Jawa Barat. Thesis Pasca
fungsi Pertanian dan Konservasi Sumber- Sarjana IPB. Program Pasca Sarjana IPB,
daya Lahan. Pusat Penelitian dan Bogor.
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Jamal, E dan A. Djauhari. 1998. Kebijaksanaan
Asyik, M. 1996. Penyediaan Tanah untuk Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah.
Pembangunan, Kondisi Lahan Pertanian Agro-Ekonomika. Nomor 2 Tahun XVIII,
dan Permasalahannya : Suatu Tinjauan di Oktober 1998. PERHEPI, Jakarta.
Provinsi Jawa Barat. Prosiding Lokakarya Kustiawan, I. 1997. Konversi Lahan Pertanian di
Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber- Pantai Utara Jawa. Prisma No.1, Tahun
daya Lahan dan Air : pp. 64-82. Pusat 1997. Pustaka LP3ES. Jakarta.
Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Mariadi, G. dan B. Suryanto. 1997. Berkurangnya
Lahan Pertanian dan Kaitan Masalahnya
BPS, 2004. Statistik Indonesia. Badan Pusat (kasus Jawa Tengah). Di dalam : Suryana,
Statistik. Jakarta. A (eds). Membangun Kemandirian dan
Callaghan, J.R. 1992. Land Use: The Interaction of Daya Saing Pertanian Nasional dalam
Economics, Ecology and Hydrology. Menghadapi Era Industrialisasi dan
Chapman & Hall. London. Perdagangan Bebas. PERHEPI, Jakarta.
Hakim, C. 1989. Perubahan Penggunaan Tanah Munasinghe, M. 1992. Environmental Economics
Pertanian ke Penggunaan Nonpertanian. and Valuation in Development Decision
Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Per- Making. Environment Working Paper No.
tanian. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. 51. World Bank.
Ilham, N. 2004. Perkembangan dan Faktor-faktor Nasoetion, L.B. dan J. Winoto. 1996. Masalah Alih
yang Mempengaruhi Konversi Lahan Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya
Sawah serta Dampak Ekonominya. Paper Terhadap Keberlangsungan Swasembada
Matakuliah Ekonomi Sumberdaya Alam Pangan. Prosiding Lokakarya Persaingan
dan Lingkungan Lanjut, Program Studi dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan
Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana dan Air : 64-82. Pusat Penelitian dan
IPB. Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Irawan, B., M. Ariani, H. Purwati dan A. Supriatna. dan Ford Foundation.
1999. Analisis Program Diversifikasi Pa- Nasoetion, L.B. 2003. Konversi Lahan Pertanian
ngan Selama Lima Tahun. Pusat Pene- Aspek Hukum dan Implementasinya.
litian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Prosiding Seminar Nasional Multifungsi
Pertanian dan Biro Perencanaan Departe- dan Konversi Lahan Pertanian : 41-55.
men Pertanian. Badan Litbang pertanian, Jakarta.
Irawan, B., S. Friyatno, A. Supriatna, N.A. Kirom, B. Pakpahan, A. dan Anwar A. 1989. Faktor-faktor
Rahmanto, B. Wiryono. 2000. Perumusan yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Model Kelembagaan Reservasi Lahan Sawah. Jurnal Agro Ekonomi. vol.(8), No.1.
Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekono- pp : 62-74. Pusat Penelitian dan Pengem-
mi Pertanian. Bogor. bangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Irawan, B., A. Setyanto, B. Rahmanto, N. Agustin, Pramono, J., A. Bakri dan I. Soelaiman. 1996.
A. Askin. 2002. Analisis Nilai Ekonomi Persaingan Dalam Pemanfaatan Lahan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Pusat Pe- Antara Sektor Pertanian dan Industri.
nelitian dan Pengembangan Sosial Eko- Prosiding Lokakarya Persaingan dalam
nomi Pertanian. Bogor. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air :
Irawan, B. 2003. Konversi Lahan Sawah di Jawa pp. 157-176. Pusat Penelitian dan
dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi. Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Ekonomi Padi dan Beras Indonesia : 295- dan Ford Foundation.
325. Badan Litbang Pertanian. Pandjaitan, T. 1999. Perencanaan Teknis Pengem-
Irawan, B., B. Winarso, I. Sodikin dan Gatoet S.H. bangan Lahan untuk Tanaman Pangan
2003. Analisis Faktor Penyebab Perlam- dan Hortikultura. Prosiding Seminar
batan Produksi Komoditas Pangan Utama. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VII.

KONVERSI LAHAN SAWAH : POTENSI DAMPAK, POLA PEMANFAATANNYA, DAN FAKTOR DETERMINAN Bambang Irawan

17
Teknologi Pengembangan Lahan dan Air Sunarno. 1996. Masalah Pengelolaan Sumberdaya
untuk Peningkatan Produktivitas Pertanian. Air, Tantangan dan Peluang Dalam
Puspitek. Serpong. Rangka Memantapkan Swasembada Pa-
Rusastra, I.W. dan G.S. Budhi. 1997. Keragaan ngan. Prosiding Lokakarya Persaingan
Konversi Lahan Pertanian dan Strategi dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan
Antisipatif dalam Penanggulangannya. Ke- dan Air : pp. 83-91. Pusat Penelitian dan
bijakan Pembangunan Pertanian : Analisis Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Kebijaksanaan Antisipatif dan Responsif. dan Ford Foundation.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sudaryanto, T. 2003. Konversi Lahan dan Produksi
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Pangan Nasional. Prosiding Seminar
Simatupang, P. 1999. Toward Sustainability Food Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan
Security : The Need for a New Paradigm. Pertanian: 57-65. Badan Litbang pertanian,
Makalah Seminar on Agricultural Sector Jakarta.
During the Turbulence of Economic Crisis: Sumaryanto, N. Syafa’at, M. Ariani dan S. Friyatno.
Lessons and Future Directions. CASER, 1995. Analisis Kebijakan Konversi Lahan
AARD. Bogor. Sawah ke Penggunaan Nonpertanian. Pu-
Simatupang, P. 2000. Anatomi Masalah Produksi sat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Beras Nasional dan Upaya Mengatasinya. Bogor.
Makalah Seminar Nasional Persepktif Sutomo, S. 2004. Analisa Data Konversi dan
Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Prediksi Kebutuhan Lahan. Makalah di-
Tahun 2001 Kedepan. Bogor, 9-10 sampaikan pada Pertemuan Round Table
November 2000. Pusat Penelitian dan II Pengendalian Konversi dan Pengemba-
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. ngan Lahan Pertanian. Jakarta, 14
Simatupang, P. dan B. Irawan. 2003. Pengendalian Desember 2004.
Konversi Lahan Pertanian : Tinjauan Ulang Wibowo, S.C. 1996. Analisis Pola Konversi Sawah
Kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Pro- Serta Dampaknya Terhadap Produksi
siding Seminar Nasional Multifungsi dan Beras: Studi Kasus di Jawa Timur. Jurusan
Konversi Lahan Pertanian : 67-83. Badan Tanah Faperta IPB. Bogor.
Litbang pertanian, Jakarta. Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan : Suatu
Soetrisno, N. 1998. Ketahanan Pangan. Widyakarya Tinjauan Sosiologis. Prosiding Lokakarya
Nasional Pangan dan Gizi VI : 189-221. Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber-
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. daya Lahan dan Air : pp. 64-82. Pusat
Jakarta. Penelitian dan Pengembangan Sosial
Sogo Kenkyu. 1998. An Economic Evolution of Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation.
External Economies from Agriculture by Yoshida, K. 1994. An Economic Evaluation of
the Replacement Cost Method. National Multifunctional Roles of Agricultural and
Research Institute of Agricultural Econo- Rural areas in Japan. Ministry of
mics, MAFF. Japan. Agricultural Forestry and Fisheries. Japan.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 1 - 18

18
Total manfaat lahan pertanian

Use Values Non-Use Values


(manfaat penggunaan) (manfaat bawaan)

Direct Use Values Indirect Use Values


(manfaat langsung) (manfaat tak langsung)

Unpriced
Marketed output
benefit

 Padi, palawija,  Menyediakan bahan  Mengurangi pencemaran lingkungan  Mempertahankan


sayuran, ternak, pangan  Mencegah banjir biodiversity
ikan  Menyediakan lapangan  Mengendalikan erosi  Pendidikan
 Kayu, daun, kerja  Pengendali tata air lingkungan
jerami  Sarana rekreasi  Mencegah pencemaran udara
 Mencegah urbanisasi

MANFAAT INDIVIUDAL MANFAAT KOMUNAL


SEMAKIN KECIL SEMAKIN BESAR

Gambar 1. Hirarki Manfaat Lahan Pertanian

Sumber : disarikan dari Munasinghe (1992), Callaghan (1992), Sogo Kenkyu (1998), dan Yoshida (1994).

Anda mungkin juga menyukai