Anda di halaman 1dari 38

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung

2.1.1 Anatomi Hidung

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Bagian agak ke atas dan

belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai

ke pangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Bagian yang disebut kolumela

membranosa bermula dari apeks, yaitu posterior bagian tengah bibir dan terletak

sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas

dikenal sebagai dasar hidung. Di sini bagian bibir atas dikenal sebagai dasar

hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari

atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah menyebelah dengan kolumela adalah

nares anterior atau nostril (lubang hidung) kanan dan kiri, di sebelah latero

superior dibatasi ala nasi dan di sebelah inferior oleh dasar hidung. 4

Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal, proseus frontal os

maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago

ala mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi. Kerangka utama

adalah keempat tulang yang disebut permulaan di atas. Tepi medial kartilago

lateralis superior menyatu dengan kartilago septum nasi dan tepi cranial melekat

erat dengan permukaan bawah os nasal serta proseus frontal os maksila.4


4

Bagian tulang rawan yaitu kartilago septum (lamina kuadrangularis), dan

kolumela.Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa

hidung.4

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letak nya

paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,

lebih kecil lagi adalah konka superior sedangkan yang terkecil disebut konka

suprema. Konka suprema ini buasanya rudimeter.Konka inferior merupakan

tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan

konka media, superior dan suprema merukapan bagian dari labirin ethmoid.5

Gambar 2.1 anatomi Hidung Luar

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit

yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus yaitu meatus
5

inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior

dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior

terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara

konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat

muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior

yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara

sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.5

Batas rongga hidung pada dinding inferior merupakan dasar rongga hidung

dan dibentuk os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat

sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga

tengkorak dari rongga hidung.Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang

yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribosa atau saringan)

tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Pada bagian posterior, atap

rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.6

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung

yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting

yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus

semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontalis.KOM merupakan unit

fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang

letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.Jika terjadi

obstruksi pada celak yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang

signifikan pada sinus-sinus yang terkait.5


6

Gambar 2.2 Anatomi Rongga hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmikadari a. karotis interna. Bagian

bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,

diantarana ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari

foramen sfenopalatina bersama sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di

belakang ujung posterior konka media.5


7

Cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka,

meatus, dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika

menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus

maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang

infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maksilaris interna dan cabang faringealis

dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis. Vena-vena

membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrane mukosa.

Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior, serta bagian bawah

septum di mana membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalui vena

oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina. 7

Gambar 2.3 Vaskularisasi hidung


8

Suplai limfatik hidung sangat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh

anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior bermuara di sepanjang pembuluh

fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior

hidung.

Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung,

menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang. Kelompok

superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung

berkaitan, berjalan di atas tuba eustachius dan bermuara pada kelenjar limfe

retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustachius, mengurus

konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung dan menuju rantai

kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian

dasar hidung berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis

interna. 7

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.

etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. naso siliaris, yang berasal dari

dari n. oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat

persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.Ganglion

sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan

vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut

saraf sensoris dari n. maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n. Petrosus

superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus.

Ganglion sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di atas ujung posterior

konka media.5
9

Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina

kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada

sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atau

hidung.5

2.1.2 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal yaitu fungsi respirasi untuk mengatur

kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang

dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik local. Fungsi penghidu

karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung

stimulus penghidu. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu

proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.

Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap

trauma dan pelindung panas, dan refleks nasal.5

Fungsi Respirasi udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi

melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun

ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan

atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir.

Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit

penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan

terjadi sebaliknya.5

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat

Celcius.Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah


10

di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.Partikel debu,

virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akandisaring di hidung oleh

rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, dan balut lender.Debu dan bakteri

akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan

dengan refleks bersin.5

Fungsi Penghidu, hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap

dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan

sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara

difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.5

Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedapak

rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis

srawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang

berasal dari cuka dan asam jawa.5

Fungsi Fonetik, resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika

berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi

berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung

membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan

palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut

tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.5

Refleks nasal mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan

dengan saluran cerna, kardiovaskular dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan

menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan

menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.5


11

2.2 Rhinitis

Rhinitis didefinisikan sebagai suatu kondisi inflamasi yang mengenai

mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, hiperiritabilitas, dan hipersekresi.

Rhinitis ini dapat disebabkan oleh berbagai macam kondisi baik kondisi alergi

maupun non alergi (tabel 2.1).8


Tabel 2.1 Klasifikasi Rhinitis8

Rhinitis Alergi Rhinitis Infeksi Rhinitis non alergi, yang lainnya


non infeksi
 Seasonal  Virus  Sindrom  Rhinitis atrofi
 Perrenial  Rhinosinusitis eosinofilik
bakteri o Nares
o Nasal Poliposis
 Sindrom non
eosinofilik
o Rhinitis
vasomotor
o Rhinitis
medikamentosa
o Rhinitis
occupational
o Rhinitis dalam
kehamilan

2.2.1 Rhinitis Infeksi


2.2.2.1 Rhinitis Virus Simpleks

2.2.2.1.1 Definisi
12

Rhinitis simpleks merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan

pada manusia. Sering disebut juga sebagai selesma, commond cold,flu. Penyakit

ini merupakan suatu infeksi saluran nafas bagian atas yang akut, berulang, relatif

ringan, sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya

kekebalan, atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya

penyakit menahun dan lain-lain).4,5

2.2.2.1.2 Etiologi

Penyebabnya adalah beberapa jenis virus dan yang paling penting ialah

rhinovirus. Virus lainnnya yang dapat menyebabkan rhinitis simpleks yaitu

myxovirus, virus coxsackie, dan virus ECHO.5

2.2.2.1.3 Patofisiologi

Rhinitis simpeks disebabkan paling sering oleh Rhinovirus. Virus lainnya

yang dapat menyebabkan Rhinitis simpleks antara lain myxovirus, virus

Coxsackle dan virus ECHO. Virus tersebut akan menempel pada mukosa hidung

dan ditangkap oleh sel penyaji untuk kemudian mengaktivasi limfosit T dan

netrofil sehingga mensekresikan mediator inflamasi. Seperti pada rhinitis alergi,

pada rhinitis simpleks juga terdapat pengeluaran sitokin proinflamasi. Pada pasien

rhinitis simpleks terdapat peningkatan kadar sitokin proinflamasi pada cairan atau

sekret hidung. Sitokin proinflamasi yang berperan pada rhinitis simpleks antara

lain kini, IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF-α. Kinin mengakibatkan vasodilatasi

pembuluh darah yang ada pada mukosa hidung, stimulasi serabut saraf mukosa

hidung, dan mengakibatkan hiperresponsif.5,11

2.2.2.1.4 Penegakan diagnosis


13

Permulaan penyakit ini biasanya tiba-tiba dan ditandai dengan rasa kering,

gatal, atau rasa panas di hidung atau nasofaring. Segera timbul menggigil dan

malaise, disertai dengan bersin dan ingus encer. Pada saat ini biasanya tidak

disertai demam. Sering terasa nyeri kepala ringan atau perasaan penuh di antara

kedua mata.4

2.2.2.1.5 Penatalaksanaan

Terapi rhinitis simplek sebagian besar simtomatik. Pemberian antibiotika

dan sulfonamide tidak ada manfaatnya bagi pasien, jika tidak disertai komplikasi

bakteri. Tetes hidung ephedrine 1% sangat menolong, bila hidung tersumbat. Oleh

karena lisozim dinonaktifkan dalam suasana basa, maka setiap obat hidung harus

mempunyai pH asam untuk mencegah terganggunya aktivitas sillia dan lisozim.

Pemberian obat simtomatik oral sangat efektif dengan diberikan 4 jam sekali,

suatu kapsul yang terdiri dari efedrin sulfat, pentobarbital, dan asam asetil

salisilat.4,5,11

2.2.2. Bakteri
2.2.2.1 Rhinitis Difteria

2.2.2.1.1 Definisi

Rhinitis difteri adalah peradangan padaa mukosa hidung yang disebabkan

oleh corynebacterium diphteriae, dapat terjadi primer pada hidung atau sekunder

dari tenggorok, dapat ditemukan dalam keadaan akut atau kronik. Penyakit ini

semakin jarang ditemukan karena cakupan imunisasi yang semakin meningkat.5

2.2.2.1.2 Patofisiologi

Rhinitis difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae yang dapat

terjadi primer pada hidung ataupun sekunder dari tenggorok.Corynebacterium


14

diphteriae mengandung eksotoksin polipeptid yang mengakibatkan nekrosis sel-

sel mukosa hidung dan menghambat sintesis protein. Sel-sel yang nekrosis,

leukosit, eritrosit dan fibrin membentuk pseudomembran yang apabila diangkat

akan mengakibatkan perdarahan mukosa yang edema.12

2.2.2.1.3 Penegakan diagnosis

Keluhan pasien dengan rhinitis difteri yaitu panas badan, limfadenitis,

pada hidung terdapat ingus yang bercampur darah.Pada pemeriksaan ditemukan

pseudomembran berwarna putih yang mudah berdarah, dan terdapat krusta coklat

di nares anterior dan rongga hidung.Diagnosis pasti ditegakkan dengan

pemeriksaan kuman dari secret hidung.5

2.2.2.1.4 Penatalaksanaan

Pemberian anti difteri serum (ADS) dan penisilin lokal dan intramuskuler.

Pasien harus diisolasi hingga hasil pemeiksaan kuman negatif.5

2.2.2.2 Rhinitis Tuberkulosa

2.2.2.2.1 Definisi

Rhinitis tuberkulosa merupakan infeksi tuberkulosa ekstrapulmoner.

Seiring dengan peningkatan kasus tuberkulosis yang berhubungan dengan kasus

HIV-AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya. Tuberkulosis pada

hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum

yang dapat menyebabkan perforasi.5

2.2.2.2.2 Patofisiologi

Rhinitis tuberkulosa merupakan manifestasi tuberkulosis ekstra pulmoner

yang terjadi biasanya pada orang yang mengalami defisiensi imun misalnya HIV-
15

AIDS. Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada mukosa hidung akan

mengakibatkan terbentuknya nodul atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan

septum dan dapat mengakibatkan perforasi.5

2.2.2.2.3 Penegakan diagnosis

Pada saat anamnesis, pasien rhinitis tuberkulosa mengeluhkan hidung

tersumbat.Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen dan

krusta.Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA)

pada secret hidung. Pada pemeriksaan histopatologis ditemukan sel datia

langerhans dan limfositosis.5

2.2.2.2.4 Penatalaksanaan

Pengobatan dengan pemeberian antituberkulosis dan obat cuci hidung.6

2.2.2.3 Rhinitis Sifilis

2.2.2.3.1 Definisi

Rhinitis sifilis ialah peradangan pada mukosa hidung yang disebabkan

oleh kuman treponema pallidum.5

2.2.2.3.2 Patofisiologi

Infeksi Treponema pallidum pada hidung jarang ditemukan. Rhinitis sifilis

dapat merupakan infeksi primer yang gejalanya mirip dengan rhinitis akut, akan

tetapi dapat ditemukan bercak atau bintik pada mukosa nasal. Pada rhinitis sifilis

tersier dapat ditemukan gumma atau ulkus yang terutama mengenai septum nasi

dan dapat mengakibatkan perforasi septum.5

2.2.3.3.3 Penegakan diagnosis


16

Gejala pada rhinitis sifilis serupa dengan rhinitis akut lainnya, hanya

mungkin dapat terlihat bercak/bintik pada mukosa.Pada rhinitis sifilis tersier dapat

ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai septum nasi dan dapat

mengakibtakan perforasi septum. Pada pemeriksaan klinis didapatkan secret

mukopurulen yang berbau, serta krusta. Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi

dan pemeriksaan mikrobiologik.5

2.2.3.3.4 Penatalaksanaan

Dapat dilakukan pembersihan krusta secara rutin dan pemberian penisilin

dan obat cuci hidung.4

2.2.3 Rhinitis non alergi, non infeksi


2.2.3.1 Rhinitis Non Alergi dengan Sindrom Eosinofilia (NARES)
2.2.3.1.1 Definisi
Rhinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia merupakan jenis rhinitis

non alergi yang ditandai dengan adannya peningkatan eosinofil pada

pemeriksaan nasal smear (20-25%) dengan hasil skin test negatif dan tanpa

peningkatan IgE antibodi serum.9,164,15,16


2.2.3.1.2 Epidemiologi

Secara epidemiologi, rhinitis non alergi dengan sindrom eosinifilia

sebanyak 13-33% dari seluruh kejadian rhinitis non alergi.14

2.2.3.1.3 Etiologi

Penyebab rhinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia masih belum

dapat diketahui.16

2.2.3.1.4 Tanda dan Gejala


17

Pada rhinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia, pasien sering

mengeluhkan bersin berulang, rinorea, hidung gatal, hidung tersumbat, dan

berkurangnya kemampuan penciumannya.14,15,16

2.2.3.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan

diagnosis rhinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia adalah pemeriksaan nasal

smear, IgE antibodi serum, serta skin test. Pada pemeriksaan nasal smear

ditemukan adanya peningkatan eosinofil >20%. IgE antibodi tidak meningkat dan

skin test negatif.17

2.2.3.1.6 Patofisiologi

Patofisiologi pada rhinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia masih

kontroversial dan belum jelas. Iritasi terhadap pajanan asap rokok menyebabkan

respon inflamasi. Peningkatan eosinofil menyebabkan kerusakan sel epitel hidung

dan gangguan pembersihan mukosiliar.9

2.2.3.1.7 Komplikasi

Seiring berjalannya waktu, pasien dengan rhinitis non alergi dengan

sindrom eosinofilia dapat berkembang menjadi Samster’s triad (sensitivitas

aspirin, asma, dan nasal poliposis). Rhinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia

juga dapat terjadi sleep apnea.9,17

2.2.3.1.8 Tatalaksana

Terapi rhinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia adalah kortikosteroid

topikal.17
18

2.2.3.2.Rhintis Vasomotor

2.2.3.2.1 Definisi

Rhinitis vasomotor merupakan rhinitis idiopatik yang ditandai dengan

gejala hidung tersumbat dan rhinorea. Gejala tersebut timbul ketika mencium

bebauan (parfum, cat, tinta, asap rokok), alkohol, bumbu masakan, emosi, dan

perubahan lingkungan seperti perubahan cuaca dan tekanan udara.17

2.2.3.2.2 Epidemiologi

Angka kejadian rhinitis vasomotor merupakan kejadian terbanyak dari

seluruhrhinitis non alergi. Di dunia, terdapat sekitar 450 juta penduduk menderita

rhinitis non alergi dan dapat diperkirakan sekitar 320 juta penduduk di dunia

menderita rhinitis vasomotor. Sekitar 20 juta penduduk Amerika yang menderita

rinintis non alergi, 71 persennya merupakan rhinitis vasomotor.18

2.2.3.2.3 Etiologi

Penyebab terjadinya rhinitis vasomotor masih belum jelas. Namun,

rhinitis vasomotor diduga disebabkan oleh adanya gangguan keseimbangan sistem

otonom yang dapat dicetuskan oleh adanya bebauan yang merangsang (parfum,

cat, tinta, asap rokok), alkohol, bumbu masakan, emosi, dan perubahan

lingkungan seperti perubahan cuaca dan tekanan udara.17-19

2.2.3.2.4 Tanda dan Gejala

Pada anamnesis, pasien dengan rhinitis vasomotor akan mengeluhkan

hidung tersumbat dan beringus. Secara garis besar, rhinitis vasomotor dibagi

dalam dua kelompok yaitu “runner” atau “wet rhinorrhea” dengan gejala utama
19

beringus banyak dan “dry rhinorrhea” dengan gejala utama hidung tersumbat

serta rhinorea yang minimal. Gejala-gejala tersebut timbul karena adanya paparan

terhadap zat tertentu seperti bebauan yang merangsang (parfum, cat, tinta, asap

rokok), alkohol, bumbu masakan, emosi, dan perubahan lingkungan seperti

perubahan cuaca dan tekanan udara. Pada rhinitis vasomotor, tidak terdapat

adanya riwayat alergi pada pasien maupun keluarga dan mulai timbulnya gejala

pada usia dewasa.4,17,19

Pada pemeriksaan fisik hidung (rinoskopi anterior), didapatkan adanya

hipertrofi konka inferior.19

2.2..3.2.5 Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk menegakkan diagnosis rhinitis

vasomotor. Pada rhinitis alergi, dapat dilakukan pemeriksaan skin atau IgE

antibodi serum untuk mengetahui jenis alergen.17

2.2.3.2.6 Patofisiologi

Secara umum, terjadinya rhinitis vasomotor adalah adanya

ketidakseimbangan dari sarafotonomi mukosa hidung. Takikinin dari sistem saraf

pusat menyebabkan timbulnya rhinorea dan atau hidung tersumbat. Selain itu,

takikinin juga menghambat mediator simpatis sehingga meningkatkan

parasimpatis.

Stimulasi serabut sensori C menyebabkan pengeluaran substansi P

calcitonin genes related peptide (CGRP). Hal tersebut menyebabkan pengeluaran

eksresi plasma dan sekresi glandular (melalui asetilkolin dan reseptor muskarinik)

menimbulkan nyeri dan sesak. Menurut Schierhorn et al, pada mukosa hidung
20

terdapat peningkatan kadar substansi P dan neurokinin (NKA). NKA memiliki

struktur dan fungsi yang sama dengan substansi P yang menyebabkan kontraksi

otot halus pembuluh darah. Oleh karena itu, stimulasi sensori menyebabkan

pengeluaran substansi P, CGRP, NKA dengan kongesti nasal dan nyeri.

Groneberg et al, menemukan peningkatan kadar dari neuropeptid tirosin

(NPY), vasoaktif intestinal peptide (VIP), dan SP pada pasien dengan iritasi akibat

pajanan asap rokok. NPY menyebabkan vasokonstriksi hidung dan menurunkan

kadar nitrit oxide. VIP adalah inhibitor neurotransmiter yang menyebabakan

vasodilatasi dan hiperseksresi sehingga menimbulkan kongesti dan rhinorea.

Pelepasan asetilkolin menimbulkan sekresi glandular dan vasodilatasi.pada pasien

dengan rhinitis vasomotor, kerusakan epitel berhubungna dneggna peningkatan

aktivitas NADPH diaphorase dan meningkatkan NO. NO merupakan sitotoksik

yang menyebabkan kerusakan epitel. Kerusakan tersebut menimbulkan gangguan

pembersihan mukosiliar, dan kerusakan membran basal.

Tromboxan A2 (TXA2) merupakan mediator inflamasi yang berikatan

dengan reseptor TXA2. TXA2 reseptor agonis meningkatakan resistrensi jalan

napas hidung dan permeabilitas kapiler hidung.9

2.2.3.2.7 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada rhinitis vasomotor adalah sinusitis,

serta pembengkakan wajah.19

2.2.3.2.8 Penatalaksanaan

Pasien yang telah didiagnosis rhinitis vasomotor harus menghindari faktor

pencetus yang dapt menimbulkan gejala, seperti bebauan ( asap rokok, parfum,
21

formaldehid, dsb), asap kendaraan, perubahan temperatur, dan lain-lain.

Pendekatan terapi untuk rhinitis vasomotor berdasarkan gejala yang dominan. Jika

gejala yang dominan adalah rhinorea, langkah pertama yang diberikan adalah

antikolinergik topikal. Jika gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, dapat

diberikan kortikosteroid topikal. Antihistamin topikal dapat diberikan pada pasien

dengan gejala rhinorea, bersin-bersin, postnasal drip, dan hidung tersumbat.

Olahraga dapat membantu dalam terapi. Olahraga dapat menurunkan resistensi

jalan napas dan membantu dekongesti nasal secara natural melalui mekanisme I

adrenergik.17

Gambar 2.7 Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Vasomotor.17


22

Tabel 2.7 Jenis sediaan obat rhinitis vasomotor.17

2.2.3.2 Rhinitis medikamentosa


2.2.3.2.1 Definisi

Rhinitis medikamentosa merupakan rhinitis non alergi yang ditandai

dengan gejala hidung tersumbat derajat berat tanpa adanya rhinorea atan bersin

yang dipicu oleh penggunaan berlebihan dari dekongestan topikal (oxymetazoline,

imidazole, phenylephrine) lebih dari 4-6 hari, ACE inhibitor, beta blocker, aspirin,

dan NSAID.15,20

2.2.3.2.2 Epidemiologi

Pada penelitian di United States yang dilakukan selama 10 tahun, angka

kejadian rhinitis medikamentosa sebanyak 1 persen. Pada penelitian lain di United

States, sekitar 52 pasien dari 100 pasien non infeksi dengan gejala hidung

tersumbat didiagnosis rhinitis medikamentosa. Tidak ada perbedaan bermakna

pada jenis kelamin. Usia terbanyak terjadinya rhinitis medikamentosa pada usia

dewasa muda.20

2.2.3.2.3 Etiologi
23

Penyebab terjadinya rhinitis medikamentosa adalah penggunaan

berlebihan dari dekongestan topikal (oxymetazoline, imidazole, phenylephrine)

lebih dari 4-6 hari, ACE inhibitor, beta blocker, aspirin, hormon (estrogen,

kontrasepsi oral), anti depresan, dan NSAID.15,20

2.2.3.2.4 Tanda dan Gejala

Gejala rhinitis medikamentosa ditandai dengan hidung tersumbat tanpa

adanya rhinorea maupun bersin-bersin. Gejala tidak dipengaruhi oleh adanya

perubahan musim. Pada anamnesis, terdapat riwayat penggunaan dekongestan

secara berlebihan.

Pada pemeriksaan fisik hidung tampak gambaran “beefy-red” dengan

perdarahan pungtata, granular, atau boggy pada mukosa hidung. Mukosa hidung

tampak merah.20

2.2.3.2.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium seperti nasal smear, IgE total, skin test alergi,

CT scan, dan pemeriksaan histologi untuk mengetahui kelainan yang mendasari.

Pada pemeriksaan histologi, ditemukan adanya edema mukosa disertai

peningkatan vaskularisasi, metaplasia sel squamosa, infiltrasi sel mononuklear,

abnormalitas dari struktur dan fungsi silia, serta peningkatan sel plasma, fibroblas,

dan limfosit.20

2.2.3.2.6 Patofisiologi

Berdasarkan beberapa hipotesis, mekanisme terjadinya rhinitis

medikamentosa adalah ketidakseimbangan dari saraf simpatis dan parasimpatis


24

yang disebabkan oleh molekul vasokonstriksi eksogen. Hal tersebut menyebabkan

penurunan produksi norephinefrin endogen sebagai mekanisme feedback negatif.

Simpatomimetik amin yang memiliki aktivitas pada alfa dan beta, memiliki efek

beta yang lebih lama dari efek alfa dan menyebabkan rebound swelling.

Peningkatan aktivitas parasimpatis, permeabilitas pembuluh darah, dan edema

menyebabkan rebound congestion.

Dekongestan hidung terdapat dua golongan, yaitu simpatomimetik dan

imidazoline. Golongan simpatomimetik aktivasi saraf simpatis yang menyebabkan

pelepasan norefinefrin di presinaps dan berikatan dengan alfa reseptor dan

menyebabkan vasokontriksi. Imidazoline menyebabkan vasokontriksi melalui alfa

2 adrenoreseptor. Penggunaan berlebihan dari kedua gologna tersebut menyebkan

terjadinta feedback negatif yang menyebabkan penurunan norepinefrin endogen.20

2.2.3.2.7 Komplikasi

Rhinitis medikamentosa dapat menyebabkan perforasi septum nasi, rhinitis

atrofi, serta sinusitis.20

2.2.3.2.8 Penatalaksaan

Pemakaian dekongestan topikal harus segera dihentikan. Beberapa

penelitian, pemberian kortikosteroid topikal dapat diberikan untuk terapi dan

pencegahan dari rhinitis medikamentosa. Steroid oral dapat diberikan pada rhinitis

medikamentosa. Nasal irigasi dengan larutan garam dapat dilakukan untuk

melembabkan dan membantu ketidaktergantungan penggunaan dekongestan.20


25

nares anterior atau pada koana selama 2 tahun. Untuk menutup koana

dipakai flap palatum.1

2.2.3.3 Rhinitis Pada Kehamilan

Rinitis pada kehamilan adalah suatu keadaan dimana tedapat satu atau

lebih dari gejala-gejala hidung yaitu bersin, gatal-gatal, rinorhea, dan/atau hidung

tersumbat pada wanita hamil yang terjadi enam minggu atau lebih pada masa

kehamilan tanpa disertai gejala infeksi saluran nafas dan tanpa penyebab alergi

dan menghilang pada 2 minggu setelah melahirkan.1 Rhinitis pada kehamilan

merupakan kondisi yang sering dijumpai yaitu mengenai 9-24% dari wanita hamil

dan ditemukan pada 1 dari 5 wanita hamil.9,21

2.2.3.3.1 Etiologi

Penyebab dari rhinitis pada kehamilan masih belum jelas. Banyak

penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kondisi hormonal dan

kejadian rhinitis pada wanita hamil. Salah satu keadaan yang berpengaruh adalah

hormone progesterone yang memberi efek vasodilatasi dan menyebabkan rhinitis.

Hormon estrogen juga diketahui sebagai salah satu hal yang mempengaruhi

terjadinya rhinitis pada kehamilan. Estrogen diketahui mempengaruhi kerja sistem

saraf otonom dengan meningkatkan sejumlah faktor seperti parasimpatik,

asetilkolin transferase, dan meningkatkan sistem simpatik.8,9,21

2.2.3.3.2 Patofisiologi
Selama masa kehamilan, plasenta memproduksi estrogen dalam jumlah

besar. Estrogen diketahui dapat memperburuk produksi lender dan menyebabkan

akumulasi lendir. Estrogen menyebabkan turbinat dalam hidung membengkak dan


26

mengganggu pernafasan. Estrogen meningkatkan jumlah asam hyaluronic dalam

mukosa hidung sehingga edema jaringan menjadi lebih parah dan hidung menjadi

tersumbat. Keadaan ini menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi kelenjar

lendir di hidung selama kehamilan sehingga berakibat pada kemampuan silia yang

menurun. Selain estrogen, progesteron juga memiliki reseptor di mukosa hidung

sehingga faktor ini juga berkontribusi terhadap kongesti nasal pada wanita

hamil.21
2.2.3.3.3 Diagnosis
a. Anamnesis

Pada penderita yang dicurigai rhinitis pada kehamilan dapat ditanyakan

keluhan-keluhan seperti hidung tersumbat, gatal-gatal pada hidung, bersin, dan

pengeluaran cairan dari hidung. Perlu ditanyakan juga apakah ada variasi diurnal,

kondisi tempat tinggal, keadaan lingkungan sekitar pasien, pekerjaan pasien

beserta kondisi tempat kerja, riwayat alergi sebelumnya, riwayat alergi di

keluarga, faktor pemicu timbulnya gejala, riwayat pengobatan, dan riwayat

keluhan serupa sebelum kehamilan.21

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior diperhatikan adanya edema pada

konka inferior yang diliputi secret yang bening, mukosa pucat dan edema, dapat

diperhatikan juga adanya septum nasi.8,9,21

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menyingkirkan rhinitis alergi.

Skin test biasanya negatif, kadar IgE dalam batas normal, eosinophil dapat
27

ditemukan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Netrofil dapat meningkat jika

didapatkan infeksi yang menyertai.8,21

2.2.3.3.4 Penatalaksanaan

TIdak ada penanganan khusus untuk penatalaksanaan rhinitis kehamilan,

tetapi beberapa penatalaksanaan lazim dilakukan pada rhinitis kehamilan untuk

membantu memperbaiki kualitas hidup pasien.8,9,21

a. Irigasi nasal

Pada penatalaksanaan dengan irigasi, digunakan saline untuk membantu

mengeluarkan mukus dari hidung, meningkatkan kenyamanan serta melegakan

pernafasan. Saline juga membantu melumasi mukosa hidung.21

b. Antihistamin
Antihistamin membantu mengurangi keluhan hidung tersumbat dan berair.

Cetirizine aman bagi pasien hamil.21


c. Dekongestan Topikal
Dekongestan oral sangat dihindari penggunaannya pada kehamilan karena

dikhawatirkan dapat memberikan efek samping pada janin. Beclomethasone,

fluticasone, dan budesonide merupakan preparat nasal yang aman digunakan pada

wanita hamil.8,21
2.2.3.3.5 Pencegahan
a. Menghindari paparan zat iritan seperti asap rokok dan debu
b. Meningkatkan kelembaban rumah
c. Aktivitas fisik secara teratur
2.2.3.3.6 Prognosis

Rhinitis pada kehamilan umumnya tidak berbahaya bagi ibu maupun janin,

hanya saja dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Secara khusus rhinitis pada

kehamilan akan menganggu kualitas istirahat dan tidur pasien dan akan membuat
28

pasien sangat lelah dan letih. Rhinitis pada kehamilan akan menghilang setelah 2

minggu melahirkan.21

2.2.3.4 Rhinitis Okupasional

Rhinitis kerja adalah penyakit radang hidung, yang ditandai dengan gejala

intermiten atau persisten hidung tersumbat, bersin, rhinorrhea, gatal dan / atau

pembatasan aliran udara ke hidung, dan / atau hipersekresi karena sebab dan

kondisi disebabkan lingkungan kerja tertentu dan bukan karena rangsangan yang

didapat di luar tempat kerja.8,22

Angka kejadian rhinitis okupasional cukup banyak. Pada beberapa

penelitian, rhinitis okupasional terbanyak didapatkan sekitar 64% terjadi pada

petugas kebersihan, 48% terjadi pada tukang cat bangunan, dan 87% terjadi pada

pekerja industri.23

2.2.3.4.1 Etiologi

Rhinitis okupasi disebabkan oleh berbagai hal diantaranya adalah debu,

bubuk kayu, asap rokok, bubuk bahan makanan, dan bedak pada sarung tangan.

Selain bahan-bahan yang telah disebutkan, terdapat beberapa zat kimia yang juga

dapat menjadi penyebab rhinitis okupasional seperti pewarna rambut dan

desinfektan.22

2.2.3.4.2 Klasifikasi
a. Rhinitis okupasional alergi
Rhinitis okupasional alregi dibagi dengan cara berikut:
1. IgE-mediated : dapat disebabkan oleh berbagai agen dengan berat

molekul tinggi (HMW) yaitu glikoprotein dari nabati dan hewani dan beberapa
29

agen dengan berat molekul rendah (LMW) seperti garam platinum, pewarna

reaktif, dan asam anhidrase.


2. Non-IgE-mediated : dapat disebabkan oleh agen LMW (misalnya

isosianat, garam persulfat, debu kayu) yang bertindak sebagai haptens yang

mekanisme alergi belum sepenuhnya diketahui.22,23

b. Rhinitis okupasional non alergi

Rhinitis okupasional non alergi mencakup rhinitis yang disebabkan

oleh lingkungan kerja melalui iritan dengan mekanisme non-imunologi.

Eksposur tunggal atau beberapa konsentrasi tinggi senyawa iritan seperti ozon

atau klorin dapat menyebabkan gejala sementara. Situasi seperti sindrom

disfungsi saluran udara reaktif juga dapat memperburuk Rhinitis okupasional

non alergi.22,23

2.2.3.4.3 Patofisiologi

Ketika hidung terkena berbagai rangsangan, dapat mengakibatkan gejala

rhinitis seperti bersin, hidung, rinorrhea, dan gatal-gatal. iritasi, bahan

makanan, bahan kimia, dan agen farmakologis semua dapat mengerahkan efek

iritasi pada mukosa hidung. Agen-agen iritasi yang didapat di lingkungan

kerja tidak bertindak melalui mekanisme imun melainkan menyebabkan iritasi

langsung ke mukosa hidung dengan gejala hidung yang dihasilkan.8,9

2.2.3.4.4 Diagnosis

Penegakan diagnosis Rhinitis okupasional meliputi penilaian dengan

munculnya gejala rhinitis dan hubungannya dengan pekerjaan. Keluhan yang

muncul sama dengan rhinitis kebanyakan seperti hidung tersumbat, keluar cairan
30

dari hidung, terasa gatal pada hidung, dan bersin-bersin yang disebabkan oleh

karena paparan di lingkungan kerja. Anamnesis harus mempertanyakan durasi

kerja di tempat kerja saat sebelum timbulnya gejala, agen penyebab, tugas atau

proses yang terkait dengan onset atau gejala, perbaikan saat terlepas dari

pekerjaan (akhir pekan atau liburan berkepanjangan). Pada pemeriksaan fisik

dapat ditemukan adanya secret pada hidung dan disertai dengan edema mukosa

dan dapat diikuti dengan adanya deviasi septum.23

3 Penatalaksanaan
a. Edukasi
Pasien dengan rhinitis okupasional disarankan agar sebisa mungkin

meminimalisir paparan dari zat iritan penyebab rhinitis okupasional. Penggunaan

alat pelindung diri seperti masker dapat disarankan pemakaiannya untuk

mengurangi paparan zat iritan di tempat kerja.


b. Irigasi Saline
Irigasi saline adalah pengobatan tambahan penting untuk membantu

mencegah sumbatan pada hidung. penggunaan saline tidak hanya meningkatkan

kemanjuran obat topikal intranasal tetapi juga meningkatkan fungsi silia.22,23


c. Steroid topical
Pengobatan untuk rhinitis non alergi adalah pemberian steroid topikal

hidung. Steroid intranasal topikal bekerja di mukosa hidung untuk mengurangi

peradangan dan mengurangi edema intraselular.


4 Prognosis
Prognosis pada rhinitis okupasional tergantung pada berapa lama dan jenis

paparan di tempat kerja. Penanganan tepat dapat mengembalikan fungsi hidung

dengan baik.22,23
2.2.4 Rhinitis yang lainnya

2.2.4.1 Rinitis Atrofi

2.2.4.1.1 Definisi
31

Rinitis atrofi disebut juga dengan rinitis ozaena merupakan infeksi hidung

kronik, yang ditandai dengan adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang

konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat

mengering sehingga terbentuklah krusta yang berbau busuk.1

2.2.4.1.2 Epidemiologi

Angka kejadian pada rinitis atrofi lebih sering pada wanita, terutama dewasa

muda. Sering juga ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi

rendah dan sanitasi yang buruk.1

2.2.4.1.3 Etiologi
-
Infeksi oleh mikroorganisme spesifik seperti Klebsiela, terutama

Klebsiela ozaena. Mikroorganime yang ditemukan lainnya adalah

Stafillokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa.1


-
Sinusitis kronik.1
-
Terapi radiasi.2

2.2.4.1.4 Tanda dan gejala

Keluhan biasanya berupa napas berbau, sekret hijau dan kental, gangguan

penghidu, sakit kepala, dan hidung terasa tersumbat.1

Pada pemeriksaan ditemukan konka inferior dan media menjadi atrofi,

sekret purulen, dan krusta berwarna kehijauan.1

2.2.4.1.5 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan histopatologik yang berasal

dari biopsi kona media, pemeriksaan mikrobiologi, dan uji restitensi

mikroorganisme.1
32

2.2.4.1.6 Patofisiologi

Patofisiologi dari rinitis atrofi dimulai dari berbagai etiologi seperti

Klebsiella ozaena, atau penyebaran infeksi lokal setempat seperti sinusitis yang

kemudian akan menyebabkan terjadinya suatu peradangan pada hidung. 1 Jika

peradangan ini berlangsung lama dan tidak kunjung sembuh, maka disebut

inflamasi kronik. Inflamasi kronik ini akan menyebabkan banyak perubahan

anatomi dan fungsi hidung, seperti : Lapisan epitel mengalami metaplasia

squamosa dan kehilangan silianya. Hal ini akan membuat hilangnya kemampuan

pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris, kelenjar mukosa

mengalami atrofi dan bahkan bisa menghilang, dan mempunyai pengaruh yang

kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia sehingga akan membuat

bertumpuknya lendir. Atrofi tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung

yang lebih besar namun dapat mempengaruhi suplay darah epitel hidung, secara

perlahan memperbesar rongga hidung kesegala jurusan dengan semakin tipisnya

epitel. Semakin tipisnya epitel (atrofi konka) akan membuat rongga hidung

semakin membesar, karena itulah terjadi kekeringan, pembentukan krusta, dan

iritasi mukosa semakin meluas. Lalu jika aliran darah juga tidak adekuat, maka

akan terjadi nekrosis sel dan jaringan yang bila nanti mengalami proses

pembusukan dan bercampur dengan toxin dari mikroorganisme akan

menghasilkan pus kehijauan yang berbau busuk. Jika krusta terlepas akan

membuat epistaksis.2
33

Selain mikroorganisme, terapi radiasi pada hidung dapat merusak pembuluh

darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis

atrofi.2

2.2.4.1.7 Komplikasi

Komplikasi dari rinitis atrofi dapat berupa perforasi septum, faringitis,

sinusitis, miasis hidung, hidung pelana.24

2.2.4.1.8 Pengobatan

Pengobatan ditujukan untuk etiologi dan menghilangkan gejala.

 Antibiotik

Antibiotik broad spektrum luas atau sesuai uji resistensi mikroorganisme.

Lama pengobatan tergantung hilangnya tanda klinis berupa sekret purulen

kehijauan.1

 Obat cuci hidung

Obat cuci hidung dapat digunakan untuk menghilangkan bau busuk akibat

infeksi dan krusta serta sekret purulen. Larutan yang digunakan adalah larutan

garam hipertonik. Larutan garam hipertonik antara lain : Betadin solution dalam

100 ml air hangat atau campuran atau NaCl, NH4Cl , NaHCO3 aaa 9, Aqua ad 300

cc. Larutan tersebut harus diencerkan dengan perbandingan 1 sendok makan

larutan dicampur 9 sendok makan air hangat. Larutan dimasukan ke dalam rongga

hidung lalu dikeluarkan dengan menghembuskan kuat-kuat. Dilakukan 2 kali

sehari.1

 Operatif
34

Jika pengobatan tersebut tidak ada perbaikan, maka lakukan tindakan

operasi. Penekanan utama pada operatif adalah usaha untuk mengecilkan rongga

hidung dan demikian dapat memperbaiki suplay darah mukosa hidung. 2 Teknik

operasi antara lain operasi penutupan lubang hidung atau penyempitan lubang

hidung dengan implantasi osteoperiosteal. Tindakan ini akan mengurangi

turbulensi udara dan pengeringan sekret, inflamasi mukosa berkurang, sehingga

mukosa akan kembali normal. Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada

nares anterior atau pada koana selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flap

palatum.1

2.2.5 Epistaksis

Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari lubang hidung, rongga

hidung, atau nasofaring. Epistaksis atau perdarahan dari hidung merupakan

masalah yang sering dikeluhkan. Epistaksis merupakan gejala dari suatu kelainan

dimana hampir 90% dapat berhenti sendiri dan pasien dengan keluhan tersebut

kebanyakan tidak datang ke fasilitas kesehatan. Kejadian epistaksis kebanyakan

dijumpai pada usia 2 sampai 10 tahun dan 50 sampai 80 tahun. Epistaksis anterior

lebih umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior

lebih sering ditemui pada orang tua dengan riwayat penyakit lain seperti

hipertensi.5

2.2.5.1 Etiologi
Penyebab dari epistaksis dapat dibedakan sebagai berikut5:
- Lokal
 Trauma
35

Epistaksis dapat terjadi salah satunya karena adanya aktivitas mengorek-

ngorek (membersihkan) lubang hidung secara berlebihan sehingga menyebabkan

perlukaan pada mukosa septal anterior. Selain aktivitas mengorek hidung secara

berlebihan, trauma yang menyebabkan epistaksis dapat juga terjadi karena

pemasangan nasogastric tube (NGT).5

 Kondisi cuaca

Kurangnya kelembaban udara dapat menyebabkan iritasi pada mukosa

hidung. Kejadian epistaksis meningkat pada kondisi cuaca yang kering atau pada

keadaan perubahan cuaca yang ekstirm.5

 Abnormalitas septum

Pada keadaan deviasi septum aliran udara dalam hidung menjadi terganggu,

keadaan tersebut menyebabkan berkurangnya kelembaban mukosa hidung yang

dapat memicu terjadinya epistaksis.5

 Inflamasi

Bakteri, virus, dan rinosinusitis alergi dapat menyebabkan inflamasi pada

mukosa hidung dan mempermudah terjadinya epistaksis karena adanya pelebaran

pembuluh darah.5

 Tumor

Adanya massa, baik yang jinak maupun ganas dapat menyebabkan

terjadinya perdarahan pada hidung, perdarahan yang disebabkan oleh adanya

massa biasanya terjadi pada salah satu lubang hidung (unilateral).5

- Sistemik
 Gangguan pembekuan darah
36

Gangguan pembekuan darah dapat menjadi salah satu faktor yang

menyebabkan dan memperberat kejadian epistaksis. Adanya gangguan

pembekuan darah tersebut terjadi salah satunya pada penyakit hemofilia. Selain

karena adanya penyakit koagulopati kongenital, pembekuan darah dapat

terganggu pada penggunaan antikoagulan.5

 Penyakit sistemik

Pada pasien hipertensi, seiring dengan adanya peningkatan tekanan darah

terutama yang menetap dan tidak terkontrol dapat mempengaruhi elastisitas

pembuluh darah sehingga pada pasien dengan tekanan darah yang tinggi dapat

terjadi pecahnya pembuluh darah seperti pada pembuluh darah hidung.5

2.2.5.2 Klasifikasi

Klasifikasi epistaksis dibagi berdasarkan sumber perdarahan yang dibagi

atas 2 sumber yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Epistaksis anterior

berasal dari pleksus kiesselbach yang terletak di septum bagian anterior atau dari

arteri etmoidalis anterior. Perdarahan biasanya ringan karena keadaan mukosa

yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung. Epistaksis posterior berasal dari

arteri etmoidalis posterior atau dari arteri sphenopalatina. Perdarahan biasanya

lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.5

2.2.5.3 Patofisiologi
Beberapa faktor dapat mendukung terjadinya epistaksis. Pada pasien usia

muda biasanya terdapat pembuluh darah yang tipis dan lemah, sehingga pembuluh

darah mudah pecah dan perdarahan mudah terjadi. Pada pasien dengan usia tua

terjadi perubahan progresif dari otot pembuluh darah dimana tunika media
37

berubah menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis

intertisial sampai jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya

kontraksi pembuluh darah karena hilangnya lapisan tunika media sehingga

mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.


2.2.5.4 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, pasien biasanya datang dengan keluhan

adanya perdarahan yang keluar dari hidung baik unilateral maupun bilateral.

Lokasi perdarahan dapat juga diketahui dari anamnesis. Perlu ditanyakan apakah

ada riwayat trauma, rinitis dan infeksi untuk mengetahui kemungkinan epistaksis

anterior. Pada anak-anak dapat juga ditanyakan apakah ada riwayat kemasukan

benda asing pada lubang hidung. Riwayat hipertensi dan adanya tumor dapat

ditanyakan untuk mengetahui lokasi epistaksis posterior. Sebagai tambahan, dapat

juga ditanyakan durasi perdarahan, lokasi perdarahan apakah dari salah satu

rongga hidung atau dari keduanya, frekuensi perdarahan, serta apakah terdapat

hematemesis dan melena sebagai penyerta. Riwayat penggunaan obat-obatan

antikoagulan juga perlu ditanyakan untuk mengetahui penyebab perdarahan.5


Pada pemeriksaan fisik untuk mengetahui sumber perdarahan dari bagian

anterior dapat dilakukan pemeriksaan dengan pemeriksaan rinoskopi anterior

untuk menentukan lokasi perdarahan di bagian anterior. Pemeriksaan

menggunakan spekulum nasal yang dimasukan ke dalam lubang hidung dan

memeriksa apakah ada perdarahan dengan mengamati bagian vestibulum, mukosa

hidung, septum nasi, dinding lateral hidung, dan konka inferior. Pemeriksaan

rinoskopi posterior dapat dilakukan dengan cara memeriksa nasofaring untuk

melihat ada atau tidaknya perdarahan. Pada pasien dengan riwayat hipertensi
38

dapat dilakukan pengukuran tekanan darah untuk mengetahui faktor penyebab

terjadinya epistaksis.5
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu penegakan

diagnosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain adalah pemeriksaan

darah dengan complete blood count, protombin time, dan activated partial

tromboplastin time. Pemeriksaan CT scan atau MRI dapat dilakukan jika terdapat

kecurigaan adanya neoplasma, benda asing, maupun trauma kepala.5


2.2.5.5 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah memperbaiki keadaan umum,

mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, dan mencari faktor

penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan

epistaksis perhatikan keadaan umumnya nadi, pernapasan, serta tekanan

darahnya. Jika ada kelainan maka atasi dulu dengan memasang infus. Jika jalan

napas tersumbat oleh darah atau bekuan darah maka perlu dibersihkan atau

diisap.5
Untuk menghentikan perdarahan perlu dicari sumber perdarahan, apakah

perdarahan anterior atau superior. Alat yang diperlukan adalah lampu kepala,

spekulum hidung, dan alat penghisap. Pasien pada epistaksis diperiksa dalam

posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa

dimonitori. Jika keadaan lemah bisa dengan posisi setengah duduk atau

berbaring dengan posisi kepala ditinggikan. Pada pasien anak dipangku, badan

dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak tidak bergerak.5


Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah.

Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi adrenalin

1/5000-1/10000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukan kedalam lubang

hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri. Tampon


39

dibiarkan 10-15 menit. Setelah terjadi vasokontriksi biasanya dapat dilihat

sumber perdarahannya. 5
 Menghentikan perdarahan
Perdarahan anterior
Perdarahan anterior sering berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian

anterior. Jika tidak berhenti sendiri, lakukan penekanan pada hidung dari luar

selama 10-15 menit.5


Jika sumber perdarahan terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan

larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Setelah itu diberi krim antibiotik. Bila

masih berlangsug lakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas

atau kasa yang telah diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian

pelumas ini agar tampon mudah dimasukan dan tidak menimbulkan perdarahan

baru saat dimasukan atau dicabut.5


Tampon dimasukan sebanyak 2-4 buah, disusun teratur dan harus dapat

menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2 hari, lalu harus

dikeluarkan agar tidak terjadi infeksi. Selama 2 hari lakukan pemeriksaan

penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis.5


Perdarahan posterior
Pada perdarahan posterior biasanya lebih sulit untuk ditangani karena

perdarahan lebih sulit dicari sumbernya bila pemeriksaan hanya dilakukan

dengan rinoskopi anterior. Pemasangan tampon posterior (bellocq) dapat

dilakukan untuk menangani perdarahan. Tampon dibuat berbentuk bulat dengan

diameter 3 cm. Pada tampon terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah

lainnya berada di sisi berlawanan. Pemasangan tampon pada perdarahan 1 sisi

digunakan bantuan kateter karet yang dimasukan dari lubang hidung sampai

tampak di orofaring, kemudian ditarik keluar dari mulut. Dua buah benang yang

terdapat pada tampon tadi diikatkan di kateter karet, kemudian kateter ditarik
40

kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu

didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum molle

masuk ke nasofaring. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat dengan

sebuah gulungan kasa di depan nares anterior agar tampon yang terletak di

nasofaring tetap di tempatnya. Benang lain yang diikatkan dari mulut diikatkan

secara longgar pada pipi pasien. Tampon dikeluarkan setelah 2-3 hari.5

2.2.5.6 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis atau

penanggulangan epistaksis. Perdarahan hebat yang terjadi dapat

mengakibatkan masuknya aliran darah ke saluran nafas bawah serta dapat

juga menyebabkan syok dan anemia. Penurunan tekanan darah secara

mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, dan iskemik cerebri,

pada keadaan ini pemberian infus atau transfusi darah dapat dilakukan

secepatnya. Pada pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi

sehingga perlu diberikan antibiotik.5

Anda mungkin juga menyukai