Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KLIEN DENGAN GANGGUAN PATOLOGIS


PENCERNAAN: TYPUS ABDOMINALIS

Disusun Oleh :
Nama Anggota Kelompok 5:

1. Pingky Agustia Z (P16147) 6. Rosana Opi I (P16152)


2. Ratna Fuji L (P16148) 7. Selly Arieka R (P16153)
3. Rhisma Bagus K (P16149) 8. Shantik Dwi S (P16154)
4. Rida Setyo D (P16150) 9. Siti Novia N (P16155)
5. Ririn Agustina (P16151)
Kelas 3C

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Dalam penulisan makalah ini, penulis telah banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis, baik
bantuan moril seperti masukan, saran, nasehat, dan dukungan dalam penulisan
makalah ini, maupun materil, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi kesempurnaan
dalam penulisan berikutnya.
Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan kita dan
bermanfaat sebagai penunjang proses belajar mengajar.

Surakarta, 17 September 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1Latar Belakang.........................................................................................1
1.2Rumusan Masalah....................................................................................1
1.3Tujuan Penulisan......................................................................................2
1.4Metode Penulisan.....................................................................................2
1.5Sistematika Penulisan..............................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI.....................................................................................4
2.1Konsep Penyakit Typus Abdominalis.......................................................4
2.1.1 Pengertian....................................................................................4
2.1.2 Penyebab......................................................................................4
2.1.3 Manifestasi klinis.........................................................................4
2.1.4 Komplikasi...................................................................................5
2.1.5 Patofisiologi.................................................................................6
2.1.6 Pathway.......................................................................................8
2.1.7 Pemeriksaan penunjang...............................................................9
2.1.8 Penatalaksanaan.........................................................................10
2.2. Konsep Asuhan Keperawatan Typus Abdominalis.............................12
2.2.1 Pengkajian.................................................................................12
2.2.2 diagnosa keperawatan................................................................16
2.2.3 NIC............................................................................................16
2.1.4 NOC...........................................................................................17
BAB III PENUTUP................................................................................................18
3.1. Kesimpulan..........................................................................................18
3.2. Saran....................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Negara Indonesia penyakit Tifus Abdominalis bersifat endemik.
Berdasarkan data kasus di rumah sakit besar di Indonesia, penyakit Tifus
Abdominalis menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun
dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan Case Fatality Rate
(CFR) antara 0,6-5% atau 3-25/100.000. Pasien Tifus Abdominalis sanagt
dianjurkan dirawat di rumah sakit karena penyakit ini relatif mudah menular
kepada anggota keluarga lain (Yuni, 2013).
Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi, kondisi lingkungan setempat
dan perilaku masyara-kat. Setiap tahun, di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta
kasus dengan 600.000 kematian. WHO mem-perkirakan 70% kematian terjadi
di Asia. Jika tidak segera diobati, 10 – 20% penderita tersebut dapat berakibat
fatal. Sekitar 2% dari pende-rita menjadi carrier (pembawa). Di Indonesia,
diper-kirakan angka kejadian penyakit ini adalah 300 – 810 kasus per 100. 000
penduduk per tahun (Yuni, 2013).
Tifus Abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit Tifus Abdominalis
sangat erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi (higiene perorangan dan
higiene perjamah makanan yang rendah) dan sanitasi lingkungan (lingkungan
yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum yang kurang) serta perilaku
masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat (Yuni, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian typus abdominalis?
1.2.2 Apa saja penyebab typus abdominalis?
1.2.3 Apa saja gejala dari typhus abdominalis?
1.2.4 Apa saja komplikasi typhus abdominalis?
1.2.5 Bagaimana patofisiologi typhus abdominalis?

1
1.2.6 Apa pemeriksaan penunjang bagi typhus abdominalis?
1.2.7 Bagaimana penatalaksaan typhus abdominalis?

1.3 Tujuan Penulian


1.3.1 Mengetahui definisi typhus abdominalis
1.3.2 Mengetahui penyebab typhus abdoinalis
1.3.3 Mengetahui gejala typhus abdominalis
1.3.4 Mengetahui komplikasi typhus abdominalis
1.3.5 Mengetahui patofisiologi typhus abdominalis
1.3.6 Mengetahui pemeriksaan penunjang typhus abdominalis
1.3.7 Mengetahui penatalaksanaan typhus abdominalis

1.4 Metode Penulisan


Adapun teknik yang di gunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai
berikut:
1.4.1 Observasi yaitu sebagai upaya untuk mengumpulkan data melalui proses
pengamatan dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan data objektif.
1.4.2 Wawancara yaitu pengumpulan data dengan kegiatan aktif, menanyakan
secara langsung tentang data dan informasi yang di perlukan kepada
keluarga klien.
1.4.3 Studi pustaka yaitu mendapatkan keterangan sebagai landasan teori dari
berbagai referensi.
1.4.4 Studi dokumentasi yaitu mempelajari data-data pada status klien dan
catatan yang berhubungan dengan asuhan keperawatan.

1.5 Sistematika Penulisan


Penulisan laporan ini terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut:
1.5.1 Bab satu, pendahuluan meliputi: latar belakang, tujuan penulisan (umum
dan khusus), metode telaahan serta sistematika penulisan.
1.5.2 Bab dua, tinjauan teoritis meliputi: bagian pertama tentang konsep dasar
yang meliputi: pengertian, etiologi, manifestasi klinis, komplikasi,

2
patofisiologi, pemeriksaan penunjang, manajemen medis, Bagian kedua
tentang proses keperawatan pada klien dengan typhus abdominalis yang
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan dan perencanaan,
perencanaan mencakup prioritas masalah, tujuan, kriteria hasil, dan
rencana tindakan
1.5.3 Bab tiga, penutup meliputi: berisi kesimpulan dan saran atau
rekomendasi yang oprasional terhadap masalah yamg ditentukan.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Penyakit Typhus Abdominalis


2.1.1 Pengertian
Typhus abdominalis/ demam tifoid dan paratifoid merupakan
penyakit infeksi akut usus halus. Sinonim dari demam tifoid dan
paratifoid adalah typhoid dan parathypoid fever, enteric fever komatifus,
dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid menunjukkan manifestasi
yang sama dengan tifoid, namun biasanya lebih ringan (Mansjoer, 2014)
Typhoid Abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus halus
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai dengan gangguan
pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran, disebabkan oleh
Salmonella typhosa dan hanya didapatkan pada manusia (Diyono, 2013).

2.1.2 Etiologi
Adalah disebabkan oleh bakteri salmonella thyphi. Sedangkan demam
paratifoid disebbakan oleh organism yang termasuk dalam spesies
salmonella enteretidis, yaitu s. entereditis bioserotipe paratyphi B.S.
entereditis bioserotipe parathyphi C. Kuman-kuman ini lebh dikenal
dengan nama S. Parathyphi A, S. schottmuelleri, dan S hirschfeldii.
(Mansjoer, 2014)

2.1.3 Manifestasi Klinis


Gejala-gejala yang ditimbulkan bervariasi. Dalam minggu pertama,
keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya,
yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enek di perut, batuk dan epistaksis.
Pada pemerikaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan.
Dalam minggu kedua gejala terlihat jelas berupa demam, bradikardi
relative, lidah tifoid, (kotor ditengah, tepid dan ujung merah dan tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa

4
somnolen sampai koma, sedangkan roseolae jarang ditemukan pada
orang Indonesia.
(Diyono, 2013)

2.1.4 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :
2.1.4.1 Komplikasi Intestinal
2.1.4.1.1 Perdarahan usus
2.1.4.1.2 Perforasi usus
2.1.4.1.3 Illeus paralitik
2.1.4.2 Komplikasi ekstraintestinal
2.1.4.2.1 Komplikasi Kardiovaskuler : Kegagalan sirkulasi
perifer, miokarditis, thrombosis dan tromboflebitis
2.1.4.2.2 Komplikasi darah : Anemia hemolitik,
trombositopenia, dan atau koagulasi intravaskuler
diseminata dan sindrom uremia hemolitik
2.1.4.2.3 Komplikasi paru : Pneumonia, epiema, pleuritis
2.1.4.2.4 Komplikasi hepar dan kandung kemih : Hepatitis dan
kolelitiasis
2.1.4.2.5 Komplikasi Ginjal : Glomerulonefritis, pyelonefritis
dan perinefritis
2.1.4.2.6 Komplikasi tulang: Ostemilitis, periostitis,
spondilitis, dan arthritis
2.1.4.2.7 Komplikasi neuropsikiatrik : Delirium, meningismus,
meningitis, polyneuritis perifer, syndrome guillain-
barre psikosis dan sydrom katatonia

(Mansjoer, 2014)
2.1.5 Patofisiologi
Makanan atau minuman yang telah terkontaminasi oleh kuman
Salmonella Typhosa masuk kedalam lambung, selanjutnya lolos dari
sistem pertahanan lambung, kemudian masuk ke usus halus, melalui
folikel limpa masuk kesaluran limpatik dan sirkulasi darah sistemik,
sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia pertama-tama menyerang Sistem
Retikulo Endoteleal (RES) yaitu : hati, lien dan tulang, kemudian
selanjutnya mengenai seluruh organ di dalam tubuh antara lain sistem
syaraf pusat, ginjal dan jaringan limpa. Kemudian setelah mengenai
jaringan limpa maka akan terjadi splenomegali dan akan menyebabkan
5
lambung tertekan yang akan memicu rasa mual kemudian akan terjadi
anoreksia. Sehingga akan muncul masalah keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Cairan empedu akan masuk ke Duodenum dan dengan virulensi
kuman yang tinggi akan menginfeksi intestin kembali khususnya bagian
illeum dimana akan terbentuk ulkus yang lonjong dan dalam. Masuknya
kuman ke dalam intestin terjadi pada minggu pertama dengan tanda dan
gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan naik pada malam hari
dan akan menurun menjelang pagi hari. Demam yang terjadi pada masa
ini disebut demam intermiten (suhu yang tinggi, naik turun dan turunnya
dapat mencapai normal). Sehingga akan muncul masalah keperawatan
hipertermi.
Disamping peningkatan suhu tubuh juga akan terjadi obstipasi
sebagai akibat penurunan motilitas suhu, namun ini tidak selalu terjadi
dapat pula terjadi sebaliknya. Setelah kuman melewati fase awal
intestinal, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda
peningkatan suhu tubuh yang sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada
RES seperti nyeri perut kanan atas karena adanya tukak yang akan
menyebabkan perdarahan dan perforasi. Selanjutnya akan muncul
masalah keperawatan nyeri akut.
Pada minggu selanjutnya dimana infeksi Focal Intestinal terjadi
dengan tanda-tanda suhu tubuh masih tetap tinggi, tetapi nilainya lebih
rendah dari fase bakterimia dan berlangsung terus menerus ( demam
kontinue ), lidah kotor, tepi lidah hiperemis, penurunan peristaltik,
gangguan digesti dan absorbsi sehingga akan terjadi distensi, diare dan
pasien merasa tidak nyaman, pada masa ini dapat terjadi perdarahan
usus, perforasi dan peritonitis dengan tanda distensi abdomen berat,
peristaltik menurun bahkan hilang, melena, syock dan penurunan
kesadaran.
(Wijaya, 2013)

6
7
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosa :
2.1.7.1. Pemeriksaan darah tepi didapatkan adanya anemi oleh karena
intake makanan yang terbatas, terjadi gangguan absorbsi,
hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan
penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah.
Leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000 –4000 /mm3
ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh
penghancuran lekosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu
hilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopenia terjadi
pada stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis
umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan
endotoksin. Laju endap darah meningkat.
2.1.7.2. Pemeriksaan urine didaparkan proteinuria ringan ( < 2 gr/liter)
juga didapatkan peningkatan lekosit dalam urine.
2.1.7.3. Pemeriksaan tinja didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai
akan bahaya perdarahan usus dan perforasi.
2.1.7.4. Pemeriksaan bakteriologis diagnosa pasti ditegakkan apabila
ditemukan kuman salmonella dan biakan darah tinja, urine,
cairan empedu atau sumsum tulang.
2.1.7.5. Pemeriksaan serologis Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan
antibodi (aglutinin ). Adapun antibodi yang dihasilkan tubuh
akibat infeksi kuman salmonella adalah antobodi O dan H.
Apabila titer antibodi O adalah 1 : 20 atau lebih pada minggu
pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif
(lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu
kemudian menunjukkan diagnosa positif dari infeksi
Salmonella typhi.
2.1.7.6. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan ini untuk mengetahui
apakah ada kelainan atau komplikasi akibat demam tifoid.
(Mansjoer, 2014)
2.1.8 Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksaan demam tifoid yaitu :

9
2.1.8.1. Pemberian antibiotic; untuk menghentikan dan memusnahkan
penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan :
2.1.8.1.1 Kloramfenikol; dosis hari pertama 4x250 mg, hari
kedua 4x500 mg, diberikan selama demam
dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian
dosis diturunkan menjadi 4x250 mg selama 5 hari
kemudian. Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. Di
RSUP Persahabatan), penggunaan kloramfenikol
masih memperlihatkan hasil penurunan suhu 4 hari,
sama seperti obat-obat terbaru dari jenis kuinolon.
2.1.8.1.2 Ampisilin/Amoksillin; dosis 50-150 mg/kg BB,
diberikan selama 2 minggu
2.1.8.1.3 Kotrimoksazol; 2x2 tablet (1 tablet mengandung 400
mg sulfametoksazol-80 mg trimetoprim, diberikan
selama dua minggu pula.
2.1.8.1.4 Sefalosporin generasi II dan III. Di Subbagian
Penyakit Tropik dan Infeksi FKUI-RSCM, pemberian
sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan
baik. Demam pada umumnya mengalami mereda
pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Regimen
yang dipakai adalah:
 seftriakson 4g/hari selama 3 hari
 norfloksasin 2x400 mg/ hari selama 14 hari
 siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari
 ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari
 pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
 fleroksasin 400 mg/hari
2.1.8.2. Istirahat dan perawatan professional ; bertujuan mencegah
komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus
tirah baring absolute sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan
perlu sekali dijaga hygiene perseorangan, kebersihan tempat
tidur, pakaian dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien
dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah
10
untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik.
Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena
kadang-kadang terjadi obstipasi retensi urin.
2.1.8.3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi diet bubur sering kemudian bubur kasar
dan nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namn beberapa
penelitian menunjukkan bahawa pemebrian makanan pada
dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang
sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman.
Juga dapat diberikan vitamin dan mineral yang cukup untuk
mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan
menjaga keseimbangan dan homeostatis system imun akan
dapat berfungsi dengan optimal. Pada kasus perforasi
intestinal dan renjatan septic diperlkan perawatan intensif
dengan nutrisi parenteral total. Spectrum antibiotic maupun
kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat
dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada
renjatan septic. Prognosis tidak baik pada kedua keadaan
diatas.
(Mansjoer, 2014)

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Typhus Abdominalis


2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Identitas
Beberapa komponen yang ada pada identitas meliputi nama, jenis
kelamin, umur, alamat, suku bangsa, agama, No.registrasi,
pendidikan, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal dan jam
masuk Rumah Sakit.
2.2.1.2 Keluhan utama

11
Keluhan utama yang dirasakan oleh klien typhoid biasanya
mengeluh adanya demam.
2.2.1.3 Riwayat penyakit sekarang
Umumnya yang dirasakan pada klien dengan typhoid adalah
demam, perut terasa mual, adanya anorexia, diare atau
konstipasi,dan bahkan menurunnya kesadaran.
2.2.1.4 Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien sebelumnya pernah mengalami
typhoid atau penyakit menular yang lain.
2.2.1.5 Riwayat penyakit keluarga
Ditanyakan apakah keluarga pernah menderita penyakit yang
sama atau penyakit yang lainnya.
2.2.1.6 Pola-Pola fungsi kesehatan
2.2.1.6.1 Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Adanya tindakan penatalaksanaan kesehatan di RS
akan menimbulkan perubahan terhadap pemeliharaan
kesehatan.
2.2.1.6.2 Pola nutrisi dan metabolic
Adanya nausea dan vomitus serta anorexia akan
mempengaruhi status gizi. Pengukuran TB dan BB jika
memungkinkan akan memperlihatkan adanya
penurunan atau peningkatan status gizi klien.

2.2.1.6.3 Pola aktivitas dan latihan


Aktivitas klien akan terganggu akibat adanya malaise
serta keterbatasan latihan yang mewajibkan klien
untuk bed rest.
2.2.1.6.4 Pola istirahat dan tidur
Frekuensi dan kebiasaan tidur klien akan terganggu
karena adanya proses peningkatan suhu tubuh.
2.2.1.6.5 Pola eliminasi
Klien dengan typhoid mengalami masalah pada pola
eliminasi karena kurangnya intake asupan nutrisi dan
kondisi yang mewajibkan untuk bedrest, maka klien
akan beresiko besar untuk terkena konstipasi.
2.2.1.6.6 Pola hubungan

12
Akibat dari proses infeksi tersebut secara langsung
akan mempengaruhi hubungan baik intrapersonal
maupun interpersonal.
2.2.1.6.7 Pola persepsi dan konsep diri
Akan terjadi perubahan jika klien tidak memahami
cara yang efektif untuk mengatasi masalah
kesehatannya dan konsep diri yang meliputi (Body
Image, identitas diri, Peran diri, ideal diri, dan harga
diri).
2.2.1.6.8 Pola reproduksi dan seksual
Pada pola reproduksi dan seksual pada klien yang
sudah menikah akan mengalami perubahan.
2.2.1.6.9 Pola mekanisme koping
Masalah timbul jika klien tidak efektif dalam
mengatasi masalah kesehatannya.
2.2.1.6.10 Pola nilai dan kepercayaan
Adanya kecemasan dalam sisi spiritual akan
menyebabkan masalah yang baru yang ditimbulkan
akibat dari ketakutan akan kematian dan akan
mengganggu kebiasaan ibadahnya.
2.2.1.7 Pemeriksaan fisik
2.2.1.7.1 B1 (Breathing) : biasanya tidak ada masalah, tetapi
pada kasus berat bisa didapatkan komplikasi yaitu
adanya pneumonia.
2.2.1.7.2 B2 (Blood) : TD menurun, diaforesis terjadi pada
minggu pertama, kulit pucat, akral dingin, penurunan
curah jantung dengan adanya bradikardi, kadang
terjadi anemia, leukopeni pada minggu awal, nyeri
dada, dan kelemahan fisik.
2.2.1.7.3 B3 (Brain) : Pada klien dengan typhoid biasanya
terjadi delirium dan diikuti penurunan kesadaran dari
composmentis ke apatis,somnolen hingga koma pada
pemeriksaan GCS.
2.2.1.7.4 B4 (Bladder) : pada kondisi berat akan terjadi
penurunan output respon dari curah jantung.
2.2.1.7.5 B5 (Bowel)

13
Inspeksi : lidah kotor, terdapat selaput putih, lidah
hiperemis, stomatitis, muntah,kembung, adanya
distensi abdomen dan nyeri abdomen, diare atau
konstipasi.
Auskultasi : penurunan bising usus kurang dari
5x/menit pada minggu pertama dan selanjutnya
meningkat akibat adanya diare.
Perkusi : didapatkan suara tympani abdomen akibat
adanya kembung.
Palpasi : adanya hepatomegali, splenomegali,
mengidentifikasi adanya infeksi pada minggu kedua.
Adanya nyeri tekan pada abdomen.
2.2.1.7.6 B6 (Bone) : adanya respon sistemik yang
menyebabkan malaise. Kelemahan umum. Integumen :
timbulnya roseola (emboli dari kuman dimana
didalamnya mengandung kuman Salmonella Ttyphosa,
yang timbul diperut, dada, dan bagian bokong), turgor
kulit menurun, kulit kering (Muttaqin, 2011).

2.2.1.8 Pemeriksaan penunjang


2.2.1.8.1 Pemeriksaan feces
Pengambilan biakan feces dan urine dilakukan karena
penyebaran Salmonella sampai ke empedu,
pemeriksaan ini positif biasanya pada minggu kedua
dan ketiga.
2.2.1.8.2 Pemeriksaan darah lengkap.
Biakan darah biasanya positif pada minggu pertama
pada perjalanan penyakit. Kadang terjadi anemia
akibat proses inflamasi.
2.2.1.8.3 Kolonoskopi
Mengidentifikasi adanya perubahan lumen dinding
(menyempit/ tidakteratur), menunjukkan obstruksi
usus.
2.2.1.8.4 Pemeriksaan serologi
Merupakan reaksi serologis yang didasarkan antara
reaksi aglutinasi antara antigen Salmonella dan

14
antibodi yang terdapat pada serum penderita. Titer O :
1/200. Titer H : 1/400. Atau Kenaikan titer 4 kali 1
(satu) minggu berikutnya.
(Wijaya, 2013)

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


2.2.2.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
2.2.2.2 Hipertermi berhubungan dengan penyakit
2.2.2.3 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kurang asupan makan
(Herdman, 2015)
2.2.3 NIC
NO DX INTERVENSI TTD
DX
1 Nyeri akut Manajemen Nyeri 1400
- Monitor kepuasan pasien terhadap
berhubung
manajemen nyeri
an dengan
- Lakukan pengkajian nyeri
agen
komprehensif
cedera - Ajarkan relaksasi nafas dalam
- Kolaborasi pemberian obat
biologis
2 Hipertermi Perawatan demam 3740
- Monitor warna kulit dan suhu
berhubung
- Pantau suhu dan tanda-tanda vital
an dengan
lainnya
penyakit - Ajarkan mengenai konsumsi cairan
yang cukup
- Beri obat atau cairn iv misalnya
antipiretik, antibakteri dan anti
menggigil
3 Ketidaksei Manajemen nutrisi 1100
- Monitor asupan dan makanan
mbangan
- Anjurkan pasien makan sedikit tapi
nutrisi
sering
kurang - Instruksikan pasien mengenai
15
dari kebutuhan nutrisi yaitu membahas
kebutuhan pedoman diet dan piramida makanan
- Berikan obat-obatan sebelum makan
tubuh
misalnya, penghilang rasa sakit,
berhubung
antiemetik
an dengan
kurang
asupan
makan
(Herdman, 2015)

2.2.4 NOC
NO TUJUAN DAN KRITERIA HASIL TTD
DX
1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan masalah nyeri teratasi dengan KH :
- Pasien mampu melaporkan nyeri yang terkontrol
(1605)
- Pasien mampu menggunakan tindakan non
farmakologi untuk pengurangan nyeri (1605)
- Tidak ada ekspresi wajah nyeri (1605)
2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan masalah termoregulasi dapat dikontrol dengan
KH :
- Tidak ada peningkatan suhu kulit (0800)
- Tidak da keringat berlebih saat panas (0800)
- Tidak ada dehidrasi (0800)
3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapakan nutrisi kembali seimbang dengan KH :
- Asupan makanan dalam rentang seimbang (1004)
- Asupan gizi dalam rentang normal (1400)
(Herdman, 2015)

BAB III
PENUTUP
16
3.1 Kesimpulan
Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus.
Penyebabnya adalah salmonella thyphi. Sedangkan demam paratifoid
disebbakan oleh organisme yang termasuk dalam spesies salmonella enteretidis,
yaitu s. entereditis bioserotipe paratyphi B.S. entereditis bioserotipe parathyphi
C. Gejala-gejala yang ditimbulkan bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enek di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemerikaan fisik hanya
didapatkan peningkatan suhu badan.
Dalam minggu kedua gejala terlihat jelas berupa demam, bradikardi
relative, lidah tifoid, (kotor ditengah, tepid dan ujung merah dan tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa
somnolen sampai koma, sedangkan roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam Komplikasi Intestinal yang
terdiri dari Perdarahan usus, Perforasi usus, Illeus paralitik dan Komplikasi
ekstraintestinal yang meliputi Komplikasi Kardiovaskuler, Komplikasi darah,
Komplikasi paru, Komplikasi hepar dan kandung kemih, Komplikasi Ginjal,
Komplikasi tulang, Komplikasi neuropsikiatrik.

3.2 Saran
Kepada mahasiswa (khusunya mahasiswa perawat) disarankan agar dapat
memahami mengenai typus abdominalis beserta rencana tindakan yang tepat.
Perawat sebagai anggota tim kesehatan yang paling banyak berhubungan
dengan pasien dituntut untuk dapat meningkatkan secara terus menerus dalam
hal pemberian informasi dan pendidikan kesehatan sesuai dengan latar
belakang pasien dan keluarga.

17
18
DAFTAR PUSTAKA

Diyono & Mulyanti, Sri. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan.
Jakarta: Kencana.

Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan


diagnosa medis & NANDA (North American Nursing Diagnosis Assosiation)
– NIC edisi keenam & NOC edisi kelima. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Wijaya, Andra. S. & Yessie, Mariza. P. 2013. Keperawatan Medikal Bedah


(Keperawatn Dewasa). Yojyakarta: Nuha Medika.

Yuni, Sri. 2013. Penyakit Akibat Kurangnya Kebersihan Makanan. Yogyakarta :


Citra Media Pustaka

Anda mungkin juga menyukai