Disusun Oleh :
Nama Anggota Kelompok 5:
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1Latar Belakang.........................................................................................1
1.2Rumusan Masalah....................................................................................1
1.3Tujuan Penulisan......................................................................................2
1.4Metode Penulisan.....................................................................................2
1.5Sistematika Penulisan..............................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI.....................................................................................4
2.1Konsep Penyakit Typus Abdominalis.......................................................4
2.1.1 Pengertian....................................................................................4
2.1.2 Penyebab......................................................................................4
2.1.3 Manifestasi klinis.........................................................................4
2.1.4 Komplikasi...................................................................................5
2.1.5 Patofisiologi.................................................................................6
2.1.6 Pathway.......................................................................................8
2.1.7 Pemeriksaan penunjang...............................................................9
2.1.8 Penatalaksanaan.........................................................................10
2.2. Konsep Asuhan Keperawatan Typus Abdominalis.............................12
2.2.1 Pengkajian.................................................................................12
2.2.2 diagnosa keperawatan................................................................16
2.2.3 NIC............................................................................................16
2.1.4 NOC...........................................................................................17
BAB III PENUTUP................................................................................................18
3.1. Kesimpulan..........................................................................................18
3.2. Saran....................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2.6 Apa pemeriksaan penunjang bagi typhus abdominalis?
1.2.7 Bagaimana penatalaksaan typhus abdominalis?
2
patofisiologi, pemeriksaan penunjang, manajemen medis, Bagian kedua
tentang proses keperawatan pada klien dengan typhus abdominalis yang
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan dan perencanaan,
perencanaan mencakup prioritas masalah, tujuan, kriteria hasil, dan
rencana tindakan
1.5.3 Bab tiga, penutup meliputi: berisi kesimpulan dan saran atau
rekomendasi yang oprasional terhadap masalah yamg ditentukan.
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1.2 Etiologi
Adalah disebabkan oleh bakteri salmonella thyphi. Sedangkan demam
paratifoid disebbakan oleh organism yang termasuk dalam spesies
salmonella enteretidis, yaitu s. entereditis bioserotipe paratyphi B.S.
entereditis bioserotipe parathyphi C. Kuman-kuman ini lebh dikenal
dengan nama S. Parathyphi A, S. schottmuelleri, dan S hirschfeldii.
(Mansjoer, 2014)
4
somnolen sampai koma, sedangkan roseolae jarang ditemukan pada
orang Indonesia.
(Diyono, 2013)
2.1.4 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :
2.1.4.1 Komplikasi Intestinal
2.1.4.1.1 Perdarahan usus
2.1.4.1.2 Perforasi usus
2.1.4.1.3 Illeus paralitik
2.1.4.2 Komplikasi ekstraintestinal
2.1.4.2.1 Komplikasi Kardiovaskuler : Kegagalan sirkulasi
perifer, miokarditis, thrombosis dan tromboflebitis
2.1.4.2.2 Komplikasi darah : Anemia hemolitik,
trombositopenia, dan atau koagulasi intravaskuler
diseminata dan sindrom uremia hemolitik
2.1.4.2.3 Komplikasi paru : Pneumonia, epiema, pleuritis
2.1.4.2.4 Komplikasi hepar dan kandung kemih : Hepatitis dan
kolelitiasis
2.1.4.2.5 Komplikasi Ginjal : Glomerulonefritis, pyelonefritis
dan perinefritis
2.1.4.2.6 Komplikasi tulang: Ostemilitis, periostitis,
spondilitis, dan arthritis
2.1.4.2.7 Komplikasi neuropsikiatrik : Delirium, meningismus,
meningitis, polyneuritis perifer, syndrome guillain-
barre psikosis dan sydrom katatonia
(Mansjoer, 2014)
2.1.5 Patofisiologi
Makanan atau minuman yang telah terkontaminasi oleh kuman
Salmonella Typhosa masuk kedalam lambung, selanjutnya lolos dari
sistem pertahanan lambung, kemudian masuk ke usus halus, melalui
folikel limpa masuk kesaluran limpatik dan sirkulasi darah sistemik,
sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia pertama-tama menyerang Sistem
Retikulo Endoteleal (RES) yaitu : hati, lien dan tulang, kemudian
selanjutnya mengenai seluruh organ di dalam tubuh antara lain sistem
syaraf pusat, ginjal dan jaringan limpa. Kemudian setelah mengenai
jaringan limpa maka akan terjadi splenomegali dan akan menyebabkan
5
lambung tertekan yang akan memicu rasa mual kemudian akan terjadi
anoreksia. Sehingga akan muncul masalah keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Cairan empedu akan masuk ke Duodenum dan dengan virulensi
kuman yang tinggi akan menginfeksi intestin kembali khususnya bagian
illeum dimana akan terbentuk ulkus yang lonjong dan dalam. Masuknya
kuman ke dalam intestin terjadi pada minggu pertama dengan tanda dan
gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan naik pada malam hari
dan akan menurun menjelang pagi hari. Demam yang terjadi pada masa
ini disebut demam intermiten (suhu yang tinggi, naik turun dan turunnya
dapat mencapai normal). Sehingga akan muncul masalah keperawatan
hipertermi.
Disamping peningkatan suhu tubuh juga akan terjadi obstipasi
sebagai akibat penurunan motilitas suhu, namun ini tidak selalu terjadi
dapat pula terjadi sebaliknya. Setelah kuman melewati fase awal
intestinal, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda
peningkatan suhu tubuh yang sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada
RES seperti nyeri perut kanan atas karena adanya tukak yang akan
menyebabkan perdarahan dan perforasi. Selanjutnya akan muncul
masalah keperawatan nyeri akut.
Pada minggu selanjutnya dimana infeksi Focal Intestinal terjadi
dengan tanda-tanda suhu tubuh masih tetap tinggi, tetapi nilainya lebih
rendah dari fase bakterimia dan berlangsung terus menerus ( demam
kontinue ), lidah kotor, tepi lidah hiperemis, penurunan peristaltik,
gangguan digesti dan absorbsi sehingga akan terjadi distensi, diare dan
pasien merasa tidak nyaman, pada masa ini dapat terjadi perdarahan
usus, perforasi dan peritonitis dengan tanda distensi abdomen berat,
peristaltik menurun bahkan hilang, melena, syock dan penurunan
kesadaran.
(Wijaya, 2013)
6
7
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosa :
2.1.7.1. Pemeriksaan darah tepi didapatkan adanya anemi oleh karena
intake makanan yang terbatas, terjadi gangguan absorbsi,
hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan
penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah.
Leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000 –4000 /mm3
ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh
penghancuran lekosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu
hilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopenia terjadi
pada stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis
umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan
endotoksin. Laju endap darah meningkat.
2.1.7.2. Pemeriksaan urine didaparkan proteinuria ringan ( < 2 gr/liter)
juga didapatkan peningkatan lekosit dalam urine.
2.1.7.3. Pemeriksaan tinja didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai
akan bahaya perdarahan usus dan perforasi.
2.1.7.4. Pemeriksaan bakteriologis diagnosa pasti ditegakkan apabila
ditemukan kuman salmonella dan biakan darah tinja, urine,
cairan empedu atau sumsum tulang.
2.1.7.5. Pemeriksaan serologis Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan
antibodi (aglutinin ). Adapun antibodi yang dihasilkan tubuh
akibat infeksi kuman salmonella adalah antobodi O dan H.
Apabila titer antibodi O adalah 1 : 20 atau lebih pada minggu
pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif
(lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu
kemudian menunjukkan diagnosa positif dari infeksi
Salmonella typhi.
2.1.7.6. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan ini untuk mengetahui
apakah ada kelainan atau komplikasi akibat demam tifoid.
(Mansjoer, 2014)
2.1.8 Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksaan demam tifoid yaitu :
9
2.1.8.1. Pemberian antibiotic; untuk menghentikan dan memusnahkan
penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan :
2.1.8.1.1 Kloramfenikol; dosis hari pertama 4x250 mg, hari
kedua 4x500 mg, diberikan selama demam
dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian
dosis diturunkan menjadi 4x250 mg selama 5 hari
kemudian. Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. Di
RSUP Persahabatan), penggunaan kloramfenikol
masih memperlihatkan hasil penurunan suhu 4 hari,
sama seperti obat-obat terbaru dari jenis kuinolon.
2.1.8.1.2 Ampisilin/Amoksillin; dosis 50-150 mg/kg BB,
diberikan selama 2 minggu
2.1.8.1.3 Kotrimoksazol; 2x2 tablet (1 tablet mengandung 400
mg sulfametoksazol-80 mg trimetoprim, diberikan
selama dua minggu pula.
2.1.8.1.4 Sefalosporin generasi II dan III. Di Subbagian
Penyakit Tropik dan Infeksi FKUI-RSCM, pemberian
sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan
baik. Demam pada umumnya mengalami mereda
pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Regimen
yang dipakai adalah:
seftriakson 4g/hari selama 3 hari
norfloksasin 2x400 mg/ hari selama 14 hari
siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari
ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari
pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
fleroksasin 400 mg/hari
2.1.8.2. Istirahat dan perawatan professional ; bertujuan mencegah
komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus
tirah baring absolute sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan
perlu sekali dijaga hygiene perseorangan, kebersihan tempat
tidur, pakaian dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien
dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah
10
untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik.
Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena
kadang-kadang terjadi obstipasi retensi urin.
2.1.8.3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi diet bubur sering kemudian bubur kasar
dan nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namn beberapa
penelitian menunjukkan bahawa pemebrian makanan pada
dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang
sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman.
Juga dapat diberikan vitamin dan mineral yang cukup untuk
mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan
menjaga keseimbangan dan homeostatis system imun akan
dapat berfungsi dengan optimal. Pada kasus perforasi
intestinal dan renjatan septic diperlkan perawatan intensif
dengan nutrisi parenteral total. Spectrum antibiotic maupun
kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat
dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada
renjatan septic. Prognosis tidak baik pada kedua keadaan
diatas.
(Mansjoer, 2014)
11
Keluhan utama yang dirasakan oleh klien typhoid biasanya
mengeluh adanya demam.
2.2.1.3 Riwayat penyakit sekarang
Umumnya yang dirasakan pada klien dengan typhoid adalah
demam, perut terasa mual, adanya anorexia, diare atau
konstipasi,dan bahkan menurunnya kesadaran.
2.2.1.4 Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien sebelumnya pernah mengalami
typhoid atau penyakit menular yang lain.
2.2.1.5 Riwayat penyakit keluarga
Ditanyakan apakah keluarga pernah menderita penyakit yang
sama atau penyakit yang lainnya.
2.2.1.6 Pola-Pola fungsi kesehatan
2.2.1.6.1 Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Adanya tindakan penatalaksanaan kesehatan di RS
akan menimbulkan perubahan terhadap pemeliharaan
kesehatan.
2.2.1.6.2 Pola nutrisi dan metabolic
Adanya nausea dan vomitus serta anorexia akan
mempengaruhi status gizi. Pengukuran TB dan BB jika
memungkinkan akan memperlihatkan adanya
penurunan atau peningkatan status gizi klien.
12
Akibat dari proses infeksi tersebut secara langsung
akan mempengaruhi hubungan baik intrapersonal
maupun interpersonal.
2.2.1.6.7 Pola persepsi dan konsep diri
Akan terjadi perubahan jika klien tidak memahami
cara yang efektif untuk mengatasi masalah
kesehatannya dan konsep diri yang meliputi (Body
Image, identitas diri, Peran diri, ideal diri, dan harga
diri).
2.2.1.6.8 Pola reproduksi dan seksual
Pada pola reproduksi dan seksual pada klien yang
sudah menikah akan mengalami perubahan.
2.2.1.6.9 Pola mekanisme koping
Masalah timbul jika klien tidak efektif dalam
mengatasi masalah kesehatannya.
2.2.1.6.10 Pola nilai dan kepercayaan
Adanya kecemasan dalam sisi spiritual akan
menyebabkan masalah yang baru yang ditimbulkan
akibat dari ketakutan akan kematian dan akan
mengganggu kebiasaan ibadahnya.
2.2.1.7 Pemeriksaan fisik
2.2.1.7.1 B1 (Breathing) : biasanya tidak ada masalah, tetapi
pada kasus berat bisa didapatkan komplikasi yaitu
adanya pneumonia.
2.2.1.7.2 B2 (Blood) : TD menurun, diaforesis terjadi pada
minggu pertama, kulit pucat, akral dingin, penurunan
curah jantung dengan adanya bradikardi, kadang
terjadi anemia, leukopeni pada minggu awal, nyeri
dada, dan kelemahan fisik.
2.2.1.7.3 B3 (Brain) : Pada klien dengan typhoid biasanya
terjadi delirium dan diikuti penurunan kesadaran dari
composmentis ke apatis,somnolen hingga koma pada
pemeriksaan GCS.
2.2.1.7.4 B4 (Bladder) : pada kondisi berat akan terjadi
penurunan output respon dari curah jantung.
2.2.1.7.5 B5 (Bowel)
13
Inspeksi : lidah kotor, terdapat selaput putih, lidah
hiperemis, stomatitis, muntah,kembung, adanya
distensi abdomen dan nyeri abdomen, diare atau
konstipasi.
Auskultasi : penurunan bising usus kurang dari
5x/menit pada minggu pertama dan selanjutnya
meningkat akibat adanya diare.
Perkusi : didapatkan suara tympani abdomen akibat
adanya kembung.
Palpasi : adanya hepatomegali, splenomegali,
mengidentifikasi adanya infeksi pada minggu kedua.
Adanya nyeri tekan pada abdomen.
2.2.1.7.6 B6 (Bone) : adanya respon sistemik yang
menyebabkan malaise. Kelemahan umum. Integumen :
timbulnya roseola (emboli dari kuman dimana
didalamnya mengandung kuman Salmonella Ttyphosa,
yang timbul diperut, dada, dan bagian bokong), turgor
kulit menurun, kulit kering (Muttaqin, 2011).
14
antibodi yang terdapat pada serum penderita. Titer O :
1/200. Titer H : 1/400. Atau Kenaikan titer 4 kali 1
(satu) minggu berikutnya.
(Wijaya, 2013)
2.2.4 NOC
NO TUJUAN DAN KRITERIA HASIL TTD
DX
1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan masalah nyeri teratasi dengan KH :
- Pasien mampu melaporkan nyeri yang terkontrol
(1605)
- Pasien mampu menggunakan tindakan non
farmakologi untuk pengurangan nyeri (1605)
- Tidak ada ekspresi wajah nyeri (1605)
2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan masalah termoregulasi dapat dikontrol dengan
KH :
- Tidak ada peningkatan suhu kulit (0800)
- Tidak da keringat berlebih saat panas (0800)
- Tidak ada dehidrasi (0800)
3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapakan nutrisi kembali seimbang dengan KH :
- Asupan makanan dalam rentang seimbang (1004)
- Asupan gizi dalam rentang normal (1400)
(Herdman, 2015)
BAB III
PENUTUP
16
3.1 Kesimpulan
Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus.
Penyebabnya adalah salmonella thyphi. Sedangkan demam paratifoid
disebbakan oleh organisme yang termasuk dalam spesies salmonella enteretidis,
yaitu s. entereditis bioserotipe paratyphi B.S. entereditis bioserotipe parathyphi
C. Gejala-gejala yang ditimbulkan bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enek di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemerikaan fisik hanya
didapatkan peningkatan suhu badan.
Dalam minggu kedua gejala terlihat jelas berupa demam, bradikardi
relative, lidah tifoid, (kotor ditengah, tepid dan ujung merah dan tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa
somnolen sampai koma, sedangkan roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam Komplikasi Intestinal yang
terdiri dari Perdarahan usus, Perforasi usus, Illeus paralitik dan Komplikasi
ekstraintestinal yang meliputi Komplikasi Kardiovaskuler, Komplikasi darah,
Komplikasi paru, Komplikasi hepar dan kandung kemih, Komplikasi Ginjal,
Komplikasi tulang, Komplikasi neuropsikiatrik.
3.2 Saran
Kepada mahasiswa (khusunya mahasiswa perawat) disarankan agar dapat
memahami mengenai typus abdominalis beserta rencana tindakan yang tepat.
Perawat sebagai anggota tim kesehatan yang paling banyak berhubungan
dengan pasien dituntut untuk dapat meningkatkan secara terus menerus dalam
hal pemberian informasi dan pendidikan kesehatan sesuai dengan latar
belakang pasien dan keluarga.
17
18
DAFTAR PUSTAKA
Diyono & Mulyanti, Sri. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan.
Jakarta: Kencana.
Mansjoer, Arif. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI