Anda di halaman 1dari 3

BAB IV

ANALISIS KASUS

4.1. Analisis Kasus


3 hari SMRS pasien mengalami demam tinggi secara terus menerus,
demam tidak sertai kejang, 2 hari SMRS pasien mengalami batuk dan pilek,
namun batuk tidak berdahak. Pasien sempat dibawa berobat ke dokter dan
diberi obat penurun panas, panas sempat turun kemudian kembali tinggi
setelah beberapa jam.
1 hari SMRS pasien mengalami sesak safas, sesak timbul terus menerus
dan terlihat semakin berat, sesak tidak dipengaruhi cuaca, aktivitas, waktu
maupun posisi tubuh, tidak disertai suara napas berbunyi (mengi), Biru tidak
ada pada bibir dan kuku.
Pada kasus ini, berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang yang dilakukan sebagian besar mengarah pada
penyakit bronkopneumonia yang dimana terjadi terutama pada bayi-anak.
Diagnosis bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dimana
ditemukan keluhan berupa demam tinggi terus menerus batuk disertai sesak
nafas yang semakin lama semakin memberat,.
Pada pemeriksaan fisik pada kasus ditemukan tanda klinis seperti
demam tinggi 39,5 0C, sesak nafas, terdapat nafas cuping hidung. Pada
inspeksi terdapat retraksi intercostal dan pada auskultasi ditemukan suara
vesikuler (+) meningkat, ronkhi basah halus nyaring pada paru, hal ini sesuai
dengan teori dimana Gambaran klinis bronkopneumonia didapatkan demam,
batuk, sesak nafas, pernapasan cuping hidung, retraksi, suara napas vesikuler
meningkat sampai bronchial, suara napas tambahan ronkhi basah halus
nyaring. Sehingga penegakan diagnosis bronkopneumonia secara klinis pada
kasus ini sudah tepat

37
Dari anamnesis pada pasien yang berhubungan dengan keluhan utama
ditanyakan gejala sesak nafas tidak berhubungan dengan aktivitas dan cuaca.
Keluhan sesak nafas tidak disertai adanya suara nafas berbunyi (mengi) atau
mengorok, ini menggambarkan bahwa sesak nafas akibat respirasi dan
penyakit asma dapat disingkirkan. Selanjutnya didapatkan gejala batuk,
demam yang terus menerus, tidak ada penurunan berat badan, riwayat kontak
dengan orang dewasa yang menderita batuk lama ataupun yang sedang
menjalani pengobatan tuberculosa, hal ini dapat menyingkirkan diagnosa
kearah tuberculosa. Selanjutnya dari pemeriksaan fisik yang menunjang
adalah terdapatnya pernafasan cuping hidung, retraksi intercostal, pada
auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring, maka dapat disimpulkan
bahwa pasien ini merupakan pasien dengan bronkopneumonia5.
Untuk mendukung diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang,
pada kasus dilakukan pemriksaan lab didapatkan Hb 11,1 g/dl, Leukosit
18.300/ ul, Trombosit 849.000/ ul, Hitung Jenis 0/2/3/50/37/8 dan CRP (+).
Pemeriksaan darah lengkap perfier pada pneumonia yang disebabkan oleh
virus biasanya leukosit dalam batas normal, namun pada pneumonia yang

disebabkan oleh bakteri didapatkan leukositosis (15.000–40.000/mm3)


sehingga pada kasus dikemungkinkan penyebabnya adalah bakteri.
CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat
distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi
pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi
mikroorganisme atau sel rusak, secara klinis CRP digunakan sebagai alat
diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki
virus dan bakteri, atau infeksi superfisial atau profunda. 5,9

38
Kasus Bronkopneumoni Bronkiolitis
Akut
Demam Febris Febris Subfebris
Perjalanan 4 hari SMRS Batuk pilek Jarak antara
penyakit demam, 3 hari dahulu 5-7 hari demam dan
SMRS batuk kemudian timbul sesak nafas
pilek sesak nafas mendadak (< 2
1 hari SMRS hari)
Sesak
Retraksi Intercostal Intercostal / Diafragma
suprasternal
Suara utama paru Vesikuler Vesikuler Vesikuler (+)
meningkat meningkat Normal
Suara tambahan RBHN (+) RBHN (+) RBHN (-)
Paru Wheezing (-) Wheezing (-)/(+) Wheezing
bila Ekspirasi (+)
Bronkopneumoni
berat
Pemeriksaan Leukositosis Leukositosis Leukosit normal
Laboratorium CRP (+) CRP (+) / Leukopeni
CRP (-)
Gambaran Infiltrasi pada Infiltasi pada paru Hiperinflasi
Rontgen Thorax paru pada lapang paru

Pada terapi diberikan O2 headbox 6 L/menit. O2 diberikan untuk


mengatasi hipoksemia, menurunkan usaha untuk bernapas, dan mengurangi
kerja miokardium.
Pada terapi diberikan antibotik Injeksi Ampiciline 3 x 250 mg dan
Injeksi Ceftriaxone 1x640mg, hal ini sudah tepat sebab apabila telah
diberikan antibiotic sebelumnya dan tidak ada perbaikan, antibiotic dapat
dipilih lini kedua yaitu Ceftriaxone.

39

Anda mungkin juga menyukai