Anda di halaman 1dari 10

PENEGAKKAN HUKUM TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGING

(ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN)

Oleh: Winarno
Budyatmojo
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
E-mail: win.uns11@gmail.com

Abstrak

Tindak pidana illegal logging/penebangan liar menunjukan adanya suatu rangkaian kegiatan yang
merupakan suatu mata rantai yang saling terkait, mulai dari sumber atau prosedur kayu illegal atau
yang melakukan penebangan kayu secar illegal hingga ke konsumen atau pengguna bahan baku kayu.
Kayu tersebut melalui proses penyaringan yang illegal, pengangkutan illegal dan proses eksport atau
penjualan yang illegal. Proses penebangan liar ini, dalam perkembangannya semakin nyata terjadi dan
sering kali kayu–kayu illegal hasil dari penebangan yang liar itu dicuci (dilegalkan) terlebih dahulu sebelum
memasuki pasar yang legal, artinya bahwa kayu-kayu pada hakekatnya adalah illegal, dilegalkan oleh
pihak-pihak tertentu yang bekerja sama dengan oknum aparat, sehingga kayu-kayu tersebut memasuki
pasar, maka sulit lagi diidentifikasi mana yang merupakan kayu illegal dan mana yang merupakan kayu
legal. Upaya pencegahan telah dilakukan pemerintah untuk mem-berantas illegal logging yaitu telah
membuat banyak kesepakatan dengan negara lain dalam upaya penegakan hukum terhadap illegal
logging dan perdagangan illegal, seperti Inggris, Uni Eropa, RRC, Jepang dan Korea Selatan. Juga
tidak kalah banyaknya adalah upaya LSM Internasional dan lembaga donor membantu Indonesia dalam
memberantas illegal logging. Berbagai pertemuan telah dilakukan, namun senyatanya rencana-rencana
aksi yang dibuat seringkali tidak menyelesaikan akar masalah. Sedangkan di dalam negeri, menurut
Departemen Kehutanan, setidaknya ada 11 (sebelas) lembaga dan instansi pemerintah di Pusat yang
menentukan upaya pemberantasan pembalakan liar tersebut, akan tetapi kerjasama kuratif yang bersifat
polisionil tersebut tidaklah mudah mewujudkannya dalam pemberantasan illegal logging. Oleh karena
itu tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan baik di tingkat
pusat maupun daerah.

Kata Kunci: Penegakkan, Hukum, Illegal Loging, Harapan, Kenyataan.

Abstract

Illegal logging activities showed the presence of a series of activities that constitute a chain of inter-
related , ranging from illegal timber sources or procedure or the conduct of illegal logging in abundance
up to the consumer or user of wood raw material . The timber screening process is illegal, and the illegal
transportation of export or sale is illegal . The logging process , the more real development going on and
often times the result of illegal timber from illegal logging was washed ( legalized ) before entering the
legal market , means that the timber is essentially illegal , legalized by the parties certain cooperate with
local police officers , so that the timber enters the market , it is difficult to be identified which is a timber
which is illegal and legal timber . prevention efforts have been made governments to eradicate illegal
logging that has made many agreements with other countries in law enforcement efforts against illegal
logging and illegal trade , such as the UK , the EU , the prc , Japan and South Korea . Is also not lose
much effort NgOs and donor agencies to assist Indonesia in combating illegal logging . Various meetings
have been held , but the actual action plans that are made are often not solve the root problem . While
in the country , according to the department of Forestry , there are at least 11 ( eleven ) institutions and
government agencies in central decisive efforts to combat illegal logging , but cooperation curative
nature is not easy to make it happen in combating illegal logging . Therefore, this paper is expected to
be a conceptual contribution to the policy makers at national and local levels .

Keywords: Enforcement, Law, Illegal Loging, Expectation, reality

Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013 Penegakkan Hukum Tindak Pidana Illegal ... 91
A. Pendahuluan Harus diakui bahwa Indonesia mengalami
Kehutanan adalah sebuah fenomena. kerusakan hutan yang cukup tinggi. Terjadi
Sektor publik, yang berbasis pengelolaan dan penurunan luas hutan atau deforestasi seluas
pemanfaatan sumber daya alam itu sejak awal 300.000 (tiga ratus ribu) hektar per-tahun (tahun
diyakini oleh semua pihak sebagai sebuah sektor 1970-an), meningkat menjadi 600.000 (enam ratus
yang berkelanjutan (sustain). Luasnya kawasan ribu) hektar per-tahun (tahun 1981), dan menjadi
hutan Indonesia diyakini mampu menjadi sumber 1.000.000 (satu juta) hektar per-tahun pada tahun
kehidupan bagi sekitar 20 persen dari keseluruhan 1990. Data deforestasi nasional tahun 1985 –
jumlah penduduk Indonesia yang hidup di dalam 1997, tidak termasuk Papua, tercatat seluas rata-
dan di sekitar kawasan hutan (Untung Iskandar rata 1.600.000 (satu juta enam ratus ribu) hektar
dan Agung Nugraha, 2004: 1). Luas kawasan per-tahun. Dari hasil pengamatan citra landsat
hutan Indonesia tersebut menempati urutan tahun 2000 diketahui bahwa deforestasi periode
ke tiga dunia setelah Brazil dan Zaire. Menurut 1997-2000 mencapai rata-rata 2.830.000 (dua
perhitungan resmi terkini Badan Planologi juta delapan ratus tiga puluh) hektar per tahun
Kehutanan, seluruhnya mencapai 120 juta hektar untuk lima pulau besar, termasuk maluku dan
atau sekitar 63 % dari luas daratan Indonesia. Papua (Harian KOMPAS, 25 September 2007).
Bagaimana tidak, dengan hanya melihat luasnya Tingginya laju kerusakan hutan merupakan
kawasan hutan yang dimiliki Indonesia, tentunya persoalan kronis nan kompleks yang tengah melilit
dapat dibayangkan bahwa pendapatan Negara sektor kehutanan. Aktivitas seperti perambahan
dari sektor kehutanan juga besar. hutan, k onversi untuk pertambangan dan
Hal ini dibuktikan dengan mengalir derasnya perkebunan, ketidakjelasan kewenangan antara
devisa bagi proses pembangunan. Tercatat, US$ Pusat – daerah, penyelundupan kayu hingga
7 – 8 Miliar per tahun masuk ke dalam pundi-pundi persoalan yang lebih bersifat abstrak dalam
Negara. Jumlah itu terbesar kedua dari sektor non bentuk makin terkikisnya moralitas dan hilangnya
migas setelah tekstil dan produk tekstil. Hanya, integritas rimbawan di berbagai profesi merupakan
devisa kehutanan jauh lebih bernilai karena bersifat penyebab cepat naiknya kerusakan hutan
netto. Tidak mengandung input impor sama sekali. Indonesia. Pun demikian dengan pembalakan
Pendapatan negara melalui pajak dan non pajak / penebangan liar (illegal logging). Kegiatan ini
sektor kehutanan menjadi salah satu tumpuan sudah sedemikian dominannya dalam praktek
negara. Menurut data Asosiasi Pengusaha Hutan pengelolaan hutan di Indonesia. Bagaimana tidak,
Indonesia (SPHI), paling tidak tercatat 13 item hampir di setiap berita tentang kehutanan selalu
pajak maupun pungutan non pajak dari sektor memberitakan tentang kegiatan illegal logging.
kehutanan yang melibatkan institusi kehutanan, Ada yang menyatakan bahwa illegal logging
perindus-trian dan perdagangan, pajak bea cukai, adalah sebuah kejahatan yang tak terkirakan.
pemda serta beberapa institusi lain yang terkait Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyatakan
(Untung Iskandar dan Agung Nugraha, 2004: 159). bahwa setiap menitnya hutan Indonesia seluas
Hutan juga mampu memberi manfaat tak 7,2 hektar musnah akibat destruktive logging
langsung yang seringkali justru tak ternilai (penebangan yang merusak). Departemen
harganya, antara lain berperan sebagai pengatur Kehutanan menyatakan bahwa kerugian akibat
sistem tata air sehingga mampu mencegah banjir pencurian kayu dan peredaran hasil hutan senilai
di musim hujan dan ancaman kekeringan di musim 30,42 trilyun rupiah per tahun. Sementara center
kemarau. Bahkan, dunia internasional mengakui for International Forestry research (CIFOR)
keberadaan sumber daya hutan Indonesia sebagai menyatakan bahwa Kalimantan Timur telah
salah satu bagian terpenting bai terwujudnya kehilangan 100 juta dolar setiap tahunnya akibat
keseimbangan ekosistem planet bumi secara penebangan dan perdagangan kayu ilegal, belum
lintas generasi melalui fungsinya untuk menyerap termasuk nilai kehilangan keanekaragaman
emisi berbagai gas dan polutan beracun yang hayati dan fungsi hidrologis, serta nilai sosial dari
menjadi penyebab meningkatnya efek rumah kaca bencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat
serta semakin menipisnya lapisan ozon. pengrusakan hutan.
Ironisnya, fenomena kehutanan cenderung Dalam kurun waktu tiga tahun (dari tahun
selalu meng-hadirkan realitas paradoks. Hutan 2003-2005) saja misalnya, kerugian negara yang
yang memberikan manfaat berupa sumbangan terlacak akibat illegal logging mencapai 83 triliun
besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi rupiah. Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus)
tersebut, dihasilkan tanpa mempertimbangkan Kejaksaan Agung Prasetyo mengatakan aset
kelestarian hutan. Keberhasilan pengusahaan milik negara Indonesia yang dijarah pada praktek
hutan ternyata justru diikuti dengan banyaknya illegal logging nilainya mencapai 83 miliar rupiah
isu kerusakan.

92 Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013 Penegakkan Hukum Tindak Pidana Illegal ...
per hari. Penghitungan kerugian negara selama menjadi Undang-Undang nomor 19 Tahun
tiga tahun tersebut diperkirakan lebih besar 2004 tentang penetapan peraturan pemerintah
dari data yang diperoleh, karena masih banyak pengganti undang-undang tersebut menjadi
kasus illegal logging yang belum terungkap undang-undang, yang memberikan peluang
khususnya yang nilai kayunya dilarikan ke luar dilakukannya pertambagan di kawasan hutan
negeri. Sementara itu Direktur Reskrim Mabes lindung.
Polri Makbul Padmanagara mengatakan jumlah U p a ya p e n c e g a h a n t e l a h d i l a k u k a n
kasus illegal logging yang ditangani Kepolisian pemerintah untuk mem-berantas illegal logging
pada 2003-2005 sebanyak 4.178 kasus, sedang yaitu telah membuat banyak kesepakatan dengan
tersangkanya mencapai 3.224 orang dan barang negara lain dalam upaya penegakan hukum
bukti mencapai di atas 1 juta m 3 kayu (Sri terhadap illegal logging dan perdagangan illegal,
Wahyuningsih, 2007: 1). seperti Inggris, Uni Eropa, RRC, Jepang dan
Ironisnya, banyak penebang liar atau illegal Korea Selatan. Juga tidak kalah banyaknya adalah
loggers yang tidak ditangkap dan diproses di upaya LSM Internasional dan lembaga donor
pengadilan, atau ditangkap dan telah sampai pada membantu Indonesia dalam memberantas illegal
proses pemeriksaan di persidangan tetapi dijatuhi logging. Berbagai pertemuan telah dilakukan,
putusan bebas. Situasi paling memprihatinkan namun senyatanya rencana-rencana aksi yang
bahwa sektor publik kehutanan tidak kunjung dibuat seringkali tidak menyelesaikan akar
mampu merumuskan jalan keluar untuk mengatasi masalah. Sedangkan di dalam negeri, menurut
bencana ini karena kompleksnya permasalahan Departemen Kehutanan, setidaknya ada 11
serta banyaknya pihak/instansi pemerintah yag (sebelas) lembaga dan instansi pemerintah di
terlibat dalam simpul upaya penanganan praktek Pusat yang menentukan upaya pemberantasan
illegal logging ini. Berita yang didaur ulang adalah pembalakan liar tersebut, akan tetapi kerjasama
kekejaman cukong pembalak liar yang kebal kuratif yang bersifat polisionil tersebut tidaklah
hukum atau masyarakat yang anarkis. Sektor mudah mewujudkannya dalam pemberantasan
publik kehutanan dan penegak hukum nampak illegal logging. Hal ini lebih disebabkan yang
tidak berdaya dihadapan pelaku, bahkan kegiatan seringkali bersentuhan dengan kekuasaan,
illegal logging ini makin kuat dan seolah tidak ada termasuk adanya korupsi, kolusi dan nepotisme.
yang mencegah dan menangkap pelakunya. Truk/ Disisi lain, dengan adanya desentralisasi dan
kapal pengangkut kayu curian yang jumlahnya otonomi daerah juga menimbulkan perbedaan
puluhan, lalu lalang tidak ada yang menangkap. persepsi dan interpretasi terhadap pembagian
Berdasarkan perhitungan Departemen Kehutanan kewenangan antara menteri Kehutanan dengan
tahun 1994-1996 diperoleh data bahwa angka pemerintah daerah, sehingga terjadi tarik ulur
penebangan liar mencapai 50,7 juta m3 per tahun tentang siapa yang mewakili kewenangan
dengan kerugian finansial sebesar 30 triliun rupiah mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber
pertahun (Untung Iskandar dan Agung Nugraha, daya hutan. Di tingkat daerah , kerancuan
2004: 35). pembagian kewenangan juga terjadi pada
Fakta yang terlihat bahwa banyaknya pemerintah daerah (bupati dengan gubernur),
kerusakan hutan sebelum tahun 1999 tentunya yang menyebabkan terjadinya saling lempar
membuat pemerintah Indonesia tidak tinggal tanggung jawab.
diam. Keseriusan pemerintah Indonesia dibuktikan Lebih jauh apabila dilihat pada proses
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 peradilan tindak pidana illegal logging, meskipun
Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mencabut telah ada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang yang menyatakan bahwa Penyidik Tunggal adalah
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang Polisi/Polri, akan tetapi dalam proses penyidikan
dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip tindak pidana illegal logging, terdapat sedikitnya
penguasaan dan pengurusan hutan dan tuntutan 4 (empat) instansi yang berwenang yaitu penyidik
perkembangan keadaan. Undang-undang ini Polisi diangkat oleh Kapolri, PPNS diangkat
diharapkan dapat memberikan landasan hukum oleh Menteri kehakiman, Penyidik perwira TNI
yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan AL diangkat oleh Panglima ABRI dan Penyidik
kehutanan saat ini dan masa yang akan datang. Kejaksaan diangkat oleh Jaksa Agung. Dalam
Namun, hal ini sangat berbeda bila dibandingkan kondisi seperti ini memungkinkan sekali terjadi
dengan kelahiran Peraturan Pemerintah pengganti tumpang tindih penyidikan terhadap satu tersangka
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang dalam kejahatan illegal logging, masing-masing
Perubahan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 berjalan sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi
tentang Kehutanan yang kemudian ditetapkan dalam satu lembaga penyidikan yang terpadu

Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013 Penegakkan Hukum Tindak Pidana Illegal ... 93
sehingga berpotensi terjadi konflik antar penyidik istilah illegal logging diidentikkan dengan
tersebut. Dari kenyataan-kenyataan tersebut, istilah penebangan kayu illegal (tidak sah),
maka penegakan hukum hanya akan bertumpu istilah illegal logging disinonimkan dengan
kepada pihak yudikatif (pengadilan) dalam upaya penebangan kayu illegal.
pemberantasan dan penanggulangan illegal Definisi lain dari penebangan liar (illegal
logging. logging) adalah berasal dari temu karya yang
Praktik Illegal Logging tidak hanya berakibat diselenggarakan oleh LSM Inonesia Telapak
buruk terhadap masalah ekonomi tetapi juga terkait tahun 2002, yaitu bahwa illegal logging adalah
dengan ekologi, sosial, dan budaya, nampaknya operasi / kegiatan kehutanan yang belum
Illegal Logging bukanlah suatu kejahatan yang mendapat ijin dan merusak (Sukardi, 2005:
biasa akan tetapi dapat digolongkan kejahatan 72). Sedangkan Forest Watch Indonesia
luar biasa (extra ordinary crime). Penegakan
(FWI) dan global Foresct Wacth (GFW)
hukum terhadap pelaku Illegal Logging tidak
membagi istilah penebangan liar menjadi dua
hanya diarahkan kepada penegakan keadilan
yaitu : pertama yang dilakukan oleh operator
hukum tetapi juga diarahkan kepada proyeksi
sah yang melanggar ketentuan–ketentuan
sosial ekonomi yang simultan. Artinya, di samping
dikenakan sanksi seberat-beratnya juga dikenakan dalam izin yang dimilikinya; kedua melibatkan
sangsi pengembalian kerugian negara hasil Illegal pencuri kayu, pohon–pohon ditebang oleh
Logging. orang yang sama sekali tidak mempunyai hak
legal untuk menebang pohon.
Gambaran tentang penebangan liar
B. Perumusan Masalah
menunjuk an adan ya suatu r angk aian
Bagaimana pelaksanaan penegakan hukum kegiatan yang merupakan suatu mata rantai
Illegal Logging di Indonesia? yang saling terkait, mulai dari sumber atau
prosedur kayu illegal atau yang melakukan
C. Landasan Teori penebangan kayu secar illegal hingga ke
konsumen atau pengguna bahan baku kayu.
1. Illegal Logging
Kayu tersebut melalui proses penyaringan
Pengertian “Illegal Logging” pada yang illegal, pengangkutan illegal dan proses
dasarnya tidak pernah secara eksplisit eksport atau penjualan yang illegal. Proses
didefinisikan secara tegas. Namun terminologi penebangan liar ini, dalam perkembangannya
illegal logging” dapat dilihat dari pengertian
semakin nyata terjadi dan sering kali kayu–
secara harafiah yaitu bahasa inggris. Dalam
kayu illegal hasil dari penebangan yang
The contemporary Englsih Indonesian
liar itu dicuci (dilegalkan) terlebih dahulu
dictionary (Salim dan Sukardi, 2005 :
sebelum memasuki pasar yang legal, artinya
71), illegal artinya tidak sah, dilarang atau
bahwa kayu-kayu pada hakekatnya adalah
bertentangan dengan hukum, haram. Dalam
Black’s Law dictionary (Garner dalam illegal, dilegalkan oleh pihak-pihak tertentu
Sukardi, 2005 ; 71) illegal artinya “ forbidden yang bekerja sama dengan oknum aparat,
by Law; unlawful ’’artinya yang dilarang sehingga kayu-kayu tersebut memasuki
menurut hukum atau tidak sah. Log dalam pasar, maka sulit lagi diidentifikasi mana
bahasa inggris artinya batang kayu atau kayu yang merupakan kayu illegal dan mana yang
gelondongan, dan logging artinya menebang merupakan kayu legal.
kayu dan membawa ke tempat penggergajian Badan Pangan dan Pertanian Dunia
(Salim dalam Sukardi, 2005 :71). (Food and Agricultur Organization/ FAO)
Berdasarkan pengertian secara memberikan definisi illegal logging (http://
harafiah tersebut dapat dikatakan bahwa www.kail-kalbar.org) meliputi :
illegal logging menurut bahasa berarti 1) Menebang pohon tanpa izin;
menebang kayu kemudian membawa ke 2) mengambil alih banyak kayu daripada
tempat penggergajian yang bertentangan yang diizinkan;
dengan hukum atau tidak sah menurut 3) mendapatkan Hak Pengusahaan Hutan
hukum. Dalam Inpres RI Nomor 5 Tahn (HPH) dengan menyuap;
2001 tentang Pemberantasan Penebangan
4) menggandakan izin penebangan;
Kayu Illegal (Illegal Logging) dan Peredaran
5) merusak kulit pohon supaya pohonya
Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem
mati sehingga bisa mendapat alasan
Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting,
agar ditebang;

94 Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013 Penegakkan Hukum Tindak Pidana Illegal ...
6) menghubungi penduduk lokal untuk menerima titipan, menyimpan, atau
mengambil kayu dari kawasan hutan memiliki hasil hutan yang diketahui atau
lindung; patut diduga berasal dari kawasan hutan
7) menebang jenis kayu yang dilindungi; yang diambil atau dipungut secara tidak
8) menebang di kawasan lindung atau sah”.
kawasan konservasi; Berdasarkan beberapa pengertian
9) menebang di luar kawasan tanpa Hak tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
Pengusahaan Hutan (HPH); dan penebangan liar (illegal logging) adalah
10) menebang di kawasan terlarang seperti kegiatan di bidang kehutanan atau yang
lereng curam, bantaran sungai dan merupakan rangkaian kegiatan yang
kawasan resapan air. mencakup penebangan, pengangkutan,
pengolahan hingga kegiatan jual beli
Sama halnya dengan Undang-Undang (ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan aturan hukum yang
sebagaimana telah dirubah menjadi Undang- berlaku, atau perbuatan yang dapat
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang menimbulkan kerusakan hutan.
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang 2. Unsur- unsur Illegal Logging
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Unsur-unsur illegal logging dijelaskan
Undang-Undang, yang tidak memberikan berbeda dari setiap ahli, mengingat tidak
definisi secara jelas akan illegal logging, ada definisi resmi saat ini tentang illegal
namun dapat dinyatakan bahwa istilah logging itu sendiri. Namun, dengan melihat
illegal logging tersirat pada perbuatan yang arti baik secara harafiah maupun pengertian
terdapat dalam Pasal 50 Undang-Undang dari beberapa sumber di atas tentang illegal
ini, yaitu mulai dari penebangan ilegal, logging, dapat dirumuskan secara garis
penguasaan, transportasi, hingga penjualan besar unsur-unsur yang terdapat dalam
terhadap kayu tersebut. Namun demikian, kejahatan penebangan liar (illegal logging),
Pasl 50 tidak men yatak an k ejahatan yaitu : adanya suatu kegiatan, penebangan
tersebut sebagai rangkaian kejahatan. kayu, pengangkutan kayu, pengolahan kayu,
Kejahatan penebangan ilegal diatur tersendiri pejualan kayu, dan atau pembelian kayu,
sebagaimana pengangkutan dan penjualan dapat merusak hutan, ada aturan hukum yang
kayu ilegal juga diatur terpisah dengan sanksi melarang dan bertentangan dengan aturan
yang berbeda pula. Berikut ini, penjabaran hukum yang berlaku.
singkat pasal-pasal dalam Undang-Undang Unsur yang mencolok dalam praktek
Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah penebangan liar (illegal logging) ini adalah
dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 perusakan hutan yang akan berdampak pada
Tahun 2004 tentang Kehutanan, mengenai
kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi,
kegiatan-kegiatan yang biasanya dipakai
maupun sosial budaya. Oleh karena kegiatan
untuk digolongkan sebagai pengertian illegal
itu tidak melalui proses perencanaan secara
logging :
komprehensif, maka illegal logging berpotensi
1) penebangan hutan ilegal dalam Pasl 50 merusak hutan yang kemudian berdampak
ayat (3) huruf e yang menerangkan : pada kerusakan lingkungan.
“menebang pohon atau memanen atau Lebih jauh, yang dimaksud dengan
memungut hasil hutan di dalam hutan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan
tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat fisik , sifat fisik atau h ayatin ya, yang
yang berwenang”; menyebabkan hutan tersebut terganggu
2) penguasaan dan pengangkutan kayu atau tidak dapat berperan sesuai dengan
ilegal diatur dalam Pasl 50 ayat (3) huruf fungsinya (penjelasan Pasal 50 ayat (2)
h, yaitu :”mengangkut, menguasai, atau Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004).
memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi Sedangkan perusakan lingkungan hidup
bersama-sama dengan surat keterangan adalah tindakan yang menimbulkan
sahnya hasil hutan”; dan perubahan langsung terhadap sifat fisik
3) penjualan kayu ilegal diatur dalam Pasal dan/atau hayatinya yang mengakibatkan
50 ayat (3) huruf f yaitu :”menerima, lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam
membeli atau menjual, menerima tukar,

Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013 Penegakkan Hukum Tindak Pidana Illegal ... 95
menunjang pembangunan berkelanjutan 3. Teknik Pengumpul data
(Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Untuk data sekunder menggunakan
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ide n ti f ik as i i s i de n ga n met od e st u d i
Lingkungan Hidup). kepustakaan, dimana metode ini digunakan
Dari definisi di atas terdapat kesamaan dalam rangka memperoleh data sekunder,
arti, yaitu bahwa k erusak an ter sebut yaitu mengumpulkan data berupa buku-
mengakibatkan hutan dan lingkungan hidup buku ilmiah yang berhubungan dengan
tidak berfungsi lagi. Hutan adalah bagian dari masalah yang diteliti, dokumen-dokumen,
lingkungan hidup, perusakan hutan berarti peraturan perundangan yang sesuai dan
perusakan pula terhadap lingkungan hidup. lain sebagainya dengan membaca dan
Jadi jelaslah bahwa illegal logging mengkajinya.
adalah suatu bentuk kejahatan terhadap
hutan, kehutanan dan lingkungan hidup, 4. Teknik Analisis data
dengan dampak yang cukup luas mencakup Dalam penelitian ini penulis menggunakan
aspek ekonomi, sosial dan budaya. Menurut teknik analisis kualitatif, mengingat data yang
pengetahuan hukum pidana, kejahatan
terkumpul sebagian besar merupakan data
merupakan tindak pidana, yaitu perbuatan
kualitatif. Teknik ini tepat bagi penelitian yang
yang bertentangan dengan nilai-nilai yang
menghasilkan data yang bersifat kualitatif,
dijunjung tinggi atau diakui sebagai nilai
yaitu data yang tidak bisa dikategorikan
keadilan di masyarakat, sehingga pelaku
secara statistik kualitatif. Metode kualitatif ini
perbuatan ini sudah semestinya dikenai
digunakan karena beberapa pertimbangan.
sanksi sesuai dengan Undang-Undang yang
Pertama, menyesuaikan metode kualitatif
mengatur tentang perbuatan ini.
lebih mudah apabila berhadapan dengan
kenyataan ganda. Kedua, metode ini lebih
d. Metode Penelitian dapat menyesuaikan diri dengan banyak
1. Jenis dan Sifat Penelitian penajaman pengaruh bersama dan terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi (Lexy Moleong,
Dalam penelitian ini digunakan metode 2005 : 153).
yuridis normatif atau doktrinal. Pendekatan
yang digunakan bersifat positivistik dan
menggunakan analisis bersifat kualitatif (Peter E. Analisis dan Pembahasan
Mahmud, 2006). Adapun sifat penelitiannya 1. Faktor Peraturan Perundang-Undangan.
deskriptif developmental yang memberikan
gambaran secara sistematis terhadap obyek Saat ini undang-undang pokok yang
yang akan diteliti, selanjutnya disusun dipakai adalah Undang-undang Nomor 19
model yang dapat dikembangkan untuk Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
mengatasi problema yang di temukan. Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Pendek atan penelitian menggunak an Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
pendekatan penelitian kualitatif. Dengan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
mengutip pendapat dari Denzin dan Lincoln 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-
(Lexy Moleong, 2005: 5) menjelaskan bahwa Undang. Di dalam undang-undang ini, tidak
penelitian kualitatif adalah penelitian yang dirumuskan secara detail negenai pengertian
menggunakan latar alamiah, dengan maksud illegal logging. Namun, tersirat pada kegiatan
menafsirkan fenomena yang terjadi dan penebangan hutan illegal (Pasal 50 ayat (3)
dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai huruf c), penguasaan dan pengangkutan
metode yang ada. kayu illegal (Pasal 50 ayat (3) huruf h), dan
penjualan kayu illegal (Pasal 50 ayat (3) huruf
2. Jenis dan Sumber data f). Undang-undang ini juga memuat sanksi
Dalam penelitian ini data yang diperlukan pidana yang berat. Pelanggaran terhadap
meliputi data sekunder. Data Sekunder, Pasal 50 ayat (3) huruf e dan f ditentukan
yaitu data yang bukan diusahakan sendiri pada Pasal 78 ayat (5) yaitu dikenai sanksi
pengumpulannya oleh peneliti (Marzuki, 2002: pidana berupa penjara paling lama 10
56). Data sekunder dapat berupa majalah, (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
laporan, hasil penelitian terdahulu, peraturan Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
perundang-undangan serta publikasi lainnya. Kemudian, pelanggaran terhadap Pasal 50
Sumber data sekunder meliputi bahan hukum ayat (3) huruf h ditentukan dalam Pasal 78
primer, sekunder dan tersier. ayat (7) yaitu dikenai sanksi pidana penjara

96 Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013 Penegakkan Hukum Tindak Pidana Illegal ...
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling pidana yang cukup berat, maka hal itu akan
banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh memberikan efek jera bagi terpidana dan efek
milyar rupiah). takut bagi masyarakat. Sehingga terpidana
Namun, menurut Penulis justru disinilah tidak akan mengulangi perbuatannya lagi
kelemahan undang-undang ini. Rumusan dan masyarakat enggan untuk melakukan
tentang perbuatan melawan hukum dalam perbuatan serupa dikemudian harinya.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Selanjutnya adalah perubahan terhadap
tersebut, mencermink an adan ya sifat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
selektifitas, yang memang sangat efektif menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun
jika diterapkan kepada pelaku terutama 2004, yang Penulis nilai sebagai tindakan
masyarakat yang melakukan pencurian kayu yang terburu-buru dan tanpa pertimbangan,
tanpa ijin atau masyarakat yang diupah oleh dimana sangat bertolak belakang dengan
pemodal untuk melakukan penebangan kayu alasan dan tujuan dibuatnya Undang-Undang
secara illegal dan kepada pengusaha yang Nomor 41 Tahun 1999 itu sendiri. Perubahan
melakukan pelanggaran konsesi penebangan tersebut mengenai perizinan pembukaan
kayu maupun yang tanpa ijin melakukan areal pertambangan di kawasan hutan,
operasi penebangan kayu. Sedangkan dengan alasan bahwa Pemerintah sulit untuk
pemilik modal (cukong) yang menjadi bagian mengembangkan iklim investasi negara.
dari aktor intelektualis dalam penebangan Padahal, fakta-fakta di lapangan menunjukkan
liar belum dapat terjangkau oleh ketentuan bahwa pembukaan areal pertambangan di
pidana dalam undang-undang kehutanan ini. kawasan hutan sangatlah merusak hutan.
Sehingga, hal ini merupakan celah hukum Penambahan pasal tentang ijin pembukaan
bagi pemilik modal (cukong) untuk lolos dari pertambangan ini yang menurut Penulis
tuntutan hukum. adalah faktor pendorong terciptanya tindak
Bagaimanapun dengan rumusan sanksi pidana illegal loging yaitu penebangan liar.
pidan tersebut, tampaknya tidak ada satu Pepohonan akan ditebang setidaknya untuk
pasal-pun dalam undang-undang ini yang areal pertambangan, kamp/tempat istirahat
menentukan batas minimum khusus untuk pekerja, dan untuk jalan masuk/akses menuju
sanksi pidananya. Tidak seperti Undang- areal pertambangan itu sendiri. Hal tersebut
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- adalah celah bagi pelaku untuk mendapatkan
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang kayu dari penebangan itu, dengan asumsi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bahwa kayu-kayu tersebut sah untuk ditebang
menentukan minimum khusus mengenai karena pembukaan pertambangan tersebut
sanksinya, sehingga aplikator atau penerap telah mendapat ijin resmi dari Pemerintah.
hukum tidak sewenang-wenang dalam Belum lagi dampak yang dihasilkan y a i t u
menerapka kaidah hukumnya. Undang- limbah pertambangan itu. Jika tambang
Undang Kehutanan hanya menentukan batas tersebut merupakan tambang mineral,
maksimal pidananya saja, sehinga aplikator tentunya semakin mengganggu ekosistem
atau penerap hukum (hakim khususnya) hutan disekitar areal pertambangan tersebut.
seringkali menjatuhkan pidana yang relatif Terkait dengan substansi hukum, maka
ringan, terutama pidana pokok yaitu pidana Penulis berpendapat bahwa Undang-Undang
penjara. Tidak adanya minimum khusus Nomor 19 Tahun 2004 sudah tidak efektif
berarti hakim dapat menjatuhkan pidana lagi untuk menghapus praktek-praktek illegal
penjara 1 (satu) hari sampai dengan batas logging di Indonesia. Banyak celah dalam
waktu maksimal yang ditentukan untuk setiap undang-undang ini yang Penulis anggap
perbuatan pidanaya. sebagai faktor penyebab tindak pidana illegal
Seperti terlihat pada Putusan Mahkamah logging, mulai dari definisi dan rumusan
Agung Nomor 1159 K/Pid/2005 dan Nomor perbuatan-perbuatannya, subjek hukumnya,
2072 K/Pid/2006. Sebagai dampak dari sanksi pidananya, serta perubahan terhadap
substansi hukum pidana yang tidak mengatur undang-undang ini sendiri.
mengenai batas minimum penjatuhan pidana
penjaranya, hakim yang memutus perkara- 2. Faktor Aparat Penegak Hukum
perkara tersebut hanya menjatuhkan sanksi Dalam konteks penegakan hukum oleh
pidana berupa penjara selama 6 (enam) instansi pemerintah, setidaknya ada beberapa
bulan sampai dengan 2 (dua) tahun. Penulis lembaga dan instansi negara di Pusat yang
berpendapat, jika hakim menjatuhkan menentukan upaya pemberantasan illegal

Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013 Penegakkan Hukum Tindak Pidana Illegal ... 97
logging, yaitu Departemen Kehutanan, 3. Faktor Yang Berkaitan dengan Nilai-nilai
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Masyarakat
Departemen Perhubungan, Direktorat Jendral Pada tingkat masyarakat, yang paling
Bea dan Cukai, Departemen Keuangan, TNI penting adalah ter sedian ya lapangan
AD, TNI AL, POLRI, Kejaksaan, Pengadilan, pekerjaan dan pendapatan dalam upaya
dan Pemerintah daerah baik Propinsi dan kesejahteraannya. Tindakan masyarakat untuk
Kabupaten. Untuk memberantasn ya, bekerja secara melanggar hukum atau illegal
sebagai sebuah skala prioritas, Departemen sangat dipengaruhi oleh kenyataan bahwa
Kehutanan memutuskan untuk secara anggota masyarakat yang lain juga bekerja
formal, bekerjasama dengan TNI dan demikian. Faktor lain adalah ketidakpuasan
POLRI untuk operasi di daerah rawan/sensitif masyarakat terhadap kebijakan pemerintah
( misaln ya daer ah pebatasan dengan pusat dalam pengelolaan sumber daya hutan
negara lain), melakukan operasi di perairan yang sentralistik di masa lalu. Ketidakpuasan
Indonesia, dan memberi data intelijen. dan kebencian masyarakat merupakan
Namun, nampaknya kerjasama kuratif yang dampak dari kebijakan pemerintah pusat di
bersifat polisionil tersebut tidak mudah masa lalu yang mengeksploitasi hutan yang
mewujudkannya dalam malpraktek kehutanan, hasilnya kemudian dibawa ke pusat dan
karena keterbatasan personil dan wilayah hanya sedikit sekali yang dikembalikan ke
yang cukup luas. Sementara itu, sinyalemen daerah. Rasa ketidakpuasan dan kebencian
sebuah sumber dapat menggambarkan ini mengakibatkan rasa tidak percaya lagi
betapa kompleksnya persoalan penebangan terhadap kebijakan pemerintah tentang
liar yang dihadapi sektor kehutanan, yang kehutanan saat ini (Sukardi, 2005: 89-90).
selain melibatkan banyak aktor juga seringkali
4. Faktor Supply dan demand
harus bersentuhan dengan kekuasaan.
Termasuk penyakit, sekaligus budaya, Besarnya k apasitas industri kayu,
yang sudah merasuk sedemikian dalam, di daerah ak an menimbulk an naik nya
yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme. per mintaan ak an pasok an k ayu yan g
Korupsi di lingkungan polisi dan militer mengarah pada pemanenan kayu yang
telah meningkatkan pembalakan liar yang berlebihan. Kemampuan pasokan atau
menghancurkan sebagian besar hutan persediaan kayu (supply) yang didasarkan
Negara. Melalui jaringan bisnisnya, kaum pada jatah tebangan tahunan yang ditetapkan
militer melakukan pembalakan liar dan oleh pemerintah tidak sebanding dengan
mengoperasikan kilang kayu untuk membayar tingginya permintaan terhadap kayu (demand)
pegeluaran harian para prajuritnya (Untung dari industri perkayuan baik dari dalam
Iskandar dan Agung Nugraha, 2004: 36-37). negeri maupun dari luar negeri, sehingga
terjadi ketimpangan antara persediaan dan
Begitu pula dengan kejaksaan dan
permintaan yang kemudian menimbulkan
pengadilan. Sebagai aplik ator huk um
permintaan tambahan akan kayu. Salah satu
pidana, seringkali menggunakan profesi cara untuk memenuhi defisit antara supplay
dan j ab ata nn ya unt uk men gg un ak an dan demand tersebut yang paling mudah dan
“kesempatan dalam kesempitan” dalam paling murah adalah melalui penebangan liar
rangka meperoleh keuntungan pribadi. (illegal logging).
Kerjasama kotor dilakukan antara penegak
hukum itu dengan pelaku illegal logging atau 5. Faktor Rendahnya Kualitas Sumber daya
pengusaha kayu yang tertangkap. Dugaan Manusia
suap dari pengusaha kepada jaksa dan Kriminalitas yang terjadi dalam bidang
hakim untuk mengutak-utik hukumnya agar kehutanan dilakukan oleh masyarakat,
dijatuhi hukuman ringan dan bahkan bebas pengusaha dan juga aparat. Hal ini disebabkan
dari segala tuduhan seringkali terjadi. Seperti karena rendahnya kualitas sumber daya
yang terjadi belum lama ini, yaitu kasus manusia yang disebabkan karena rendahnya
pembalakan liar di Sumatera Utara yang pendidikan dan rendahnya kesadaran.
berujung vonis bebas hakim kepada Adelin Mereka hanya memikirkan kepentingan
Lis, owner PT. Mujur Timbber dan Keang Nam sendiri dan tidak mau memikirkan dampak
Development. Hal ini membuktikan praktek yang akan terjadi.
mafia peradilan belum benar-benar bersih Situasi emosional masyarakat dlam
dari baju para penegak hukum tersebut. kerangka eforia reformasi yang dimanfaatkan

98 Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013 Penegakkan Hukum Tindak Pidana Illegal ...
oleh pengusaha adalah merupakan bentuk pengelolaan penggergajian kayu. Hal ini
rendahnya kesadaran masyarakat. Di sisi semua menunjukkan rendahnya mentalitas
lain aparat baik sipil dan keamanan berusaha para aparat, yaitu aparat yang terlibat dalam
mengambil keuntuntan dari kondisi tersebut. tindakan-tindakan kejahatan kehutanan.
Hal ini menyebabkan kejahatan ini semakin
hari semakin bertambah jumlah pelaku yang F. Penutup
terlibat, baik sebagai penjarah, penadah,
ataupun sebagai pembeli. Selain itu mereka Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
juga semakin berani karena aparat-aparat lain penegakkan hukum tindak pidana illegal logging
yang seharusnya ikut mengawasi ketertiban disebabkan karena faktor: pertauran perundang-
dan keamanan justru ikut terlibat dalam tindak undangannya yang masih lemah, faktor aparat
kejahatan tersebut. penegak hukum, faktor yang berkaitan dengan
Indikasi keterlibatan aparat-aparat ini budaya masyarakat, faktor yang berkaitan dengan
tidak terlepas dari rendahnya mentalitas supply dan demand serta rendahnya kualitas
oknum aparat tersebut. Rendahnya mentalitas sumber daya manusia. Selain karena rendahnya
menyebabkan aparat akan melakukan kesadaran oknum aparat terhadap lingkungan
tindakan-tindakan korupsi dan kolusi dengan sering pula terjadinya kejahatan disebabkan
para pelaku kejahatan. Atau bahkan terjun karena rendahnya pengetahuan aparat dalam
langsung sebagai pelaku dalam tindak menindak kejahatan yang terjadi. Hal ini terjadi
kejahatan tersebut. karena penafsiran terhadap peraturan dan
perundang-undangan yang tidak jelas sehigga
Keterlibatan aparat tidak terbatas pada
masing-masing memiliki persepsi yang berbeda.
aparat keamanan, TNI dan Polri, tetapi
Sehingga hal ini akan melemahkan pengawasan
lebih luas lagi melibatkan para pemuka
dan kontrol baik di lapangan maupun administrasi
masyarakat seperti kepala Desa dalam
(dokumen).
pemberian izin mengambil kayu ataupun
mendirikan penggergajian (sawmill), aparat
Dina s Keh utan an d al a m pen gur u sa n G. Saran
izin operasi dan dokumen baik produksi Mengajak semua pihak untuk lebih
maupun dokumen pengangkutan kayu, dan memper hatik an lingk ungan dan menjaga
bahkan anggota dewan. Anggota Dewan kelestarian alam serta mensosialisasikan produk
Perwakilan Rakyat (DPRD) yang seharusnya undang-undang yang dikeluarkan pemerintah
mengutamakan kepentingan rakyat yang untuk mempertahankan hutan dan lingkungan
diwakili malah terindikasi terlibat dalam hidup.

Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013 Penegakkan Hukum Tindak Pidana Illegal ... 99
daftar Pustaka
http://www.kail-kalbar.org

Harian KOMPAS, 25 September 2007, Deforestasi periode 1997-2000 Untuk Lima PulauBesar di
Indonesia.

Lexy Moleong, 2005. Metodologi penelitian Kualitatif. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.

Sukardi. 2005. Illegal Logging dalam perspektif politik Hukum pidana (Kasus papua). Yogyakarta:
Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Untung Iskandar dan Agung Nugraha. 2004. politik pengelolaan Sumber daya Hutan: Issue dan Agenda
Mendesak. Yogyakarta: Debut Press.

Winarno Budyatmojo. 1996. penegakan Hukum di bidang Kehutanan dalam rangka pembangnan
Berkelanjutan. Surakarta: Yustisia.

, 2008, Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Dalam Upaya Menanggulangi Tindak


Pidana Di Bidang Perpajakan, Laporan Penelitian FH UNS

, 2009, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penegakan Hukum Tindak


pidana Illegal Logging Menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Laporan Penelitian
FH UNS, Laporan Penelitian DIPA BLU FH UNS

, 2011, Penerapan asas pidana Perda Nomor 2 Tahun 2006 Tentang Pengendalian
Lingkungan Hidup Pada Pengusaha Batik Di Surakarta, Laporan Penelitian DIPA BLU FH UNS

UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan jo UU No. 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.

100 Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013 Penegakkan Hukum Tindak Pidana Illegal ...

Anda mungkin juga menyukai