Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan jumlah kendaraan bermotor merupakan salah satu penyebab

tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas. Keadaan para korban kecelakaan dapat

semakin buruk atau berujung pada kematian jika tidak ditangani dengan cepat.

satu jam pertama adalah waktu yang sangat penting dalam penanganan

penyelamatan korban kecelakaan yaitu dapat menekan sampai 85% dari

angka kematian. Penanganan yang dimaksud disini adalah bantuan hidup

dasar (Frame, 2010).

Bantuan Hidup Dasar (BHD) merupakan tindakan dini yang dilakukan pada

seseorang dengan keadaan gawat darurat, apabila tidak dilakukan BHD dengan

segera dapat menyebabkan kematian biologis. BHD harus diberikan pada korban

yang mengalami henti jantung dan sumbatan jalan nafas (Bachtiar, 2016).

Henti jantung atau disebut “Cardiac Arrest” menjadi kasus kegawat-

daruratan yang harus mendapatkan penanganan segera dari petugas medis ataupun

masyarakat umum yang sudah terlatih. Salah satu penanganan yang harus segera

diberikan adalah Bantuan Hidup Dasar (BHD) dengan resusitasi jantung paru

(RJP). Penanganan yang terlambat ataupun tidak tepat pada henti jantung akan

berakibat fatal yaitu kematian dalam hitungan menit (Vaillancourt dkk, 2004).
2

Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan bagian dari bantuan hidup dasar

yang membantu jantung dapat berfungsi kembali dan memperbaiki sirkulasi darah

dalam tubuh. Bantuan hidup dasar dapat dilakukan oleh siapapun dan dimanapun

sesegera mungkin disaat awal terjadinya henti jantung untuk meningkatkan angka

kelangsungan hidup (Suharsono dan Ningsih, 2009; Subagjo dkk, 2011).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang, didapatkan

permasalahan : Bagaimana tindakan bantuan hidup dasar pada pasien trauma?

1.3 Tujuan

Mengetahui tindakan bantuan hidup dasar pada pasien trauma.

1.4 Manfaat

1. Dapat mengetahui prinsip Bantuan Hidup Dasar

2. Dapat mengetahui indikasi perlakuan Bantuan Hidup Dasar

3. Dapat melakukan Bantuan Hidup Dasar


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bantuan Hidup Dasar

Bantuan hidup dasar (BHD) atau Basic life support (BLS) adalah dasar

untuk menyelamatkan nyawa ketika terjadi henti jantung. Aspek dasar dari

BLS meliputi pengenalan langsung terhadap sudden cardiac arrest (SCA) dan

aktivasi sistem tanggap darurat, cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau

resusitasi jantung paru (RJP) dini, dan defibrilasi cepat dengan defibrillator

eksternal otomatis/ automated external defibrillator (AED). Pengenalan dini

dan respon terhadap serangan jantung dan stroke juga dianggap sebagai bagian

dari BLS (Berg et al, 2010).

Bantuan hidup dasar (BHD) merupakan sebuah fondasi utama yang

dilakukan untuk menyelamatkan seseorang yang mengalami henti jantung.

BHD terdiri dari identifikasi henti jantung dan aktivasi sistem pelayanan

gawat darurat terpadu (SPGDT), Resusitasi jantung paru (RJP) dini, dan kejut

jantung menggunakan automated external defibrillator (AED) atau alat kejut

jantung otomatis. Resusitasi jantung paru (RJP) adalah serangkaian tindakan

penyelamatan jiwa untuk meningkatkan kemungkinan bertahan hidup dari

korban yang mengalami henti jantung. Inti dari RJP yang optimal adalah

bagaimana cara memberikan RJP sedini mungkin dan seefektif mungkin

(Muttaqin, 2009).
4

Keberhasilan dari resusitasi setelah henti jantung akan bergantung pada

langkah-langkah yang harus kita lakukan secara berurutan. Hal ini disebut juga

rantai keselamatan yang mencakup:

1. Deteksi dini dari henti jantung dan aktivasi sistem pelayanan gawat

darurat terpadu (SPGDT)

2. Melakukan RJP secara dini dengan teknik penekanan yang tepat

3. Melakukan kejut jantung secara dini

4. Melakukan bantuan hidup lanjut yang efektif

5. Melakukan resusitasi setelah henti jantung secara terintegrasi

2.2 Tujuan Bantuan Hidup Dasar

Tujuan pemberian bantuan hidup dasar menurut Pro Emergency (2011)

adalah berusaha memberikan bantuan sirkulasi sistemik, beserta ventilasi dan

oksigenasi tubuh secara efektif dan optimal sampai didapatkan kembali

sirkulasi sistemik spontan atau telah tiba bantuan dengan peralatan yang lebih

lengkap untuk melaksanakan tindakan bantuan hidup jantung lanjutan.

Tujuan bantuan hidup dasar adalah sebagai berikut (AHA, 2015):

a. Mengurangi tingkat morbiditas dan kematian dengan mengurangi

penderitaan.

b. Mencegah penyakit lebih lanjut atau cedera.

c. Mendorong pemulihan tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk

oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital seperti otak dan

jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan
5

jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara

normal (Latief & Kartini 2009).

Sedangkan menurut Alkatri (2007), tujuan utama dari bantuan hidup

dasar adalah suatu tindakan oksigenasi darurat untuk mempertahankan

ventilasi paru dan mendistribusikan darah-oksigenasi ke jaringan tubuh.

2.3 Indikasi Bantuan Hidup Dasar

Tindakan RJP sangat penting terutama karena 40% korban henti jantung

mendadak mengalami ventricular fibrillation (VF) saat pertama kali diperiksa.

VF merupakan depolarisasi dan repolarisasi yang cepat dan tidak teratur di

mana jantung kehilangan fungsi koordinasi dan tidak memompa jantung secara

efektif. Banyak korban henti jantung dapat ditolong jika penolong segera

bertindak saat masih terdapat VF. Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi

tidak dimulai bila pasien memilki keterangan DNAR (do not attempt

resuscitation), pasien memiliki tanda kematian yang irreversible (seperti

rigormotaris, dekapitasi, dekomposisi, atau pucat), atau tidak ada manfaat

fisiologis yang dapat diharapkan karena fungsi vital telah menurun walau telah

diberi terapi maksimal (seperti syok septik atau syok kardiogenik yang

progresif). RJP dihentikan bila sirkulasi dan ventilasi spontan secara efektif

telah membaik, perawatan dilanjutkan oleh tenaga medis di tempat rujukan atau

di tingkat perawatan yang lebih tinggi (Mansjoer, 2009).

1. Henti Napas (Respiratory Arrest)

Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,

misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas,

obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan
6

infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lain

(Latief dkk, 2009). Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba

nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa

menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan dengan segera maka pasien akan

terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti

jantung yang mungkin menjadi fatal (Latief, 2009).

2. Henti Jantung (Cardiac Arrest)

Henti jantung adalah keadaan terhentinya aliran darah dalam system

sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat terganggunya efektifitas kontraksi jantung

saat sistolik. Berdasarkan etiologinya henti jantung disebabkan oleh penyakit

jantung (82,4%); penyebab internal non jantung (8,6%) seperti akibat penyakit

paru, penyakit serebrovaskular, penyakit kanker, perdarahan saluran cerna

obstetrik/pediatrik, emboli paru, epilepsi, diabetes mellitus, penyakit ginjal; dan

penyebab eksternal non jantung (9,0%) seperti akibat trauma, asfiksisa, overdosis

obat, upaya bunuh diri, sengatan listrik/petir (Mansjoer, 2009).

Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti napas.

Umumnya walaupun kegagalan pernapasan telah terjadi, denyut jantung dan

pembuluh darah masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada

henti jantung dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai

terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak berhenti dan dilatasi maksimal

terjadi dalam waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadi dilatasi pupil maksimal,

hal ini menandakan sudah 50% kerusakan otak irreversible (Alkatiri, 2007).
7

Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis,

femoralis, radialas), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan

berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi dengan

ranngsang cahaya dan pasien dalam keadaan tidak sadar (Latief, 2009).

2.4 Tahapan Bantuan Hidup Dasar

2.4.1 Identifikasi korban henti jantung dan Aktivasi SPGDT Segera

Rantai keselamatan dan langkah-langkah Basic Life Support menurut

AHA (2015) antara lain:

Gambar 1. Rantai Keselamatan bantuan hidup dasar

Sebelum melakukan tindakan, pertama penolong harus mengamankan

lingkungan sekitar dan diri sendiri serta memperkenalkan diri pada orang

sekitar jika ada. Bersamaan dengan itu, penolong juga perlu memeriksa

pernapasan korban, jika korban tidak sadarkan diri dan bernapas secara

abnormal (terengah-engah), penolong harus mengasumsikan korban mengalami

henti jantung. Penolong harus dapat memastikan korban tidak responsif dengan

cara memanggil korban dengan jelas, lalu menepuk-nepuk korban atau

menggoyangkan bahu korban. Jika korban tidak memberikan respons maka

penolong harus segera mengaktifkan sistem pelayanan gawat darurat terpadu


8

(SPGDT) dengan menelepon Ambulans Gawat Darurat atau ambulans rumah

sakit terdekat. Ketika mengaktifkan SPGDT, penolong harus siap dengan

jawaban mengenai lokasi kejadian, kejadian yang sedang terjadi, jumlah korban

dan bantuan yang dibutuhkan. Rangkaian tindakan tersebut dapat dilakukan

secara bersamaan apabila pada lokasi kejadian terdapat lebih dari satu

penolong, misalnya, penolong pertama memeriksa respons korban kemudian

melanjutkan tindakan BHD sedangkan penolong kedua mengaktifkan SPGDT

dengan menelepon ambulans (Berg et al, 2010).

Gambar 2. Pemeriksaan kesadaran korban (Sumber: European

Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010).

2.4.2 Pembebasan Jalan Napas (Airway)

Pembebasan jalan napas (airway) adalah upaya untuk mempertahankan

jalan napas yang dapat dilakukan dengan alat atau tanpa alat. Teknik-teknik

mempertahankan jalan napas (airway) dengan alat atau tanpa alat (Mansjoer,

2009):
9

a) Tindakan kepala tengadah (head tilt and chin lift)


Tangan penolong diletakkan pada kening pasien dan secara halus
menekan kepala ke belakang (head tilt) dan ujung jari dari tangan lain
diletakkan dibawah ujung dagu pasien (chin lift), yang secara halus
diangkat untuk meluruskan stuktur leher bagian depan (Mansjoer, 2009).

Gambar 3. Head-tilt, chin-lift maneuver (sumber: European Resuscitation

Council Guidelines for Resuscitation 2010).

b) Tindakan mendorong rahang ke atas (jaw-thrust)

Membuka jalan napas dengan mengangkat rahang (jaw-trust) dengan

hati-hati dilakukan bila dicuriga ada trauma kepala (Fraktur vertebra

servikal) (Mansjoer, 2009).

Gambar 4. Jaw-thrust maneuver (sumber: European Resuscitation Council

Guidelines for Resuscitation 2010).


10

c) Dengan Alat

Gambar 5. Alat-alat orofaring

2.4.3 Bantuan Napas dan Ventilasi (Breathing)

Breathing merupakan usaha dan oksigenasi dengan inflasi tekanan positif

secara intermitten dengan menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke mulut,

mulut ke hidung atau dari mulut kealat (S-tube masker atau bag valve mask)

(alkatri, 2007).

Breathing terdiri dari 2 tahap:

1. Penilaian pernapasan

Menilai pernapasan dengan memantau atau observasi dinding dada pasien

dengan cara melihat (look) naik dan turunnya dinding dada, mendengar

(listen) udara yang keluar saat ekshalasi dan merasakan (feel) aliran udara

yang menghembus dipipi penolong (Mansjoer, 2009).


11

Gambar 6. Look, listen, and feel (sumber: European Resuscitation Council


Guidelines for Resuscitation 2010).

2. Memberikan bantuan napas

Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut (mouth-to mouth)

mulut ke hidung (mouth-to nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke

mulut via sungkup (Latief, 2009).

a. Pada bantuan napas mulut ke mulut (mouth-to mouth) jika tanpa alat maka

penolong menarik napas dalam, kemudian bibir penolong ditempelkan ke

bibir pasien yang terbuka dengan erat supaya tidak bocor dan udara

ekspirasi dihembuskan ke mulut pasien sambil menutup kedua lubang

hidung pasien.

Gambar 7. Ventilasi buatan mulut ke mulut (sumber: European


Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010).

b. Pada bantuan napas mulut-ke-hidung (mouth-to-nose), maka udara

ekpsirasi penolong dhembuskan kehidung pasien sambil menutup mulut


12

pasien. Tindakan ini dilakukan kalau mulut pasien sulit dibuka (trismus)

atau pada trauma maksilo-fasial.

c. Pada bantuan napas mulut-ke-sungkup pada dasarnya sama dengan

mulut-ke-mulut. Bantuan napas dapat pula dilakukan dari mulut-ke-

stoma atau lubang trakeostomi pada pasien pasca bedah laringektomi.

Frekuensi dan besar hembusan sesuai dengan usia pasien apakah korban

bayi, anak atau dewasa. Pada pasien dewasa, hembusan sebanyak 10-12

kali per menit dengan tenggang waktu antaranya kira-kira 2 detik.

Hembusan penolong dapat menghasilkan volum tidal antara 800-1200

ml (Latief, 2009).

Gambar 8. . Pernafasan mulut ke stoma

2.4.4 Sirkulasi (Circulation)

Tujuan memeriksa nadi (peredaran darah) dan bila tidak ada denyut
nadi, memberikan tekanan dada (kompresi jantung). Merupakan suatu
tindakan resusitasi jantung paru (RJP) dalam usaha mempertahankan sirkulasi
darah dengan cara memijat jantung, sehingga kemampuan hidup sel-sel saraf
otak dalam batas minimal dapat dipertahankan dengan siklus untuk orang
dewasa (1 atau 2 orang penolong) 30 kali kompresi jantung dan 2 kali napas
buatan untuk anak- anak dan bayi 5 kali kompresi jantung dan 1 kali napas
buatan dengan pengecekan ulang dilakukan 1 menit pertama atau tiap 4 siklus
kemudian setiap 2 menit berikutnya Penolong memberikan penekanan dada
13

dengan kedalaman minimal 5cm (prinsip tekan kuat) dengan kecepatan


minimal 100 kali permenit (prinsip tekan cepat). Penolong juga harus
memberikan waktu bagi dada korban untuk mengembang kembali untuk
memungkinkan darah terisi terlebih dahulu pada jantung (prinsip
mengembang sempurna). Penolong juga harus meminimalisasi interupsi saat
melakukan penekanan (prinsip interupsi minimal). Jika memungkinkan, RJP
dilakukan bergantian setiap 2 menit (5 siklus RJP) dengan penolong lain.
Penolong melakukan penekanan dada sampai alat kejut jantung otomatis
(AED) datang dan siap untuk digunakan atau bantuan dari tenaga kesehatan
telah datang (alkatri, 2007).

Gambar 9. Posisi penolong pijat jantung (sumber: European


Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation
2010).

Periksa keberhasilan tindakan resusitasi jantung paru dengan memeriksa

denyut nadi arteri karotis dan pupil secara berkala. Bila pupil dalam keadaan

konstriksi dengan reflex cahaya positif, menandakan oksigenasi aliran darah

otak cukup. Bila sebaliknya yang terjadi, merupakan tanda kerusakan otak

berat dan resusitasi dianggap kurang berhasil (Alkatiri, 2007).

2.4.4.1 Komplikasi Resusitasi Jantung Paru (RJP)

Walaupun dilakukan dengan benar, RJP dapat menyebabkan beberapa

komplikasi (Pro Emergency, 2011):


14

a) Patahnya tulang iga terutama pada orang tua

b) Pneumotoraks (udara dalam rongga dada,tetapi diluar paru sehingga

menyebabkan penguncupan paru-paru)

c) Hemotoraks

d) Luka dan memar pada paru-paru

e) Luka pada hati dan limpa

f) Distensi abdomen (perut kembung) akibat dari peniupan yang salah

2.4.4.2 Posisi Pemulihan (Recovery Position)

Menurut NHS (2014) ada beberapa variasi dalam posisi pemulihan,

masing-masing memiliki tujuan. Tidak ada satu posisi tunggal yang sempurna

untuk semua pasien. Posisi harus stabil, setengah lateral dengan kepala

dependen dan tidak ada tekanan yang menghalangi pada dada.

Untuk menempatkan seseorang dalam posisi pemulihan:

a) Berlutut di lantai di salah satu sisi pasien

b) Tempatkan lengan terdekat dari anda ke kanan tubuh pasien diluruskan

ke arah kepala

c) Selipkan tangan pasien yang lain di bawah sisi kepala pasien, sehingga

punggung tangan pasien menyentuh pipi

d) Menekuk lutut ke sudut kanan

e) Memiringkan pasien ke arah penolong denga hati-hati dengan menarik

lutut yang ditekuk

f) Lengan atas harus mendukung kepala dan lengan bawah akan menahan

agar pasien tidak bergulir terlalu jauh


15

g) Membuka jalan napas korba dengan memiringkan kepala dan membuka

dagu dengan perlahan

h) Periksa bahwa tidak ada yang menghalangi jalan napas pasien

i) Tetap bersama pasien sambil melihat pernapasan dan denyut nadi terus

menerus sampai bantuan tiba

j) Jika memungkinkan ubah ke posisi miring yang lain setelah 30 menit

Gambar 10. Recovery Position

2.4.5 Dissabillity and neurological state

1. AVPU Scale

AVPU Scale adalah sistem yang dapat digunakan oleh profesional

perawatan kesehatan dan mencatat tingkat kesadaran mereka. Skala Ini adalah

penyederhanaan Glassgow coma scale ()

A : Alert => Korban sadar, jika tidak sadar lanjut ke poin V. Pasien benar-

benar terjaga (meskipun tidak selalu berorientasi). Pasien ini akan memiliki mata
16

yang terbuka secara spontan, akan merespon suara (walaupun mungkin

membingungkan) dan akan memiliki fungsi motorik tubuh.

V : Verbal => cobalah memanggil-manggil korban dengan dengan berbicara

keras di telinga korban (pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau

menyentuh pasien), jika tidak merespon lanjut ke poin P. Pasien membuat

semacam tanggapan ketika Anda berbicara dengan mereka, yang bisa berada di

salah satu dari tiga ukuran komponen mata, suara, atau motor.

P : Pain => cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah

adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku, selain itu dapat

juga dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal di atas

mata (supra orbital) . Pasien membuat respons pada salah satu dari tiga ukuran

komponen pada penerapan stimulus nyeri, seperti stimulus nyeri sentral seperti

menggosok sternum atau stimulus perifer seperti meremas jari. Seorang pasien

dengan beberapa tingkat kesadaran (pasien yang sadar sepenuhnya tidak akan

memerlukan stimulus nyeri) dapat merespon dengan menggunakan suara mereka,

menggerakkan mata mereka, atau menggerakkan bagian tubuh mereka (termasuk

postur abnormal).

U : Unresponsive => setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak

bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive 'Tidak sadar”, hasil ini

dicatat jika pasien tidak memberikan tanggapan mata, suara, atau motorik

terhadap suara atau rasa sakit.

Pada pertolongan pertama, skor AVPU yang kurang dari A sering dianggap

sebagai indikasi untuk mendapatkan bantuan lebih lanjut, karena pasien mungkin

membutuhkan perawatan yang lebih pasti. Di rumah sakit atau fasilitas perawatan
17

kesehatan jangka panjang, pengasuh dapat mempertimbangkan skor AVPU

kurang dari A untuk menjadi baseline normal pasien. Dalam beberapa kedaruratan

medis, "Alert" dapat dibagi menjadi skala 1 hingga 4, di mana 1, 2, 3 dan 4 sesuai

dengan atribut tertentu, seperti waktu, orang, tempat, dan kejadian .Skala AVPU

tidak cocok untuk pengamatan neurologis jangka panjang pasien; dalam situasi

ini, skala koma Glasgow lebih tepat. Ketika dibandingkan dengan Glasgow Coma

Scale (GCS) klasifikasi kewaspadaan AVPU telah disarankan untuk sesuai dengan

cara berikut (Kelly, Upex and Bateman, 2005):

Alert = 15 GCS

Voice Responsive = 12 GCS

Pain Responsive = 8 GCS

Unconscious/DOA = 3 GCS

2. Glasssow Coma Scale

Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala neurologis yang bertujuan untuk

memberikan cara yang dapat dipercaya dan obyektif dalam merekam keadaan

sadar seseorang untuk penilaian awal maupun berikutnya. Seorang pasien dinilai

berdasarkan kriteria skala, dan poin yang dihasilkan memberikan skor pasien

antara 3 (menunjukkan ketidaksadaran yang mendalam) dan baik 14 (skala asli)

atau 15 (skala yang dimodifikasi lebih luas digunakan atau revisi) (Gill M et al.,

2005).
18

Glassgow coma scale Poin


Eye opening response
• Spontan 4
• Respon terhadap rangsangan verbal 3
• Respon terhadap rangsangan nyeri 2
• Tidak ada respon 1
Verbal response
• Orientasi baik 5
• Pembicaraan membingungkan 4
• Kata- kata tidak sesuai 3
• Pembicaran tidak dapat dimengerti 2
• Tidak ada respon 1
Motor response
• Mampu melaksanakan perintah 6
• Respon terhadap rasa sakit 5
• Menarik anggota badan yang salah 4
• Flexi 3
• Extensi 2
• Tidak ada respon 1
Tabel 1. Glassgow coma scale

2.4.6 Environtment

Exposure / Environment control (Pemaparan dan Kontrol) (Kartikawati, 2011):

a. Eksposure

Lepas semua pakaian secara cepat untuk memeriksa cedera, perdarahan,

atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi pasien secara umum, catat kondisi

tubuh, atau adanya bau zat kimia seperti alkohol, bahan bakar, atau urane.
19

b. Environment control

Pasien harus di lindungi dari hipotermia. Hipotermia penting karena ada

kaitannya dengan vasokontriksi pembuluh darah dan koagulopati. Pertahankan

atau kembalikan suhu normal tubuh dengan mengeringkan pasien dan gunakan

lampu pemanas, selimut, pelindung kepala, sistem penghangat udara, dan

berikan carian IV hangat.

Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan bantuan hidup dasar ini

dilakukan dengan teknik ABC (Airway, Breathing, Circulation). Tahun 2010

tindakan bantuan hidup dasar diubah menjadi CAB (Circulation, Airway,

Breathing ).

* Perbedaan prinsip ABC dan CAB:

No ABC CAB
Memeriksa respon pasien termasuk
1 Memeriksa respon pasien
ada/tidaknya napas secara visual
Melakukan panggilan darurat dan
2 Melakukan panggilan darurat
mengambil AED
Circulation (kompresi dada
3 Airway (Head Tilt, Chin Lift) dilakukan sebanyak satu siklus 30
kompresi, sekitar 18 detik)
Breathing (Look, listen, feel
4 dilanjutkan memberi 2x ventilasi Airway (Head Tilt, Chin Lift)
dalam-dalam)
Breathing (memberikan ventilasi
Circulation (kompresi jantung+
5 sebanyak 2 kali, kompresi jantung+
napas buatan (30:2))
napas buatan (30:2))
6 - Defebrilasi
Tabel 2. Perbedaan prinsip ABC dan CAB
20

Alasan perubahan prinsip ABC menjadi CAB:

1. Henti jantung sebagian besar terjadi pada pasien dewasa dimana perlu

dilakukan RJP dan defebrilasi otomatis segera

2. Pembebasan airway seingkali menunda tindakan RJP

3. Prosedur pembebasan airway seringkali sulit bagi orang awam dan akan

menunda tindakan RJP


21

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa bantuan hidup

dasar (BHD)/ Basic life support (BLS) adalah usaha yang dilakukan untuk

mempertahankan kehidupan pada saat pasien atau korban mengalami keadaan

yang mengancam jiwa. BLS/BHD dilakukan pada pasien yang mengalami henti

jantung dan henti napas untuk mempertahankan hidup pasien.

3.2 Saran

Setiap karya tulis tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, semoga karya

tulis ini bisa bermanfaat bagi seluruh pembaca yang membacanya dan semoga

penulisan karya tulis selanjutnya bisa lebih baik dan sempurna dari karya tulis ini.

Anda mungkin juga menyukai