Anda di halaman 1dari 17

A.

FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

1. Faktor Internal (dari dalam diri umat Islam sendiri)


 Sikap Beragama Umat Islam

Kelemahan praktek ajaran agama Islam dapat dijelaskan melalui dua bentuk.

Tradisionalisme

Pemahaman dan praktek Islam tradisionalisme ini ditandai dengan pengukuhan


yang kuat terhadap khasanah intelektual Islam masa lalu dan menutup kemungkinan
untuk melakukan ijtihad dan pembaharuan – pembaharuan dalam bidang agama. Paham
dan praktek agama seperti ini mempersulit agenda umat untuk dapat beradaptasi dengan
perkembangan baru yang banyak datang dari luar (barat). Tidak jarang, kegagalan
dalam melakukan adaptasi itu termanifestasikan dalam bentuk – bentuk sikap penolakan
terhadap perubahan dan kemudian berapologi terhadap kebenaran tradisional yang telah
menjadi pengalaman hidup selama ini.

Sinkretisme

Pertemuan Islam dengan budaya lokal disanping telah memperkaya khasanah


budaya Islam, pada sisi lainnya telah melahirkan format-format sinkretik,
percampuradukkan antara sistem kepercayaan asli masyarakat-masyarakat budaya
setempat. Sebagai proses budaya, percampuradukkan budaya ini tidak dapat dihindari,
namun kadang – kadang menimbulkan persoalan ketika percampuradukkan itu
menyimpang dan tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam tinjauan aqidah Islam.
Orang Jawa misalnya, meski secara formal mengaku sebagai muslim, namun
kepercayaan terhadap agama asli mereka yang animistik tidak berubah. Kepercayaan
terhadap roh – roh halus, pemujaan arwah nenek moyang, takut pada yang angker,
kuwalat dan sebagainya menyertai kepercayaan orang Jawa. Islam, Hindu, Budha, dan
animisme hadir secara bersama – sama dalam sistem kepercayaan mereka, yang dalam
aqidah Islam banyak yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara Tauhid.
 Kelemahan Lembaga Pendidikan Islam

Lembaga pendidikan tradisional Islam, Pesantren, merupakan siste pendidikan


Islam yang khas Indonesia. Transformasi nilai – nilai keIslamaan ke dalam pemahaman
dan kesadran umat secara institusional sangat berhutang budi pada lembaga ini. Namun
terdapat kelemahan dalam sistem pendidikan Pesantren yang menjadi kendala untuk
mempersiapkan kader – kader umat Islam yang dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan zaman. Salah satu kelemahan itu terletak pada mmateri pelajaran yang hanya
mengajarkan pelajaran agama, seperti Bahasa Arab, Tafsir, Hadist, Ilmu Kalam,
Tasawuf dan ilmu falak. Pesantren tidak mengajarkan materi – materi pendidikan
umum seperti ilmu hitung, biologi, kimia, fisika, ekonomi dan lain sebagainya, yang
justru sangat diperlukan bagi umat Islam untuk memahami perkembangan zaman dan
dalam rangka menunaikan tugas sebagai khalikfah di muka bumi. Ketiadaan lembaga
pendidikan yang mengajarkan kedua materi inilah yang menjadi salah satu latar
belakang dan sebab kenapa K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, yakni
untuk melayani kebutuhan umat terhadap ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu
agama dan ilmu duniawi.

2. Faktor Eksternal

 Kristenisasi

Faktor eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah


adalah Kristenisasi, yakni kegiatan – kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk
mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi Kristen.
Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah
Kolonialisme Belanda. Misi Kristen, baik Katholik maupun Protestan di Indonesia,
memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan –
kegiatan Kristenisasi ini didukung dan dibantu dana – dana negara Belanda. Efektifitas
penyebaran agama Kristenisasi inilah yang terutama menggugah K.H. Ahmad Dahlan
untuk membentengi umat Islam dari pemurtadan.

 Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi
perkembangan Islam di wilayah Nusantara ini, baik secara sosial politik, ekonomi
maupun kebudayaan. Ditambah dengan praktek politik Islam Pemerintah Hindia
Belanda yang secara sadar dan terencana ingin menjinakkan kekuatan Islam, semakin
menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan. Menyikapi hal ini, K.H.
Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah berupaya melakukan perlawanan
terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.

 Gerakan Pembaharuan Timur Tengah

Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu mata


rantai dari sejarah panjang gerakan pebaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah,
Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al - Afgani, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Persentuhan itu terutama diperoleh melalui
tulisan – tulisan Jamaluddin al – Afgani yang dimuat dala majalah al-Urwatul Wutsqa
yang dibaca oleh K.H. Ahmad Dahlan. Tulisan – tulisan yang membawa angin segar
pembaharuan itu, ternyata sangat mempengaruhi K.H. Ahmad Dahlan, dan
merealisasikan gagasan – gagasan pembaharuan ke dalam tindakan amal yang riil secara
terlembaga. Dalam melihat seluruh latar belakang kelahiran Muhammadiyah, dapat
dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan telah melakukan lompatan besar dalam
beritijhad. Prinsip – prinsip dasar perjuangan Muhammadiyah tetap berpijak kuat pada
Al-Quran dan Sunnah, namun implementasi dalam operasionalisasinya yang memiliki
karakter dinamis dan terus berubah – ubah sesuai dengan perkembangan zaman
Muhammadiyah banyak memungut dari berbagai pengalaman sejarah secara terbuka (
misalnya sistem kerja organisasi yang banyak diilhami dari yayasan – yayasan Katolik
dan Protestan yang ba;nyak muncul di Yogyakarta waktu itu).

B. Cita-cita Pendidikan Muhammadiyah

Sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar, Muhammadiyah


dituntut untuk mengkomunikasikan pesan dakwahnya dengan menanamkan khazanah
pengetahuan melalui jalur pendidikan.
Secara umum dapat dipastikan bahwa ciri khas lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang tetap dipertahankan sampai saat adalah dimasukkannya mata
pelajaran AIK/lsmuba di semua lembaga pendidikan (formal) milik Muhammadiyah.
Hal tersebut sebagai salah satu upaya Muhammadiyah agar setiap individu senantiasa
menyadari bahwa ia diciptakan oleh Allah semata-mata untuk berbakti kepada-Nya.

Usaha Muhammadiyah mendirikan dan menyelenggarakan sistem pendidikan


modern, karena Muhammadiyah yakin bahwa Islam bisa menjadi rahmatan lil-‘alamin,
menjadi petunjuk dan rahmat bagi hidup dan kehidupan segenap manusia jika
disampaikan dengan cara-cara modern. Dasarnya adalah Allah berfirman: “Wahai
jama’ah jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus (melintasi) pejuru langit dan
bumi, maka lintasilah. Kamu sekalian tidak akan sanggup melakukannya melainkan
dengan kekuatan (ilmu pengetahuan)”(QS. Ar-rahman/55:33).

Muhammadiyah konsekwen untuk mencetak elit muslim terdidik lewat jalur


pendidikan. Ada beberapa tipe pendidikan Muhammadiyah:

a) Tipe Muallimin/Mualimat Yogyakarta (pondok pesantren)


b) Tipe madrasah/Depag; Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah
c) Tipe sekolah/Diknas; TK, SD, SMP, SMA/SMK, Universitas/ ST/ Politeknik/
Akademi
d) Madrasah Diniyah, dan lain-lain

Orientasi pembaharuan di bidang pendidikan menjadi prioritas utama yang ingin


dicapai oleh Muhammadiyah, hal ini tergambar dari tujuan pendidikan dalam
Muhammadiyah, untuk mencetak peserta didik/lulusan sekolah Muhammadiyah,
sebagai berikut:

1) Memiliki jiwa Tauhid yang murni


2) Beribadah hanya kepada Allah
3) Berbakti kepada orang tua serta bersikap baik terhadap kerabat
4) Memiliki akhlaq yang mulia
5) Berpengetahuan luas serta memiliki kecakapan, dan
6) Berguna bagi masyarakat, bangsa dan agama
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka setiap lembaga pendidikan
Muhammadiyah diwajibkan memasukkan mata pelajaran Al-Islam /
Kemuhammadiyahan (AIK) sebagai bagian integral dari kurikulum dengan harapan
dapat mempengaruhi karakter para peserta didik baik selama proses pendidikan
berlangsung terlebih setelah mereka lulus.

Secara teoritik, ada tiga alasan mengapa pendidikan AIK perlu diajarkan:
1. Mempelajari AIK pada dasarnya agar menjadi bangsa Indonesia yang beragama
Islam dan mempunyai alam fikiran modern/tajdid/dinamis.
2. Memperkenalkan alam fikiran tajdid, dan diharapkan peserta didik dapat tersentuh
dan sekaligus mengamalkannya, dan.
3. Perlunya etika/akhlak peserta didik yang menempuh pendidikan di lembaga
pendidikan Muhammadiyah.

C.Bentuk-bentuk Dan Model Pendidikan Muhammadiyah

Menurut K.H. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam
dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui
pendidikan. Memang, Muhammadiyah sejak tahun 1912 telah menggarap dunia
pendidikan, namun perumusan mengenai tujuan pendidikan yang spesifik baru
disusun pada 1936. Pada mulanya tujuan pendidikan ini tampak dari ucapan K.H.
Ahmad Dahlan: “(Jadilah manusia yang maju, jangan pernah lelah dalam bekerja
untuk Muhammadiyah)”

Bahkan hal tersebut sangat bertentangan dengan Islam, sebab dapat mendorong
timbulnya kepercayaan syirik dan merusak aqidah Islam. Inti gerakan pemurnian
ajaran Islam seperti pendahulunya, Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab
cukup bergema. K.H. Ahmad Dahlan dan pengikutnya teguh pendirian dalam upaya
menegakkan ajaran Islam yang murni sesuai al-Qur’an dan Hadis, mengagungkan
ijtihad intelektual bila sumber-sumber hukum yang lebih tinggi tidak bisa digunakan,
termasuk juga menghilangkan taklid dalam praktik fiqih dan menegakkan amal
ma’ruf nahi munkar.

Pemikiran Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan


Dahlan merasa tidak puas dengan system dan praktik pendidikan yang ada di
Indonesia saat itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan pendidikan
adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakat. Karena itu Dahlan merentaskan beberapa
pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk pendidikan model
Muhammadiyah khususnya, antara lain:

1. Pendidikan Integralistik
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga
sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan
tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis
pendidikan Beliau mesti lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau
membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir beliau menarik
untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap
pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat
kunci yang menggambarkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal,
yaitu:
a) Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat
dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat
dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci
b) Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia
c) Ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang
hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.

Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi


ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya,
sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik
adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di
dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran
mengikuti sistem madrasah/sekolah. Madrasah/sekolah dalam pondok pesantren
adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam
semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju
peningkatan mutu pendidikan
2. Pendidikan Agama

 Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda dalam


Madrasah-madrasah .Sebagai catatan, tujuan umum lembaga pendidikan di atas
baru disadari sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi Amir Hamzah
menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan Muhammadiyah menurut K.H.
Ahmad Dahlan adalah:
1. Baik budi, alim dalam agama
2. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)
3. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya

 Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum Modern


Belanda

Sekolah Muhammadiyah mempertahankan dimensi Islam yang kuat, tetapi


dilakukan dengan cara yang berbeda dengan sekolah-sekolah Islam yang lebih awal
dengan gaya pesantrennya yang kental. Dengan contoh metode dan system
pendidikan baru yang diberikannya. K.H. Ahmad Dahlan juga ingin memodernisasi
sekolah keagamaan tradisional.

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan


mendirikan sekolah Muallimin dan Muallimat, Muballighin dan Muballighat.
Dengan demikian diharpakan lahirlah kader-kader Muslim sebagai bagian inti
program pembaharuannya yang bisa menjadi ujung tombak gerakan
Muhammadiyah dan membantu menyampaikan misi-misi dan melanjutkannya di
masa depan.
D. Pemikiran dan Praktis Pendidikan Muhammadiyah

Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang memelopori pendidikan


Islam modern. Salah satu latar belakang berdirinya Muhammadiyah menurut Mukti
Ali ialah ketidak efektifan lembaga pendidikan agama pada waktu penjajahan
Belanda, sehingga Muhammadiyah memelopori pembaruan dengan jalan melakukan
reformasi ajaran dan pendidikan Islam. Kini pendidikan Muhammadiyah telah
berkembang pesat dengan segala kesuksesannya, tetapi masalah dan tantangan pun
tidak kalah berat. Dalam sejumlah hal bahkan dikritik kalah bersaing dengan
pendidikan lain yang unggul. Pendidikan AIK pun dipandang kurang menyentuh
subtansi yang kaya dan mencerahkan. Kritik apapun harus diterima untuk perbaikan
dan pembaharuan.

Pendidikan Muhammadiyah merupakan bagian yang terintegrasi dengan gerakan


Muhammadiyah dan telah berusia sepanjang umur Muhammadiyah. Jika diukur dari
berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (1 Desember 1911) Pendidikan
Muhammadiyah berumur lebih tua ketimbang organisasinya (Adaby Darban,2000 :
13). Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari “sekolah” (kegiatan Kyai
dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal
dalam pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di
beranda rumahnya. Lembaga pendidikan tersebut sejatinya sekolah Muhammadiyah,
yakni sekolah agama yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya
kegiatan umat Islam pada waktu itu, tetapi bertempat tinggal di dalam sebuah gedung
milik ayah KH Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang
mengajarkan agama dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum (Djarnawi
Hadikusuma,t.t : 64).

E. Tantangan Dan Revilitas Pendidikan Muhammadiyah

Tantangan Yang Di Hadapi Muhammadiyah Dalam Bidang Pendidikan

1. Masalah Kualitas Pendidikan


Perkembangan amal usaha Muhammadiyah khususnya dalam bidang pendidikan
yang sangat pesat secara kuantitatif belum diimbangi peningkatan kualitas yang
sepadan, sehingga sampai batas tertentu kurang memiliki daya saing yang tinggi, serta
kurang memberikan sumbangan yang lebih luas dan inovatif bagi pengembangan
kemajuan umat dan bangsa.

Bahwa awal usaha Muhammadiyah dalam hal kualitas mengalami dua masalah
sekaligus, yaitu, pertama, terlambatnya pertumbuhan kualitas dibandingkan dengan
penambahan jumlah yang spektakuler, sehingga dalam beberapa hal kalah bersaing
dengan pihak lain. Kedua, tidak meratanya pengembangan mutu lembaga pendidikan.
Dalam sejumlah aspek banyak disoroti kelemahan amal usaha khususnya di bidang
pendidikan yang kurang mampu menunjukkan daya saing di tingkat nasional apalagi
internasional. Amal usaha Muhammadiyah tidak mengalami proses inovasi yang merata
dan signifikan, sehingga cenderung berjalan di tempat, kendati beberapa lainnya mulai
bangkit mengembangkan ide-ide dan metode baru dalam peningkatan kualitas dan
keberadaan amal usaha Muhammadiyah.

Kedepan diperlukan peningkatan kualitas yang lebih inovatif, sehingga amal


usaha Muhammadiyah khususnya bidang pendidikan dapat lebih unggul serta mampu
mengemban misi dakwah dan tajdid Muhammadiyah.

Dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan aktual pendidikan.


Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output
pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran
paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative
adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage).

Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara


keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas artinya dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut,
pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena
harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan
kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana
anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai
tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri
secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Inilah salah satu dari sekian
tantangan yang harus dihadapi Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.

2. Permasalahan Profesionalisme Guru

Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses


pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah
menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses
pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru
merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan.

Menurut Suyanto, “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah
kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar
baca tulis yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan
bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru
sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “di ditiru”

Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan,
atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan). Namun kenyataan dilapangan
menunjukkan adanya guru terlebih-lebih guru honorer, yang tidak berasal dari
pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system
seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak
mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu
permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan
Muhammadiyah masa kini.

3. Masalah kebudayaan (alkulturasi)

Kebudayaan yaitu suatu hasil budi daya manusia baik bersifat material maupun
mental spiritual dari bangsa itu sendiri ataupun dari bangsa lain. Suatu perkembangan
kebudayaan dalam abad moderen saat ini adalah tidak dapat terhindar dari pengaruh
kebudayan bangsa lain. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya proses alkulturasi
yaitu pertukaran dan saling berbaurnya antara kebudayaan yang satu dengan yang
lainnya.
Dari sinilah terdapat tantangan bagi pendidikan-pendidikan islam yaitu dengan
adanya alkulturasi tersebut maka akan mudah masuk pengaruh negatif bagi kebudayaan,
moral dan akhlak anak. Oleh karena itu hal ini merupakan tantangan bagi pendidikan
islam untuk memfilter budaya-budaya yang negatif yang diakibatkan oleh pengaruh
budaya-budaya barat. (Arifin, 1994:42)

4. Permasalahan Strategi Pembelajaran

Menurut Suyanto era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik.
Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran
tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma
pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung
secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran
berbasis factual atau pengetahuan.

Dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model


tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek
pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari
pembelajaran baru. Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme
guru.

5. Masalah Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Sebagimana telah kita sadari bersama bahwa dampak positif dari pada kemajuan
teknologi sampai kini, adalah bersifat fasilitatif (memudahkan). Teknologi menawarkan
berbagai kesantaian dan ketenangan yang semangkin beragam.

Dampak negatif dari teknologi moderen telah mulai menampakan diri di depan
mata kita, yang pada prinsipnya melemahkan daya mental-spiritual / jiwa yang sedang
tumbuh berkembang dalam berbagai bentuk penampilannya. Pengaruh negatif dari
teknologi elektronik dan informatika dapat melemahkan fungsi-fungsi kejiwaan lainya
seperti kecerdasan pikiran, ingatan, kemauan dan perasaan (emosi) diperlemah
kemampuan aktualnya dengan alat-alat teknologi-elektronis dan informatika seperti
Komputer, foto copy dan sebagainya.(Arifin,1991,hal: 9 )
Alat-alat diatas dalam dunia pendidikan memang memiliki dua dampak yaitu dampak
positif dan juga dampak negatif. Misalnya pada pelajaran bahasa asing anak didik tidak
lagi harus mencari terjemah kata-kata asing dari kamus, tapi sudah bisa lewat komputer
penerjemah atau hanya mengcopy lewat internet. Nah dari sinilah nampak jelas bahwa
pengaruh teknologi dan informasi memiliki dampak positif dan negatif

6. Tantangan era globalisasi terhadap pendidikan agama Islam di antaranya, krisis


moral.

Melalui tayangan acara-acara di media elektronik dan media massa lainnya,


yang menyuguhkan pergaulan bebas, sex bebas, konsumsi alkohol dan narkotika,
perselingkuhan, pornografi, kekerasan, liar dan lain-lain. Hal ini akan berimbas pada
perbuatan negatif generasi muda seperti tawuran, pemerkosaan, hamil di luar nikah,
penjambretan, pencopetan, penodongan, pembunuhan oleh pelajar, malas belajar dan
tidak punya integritas dan krisis akhlaq lainnya.

7. Dampak negatif dari era globalisasi adalah krisis kepribadian.

Diera globalisasi sekarang ini, bangsa Indonesia sedang mengalami sebuah


perubahan yang besar disegala sektor. Ini dibuktikan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat. Dengan kemajuan teknologi dan
informasi seperti televisi, komputer, internet, media cetak dan elektronik mengakibatkan
bangsa Indonesia dapat dengan mudah mengakses informasi baik dari dalam negeri
maupun luar negeri. Selain itu, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga
dapat menimbulkan kemerosotan norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat,
kebobokran akhlak (perilaku), serta bentuk penyimpangan lainnya yang kini telah
merebak dalam masyarakat Indonesia khususnya generasi muda dalam hal ini pelajar
atau mahasiswa. Mereka lebih mementingkan urusan duniawi daripada urusan akhirat.

Dari semua bentuk penyimpangan ini membutuhkan suatu upaya yang sangat serius
untuk mengatasinya. Salah satu cara mengatasinya adalah melalui pendidikan, dalam
hal ini pendidikan kemuhammadiyahan. Dengan kemuhammadiyahan dampak-dampak
buruk dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa di minimalisir.
Jadi ini dapat disimpulkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang begitu cepat telah memberikan dampak-dampak bagi kehidupan kita, baik itu
dampak positif maupun dampak negatif. Dampak tersebut menyebabkan bangsa
Indonesia melakukan banyak penyimpangan. Di dalam pendidikan,
kemuhammadiyahan adalah salah satu upaya yang diperlukan. Kemuhammadiyahan
berperan aktif untuk mengelola dan memanage dampak-dampak buruk yang disebabkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi minimalisir.

REVITASI PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

1. Revitalisasi

Kata dasar dari revitalisasi yaitu “vital”, artinya penting. Kata “re” sebelum kata
“vital” bisa diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau sikap sadar untuk
melakukan upaya atau usaha. Jadi kata “revitalisasi” itu berarti upaya untuk melakukan
perbaikan (pementingan) dari beberapa kekurangan yang yang ada dan diketahui
sebelumnya. Perbaikan, maksud arti dari kata revitalisasi biasanya lebih sering
digunakan untuk hal-hal yang tidak nampak secara kasat mata. Seperti paradigma,
konsep dan yang lain-lain. Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi
berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya
kurang terberdaya.

2. Pendidikan

Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh pendidik dan
dialami oleh peserta didik dalam bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik di
lingkungan pendidikan dan menjadikan materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran
menuju perbaikan tingkah laku, sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
seperti yang diinginkan pendidik. Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan
pendidikan sebagai suatu bimbingan atau pembinaan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasamani dan rohani peserta didik menuju kepribadian yang
utama. Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan penuh sadar
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan
yang diperlukan dirinya untuk terjun di tengah-tengah masyarakat.

3. Pendidikan Muhammadiyah

Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah


(Dikdasmen) Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana
“Robohnya Sekolah Muhammadiyah” untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-
rata kualitas dan mutu sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas
pendidikan Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-
nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan
sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif,
telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai
kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan
gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti
dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk membongkar akar
permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi filosofi
pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena
adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat
disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya
tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya. Dalam usia Muhammadiyah
menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-
kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh Muhammadiyah
belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk
pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apakah lagi bila dikaitkan dengan
upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran
filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah
pendidikan di Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan
orientasi filosofis ini ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-
ilmu keagamaan” dan “ilmu umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan
generasi yang berkepribadian ganda yang tidak menutup kemungkinan justru akan
melahirkan “musuh” dalam selimut. Dengan demikian, sudah tinggi waktunya untuk
bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif rumusan
pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan
Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki
rumusan filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan
seminar nasional filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen
Muhammadiyah Pusat, telah mulai menyinggung pembahasan tentang filsafat
pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii Maarif yang berjudul
“Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis”. Sesuai dengan temanya,
Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek normatif)
dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas
dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur’an yang ditulis
oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan
di dalam Al-Qur’an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori
pendidikan mutakhir. Karya terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku
Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya
Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan
intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia
Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak apapun yang
bukan berasal dari Islam.

4. Problem Pendidikan Muhammadiyah

Problem pendidikan Muhammadiyah terletak pada empat hal, yakni :

problem ideologi ialah banyak dan berlalu-lalangnya paham-paham keagamaan


lainnya yang tidak sevisi dengan Muhammadiyah. Kehadiran paham-paham tersebut
tentu saja disebabkan karena begitu lemahnya daya kontrol persyarikatan terhadap amal
usaha pendidikan. Karena itu, menjadi wajar apabila para Muhammadiyah dadakan
dapat lebih leluasa dalam membuka palang pintu masuknya paham-paham keagamaan
non Muhammadiyah di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.

problem paradigmatik. Problem ini sesungguhnya muncul akibat “kegagalan” para


pimpinan amal usaha pendidikan dalam menafsirkan serta memahami maksud dan
tujuan Muhammadiyah. “Kegagalan” yang dimaksud terletak pada satu bentuk
kesalahan dalam memaknai sejarah. Para pimpinan amal usaha pendidikan tidak lagi
melihat sejarah secara kritis, sehingga seringkali terjebak pada romantisme sejarah itu
sendiri. Dalam hal ini, kejayaan sejarah Muhammadiyah, terlebih kesuksesan amal
usaha pendidikan yang dikelolanya, bukan lagi ditempatkan sebagai epos masa lalu
yang mengandung hikmah dan ibrah untuk dijadikan bekal dalam menatap masa depan.
Dengan demikian menjadi wajar apabila banyak ditemukan institusi pendidikan
Muhammadiyah yang cenderung bangga dengan kemapanan, sehingga hal itu ber-
dampak pada keringnya inovasi untuk mengembangkan dirim . Di samping itu, problem
paradigmatik juga dapat dilihat pada hilangnya orientasi para pimpinan amal usaha
pendidikan dalam menafsir ulang maksud dan tujuan Muhammadiyah secara sinergis
dengan visi lembaga yang dipimpinnya. Hal ini yang kadang kala menjadikan visi di
antara keduanya justru berlainan, dan bahkan juga ada yang saling berseberangan.
Dalam menafsirkan istilah modern misalnya, tidak sedikit para pimpinan amal usaha
yang justru terbelenggu dengan pelbagai program-program masa kini, seperti sukses
Ujian Nasional. Banyak para pimpinan amal usaha yang memiliki anggapan jika sukses
ujian nasional adalah prioritas, sementara ISMUBA di-tempatkan sebagai pelengkap .

problem profesionalisme manajemen. Sebagaimana diketahui bahwa amal usaha


pendidikan Muhammadiyah umumnya lahir, tumbuh, dan berkembang dari bawah
(grass root), seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah yang didukung oleh masyarakat
sekitar. Tujuannya pun juga jelas, di mana para tokoh tersebut ingin menjadikan
lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai sarana dakwah, upaya sosialisasi dan
penanaman ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat. Sokongan masyarakat itu juga
dapat berdampak positif dan negatif. Dari sisi positif, lembaga pendidikan memiliki
kekuatan besar untuk dapat “bertahan hidup”, meskipun jumlah siswanya sedikit.
Semangat yang tiada pernah mengenal kata menyerah untuk melaksanakan dakwah
melalui jalur pendidikan tiada kunjung surut. Namun, pada sisi negatifnya yaitu,
lembaga pendidikan terkadang justru dikelola seadanya, tidak teratur, dan tidak
terencana dengan baik. Hal inilah yang terkadang menjadi salah satu penyebab
“lemahnya” lembaga pendidikan Muhammadiyah saat berkompetisi dengan lembaga
pendidikan lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya reformasi manajemen. Reformasi
manajemen yang dimaksud ialah suatu upaya untuk meruntuhkan budaya-budaya
pengelolaan sekolah Muhammadiyah bersifat konvensional dan dialihkan menjadi
manajemen mutu terpadu .

problem pengembangan pendidikan. Problem ini sesungguhnya tidak sepenuhnya


menjadi tanggungjawab pengelola lembaga pendidikan, seperti Kepala dan warga
sekolah. Dalam hal ini, problem pengembangan pendidikan Muhammadiyah lebih
ditujukan kepada pihak penyelenggara, yakni persyarikatan dan khususnya Majelis
Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Sampai saat ini, Majelis Dikdasmen
belum memiliki blue print yang jelas mengenai pola pengembangan pendidikan
Muhammadiyah . Kerja-kerja praktis (untuk tidak dikatakan pragmatis) administratif
dan birokratis telah menjebak penyelenggara pendidikan Muhammadiyah dalam
menjalankan kegiatan-kegiatan rutinan. Dalam keseharian, pihak penyelenggara
cenderung habis energinya dalam mengurusi beban struktural, dibanding melahirkan
karya intelektual yang berisi konsep ilmiah mengenai pengembangan pendidikan
Muhammadiyah. Belum adanya konsep tersebut acapkali menjadikan pihak pelaksana
pendidikan terseok-seok, dan bahkan gagap dalam menghadapi berbagai isu-isu
pendidikan, seperti deschoolingsociety, sekolah gratis, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai