Anda di halaman 1dari 9

PEMBANGUNAN TANAMAN NON PANGAN

Sektor pertanian di Indonesia tidak hanya pangan saja tetapi juga pada tanaman non
pangan. Subsektor perkebunan merupakan salah satu bisnis strategis dan andalan dalam
perekonomian Indonesia, bahkan pada masa krisis ekonomi. Agribisnis subsektor ini mempunyai
kontribusi yang signifikan terhadap stabilitas ekonomi makro, pertumbuhan, penciptaan
lapangan kerja, penerimaan devisa dari ekspor, dan sumber bahan baku bagi industri hilir hasil
pertanian. Gula dan minyak goreng dengan bahan baku CPO merupakan kebutuhan pokok dan
penentu laju inflasi, suatu indikator ekonomi makro yang selalu mendapat perhatian dan
menimbulkan kekhawatiran. Areal dan produksi komoditas perkebunan pada 25 tahun terakhir
secara konsisten meningkat, masing-masing dengan laju 4,8% dan 5,6% per tahun (Direktorat
Jenderal Perkebunan 2000).

Perkembangan Subsektor Perkebunan


Tanaman non pangan meliputi tanaman mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa, kelapa
sawit, vanili, kakao (cokelat), karet, lada, dan sebagainya. Tanaman non pangan ini sering juga
disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon dan tanaman kas (cash crops).
Perkembangan tanaman non pangan ini pada penjajahan Belanda diserahkan kepada perusahaan
besar perkebunan milik swasta Belanda, dan untuk perkebunan rakyatnya boleh dikatakan
dibiarkan berkembang sendiri. Tanaman perkebunan ini tumbuh di ladang (lahan kering) dan
oleh karena kurangnya perhatian pemerintah, pada jaman penjajahan Belanda sampai dengan
akhir pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Soeharto, banyak ladang milik rakyat
terlantar kosong tidak ditanami. Setelah kira-kira pertengahan 1970-an, ketika tanaman pangan
padi telah mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah barulah tanaman non pangan
tersebut diperhatikan pemerintah. Jika di departemen Pertanian terdapat Direktorat Pangan dan
Direktorat Tanaman Perkebunan (non Pangan), sementara Direktorat Pangannya sangat sibuk
mengurus perkebunan Bimas-Inmas, maka Direktorat Tanaman Perkebunan pun tidak bisa
berpangku tangan saja. Mereka juga mengembangkat bibit unggul dan tanaman perkebunan baru
di antaranya, tanaman kakao, vanili, jeruk, kelapa, kelapa sawit dan sebagainya. Bibit unggul ini
juga disuntikkan kepada masyarakat dengan bantuan kredit, sehingga dikenal dengan adannya
RPTE (Rencana Pengembangan Tanaman Ekspor). Untuk di daerah Bali dan daerah lainnya,
tanaman perkebunan yang menonjol adalah cengkeh dan vanili. Petani berlomba-lomba
menanamnya. Pendekatannya hampir sama dengan di bidang beras yakni induced technology,
dengan dan tanpa kredit, yakni pendekatan produksi.
Jika dalam hal padi dibentuk lembaga pemasarannya (seperti gudang, transportasi, lembaga
keuangan, dan lain-lain) oleh pemerintah, tidak demikian halnya dengan pemasaran untuk
tanaman pohon. Setelah produksi berhasil ditingkatkan dengan sangat dramatis, masalah
pemasarannya terserah kepada rakyat. Jadi panen yang berlimpah itu ternyata agak terlantar.
Timbul gagasan untuk membuat pabrik rokok baru agar cengkeh rakyat tertampung , juga
gagasan mendirikan badan penyangga harga untuk komoditas tertentu seperti halnya Bulog
untuk padi. Yang telah terbentuk atas inisiatif swasta adalah BPPC (Badan Penyangga
Pemasaran Cengkeh). Namun oleh karena masalah keuangan dan teknis lainnya, BPPC tidak
mempunyai kemampuan yang memadai untuk menangani masalah pemasaran cengkeh. Akhirya
kepada para petani disarankan untuk menebang pohon cengkehnya dengan biaya sendiri untuk
menjaga agar harga tetap stabil.
Mengenai kebijakan pemasaran ini, mungkin ada baiknya kita membandingkan cara yang
dilakukan di Negara lain. Misalnya di Brazilia pada saat panen kopi raya, produksi kopi
melonjak dengan tajam. Pada saat itu pemerintah Brazilia membeli kopi rakyat dan dibuang ke
laut hanya untuk mempertahankan harga. Berbeda halnya dengan di Negara maju Eropa dan
Amerika Serikat, dimana pada saat kelebihan produksi pemerintah membeli hasil produksi
rakyat, untuk kemudian, karena tidak ada pembeli potensial maka disumbangkan ke luar negeri.
Itulah sebabnya kita mengenal dan melihat adanya konsumsi susu gratis untuk siswa sekolah
dasar, yang tidak lain merupakan sumbangan Negara maju karena kelebihan produksi. Jadi di
Negara maju, stabilitas harga untuk tanaman perkebunan ditangani oleh pemerintah baik dengan
cara membuang ke laut (Brazilia), ataupun disumbangkan ke Negara miskin (Amerika Serikat),
namun di Indonesia karena kesulitan dana maka diserahkan kepada petani sendiri.
Perkembangan subsektor perkebunan selama periode 2012-2016, pertumbuhan tanaman
perkebunan mengalami penurunan setiap tahunnya dan paling rendah di tahun 2015 yaitu sebesar
1,97 persen dan kembali naik di tahun 2016 3,50 persen, sedangkan rata-rata pertumbuhannya
adalah sebesar 4,9 persen (tabel 3.1). Selama periode 2012 – 2016 kontribusi sektor pertanian
terhadap PDB menurut subsektor perkebunan, subsektor tanaman perkebunan memiliki rata-rata
kontribusi sebesar 3,65 persen (tabel 3.2). Tren kontribusi subsektor perkebunan hampir sama
yakni dari tahun 2012 hingga 2014 tetapi terjadi penurunan ditahun 2015 dan meningkat kembali
di tahun 2016.
Tabel 3.1 Pertumbuhan Sektor Pertanian Menurut Subsektor Perkebunan Periode 2012 -
2016

Subsektor Pertanian 2012 2013 2014 2015 2016 Rata-rata


Tanaman Perkebunan 6,95 6,15 5,94 1,97 3,50 4,90
Sumber: BPS, diolah
Tabel 3.2 Kontribusi Sektor Pertanian Menurut Subsektor Perkebunan Terhadap PDB
Periode 2012 - 2016
Subsektor Pertanian 2012 2013 2014 2015 2016 Rata-rata
Tanaman Perkebunan 3,75 3,75 3,77 3,51 3,46 3,65
Sumber: BPS, diolah
Baik pada situasi ekonomi normal maupun krisis, subsektor perkebunan merupakan
subsektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Peran penting
tersebut menyangkut penyediaan lapangan kerja, devisa, pengentasan kemiskinan, pembangunan
pedesaan dan pelestarian lingkungan.

Peran Subsektor Perkebunan dalam Pembangunan Nasional


Sebagai salah satu subsektor penting dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan
secara tradisional mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Sebagai Negara berkembang dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang
mendesak, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. Kontribusi
dalam penyediaan lapangan kerja menjadi nilai tambah tersendiri, karena subsektor perkebunan
menyediakan lapangan kerja di pedesaan dan daerah terpencil.
Komoditas perkebunan merupakan salah satu andalan bagi pendapatan nasional dan
devisa negara Indonesia, yang dapat dilihat dari kontribusi subsektor perkebunan pada tahun
2013 mencapai US$ 45,54 milyar atau setara dengan Rp.546,42 trilliun (asumsi 1 US$ = Rp.
12.000,-) yang meliputi ekspor komoditas perkebunan sebesar US$ 35,64 milyar, cukai hasil
tembakau US$ 8,63 millyar dan bea keluar (BK) CPO dan biji kakao sebesar US$ 1,26 milyar.
Jika dibandingkan dengan tahun 2012 kontibusi subsektor perkebunan mengalami peningkatan
sebesar 27,78% atau naik sebesar US4 9,90 milyar (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015).
Dengan meningkatnya peran sub sektor perkebunan terhadap terhadap perekonomian nasional
diharapkan dapat memperkokoh pembangunan perkebunan secara menyeluruh.
Pada tahun 2016, subsektor perkebunan paling tinggi memberikan kontribusi terhadap
PDB yakni 3,46%. PDB subsektor perkebunan diperoleh dari komoditas unggulan yakni kelapa
sawit, karet, kelapa, kopi, kakao dan tebu. Subsektor perkebunan juga berkontribusi besar dalam
neraca perdagangan ekspor-impor Indonesia, sehingga setiap tahun mengalami surplus. Provinsi
Riau dan Sumatera Utara berkontribusi besar dalam menciptakan surplus neraca perdagangan
dari ekspor sawit. Besarnya surplus neraca perdagangan perkebunan ini menopang terjadinya
surplus sektor pertanian pada tahun 2016 sebesar USD 10,9 miliar (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2017)
Produksi Beberapa Jenis Tanaman Perkebunan Tahun 2012-2016 (Ribu Ton)
Jenis 2012 2013 2014 2015 2016
Tanaman
Kelapa
sawit 26015.52 27782 29278.2 31070 31731
Kelapa 2938.41 3051.6 3005.9 2920.7 2904.2
Karet 3012.26 3237.4 3153.2 3145.4 3307.1
Kopi 691.16 675.9 643.9 639.4 663.9
Kakao 740.51 720.9 728.4 593.3 658.4
Tebu 2592.56 2553.6 2579.2 2498 2332.5
Teh 143.41 145.9 154.4 132.6 122.5
Tembakau 260.82 164.5 198.3 196.2 126.7
(Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan. Data dikutip dari Badan Pusat Statistik.)

Sejalan dengan pertumbuhan PDB, subsektor perkebunan mempunyai peran srategis


terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang dimulai tahun
1997, subsektor perkebunan kembali menujukkan peran strategisnya. Pada saat itu, kebanyakan
sektor ekonomi mengalami kemunduran bahkan kelumpuhan dimana ekonomi Indonesia
mengalami krisis dengan laju pertumbuhan –13% pada tahun 1998. Dalam situasi tersebut,
subsektor perkebunan kembali menunjukkan kontribusinya dengan laju pertumbuhan antara 4%-
6% per tahun. Ketika ekonomi Indonesia mulai membaik, kontribusi dalam hal pertumbuhan,
terus menunjukkan kinerja yang konsisten. Selama periode 2000-2003, laju pertumbuhan
subsektor perkebunan selalu diatas laju pertumbuhan ekonomi secara nasional. Sebagai contoh,
pada tahun 2001, ketika laju pertumbuhan ekonomi secara nasional adalah sekitar 3.4%,
subsektor perkebunan tumbuh dengan laju sekitar 5.6%.
Subsektor perkebunan memiliki posisi yang tidak dapat diremehkan. Perkebunan
merupakan salah satu subsektor andalan dalam menyumbang devisa untuk negara melalui
orientasi pasar ekspor. Produk karet, kopi, kakao, teh dan minyak sawit adalah produk-produk
yang lebih dari 50% dari total produksi adalah untuk ekspor. Pada tahun 2004, subsektor
perkebunan secara konsisten menyumbang devisa dengan dengan rata-rata nilai ekspor produk
primernya mencapai US$ 4 miliar per tahun. Nilai tersebut belum termasuk nilai ekspor produk
olahan perkebunan, karena ekspor olahan perkebunan dimasukkan pada sektor perindustrian.

Peran Subsektor Perkebunan dalam Isu Global


Terhadap isu global yang kini menjadi sorotan internasional seperti kemiskinan,
ketahanan pangan, dan isu lingkungan/pembangunan berkelanjutan, subsektor perkebunan
mempunyai kontribusi yang juga tidak dapat diabaikan. Terlepas kegagalan dalam beberapa
proyek PIR, pengembangan berbagai program perkebunan juga telah terbukti mampu
mengurangi jumlah penduduk miskin. Seperti diketahui, pengurangan jumlah orang miskin
adalah tujuan pertama dari Millenium Development Goals (MDGs). Pengembangan perkebunan,
khususnya yang berbasis kelapa sawit, dari berbagai studi telah menunjukkan terjadinya
pengurangan jumalah penduduk miskin. Suatu studi tahun 2002 menunjukan bahwa jumlah
orang miskin di wilayah perkebunan kelapa sawit secara umum kurang dari 6%, sedangkan
secara nasional jumlah penduduk miskin adalah sekitar 17%.
Peran strategis lain dari subsektor perkebunan dalam isu global yang perlu mendapat
perhatian adalah kontribusinya dalam ketahanan pangan. Minyak goreng dan gula merupakan
produk perkebunan yang mempunyai peran penting dalam memelihara ketahanan pangan.
Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Eropa, berusaha memaksimalkan tingkat produksi
pangannya dalam upaya mencapai ketahanan pangan. Seperti diketahui, ketahanan pangan
merupakan salah satu syarat penting dalam ketahanan nasional.
Akhirnya, subsektor perkebunan juga berperan penting dalam hal isu lingkungan yang
merupakan isu global yang secara konsisten gaungnya semakin menguat. Pengembangan
komoditas perkebunan di areal yang marginal merupakan wujud kontribusi subsektor
perkebunan dalam memelihara lingkungan/konservasi. Sebagai contoh. pengembangan tanaman
teh di daerah pegunungan dengan kemiringan yang tajam dengan kondisi lahan yang kritis,
berperan penting dalam konservasi lingkungan. Pengembangan komoditas karet di lahan kering
dan kritis juga memberi kontribusi nyata dalam memelihara bahkan memperbaiki lingkungan.
Pengembangan komoditas kelapa sawit di lahan rawa juga merupakan wujud kontribusi
subsektor perkebunan dalam memelihara lingkungan.

Kasus: Bertambahnya Jumlah Impor Pangan di Indonesia Karena Sulitnya Meningkatkan


Produksi Pangan
Seiring dengan transisi (transformasi) struktural ini sekarang kita menghadapi berbagai
permasalahan. Pada sektor pertanian kita mengalami permasalahan dalam meningkatkan jumlah
produksi pangan, terutama di wilayah tradisional pertanian di Jawa dan luar Jawa. Hal ini karena
semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai untuk bertani. Perkembangan penduduk yang
semakin besar membuat kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan berbagai sarana pendukung
kehidupan masyarakat juga bertambah. Perkembangan industri juga membuat pertanian
beririgasi teknis semakin berkurang.
Selain berkurangya lahan beririgasi teknis, tingkat produktivitas pertanian per hektare
juga relatif stagnan. Salah satu penyebab dari produktivitas ini adalah karena pasokan air yang
mengairi lahan pertanian juga berkurang. Banyak waduk dan embung serta saluran irigasi yang
ada perlu diperbaiki. Hutan-hutan tropis yang kita miliki juga semakin berkurang, ditambah lagi
dengan siklus cuaca El Nino-La Nina karena pengaruh pemanasan global semakin mengurangi
pasokan air yang dialirkan dari pegunungan ke lahan pertanian.
Sesuai dengan permasalahan aktual yang kita hadapi masa kini, kita akan mengalami
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri sehingga di kemudian hari kita
mungkin saja akan semakin bergantung dengan impor pangan dari luar negeri. Impor memang
dapat menjadi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, terutama karena semakin
murahnya produk pertanian, seperti beras yang diproduksi oleh Vietnam dan Thailand.
Jika secara terus membesarnya impor pangan akan berakibat pada rentannya stabilitas
perekonomian, khususnya inflasi dan nilai tukar. Lebih parah lagi, jika ketergantungan impor
pangan tidak segera disudahi maka akselerasi pertumbuhan ekonomi kian sulit terealisasi.
Menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan inflasi tidak hanya cukup dengan mengotak-atik suku
bunga. Namun harus juga menjaga stabilitas pangan dengan cara mengurangi impor. Sebab, saat
ini ekspor Indonesia masih rendah. Sementara impornya masih tinggi sehingga pendapatan yang
minim dari ekspor langsung habis terpakai untuk impor. Tingginya impor bisa mengakibatkan
Rupiah terdepresiasi sebab pembayarannya harus menggunakan valas yang tentu akan
berpengaruh pada nilai tukar Rupiah. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata ekspor sektor pertanian
tidak lebih dari 8 persen. Sementara impor terutama sayuran dan buah-buahan pertumbuhannya
sangat masif terutama dalam 3 tahun terakhir ini.

Solusi
Berdasarkan permasalahan impor pangan yang meningkat signifikan di sektor pertanian,
pemerintah Indonesia diharapkan secara tegas berupaya membatasi impor dengan berbagai
instrumen guna menekan defisit perdagangan yang besar. Untuk itu, Indonesia semestinya juga
berani menerapkan tarif impor pangan yang lebih tinggi untuk meredam impor sekaligus
melindungi petani dalam negeri dari persaingan tidak adil dengan petani negara eksportir.
Kebiasaan Indonesia mengimpor barang konsumsi dan pangan secara masif harus segera
dihentikan. Selain mematikan industri dan petani dalam negeri, hal itu juga membuat neraca
dagang selalu defisit. Negara maju pun melakukan hal itu untuk melindungi petaninya, misalnya,
AS kenakan tarif impor gula 85 persen, Tiongkok 90 persen, Jepang 100 persen, dan Uni Eropa
30 persen. Tarif impor masuk ke kas negara digunakan untuk mendukung petani. Harga impor
bisa lebih murah karena disubsidi pemerintah negara eksportir. Maka petani kita juga mesti
didukung agar persaingan lebih adil,
Saat ini kita mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kebijakan yang dapat
membentuk struktur perekonomian Indonesia di masa depan. Namun, beberapa permasalahan
yang dihadapi sektor pertanian di masa ini perlu segera dibenahi, sehingga kita dapat
meneruskan hasil dari kebijakan perekonomian Indonesia yang sudah dibangun puluhan tahun
lalu, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sampai saat sekarang ini.
Permasalahan selanjutnya mengenai sulitnya pemerintah meningkatkan produksi pangan
di Indonesia solusi yang harus ditetapkan yakni peningkatan produktivitas dan ketersediaan
lahan. Kedua cara tersebut mampu mengkikis ketergantungan negara pada impor pangan dan
komoditi lainnya. Dalam peningkatan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produk-produk
pertanian misalnya, haruslah juga mendapat perhatian yang khusus. Untuk dapat menghasilkan
produk yang baik, semua persyaratan haruslah dipenuhi, seperti saprotan (sarana produksi
pertanian), misalnya benih, pupuk, irigasi dan lain sebagainya. Pemberdayaan masyarakat petani
(SDM Petani) haruslah dibina dengan sebaik-baiknya. Modal bagi petani haruslah ditingkatkan.
Namun kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Saprotan yang diidam-idamkan petani tidak
kunjung datang. Pemberdayaan petani jarang dilakukan. Modal bagi petani juga masih sangat
kurang.
Sem kalo sumber nya itu buku nahen sama Badan pusat statistic dan direktorat jendral
perkebunan ga tau cara nulisnya coba kasusnya aku bingung buat solusi

https://www.bps.go.id/
https://www. ditjenbun.pertanian.go.id

Anda mungkin juga menyukai