Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PRAKTIKUM

PERPETAAN

KATA PENGANTAR

Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan dengan segala tuntunan dn
petunjuk-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan praktikum Ilmu Ukur Tanah
ini serta dapat menyelesaikan laporan ini denan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan serta maksud diadakannya Ilmu Ukur Tanah ini adalah agar
para mahasiswa dapat mempraktekkan secara langsung bagaimana cara
pelaksanaan pengukuran tanah, sebagai penerapan teori yang telah diterima
dibangku kuliah. Mengingat terbatasnya waktu praktikum serta banyaknya materi
kuliah, maka tidak semua teori dalam kuliah dapat diterapkan tetapi yang
digunakan hanya yang bersifat pokok saja.
Kami sebagai penulis laporan ini mengucapkan banyak terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu kami, terutama kepada :

1. Bapak Ir. Sutyasno, MT selaku Dosen Pembimbing


2. Theresia Maria C.A. ST, MT dan Selaku Kepala Laboratorium Ilmu
Ukur Tanah
3. Bapak Sumardi selaku Instruktur Lapangan

Kami sadar bahwa laporan yang kami buat ni jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
kami mohon maaf apabila didalam laporan kami ini ada yang tidak sesuai dengan
keinginan dari para pembaca.
Oleh karena itu dengan hormat kami meminta partisipasi dari para pembaca guna
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi menyempurnakan
laporan kami ini.

1
Akhir kata, semoga laporan yang kami susun ini dapat beruna dan
memberikan manfaat yang berarti bagi para pembaca. Sekian dan terimakasih

Surabaya, ...............2011

DAFTAR ISI

LEMBAR ASISTENSI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1Tujuan
1.2 Definisi Peta
1.3 Kegunaan Peta
1.4 Alat Ukur Theodolit,Statip,Rambu Ukur,Patok Kayu,Payung dan
Pendulum
1.5 Denah Lokasi Pengukuran
BAB II. DASAR TEORI
3.1 Peta Tranchis dan Gambar Situasi
3.2 Penentuan Titik Ikat dan Titik Detail
3.3 Pengukuran Jarak dan Beda Tinggi Secara Optis
2.4 Penyajian Peta
BAB III. JALANNYA PRAKTIKUM
3.1 Pekerjaan Pendahuluan
3.2 Pelaksanaan Pengukuran
3.3 Penyelesaian Laporan Sementara
3.4 Tabel Hasil Pengukuran di Lapangan
BAB IV. PERHITUNGAN DAN ANALISA
4.1 Langkah-langlah Perhitungan

2
4.1.1 Perhitungan Sudut Dalam (β)
4.1.2 Perhitungan Azimuth Terkoreksi (φ)
4.1.3 Menghitung Jarak Poligon
4.2 Perhitungan Beda Tinggi dan Elevasi
4.2.1 Perhitungan Beda Tinggi
4.2.2 Perhitungan Elevasi

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
B. Saran
BAB VI. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
PERHITUNGAN GARIS KONTUR
GAMBAR KONTUR

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. TUJUAN
Peta situasi atau yang sering disebut dengan peta topografi skala
besar pada umumnya dipakai untuk pekerjaan teknik sipil seperti,
pembuatan waduk, perencanaan trace jalan, proyek pengaliran, dan
sebagainya. Dengan demikian data-data dan informasi yang diperoleh harus
lengkap yang kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk peta topografi.
Praktikum Ilmu Ukur Tanah ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data-
data dan informasi secara lengkap, kemudian diolah dan disajikan dalam
bentuk peta.
Adapun tujuan praktikum Ilmu Ukur Tanah ini adalah agar
mahasiswa mengenal alat-alat yang digunakan serta mengoperasikannya
dengan baik dan mengolah data-data serta informasi yang didapat
kemudian mampu menentukan letak atau posisi, elevasi areal tanah
dimana data-data tersebut diperoleh dan disajikan pada suatu bentuk peta
yang menggambarkan keadaan sebenarnya.

1.2. DEFINISI/PENGERTIAN PETA


Peta adalah proyeksi bumi kedalam suatu bidang rata (kertas) yang
disertai skala atau perbandingan, missal 1 : 100.000 (1 cm pada kertas = 1

4
km pada bumi), yang berisi gambaran permukaan bumi berupa daratan,
lautan, gunung, danau, dan lain-lain.

1.3. MAKSUD DAN KEGUNAAN PETA


Kegunaan peta sangat banyak dan beraneka ragam, dilihat dari
kegunaannya untuk merencanakan lebih lanjut dan melaksanakan
perencanaan teknis berupa gedung, jalan raya, jalan kereta api, jembatan,
dan lain-lain.
Skala dipilih dan disesuaikan dengan besar kecilnya pekerjaan
yang dilakukan menurut maksud dan kegunaan peta, misalnya :
1. Peta jalan raya untuk keperluan touris
2. Peta sungai untuk keperluan pelayaran
3. Peta geologi untuk menyatakan keadaan geologis suatu daerah
Sehingga, keberadaan peta sangatlah diperlukan didalam suatu perencanaan
dan pelaksanaan suatu pekerjaan teknis.

1.4. ALAT UKUR THEODOLIT, RAMBU UKUR, STATIP


1.4.1. Alat Ukur Theodolit
Theodolit adalah alat untuk mengukur sudut dan arah. Sudut
yang diukur adalah sudut horisontal dan sudut vertikal, karena
theodolit dilengkapi dengan pembacaan sudut baik piringan
horisontal maupun vertikal. Adapun bagian- bagiannya adalah :

Gambar 3.2. Theodolit Konvensional

5
Keterangan gambar theodolit :
1. Plat dinding pelindung lingkaran vertikal di dalamnya
2. Ring pengatur lensa tengah
3. Pengatur fokus benang silang
4. Alat baca lingkaran vertikal/horisontal
5. Lensa obyektif
6. Klem vertikal teropong
7. Penggerak halus teropong
8. Klem alhidade horisontal
9. Penggerak halus horisontal
10. Nivo kotak alhidade horisontal
11. Plat dasar instrumen
12. Nivo tabung alhidade horisontal

1.4.2 Statip
Statip (kaki tiga) dibuat dari kayu yang kering dan dicat kuning
dihubungkan dengan alat-alat sambungan besi. Keguaan dari statip ini
yaitu sebagai penyangga atau kaki pesawat.

6
1.4.3 Rambu Ukur
Rambu ukur sangatlah diperlukan dalam pengukuran tanah, sebab
rambu ukur berfungsi sebagai objek bidikan pada bidik yang
ditentukan, sehingga kita dapat mengetahui besarnya benang atas,
benang tengah, dan benang bawah dari pembacaan rambu ukur
tersebut. Kemudian dari data yang diperoleh tersebut kita dapat
melakukan analisa data yang diperoleh dari rambu ukur tersebut.

1.4.4 Patok Kayu


Patok kayu dibuat dari reng ¾ atau bujur sangkar dan panjangnya
90 centimeter yang salah satu ujungnya diruncingkan dan di
ujung lainnya di beri paku payung agar pembacaan nonius lebih
akurat.

Gambar Patok Kayu

7
1.4.5 Payung
Payung digunakan untuk melindungi theodolit dari sinar matahari
dan hujan. Sebaiknya payung tersebut bukan terbuat dari bahan
logam.

Gambar Payung

1.4.6 Pendulum
Alat ini digunakan untuk membantu dalam meletakkan alat dalam
kondisi tegak lurus terhadap titik yang ditinjau. Karena salah satu
syarat utama dalam pengukuran sudut adalah sumbu vertikal harus
tegak lurus sumbu horisontal. Untuk peralatan modern pendulum
diganti dengan cara optis dengan bantuan teropong

Gambar Pendulum

8
1.4.17 Denah Lokasi Pengukuran
Praktikum yang kami lakukan adalah ditempat kampus ITATS
didepan gedung H, denah lokasi dapat dilihat pada (Gambar 1).

9
BAB II
DASAR TEORI

2.1. PETA TRANCHIS DAN GAMBAR SITUASI


Seperti yang telah disebutkan dalam Bab Pendahuluan, bahwa
pengukuran mengenai letak (posisi), elevasi (ketinggian), dan konfigurasi
dari areal tanah memerlukan beberapa penunjang yang diantaranya adalah
keberadaan pata dan perlengkapan pengukuran yang lengkap.
Data yang diperoleh dari pekerjaan pengukuran tersebut, kemudian
dilukiskan dalam suatu peta topografi. Menurut Davis dan Foote adalah
menggambarkan symbol-simbol yang spesifik mengenai konfigurasi atau
relief tanah yang dipetakan dan keadaan alami atau buatan, seperti saluran
sungai dan lain-lain.
Sedangkan menurut Ayres dan Scoates adalah peta yang
mengambarkan sifat permukaan tanah yang dilengkapi garis-garis kontur
yang berbeda-beda elemennya dan berbagai keadaan yang terdapat pada
areal tanah tersebut dengan menggunakan simbol tertentu.
Didalam pembuatan peta, pengukuran titik detail untuk
penggambaran peta haruslah berdasarkan pada posisi yang tetap baik arah
horizontal maupun vertical. Dengan demikian, penggambaran untuk
pembuatan peta setidaknya kita harus menguasai teori-teori sebagai
berikut :
1. Teori tentang poligon tertutup
2. Teori tentang pembuatan titik detail
3. Teori tentang pengukuran jarak dan beda tinggi secara optis
4. Teori tentang penggambaran peta

2.1.1. Poligon Tertutup


Suatu bentuk pengukuran dimana pengukuran ini dilakukan
seterusnya dari titik-titik tersebut merupakan suatu daerah pemetaan.
Dan pengukuran ini dilakukan searah jarum jam.

10
Untuk pengukuran polygon ini kita harus mempunyai beberapa
titik-titik kedudukan sebagai awal pedoman untuk pengukuran
selanjutnya. Juga diperlukan sebuah titik sebagai acuan Bench Mark
(BM), bilamana tidak ada titik BM, dengan catatan benda tersebut
tidak berubah kedudukannya.

2.1.2. Garis Kontur


Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik
yang elevasinya sama. Garis kontur memberikan informasi tentang
daerah peta dan tidak menyembunyikan rincian-rincian peta
lainnya yang penting. Garis-garis kontur juga memperlihatkan
elevasi dan konfigurasi permukaan tanah. Elevasi titik-titik yang
tidak terletak diatas garis kontur biasa dicari dengan interpolasi
antara dua garis kontur yang terletak pada kedua titik tersebut.
Garis kontur mulai dan berakhir pada tepi peta, atau menutup
pada dirinya sendiri. Garis kontur yang menutup dirinya sendiri
akan diperlihatkan oleh serangkaian garis kontur yang membentuk
lingkaran diatas peta. Mereka menunjukan sebuah depresi atau
sebuah bukit. Sebuah bukit dapat diidentifikasikan dengan elevasi
yang bertambah. Dalam sebuah depresi, garis kontur tertutup
paling dalam akan terletak pada elevasi terendah. Pada garis kontur
terendah, tanda arsiran yang menuju lubang tersebut akan terlihat.
Ini memastikan bahwa anda melihat sebuah lubang depresi karena
tidak ada tanda arsiran yang digunakan pada bukit.

11
Garis kontur yang berjarak sama sepanjang garis yang tegak
lurus terhadap kontur tersebut menunjukan kelandaian yang tetap.
Kontur yang lurus, sejajar, berjarak sama menunjukan timbunan
atau galian buatan manusia. Untuk memudahkan timbunan atau
galian sebuah peta topografi, setiap garis kontur kelima dibuat
lebih tebal. Garis ini disebut kontur indeks. Kalau interfal kontur
adalah 1 ft, garis-garis kontur yang elevasinya kelipatan 5 ft
diperlihatkan dengan garis tebal. Kalau intervalnya 10 ft, kontur
mempunyai elevasi kelipatan 50 ft.
Beberapa aturan-aturan dasar untuk menggambar garis
kontur adalah sebagai berikut :
- Garis kontur tidak pernah berakhir atau berpotongan
- Garis-garis kontur harus memiliki kenaikan elevasi
sama
- Garis kontur tidak bercabang menjadi dua kontur
dengan elevasi sama
- Garis kontur harus tegak lurus terhadap jurusan
kelandaian maksimum
- Garis kontur yang tidak teratur menunjukan daerah
yang tidak rata

2.1.3. Metode Lapangan Yang Dipakai


Faktor-faktor yang mempengaruhi metode lapangan dalam
pembuatan peta topografi adalah :
1. Skala peta
2. Interfal kontur
3. Kondisi alamiah tanah
4. Jenis proyek
5. Peralatan yang tersedia
Dalam praktikum ini, kami menggunakan metode radiasi
dimana adalah titik traverse yang diliputi oleh Theodolit. Sudut

12
diukur ke titik yang dikehendaki, lalu jarak ketitik tersebut diukur
dengan pita ukur. Pojok bangunan maupun objek lainnya buatan
manusia harus dicantumkan. Panjang, lebar dan proyeksi yang
merupakan data penting diukur serta digambar didalam buku
lapangan.

2.1.4. Koreksi Kesalahan Yang Terjadi


Koreksi kesalahan sangatlah diperlukan dalam analisa
data, sebab data yang dianalisa tersebut diperlukan ketelitian.
Beberapa hal yang perlu dikoreksi dalam analisa data yaitu :
- Kontrol tidak terkoreksi
- Jarak titik kontrol terlalu besar
- Titik-titik kontrol tidak dipilih
- Pemilihan titik-titik untuk penggambaran kontur tidak
baik
- Kontur yang diambil tidak cukup
- Kontur horizontal dan vertikal tidak cukup

2.2. PENENTUAN TITIK DAN TITIK DETAIL


Dalam penggambaran polygon titik-titik kontrol, metode-metode
yang dipakai untuk meletakkan posisi detail pada peta tergantung pada
prosedur yang dipakai untuk menentukan lokasinya, dan bentuk dimana
lokasi itu berada. Bila catatan lapangan adalah bentuk dan jarak, pusat batas
dan titik-titik penting diatas dimana pekerjaan konstruksi sudah terjadi
tergantung padanya, digambar dengan metode koordinat. Sedangkan untuk
jarak digambar dengan skala dari puncak, untuk menggambar detail
jelasnya tentang cara-cara membuat detail dengan busur.

2.3. PENGUKURAN JARAK DAN BEDA TINGGI SECARA OPTIS


Pengukuran dilakukan secara langsung dengan menggunakan pita
ukur untuk titik-titik yang dekat dengan pesawat atau dengan titik-titik yang

13
posisinya akan dicari dengan teliti dan dikontrol dengan pengukuran
menggunakan pesawat Theodolit untuk mendapatkan jarak optis dan
hasilnya digunakan sebagai pembanding. Untuk mendapatkan jarak optis,
pesawat ditempatkan pada titik utama yang telah ditentukan, kemudian
dicatat tinggi pesawat. Arahkan tropong pada pada pembacaan bak
kemudian dicatat (BA, BT, BB).

Pada pengukuran titik tinggi, beda tinggi, maupun jarak pada


umumnya dilakukan secara optis.
BA

BT

BB

GAMBAR PENGUKURAN DENGAN SUDUT MIRING (α) POSITIF

14
BA

BT

BB

GAMBAR PENGUKURAN DENGAN SUDUT MIRING (α) NEGATIF

a) Menentukan Sudut Dalam (β)


1) β1 = αAF – αAB
2) β2 = αBA – αBC
3) β3 = αCB – αCD
4) β4 = αDC – αDE
5) β5 = αED – αEF
6) β6 = αFE – αFA +
Σβ

b) Koreksi Sudut Untuk Poligon Tertutup (fα)


fα = ( n – 2 ) 180 + Σβ
Dimana : n = jumlah titik yang dibidik
Σβ = jumlah sudut

c) Koreksi Masing-masing Sudut


fα / n

15
d) Perhitungan Jarak (D)
D = 100 ( BA – BB ) Cos2 α
Dimana : α = 270˚ - pembacaan vertical

- Perhitungan Azimuth (φ)


φAB = misal A ( Awal)
φBC = φAB + (180 – β2)
φCD = φBC + (180 – β3)
φDE = φCD + (180 – β4)
φEF = φDE + (180 – β5)
φFA = φEF + (180 – β6)
→ Chek : φAB = φFA + (180 – β1)

e) Menghitung Panjang Proyeksi Sisi Poligon Pada Sumbu-X


Fx = di . Sin φ

f) Menghitung Panjang Proyeksi Sisi Poligon Pada Sumbu-Y


Fy = di . Cos φ

g) Beda Tinggi (ΔH)

ΔH = TP + – BT

Dimana : TP = tinggi pesawat


BA = benang atas
BB = benang bawah
BT = benang tengah

16
2.4. PENYAJIAN PETA
2.4.1. Mengambar Titik Poligon
Sebelum titik poligon digambar diatas kertas, terlebih
dahulu harus diperiksa apakah kesalahan yang terjadi telah
memenuhi syarat. Apabila ternyata kesalahan terlalu besar, maka
kita berusaha untuk melokalisir kesalahan tersebut. Menggambar
titik-titik poligon pada kertas dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu :
1. Dengan koordinat
2. Dengan cara grafis
Pada penggambaran titik poligon dengan cara koordinat
akan menghasilkan posisi yang lebih teliti dibandingkan dengan
grafis.

2.4.2. Mengambar Titik Detail


Penggambaran titik detail dapat dilakukan dengan
menggunakan busur derajat dan mistar skala. Pusat diletakkan pada
titik tempat pesawat dan skala busur diarahkan ke sumbu-O pada
sumbu-Y (utara), sudut yang sudah dibaca berupa azimuth, maka
bacaan ke titik poligon harus disesuaikan dengan sudut pada busur
derajat.
Sedangkan titik-titik detail yang lainnya dapat digambar
sesuai dengan pembacaan sudut horizontal dan jaraknya.

Mengambar Garis Tinggi


Garis tinggi adalah garis yang menghubungkan titik yang
sama elevasinya. Dari garis kontur ini dapat membayangkan
keadaan medan yang sebenarnya. Besarnya kontur interval
tergantung dari skala peta, kelandaian, atau menurut kebutuhan.
Untuk menggambarkan garis kontur harus dicari dulu titik-titik
yang tersedia dengan menggunakan perbandingan jarak.

17
Skala Peta
Pemilihan skala untuk sebuah peta pada ukuran proyek,
presisi yang dikehendaki dan kegunaannya peta tersebut didesain.
Skala peta diberikan menurut tiga cara yaitu :
1) Bentuk pecahan atau perbandingan, seperti 1/2000 atau 1 :
2000
2) Persamaan, seperti 1 inc = 200 ft
3) Grafik
Skala peta diklasifikasikan sebagai besar, sedang, ataupun
kecil. Sebuah sekala besar 1 inc = 100 ft (1 : 200) atau lebih besar.
Sebuah skala sedang misalnya : 1 inc = 100 ft sampai 1000 ft (1 :
200) sampai (1 : 12000). Sebuah skala kecil misalnya : 1 inc = 100
ft (1 : 12000) atau lebih kecil. Dalam pengambaran garis kontur
nanti kami mengunakan skala 1 : sesuai perhitungan.

Finishing
Ketelitian peta topografi ditentukan dari tujuan penggunaan
peta, peralatan yang digunakan dalam pembuatan peta. Disamping
hal-hal tersebut, peta harus dilengkapi hal-hal berikut, yang
merupakan finishing dari pembuatan antara lain :
1) Panah arah petunjuk arah utara
2) Skala peta, areal peta
3) Keterangan, macam peta, kegunaan peta
4) Keterangan areal yang dipetakan
5) Interval kontur yang digunakan
6) Tanggal, bulan, tahun pembuatan peta
7) Nama pemeta (pelaksana)
Bila hal tersebut diatas sudah dilakukan, maka peta sudah
siap digunakan sesuai keperluan.

18
BAB III
JALANNYA PRAKTIKUM

3.1. PEKERJAAN PENDAHULUAN


3.1.1. Penentuan Titik Bench Mark
Hal yang pertama kali dilakukan adalah melakukan survei lapangan untuk
melihat dari batas-batas lokasi yang akan dipetakan. Barulah akan ditentukan titik
yang berfungsi sebagai titik tetap atau Bench Mark (BM). Karena pada waktu
praktikum tidak ada Bench Mark, maka kami menggunakan BM palsu yang kami
tempatkan pada lapangan depan gedung H.

3.1.2. Membuat Patok Titik Ikat


Setelah ditentukan titik Bench Marknya, kemudian ditentukan jumlah titik
utamanya sebanyak 6 buah titik, dan dilakukan pengukuran secara manual dengan
menggunakan bak ukur pada titik-titik utama yaitu titik A, B, C, D, E, F, yang
mana keenam titik utama tersebut ditandai dengan cat pilox untuk menghindari
kelupaan.

3.2. PELAKSANAAN PENGUKURAN


1. Menentukan titik detail utama, titik BM, dan titik detail tambahan
2. Mendirikan statip tepat diatas patok dititik detail utama dengan cara
meluruskan untuing-unting jatuh tepat diatas patok
3. Menempatkan Theodolite diatas statip, lalu kait dengan baut dimana salah
seorang di statip bagian atas dan seorang lagi di Theodolite bagian bawah
sampai kencang
4. Sebelum kita melakukan segala penyetelan, segala pengunci horizontal dan
vertikal pada Theodolite harus bebas semua
5. Menyetel nivo bawah (nivo bulat) yaitu menempatkan gelembung yang ada
di nivo bulat agar tepat di tengah-tengah lingkaran, dengan memutar sekrup
menyetel A, B, C dengan cara memutar sekrup dengan arah berlawanan
sehinga gelembung terletak tepat di lingkaran

19
6. Menyetel nivo atas (nivo tabung) yaitu menempatkan gelembung nivo yang
ada di nivo tabung yang ada di tengah-tengah tanda dengan jalan memutar
salah satu sekrup menyetel nivo tabung sampai gelembung jatuh tepat di
tengah-tengah tanda. Dengan catatan bahwa gelembung di nivo bulat tidak
boleh berpindah tempat (keluar dari lingkaran). Jadi kedua gelembung nivo
harus tepat di tengah-tengah
7. Mengenolkan detik yang ada di teropong pada lensa sebelah kanan dengan
memutar skrup menyetel menit detik yang terletak disebelah kanan teropong
8. Memutar lempeng yang terletak pada bagian bawah Theodolite yang
bertujuan untuk mengenolkan horizontalnya. Sambil memutar lempeng kita
melihat teropong pada lensa sebelah kanan, apakah sudah horizontal atau
belum. Apabila sudah horizontal lalu putar pengunci horizontal dengan cara
memutar searah jarum jam. Penguncinya terletak diatas lempeng, maka
horizontal sudah terkunci
9. Mengutarakan kompas dengan melihat kompas yang ada dibagian atas
pesawat. Bila garis putih sudah tepat atau masuk tanda, maka pesawat sudah
menghadap utara. Kemudian dikunci dengan pengunci arah utara, dengan
cara memutar searah jarum jam. Penguncinya terletak dibawah lempeng,
maka arah utara sudah terkunci.
10. Menyetel pesawat agar membentuk sudut 2700 terhadap sudut vertikal
dengan cara menaik turunkan teropong sambil melihat pada lensa sebelah
kanan, apakah sudah 2700 atau belum. Apabila sudah tepat 2700 lalu kunci
dengan pengunci vertikal, dengan cara memutar searah jarum jam. Pengunci
terletak disamping teropong, maka arah vertikal sudah dikunci.
11. Menempatkan bak atau rambu ukur pada titik detail tambahan, titik BM, dan
kedelapan titik yang mengapit
12. Membuka kunci horizontal, untuk memutar pesawat sampai baak kelihatan
pada lensa. Setelah terlihat lalu kunci kembali pengunci horizontal
13. Membaca BA, BT, BB pada baak dengan melihat pada teropong lensa
sebelah kiri, apabila pembacaan kurang jelas, kita harus memutar penyetel
diagfragma lensa sampai baak bias terbaca dengan jelas.

20
14. Membaca sudut vertical dengan melihat pada teropong lensa sebelah kanan.
Dengan cara memutar penyetel menit, detik sampai derajat jatuh tepat pada
tengah-tengah diantara dua garis, lalu membaca besar sudut menit, detik
sampai derajat.
15. Membaca sudut horizontal dengan melihat pada teropong lensa sebelah
kanan. Dengan cara memutar penyetel menit, detik sampai derajat jatuh
tepat pada tengah-tengah diantara dua garis, lalu membaca besar sudut
menit, detik pada arah horizontal.
16. Setelah selesai dititik detail utama A, kemudian memindahkan pesawat ke
titik detail B, begitu seterusnya untuk titik detail utama C, D, E, F
17. Melakukan hal yang sama pada nomor 2 sampai pada dengan nomor 10
untuk penyetelan alat

Catatan :
1) Disetiap titik detail utama selalu dilakukan pekerjaan nomor 2 sampai
nomor 10 untuk penyetelan alat dan sebelum membidik baak
2) Memutar pesawat selalu searah jarum jam, agar tidak terjadi kesalahan
pembacaan pada sudut horizontal
3) Pada waktu pembidikan (pembacaan baak), pengunci yang terbuka
hanyalah pengunci horizontalnya saja
4) Apabila pada pembacaan sudut horizontal maupun vertikal, dimana
derajatnya tidak jatuh di tengah-tengah (pembacaan sudut yang di baca
terlebih adalah sudut vertikal baru sudut horizontal). Maka pembacaan
sudut vertikal diputar pengunci vertikal pada pengerak halus sampai
derajat vertikal tepat ditengah-tengah, kemudian dibaca. Dan untuk
pembacaan sudut horizontal diputar pengunci horizontal pada penggerak
halus sampai derajat horizontal sampai ditengah-tengah, kemudian dibaca
besarnya derajat, menit, dan detik.

21
3.3. PENYELESAIAN LAPORAN SEMENTARA
Setelah praktikum selesai dilakukan dimana data-data ukur sudah
dibukukan ke dalam buku ukur, maka barulah dapat dilakukan penyelesaian buku
ukur yaitu perhitungan sementara dari data yang ada untuk dilakukan kembali,
apakah data yang kita peroleh deri hasil pengukuran sesuai dengan keadaan
dilokasi.

3.4. TABEL HASIL PENGUKURAN DILAPANGAN


Titik/ Titik Yang Pembacaan Benang Sudut Sudut Ketera
Tinggi Dibidik Horisontal vertikal ngan
Pesawat Titik Titik Atas Tengah Bawah
Ikat Detail
BM 1,507 1,415 1,324 60˚14’15” 90˚
B 1,318 1,278 1,248 164˚31’30” 90˚
F 1,507 1.406 1,375 264˚37’37” 90˚
A 1 1,370 1,290 1,200 12˚48’10” 90˚
(1,410) 2 1,515 1,455 1,395 62˚14’45” 90˚
3 1,458 1,415 1,371 126˚13’30” 90˚
4 1,255 1,180 1,105 186˚13’30” 90˚ Teras
5 1,410 1,250 1,330 211˚13’35” 90˚ Teras
6 1,660 1,515 1,365 246˚14’40” 90˚ Paving
7 1,457 1,315 1,165 255˚58’10” 90˚ Pohon
8 1,450 1,330 1,255 302˚14’50” 90˚ Rumput
C 1,355 1,245 1,115 357˚30’10” 90˚
A 1,277 1,166 1,064 73˚34’50” 90˚
1 1,413 1,333 1,252 27˚06’40” 90˚
B 2 1,265 1,170 1,095 80˚47’40” 90˚
(1.350) 3 1,248 1,193 1,147 113˚13’35” 90˚
4 1,083 1,017 0,947 151˚02’25” 90˚ Teras
5 1,090 1,030 0,970 174˚20’30” 90˚ Teras

22
6 1,475 1,415 1,355 206˚45’30” 90˚ Paving
7 1,313 1,272 1,232 221˚45’35” 90˚ Pohon
8 1,338 1,288 1,238 302˚53’25” 90˚ Rumput

D 1,475 1,365 1,255 238˚47’20” 90˚


B 1,520 1,400 1,278 22˚43’40” 90˚
1 1,415 1,323 1,225 262˚2’20” 90˚
C 2 1,270 1,150 1,070 129˚00’20” 90˚
(1,400) 3 1,420 1,330 1,250 335˚26’40” 90˚
4 1,360 1,170 0,980 359˚29’40” 90˚
5 1,350 1,180 1,000 13˚1’40” 90˚
6 1,470 1,375 1,275 40˚4’37” 90˚
7 1,530 1,445 1,360 77˚38’20” 90˚
8 1,581 1,520 1,460 127˚08’20” 90˚
E 1,230 1,145 1,069 113˚15’20” 90˚
C 1,478 1,360 1,250 133˚35’20” 90˚
1 1,412 1,362 1,310 133˚36’30” 90˚
D 2 1,495 1,405 1,320 133˚36’40” 90˚
(1.410) 3 1,505 1,425 1,340 148˚01’10” 90˚
4 1,460 1,385 1,310 167˚4’30” 90˚
5 1,435 1,369 1,300 201˚35’10” 90˚
6 1,445 1,368 1,292 275˚24’10” 90˚
7 1,435 1,370 1,300 213˚3’00” 90˚
8 1,105 1,050 0,995 258˚42’40” 90˚
F 1,780 1,685 1,590 13˚16’10” 90˚
D 1,700 1,620 1,540 142˚01’40” 90˚
1 1,386 1,329 1,289 18˚24’50” 90˚
E 2 1,750 1,695 1,636 56˚48’30” 90˚
(1.400) 3 1,765 1,710 1,655 96˚30’10” 90˚
4 1,690 1,635 1,580 132˚19’28” 90˚

23
5 1,335 1,282 1,280 172˚18’50” 90˚
6 1,650 1,588 1,525 248˚27’10” 90˚
7 1,600 1,550 1,469 280˚57’60” 90˚
8 1,769 1,692 1,619 320˚06’30” 90˚
A 1,435 1,345 1,255 19˚24’10” 90˚
E 1,255 1,160 1,065 115˚36’00” 90˚
1 1,469 1,427 1,385 324˚53’10” 90˚
F 2 1,310 1,265 1,220 3˚26’20” 90˚
(1,430) 3 1,541 1,405 1,265 40˚43’00” 90˚
4 1,550 1,435 1,329 61˚54’40” 90˚
5 1,532 1,430 1,321 80˚28’30” 90˚
6 1,130 1,060 0,985 90˚30’20” 90˚
7 1,490 1,410 1,330 125˚14’30” 90˚
8 1,440 1,375 1,260 143˚39’20” 90˚

24
BAB IV
PERHITUNGAN DAN ANALISA DATA

4.1. LANGKAH-LANGKAH PERHITUNGAN :


4. 1.1 Perhitungan Sudut Dalam (β) :
βA =360˚+ αAF - αAB
= 360˚+ 77˚59’20”- 295˚14’30” = 142˚44’50”
βB = 360˚+ αBA – αBC
= 360˚+ 116˚36’00” - 7˚56’10” = 251˚20’10”
βC = 360˚+ αCB – αCD
= 360˚+ 194˚27’15” - 74˚10’25” = 239˚43’10”
βD = 360˚+ αDC – αDE
= 360˚+ 250˚05’30” - 118˚17’05” = 228˚11’35”
βE = 360˚+ αEF -αED
= 360˚+ 83˚00’00”-196˚29’00” = 80˚31’00”
βF =360˚+ αFA - αFE
= 360˚+ 125˚01’20”-237˚29’50” = 247˚31’30” +
Σβ = 1190˚2’15”
Syarat Rataan Sudut = 180˚ × (n – 2)
= 180˚ × (6 – 2) = 720˚00’00”
Koreksi Sudut Dalam = Σβ – (n – 2) × 180˚
= 1190˚2’15” - 720˚00’00”
= 470˚2’15”
Rataan Tiap Sudut = 470˚2’15” = 78˚20’22,5”
6
Perhitungan Sudut Dalam Terkoreksi :
β'A = 142˚44’50”+ 78˚20’22,5”= 64˚24’27,5”
β'B = 251˚20’10”+ 78˚20’22,5”= 172˚59’47,5”
β'C = 239˚43’10”+78˚20’22,5”= 161˚22’47,5”
β'D = 228˚11’35”+ 78˚20’22,5”= 306˚31’37,5”
β'E = 80˚31’00” + 78˚20’22,5”= 2˚10’37,5”

25
β'F = 247˚31’30” + 78˚20’22,5” = 169˚11’7,5”

4.1.2 Perhitungan Azimuth Terkoreksi


φAB = 295˚14’30”
φBC = 295˚14’30” + 180˚ - 172˚59’47,5” = 302˚14’42,5”
φCD = 302˚14’42,5”+ 180˚ - 161˚22’47,5” = 320˚51’55”
φDE = 18˚37’12,5” + 180˚- 149˚51’12,5” = 85˚21’17,5”
φEF =48˚46’00” + 180˚ - 2˚10’37,5” = 226˚35’22,5”
φFA = 226˚35’22,5” + 180˚-169˚11’7,5” = 237˚24’15”

4.1.3 Menghitung Jarak Poligon


Rumus : d = (BA – BB).100.cos2.(θ - 270˚)
Muka :
dAB = (1,375 – 1,175).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 18,2 m
dBC = (1,097 – 0,952).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 14,5 m
dCD = (1,529 – 1,334).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 19,5 m
dDE = (1,480 – 1,275).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 20,5 m
dEF = (1,582 – 1,420).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 16,2 m
dFA = (1,962 – 1,755).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 20,7 m
Belakang :
dBA = (1,679 – 1,499).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 18 m
dCB = (1,800 – 1,645).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 15,5 m
dDC = (1,400 – 1,225).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 17,5 m
dED = (1,525 – 1,320).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 20,5 m
dFE = (1,442 – 1,282).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 16 m
dAF = (1,097 – 0,889).100.cos2. (90˚ - 270˚) = 20,8 m

d Rata-Rata
dBA = 18,2 m + 18 m = 18,1
2

26
dCB = 14,5 m + 15,5 m = 15
2
dDC = 19,5 m + 17,5 m = 18,5
2
dED = 20,5m + 20,5 m = 20,5
2
dEF = 16,2m + 16 m = 16,1
2
dAF = 20,7m + 20,8 m = 20,75 +
2
 d = 108,95 m

Jarak Sumbu X Pada Titik Utama


XAB = dAB sin φAB = 18,1 sin 295˚14’30” = -16,372
XBC = dBC sin φBC = 15 sin 302˚14’42,5” = - 12,687
XCD = dCD sin φCD = 18,5 sin 320˚51’55” = -11,676
XDE = dDE sin φDE = 20,5 sin 85˚21’17,5” = 20,432
XEF = dEF sin φEF = 16,1 sin 226˚35’22,5” = -11,695
XAF = dAF sin φAF = 20,75 sin 237˚24’15” = -17,482 +
FX = -43,574

Koreksi Arah Sumbu X Pada Titik Utama


X=d.sin φ –d/d.FX
XAB = -16,372 - (18,1/108,95). -43,574 = -9,133
XBC = -12,687 - (15/108,95). -43,574 = -6,688
XCD = -11,676- (18,5/108,95). -43,574 = -4,277
XDE = 20,432- (20,5/108,95). -43,574 = 28,631
XEF = -11,695 - (16,1/108,95). -43,574 = -5,256
XAF = -17,482 - (20,75/108,95). -43,574 = -9,183

27
Koordinat Titik X
XBM = ± 70,00
XA = 70,00 - 9,133 = 60,867
XB = 59,761 - 6,688 = 54,179
XC = 52,156 - 4,277 = 49,902
XD = 64,33 + 28,631 = 84,433
XE = 86,693 - 5,256 = 79,177
XF = 80,453 - 9,183 = 69,994

Jarak Sumbu Y Pada Titik Utama


YAB = dAB cos φAB = 18,1 cos 295˚14’30” = 7,719
YBC = dBC cos φBC = 15 cos 302˚14’42,5” = 8,003
YCD = dCD cos φCD = 18,5 cos 320˚51’55” = 14,349
YDE = dDE cos φDE = 20,5 cos 85˚21’17,5” = 1,660
YEF = dEF cos φEF = 16,1 cos 226˚35’22,5” = -11,064
YAF = dAF cos φAF = 20,75 cos 237˚24’15” = -11,178 +
FY = 9,489

Koreksi Arah Sumbu Y Pada Titik Utama


Y = d.cos φ –d/d.FY
YAB = 7,719 - (18,1/108,95). 9,489 = 6,143
YBC = 8,003 - (15/108,95). 9,489 = 6,697
YCD = 14,349- (18,5 /108,95). 9,489 = 12,738
YDE = 1,660- (20,5/108,95). 9,489 = -0,125
YEF = -11,064 - (16,1/108,95). 9,489 = -12,466
YAF = -11,178 - (20,75/108,95). 9,489 = -12,985

28
Koordinat Titik Y
YBM = ± 15,00
YA = 15,00 + 6,143= 21,143
YB = 18,645 + 6,697= 27,84
YC = 27,89 + 12,738= 40,578
YD = 36,639 - 0,125 = 40,453
YE = 45,536 -12,466= 27,987
YF = 27,987 – 12,985= 15,002

4.1.4 Menghitung Jarak Poligon Pada Titik Detail


Titik A
d = (BA – BB).100. cos2 (φ-270˚)
dA1 = (1,296-1,231).100. cos2 (90˚-270˚) = 6,5 m
dA2 = (1,255-1,175).100. cos2 (90˚-270˚) = 8 m
dA3 = (1,562-1,488).100. cos2 (90˚-270˚) = 38,7 m
dA4 = (1,753-1,693).100. cos2 (90˚-270˚) = 6 m
dA5 = (1,764-1,722).100. cos2 (90˚-270˚) = 4,2 m
dA6 = (1,468-1,397).100. cos2 (90˚-270˚) = 7,1 m
dA7 = (1,244-1,152).100. cos2 (90˚-270˚) = 9,2 m
dA8 = (1,255-1,151).100. cos2 (90˚-270˚) = 10,4 m +
dA = 90,1 m
Jarak Terhadap Sumbu X
X = d.sin α
X A1 = 6,5 sin 16˚23’15” = 1,833
X A2 = 8 sin 39˚44’30” = 5,115
X A3 = 38,7 sin 71˚35’15” = 36,719
X A4 = 6 sin 98˚57’10” = 5,927
X A5 = 4,2 sin 249˚16’30” = -3,928
X A6 = 7,1 sin 279˚44’30” = -6,998
X A7 = 9,2 sin 303 ˚21’20” = -7,685

29
X A8 = 10,4 sin 331˚23’10” = -4,980 +
FX = 26,003

Koreksi Arah Sumbu X


X = d/d.FX
X A1 = 6,5 x 26,003 = 1,876
90,1
X A2 = 8 x 26,003 = 2,309
90,1
X A3 = 38,7 x 26,003 = 11,169
90,1
X A4 = 6 x 26,003 = 1,732
90,1
X A5 = 4,2 x 26,003 = 1,212
90,1

X A6 = 7,1 x 26,003 = 2,049


90,1
X A7 = 9,2 x 26,003 = 2,655
90,1
X A8 = 10,4 x 26,003 = 3,001
90,1

Jarak Terhadap Sumbu Y


Y = d.cos α
YA1 = 6,5 cos16˚23’15” = 6,236
YA2 = 8 cos 39˚44’30” = 6,151
YA3 = 38,7 cos 71˚35’15” = 12,223
YA4 = 6 cos 98˚57’10” = -0,933
YA5 = 4,2 cos 249˚16’30” = -1,486
YA6 = 7,1 cos 279˚44’30” = 1,201

30
YA7 = 9,2 cos 303 ˚21’20” = 5,058
YA8 = 10,4 cos 331˚23’10” = 9,129 +
FY = 37,579

Koreksi Arah Sumbu Y


YA1 = 6,5 x 37,579 = 2,711
90,1
YA2 = 8 x 37,579 = 3,337
90,1
YA3 = 38,7 x 37,579 = 16,141
90,1
YA4 = 6 x 37,579 = 2,502
90,1
YA5 = 4,2 x 37,579 = 1,752
90,1
YA6 = 7,1 x 37,579 = 2,961
90,1
YA7 = 9,2 x 37,579 = 3,837
90,1

YA8 = 10,4 x 37,579 = 4,338


90,1
Titik B
d = (BA – BB).100. cos2 (φ-270˚)
dB1 = (1,042-0,985).100. cos2 (90˚-270˚) = 5,7 m
dB2 = (1,255-1,175).100. cos2 (90˚-270˚) = 8 m
dB3 = (1,562-1,488).100. cos2 (90˚-270˚) = 7,4 m
dB4 = (1,753-1,693).100. cos2 (90˚-270˚) = 6 m
dB5 = (1,764-1,722).100. cos2 (90˚-270˚) = 4,2 m
dB6 = (1,468-1,397).100. cos2 (90˚-270˚) = 7,1 m
dB7 = (1,244-1,152).100. cos2 (90˚-270˚) = 9,2 m

31
dB8 = (1,255-1.205).100. cos2 (90˚-270˚) = 5 m +
dB = 52,6 m

Jarak Terhadap Sumbu X


X = d.sin α
XB1 = 5,7 sin 21˚37’30” = 2,100
XB2 = 8 sin 64˚42’30” = 7,233
XB3 = 7,4 sin 102˚19’05” = 7,229
XB4 = 6 sin 152˚28’45” = 2,779
XB5 = 4,2 sin 173˚44’55” = 0,457
XB6 = 7,1 sin 196˚51’55” = -2,059
XB7 = 9,2 sin 340˚53’50” = -3,010
XB8 = 5 sin 08˚48’40” = 0,766 +
FX = 12,716

Koreksi Arah Sumbu X


X = d/d.FX
XB1 = 5,7.(12,716) = 1,378
52,6
XB2 = 8.(12,716) = 1,934
52,6
XB3 = 7,4.(12,716) = 1,788
52,6
XB4 = 6.(12,716) = 1,450
52,6
XB5 = 4,2.(12,716) = 1,015
52,6
XB6 = 7,1.(12,716) = 1,716
52,6

32
XB7 = 9,2.(12,716) = 2,224
52,6
XB8 = 5.(12,716) = 1,208

Jarak Terhadap Sumbu Y


Y = d.cos α
YB1 = 5,7 cos 21˚37’30” = 5,298
YB2 = 8 cos 64˚42’30” = 3,417
YB3 = 7,4 cos 102˚19’05” = -1,578
YB4 = 6 cos 152˚28’45” = -5,321
YB5 = 4,2 cos 173˚44’55” = -4,175
YB6 = 7,1 cos 196˚51’55” = -6,829
YB7 = 9,2 cos 340˚53’50” = 8,693
YB8 = 5 cos 08˚48’40” = 4,941 +
FY = 4,446

Koreksi Arah Sumbu Y


Y = d/d.FY
YB1 = 5,7.( 4,446) = 0,482
52,6
YB2 = 8.( 4,446) = 0,676
52,6
YB3 = 7,4.( 4,446) = 0,625
52,6
YB4 = 6.( 4,446) = 0,507
52,6
YB5 = 4,2.( 4,446) = 0,355
52,6
YB6 = 7,1.( 4,446) = 0,600
52,6

33
YB7 = 9,2.( 4,446) = 0,778
52,6
YB8 = 5.( 4,446) = 0,423
52,6

Titik C
d = (BA – BB).100. cos2 (φ-270˚)
dC1 = (1,550-1,492).100. cos2 (90˚-270˚) = 5,8 m
dC2 = (1,559-1,512).100. cos2 (90˚-270˚) = 4,7 m
dC3 = (1,397-1,290).100. cos2 (90˚-270˚) = 10,7 m
dC4 = (1,620-1,500).100. cos2 (90˚-270˚) = 12 m
dC5 = (1,795-1,680).100. cos2 (90˚-270˚) = 11,5 m
dC6 = (1,735-1,682).100. cos2 (90˚-270˚) = 5,3m
dC7 = (1,745-1,697).100. cos2 (90˚-270˚) = 4,8 m
dC8 = (1,405-1,375).100. cos2 (90˚-270˚) = 3 m +
dC = 57,8 m

Jarak Terhadap Sumbu X


X = d.sin α
XC1 = 5,8 sin 17˚51’10” = 1,778
XC2 = 4,7 sin 149˚44’05” = 2,368
XC3 = 10,7 sin 180˚14’40” = -0,046
XC4 = 12 sin 192˚43’55” = -2,645
XC5 = 11,5 sin 205˚30’10” = -4,951
XC6 = 5,3 sin 234˚13’40” = -4,300
XC7 = 4,8 sin 321˚45’35” = -2,971
XC8 = 3 sin 01˚19’50” = 0,069 +
FX = -10,698

34
Koreksi Arah Sumbu X
X = d/d.FX
XC1 = 5,8.(-10,698) = -1,074
57,8
XC2 = 4,7.(-10,698) = -0,870
57,8

XC3 = 10,7.(-10,698) = -1,980


57,8
XC4 = 12.(-10,698) = -2,221
57,8
XC5 = 11,5.(-10,698) = -2,128
57,8
XC6 = 5,3.(-10,698) = -0,980
57,8
XC7 = 4,8.(-10,698) = -0,888
57,8
XC8 = 3.(-10,698) = 0,555
57,8

Jarak Terhadap Sumbu Y


Y = d.cos α
YC1 = 5,8 cos 17˚51’10” = 5,520
YC2 = 4,7 cos 149˚44’05” = -4,059
YC3 = 10,7 cos 180˚14’40” = -10,699
YC4 = 12 cos 192˚43’55” = -11,705
YC5 = 11,5 cos 205˚30’10” = -10,379
YC6 = 5,3 cos 234˚13’40” = -3,098
YC7 = 4,8 cos 321˚45’35” = 3,770
YC8 = 3 cos 01˚19’50” = 2,999 +
FY = -27,651

35
Koreksi Arah Sumbu Y
Y = d/d.FY
YC1 = 5,8.(-27,651) = -2,775
57,8
YC2 = 4,7.(-27,651) = -2,248
57,8
YC3 = 10,7.(-27,651) = -5,118
57,8
YC4 = 12.(-27,651) = -5,740
57,8
YC5 = 11,5.(-27,651) = -5,501
57,8
YC6 = 5,3.(-27,651) = -2,535
57,8
YC7 = 4,8.(-27,651) = -2,296
57,8
YC8 = 3.(-27,651) = -1,435
57,8

Titik D
d = (BA – BB).100. cos2 (φ-270˚)
dD1 = (1,425-1,370).100. cos2 (90˚-270˚) = 5,5 m
dD2 = (1,422-1,350).100. cos2 (90˚-270˚) = 7,2 m
dD3 = (1,360-1,285).100. cos2 (90˚-270˚) = 7,5 m
dD4 = (1,375-1,315).100. cos2 (90˚-270˚) = 6 m
dD5 = (1,452-1,405).100. cos2 (90˚-270˚) = 4,7 m
dD6 = (1,440-1,380).100. cos2 (90˚-270˚) = 6 m
dD7 = (1,385-1,340).100. cos2 (90˚-270˚) = 4,5 m
dD8 = (1,402-1,345).100. cos2 (90˚-270˚) = 5,7 m +
dD = 47,1 m

36
Jarak Terhadap Sumbu X
X = d.sin α
XD1 = 5,5 sin 103˚47’20” = 5,341
XD2 = 7,2 sin 163˚30’05” = 2,044
XD3 = 7,5 sin 171˚52’35” = 1,059
XD4 = 6 sin 207˚29’00” = -2,768
XD5 = 4,7 sin 244˚40’00” = -4,248
XD6 = 6 sin 299˚59’00” = -5,197
XD7 = 4,5 sin 00˚00’20” = 0,000
XD8 = 5,7 sin 71˚32’20” = 5,406 +
FX = 1,637

Koreksi Arah Sumbu X


X = d/d.FX
XD1 = 5,5.( 1,637 ) = 0,191
47,1
XD2 = 7,2.( 1,637 ) = 0,250
47,1
XD3 = 7,5.( 1,637 ) = 0,260
47,1

XD4 = 6.( 1,637 ) = 0,209


47,1
XD5 = 4,7.( 1,637 ) = 0,163
47,1
XD6 = 6.( 1,637 ) = 0,209
47,1
XD7 = 4,5.( 1,637 ) = 0,156
47,1

XD8 = 5,7.( 1,637 ) = 0,198

37
47,1

Jarak Terhadap Sumbu Y


Y= d.cos α
YD1 = 5,5 cos 103˚47’20” = -1,310
YD2 = 7,2 cos 163˚30’05” = -6,904
YD3 = 7,5 cos 171˚52’35” = -7,424
YD4 = 6 cos 207˚29’00” = -5,323
YD5 = 4,7 cos 244˚40’00” = -2,011
YD6 = 6 cos 299˚59’00” = 2,998
YD7 = 4,5 cos 00˚00’20” = 4,499
YD8 = 5,7 cos 71˚32’20” = 1,805 +
FY = -13,67

Koreksi Arah Sumbu Y


Y = d/d.FY
YD1 = 5,5.( -13,67 ) = -1,596
47,1
YD2 = 7,2.( -13,67 ) = -2,089
47,1
YD3 = 7,5.( -13,67 ) = -2,176
47,1
YD4 = 6.( -13,67 ) = -1,741
47,1
YD5 = 4,7.( -13,67 ) = -1,364
47,1
YD6 = 6.( -13,67 ) = -1,741
47,1
YD7 = 4,5.( -13,67 ) = -1,306
47,1

38
YD8 = 5,7.( -13,67 ) = -1,654
47,1

Titik E
d = (BA – BB).100. cos2 (φ-270˚)
dE1 = (1,400-1,330).100. cos2 (90˚-270˚) = 7 m
dE2 = (1,490-1,420).100. cos2 (90˚-270˚) = 7 m
dE3 = (1,520-1,430).100. cos2 (90˚-270˚) = 9 m
dE4 = (1,490-1,400).100. cos2 (90˚-270˚) = 9 m
dE5 = (1,535-1,440).100. cos2 (90˚-270˚) = 9,5 m
dE6 = (1,475-1,380).100. cos2 (90˚-270˚) = 9,5 m
dE7 = (1,480-1,380).100. cos2 (90˚-270˚) = 10 m
dE8 = (1,425-1,386).100. cos2 (90˚-270˚) = 3,9 m +
dE = 64,9 m

Jarak Terhadap Sumbu X


X = d.sin α
XE1 = 7 sin 18˚19’35” = 2,201
XE2 = 7 sin 53˚20’00” = 5,615
XE3 = 9 sin 94˚20’45” = 8,974
XE4 = 9 sin 13˚18’45” = 2,072
XE5 = 9,5 sin 171˚11’10” = 1,456
XE6 = 9,5 sin 214˚19’20” = -5,356
XE7 = 10 sin 259˚11’45” = -9,822
XE8 = 3,9 sin 05˚28’00” = 0,372 +
FX = 5,512

Koreksi Arah Sumbu X


X = d/d.FX
XE1 = 7.( 5,512) = 0,595
64,9

39
XE2 = 7.( 5,512) = 0,595
64,9
XE3 = 9.( 5,512) = 0,764
64,9
XE4 = 9.( 5,512) = 0,764
64,9
XE5 = 9,5.( 5,512) = 0,806
64,9
XE6 = 9,5.( 5,512) = 0,806
64,9
XE7 = 10.( 5,512) = 0,849
64,9
XE8 = 3,9.( 5,512) = 0,331
64,9

Jarak Terhadap Sumbu Y


Y= d.cos α
YE1 = 7 cos 18˚19’35” = 6,645
YE2 = 7 cos 53˚20’00” = 4,180
YE3 = 9 cos 94˚20’45” = -0,682
YE4 = 9 cos 13˚18’45” = 8,758
YE5 = 9,5 cos 171˚11’10” = -9,387
YE6 = 9,5 cos 214˚19’20” = -7,846
YE7 = 10 cos 259˚11’45” = -1,875
YE8 = 3,9 cos 05˚28’00” = 3,882 +
FY = 3,675

Koreksi Arah Sumbu Y


Y = d/d.FY
YE1 = 7.( 3,675) = 0,396
64,9

40
YE2 = 7.( 3,675) = 0,396
64,9
YE3 = 9.( 3,675) = 0,509
64,9
YE4 = 9.( 3,675) = 0,509
64,9
YE5 = 9,5.( 3,675) = 0,538
64,9
YE6 = 9,5.( 3,675) = 0,538
64,9
YE7 = 10.( 3,675) = 0,566
64,9
YE8 = 3,9.( 3,675) = 0,203
64,9

Titik F
d = (BA – BB).100. cos2 (φ-270˚)
dF1 = (1,309-1,240).100. cos2 (90˚-270˚) = 6,9 m
dF2 = (1,072-1,010).100. cos2 (90˚-270˚) = 6,2 m
dF3 = (1,300-1,250).100. cos2 (90˚-270˚) = 5 m
dF4 = (1,395-1,342).100. cos2 (90˚-270˚) = 5,3 m
dF5 = (1,402-1,330).100. cos2 (90˚-270˚) = 7,2 m
dF6 = (1,760-1,270).100. cos2 (90˚-270˚) = 49 m
dF7 = (1,380-1,290).100. cos2 (90˚-270˚) = 9 m
dF8 = (1,375-1,297).100. cos2 (90˚-270˚) = 6 m +
dF = 94,6 m

Jarak Terhadap Sumbu X


X = d.sin α
XF1 = 6,9 sin 19˚03’50” = 2,253
XF2 = 6,2 sin 62˚35’50” = 5,504

41
XF3 = 5 sin 113˚07’10” = 4,598
XF4 = 5,3 sin 180˚24’50” = -0,038
XF5 = 7,2 sin 288˚54’25” = -6,812
XF6 = 49 sin 271˚07’50” = -48,990
XF7 = 9 sin 307˚24’20” = -7,149
XF8 = 6 sin 341˚44’40” = -1,879 +
FX = -52,513

Koreksi Arah Sumbu X


X = d/d.FX
XF1 = 6,9.( -52,513) = -3,830
94,6
XF2 = 6,2.( -52,513) =-3,442
94,6
XF3 = 5 .( -52,513) = -2,776
94,6
XF4 = 5,3.( -52,513) = -2,942
64,9
XF5 = 7,2.( -52,513) = -3,996
94,6
XF6 = 49.( -52,513) = -27,200
94,6
XF7 = 9.( -52,513) = -4,995
94,6
XF8 = 6.( -52,513) = -3,330
94,6

Jarak Terhadap Sumbu Y


Y= d.cos α
YF1 = 6,9 cos 19˚03’50” = 6,521
YF2 = 6,2 cos 62˚35’50” = 2,854

42
YF3 = 5 cos 113˚07’10” = -1,963
YF4 = 5,3 cos 180˚24’50” = -5,299
YF5 = 7,2 cos 288˚54’25” = 2,333
YF6 = 49 cos 271˚07’50” = 0,967
YF7 = 9 cos 307˚24’20” = 5,467
YF8 = 6 cos 341˚44’40” = 5,698 +
FY = 16,578

Koreksi Arah Sumbu Y


Y = d/d.FY
YF1 = 6,9.( 16,578) = 1,209
94,6
YF2 = 6,2.( 16,578) =1,087
94,6
YF3 = 5 .( 16,578) = 0,876
94,6
YF4 = 5,3.( 16,578) = 0,928
64,9
YF5 = 7,2.( 16,578) = 1,262
94,6
YF6 = 49.( 16,578) = 8,586
94,6
YF7 = 9.( 16,578) = 1,577
94,6
YF8 = 6.( 16,578) = 1,051
94,6

43
Poligon Detail ΔX ΔY Koordinat
X Y
A 25,49 0,08 5,14 65,67
1 5,99 +0,21 6,704 67,236
2 5,99 +0,05 7,818 66,151
3 15 +0,09 15,586 62,223
4 18 +0,21 16,729 60,933
5 25,99 +0,24 14,477 52,486
6 19,99 +0,05 7,898 52,501
7 21,99 +0,14 3,763 58,058
8 17,99 +0,42 1,329 61,129
B 28,99 0,135 20,546 82
1 2,99 -0,009 23,100 82,298
2 12,99 +0,12 29,233 79,417
3 8,99 +0,15 27,229 78,578
4 7 +0,12 17,779 78,921
5 7,99 +0,21 14,457 80,175
6 20 +0,04 6,059 79,329
7 11 +0,07 11,010 81,693
8 6,99 +0,07 16,766 81,941
C 22,99 0,135 39,480 83,10
1 5,99 +0,03 49,778 84,520
2 9,99 +0,09 57,368 81,759
3 17,99 +0,03 42,046 80,099
4 7,99 +0,03 36,645 79,205
5 9,99 -0,003 34,951 78,379
6 11,99 +0,02 22,300 80,098
7 12,99 +0,04 21,971 81,970
8 12,99 +0,04 19,069 82,999
D 35 0,03 59,490 67,89

44
1 13,99 +0,06 68,341 69,310
2 11,99 -0,01 68,044 67,904
3 15,99 -0,01 63,059 66,424
4 7,99 +0,13 65,768 59,323
5 17,99 +0,06 39,856 62,011
6 16,99 +0,08 39,997 68,998
7 18,99 +0,09 39,280 69,499
8 19,99 -0,003 39,006 69,805
E 50,9 0,29 48,50 35,47
1 15,99 +0,04 50,201 58,645
2 17,49 +0,05 59,615 5,180
3 15,99 +0,06 60,974 39,682
4 12,99 +0,04 59,072 35,058
5 11,49 +0,07 57,456 33,387
6 9,99 -0,11 42,356 25,846
7 19,99 +0,07 35,822 36,8175
8 28,99 -0,01 38,372 36,882
F 50,49 0,13 5,98 33,24
1 11,99 +0,14 7,153 57,521
2 24,99 +0,18 17,504 62,854
3 32,99 +0,20 35,198 39,963
4 14,99 +0,23 7,438 59,299
5 18,99 +0,29 7,012 23,333
6 7,99 +0,38 3,990 25,967
7 18,99 +0,18 -5,149 34,467
8 25,99 1,051 -5,879 36,698

45
4.2 PERHITUNGAN BEDA TINGGI
ΔH = (BA -BB) 50 sin2 (φ-270˚)-BT+TP
ΔH Muka :
ΔHAB = (1,357-1,171) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,266+1,468 = 0,202
ΔHBC = (1,097-0,952) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,025+1,425 = 2,45
ΔHCD = (1,529-1,334) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,432+1,385 = -0,047
ΔHDE = (1,480-1,375) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,378+1,337 = -0,041
ΔHEF = (1,582-1,420) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,500+1,400 = -0,1
ΔHFA = (1,962-1,755) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,860+1,380 = -0,48
ΔH Belakang :
ΔHBA = (1,679-1,499) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,589+1,425 = -0,164
ΔHCB = (1,800-1,645) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,723+1,385 = -0,338
ΔHDC = (1,400-1,225) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,313+1,337 = 0,024
ΔHED = (1,525-1,320) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,423+1,400 = -0,023
ΔHFE = (1,442-1,282) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,362+1,380 = 0,018
ΔHAF = (1,097-0,085) 50 sin2 (90˚-270˚)-0,991+1,468 = 0,447

ΔH RATA-RATA
ΔHAB = 0,202 - 0,164 = 0,019
2
ΔHBC = 2,45 - 0,338 = 1,056
2
ΔHCD = -0,047 + 0,024 = -0,012
2
ΔHDE = -0,041 - 0,023 = -0,032
2
ΔHEF = -0,1 + 0,018 = -0,041
2
ΔHFA = -0,48 + 0,447 = 0,017 +
2
ΣΔH Rata-Rata = 1,007

46
ΔHBM = (1,508-1,466) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,262+1,468 = 0,206

Titik Detail A
ΔHA1 = (1,296-1,231) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,264+1,468 = 0,204
ΔHA2 = (1,255-1,175) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,215+1,468 = 0,253
ΔHA3 = (1,562-1,488) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,525+1,468 = -0,057
ΔHA4 = (1,753-1,693) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,723+1,468 = -0,255
ΔHA5 = (1,764-1,722) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,743+1,468 = -0,275
ΔHA6 = (1,468-1,397) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,433+1,468 = 0,035
ΔHA7 = (1,244-1,152) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,198+1,468 = 0,27
ΔHA8 = (1,255-1,151) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,203+1,468 = 0,265

Titik Detail B
ΔHB1 = (1,042-0,985) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,014+1,425 = 0,411
ΔHB2 = (1,331-1,275) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,303+1,425 = 0,122
ΔHB3 = (1,391-1,317) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,354+1,425 = -0,929
ΔHB4 = (1,575-1,485) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,530+1,425 = -0,105
ΔHB5 = (1,572-1,495) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,534+1,425 = -0,109
ΔHB6 = (1,571-1,481) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,526+1,425 = -0,101
ΔHB7 = (1,435-1,395) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,415+1,425 = 0.01
ΔHB8 = (1,255-1,200) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,228+1,425 = 0,197

Titik Detail C
ΔHC1 = (1,550-1,492) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,521+1,385 = -0,136
ΔHC2 = (1,599-1,512) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,536+1,385 = -0,151
ΔHC3 = (1,397-1,290) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,344+1,385 = 0,041
ΔHC4 = (1,620-1,500) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,560+1,385 = -0,175
ΔHC5 = (1,792-1,680) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,738+1,385 = -0,353
ΔHC6 = (1,735-1,682) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,709+1,385 = -0,324
ΔHC7 = (1,745-1,697) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,721+1,385 = -0,336
ΔHC8 = (1,405-1,375) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,390+1,385 = -0,005

47
Titik Detail D
ΔHD1 = (1,425-1,370) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,398+1,337 = -0,061
ΔHD2 = (1,422-1,350) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,386+1,337 = -0,049
ΔHD3 = (1,360-1,285) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,323+1,337 = 0,014
ΔHD4 = (1,375-1,315) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,345+1,337 = -0,008
ΔHD5 = (1,452-1,405) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,429+1,337 = -0,092
ΔHD6 = (1,440-1,380) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,410+1,337 = -0,073
ΔHD7 = (1,385-1,340) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,363+1,337 = -0,026
ΔHD8 = (1,402-1,345) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,374+1,337 = -0,037

Titik Detail E
ΔHE1 = (1,400-1,330) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,365+1,400 = 0,035
ΔHE2 = (1,490-1,420) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,455+1,400 = -0,055
ΔHE3 = (1,520-1,430) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,475+1,400 = -0,075
ΔHE4 = (1,490-1,400) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,445+1,400 = -0,045
ΔHE5 = (1,535-1,440) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,488+1,400 = -0,088
ΔHE6 = (1,457-1,380) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,428+1,400 = -0,028
ΔHE7 = (1,480-1,380) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,430+1,400 = -0,03
ΔHE8 = (1,425-1,386) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,406+1,400 = -0,006

Titik Detail F
ΔHF1 = (1,309-1,240) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,275+1,380 = 0,105
ΔHF2 = (1,072-1,010) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,041+1,380 = 0,339
ΔHF3 = (1,300-1,250) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,275+1,380 = 0,105
ΔHF4 = (1,395-1,342) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,369+1,380 = 0,011
ΔHF5 = (1,402-1,330) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,366+1,380 = 0,014
ΔHF6 = (1,760-1,270) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,515+1,380 = -0,135
ΔHF7 = (1,380-1,290) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,335+1,380 = 0,045
ΔHF8 = (1,375-1,297) 50 sin2 (90˚-270˚)-1,336+1,380 = 0,044

48
Tabel Perhitungan Beda Tinggi Titik Detail

Titik ΔHA ΔHB ΔHC ΔHD ΔHE ΔHF


+0,019 +1,056 -0,012 -0,032 -0,041 +0,017
1 +0,204 +0,411 -0,136 -0,061 +0,035 +0,105
2 +0,253 +0,122 -0,151 -0,049 -0,055 +0,339
3 -0,057 -0,929 +0,041 +0,014 -0,075 +0,105
4 -0,255 -0,105 -0,175 -0,008 -0,045 +0,011
5 -0,275 -0,109 -0,353 -0,092 -0,088 +0,014
6 +0,035 -0,101 -0,324 -0,073 -0,028 -0,135
7 +0,27 +0,01 -0,336 -0,026 -0,03 +0,045
8 +0,265 +0,197 -0,005 -0,037 -0,006 + 0,044

PERHITUNGAN ELEVASI (H)


Elevasi Pada Titik Utama
EA = EBM + ΔHBM-A = 24,320 + (0,206) = 24,526
HBM = 24,320
HA = EA + ΔHAB = 24,526 + 0,019 = 24,545
HB = EA + ΔHBC = 24,545 + 1,056 = 25,601
HC = EA + ΔHCD = 25,601 - 0,012 = 25,589
HD = EA + ΔHDE = 25,589 - 0,032 = 25,557
HE = EA + ΔHEF = 25,557 - 0,041 = 25,516
HF = EA + ΔHFA = 25,516 + 0,017 = 25,533

Elevasi Pada Titik Detail


Titik A
HAB = 24,545
HA1 = 24,545 + 0,204 = 24,749
HA2 = 24,749 + 0,253 = 25,002
HA3 = 25,002 - 0,057 = 24,945

49
HA4 = 24,945 - 0,255 = 24,690
HA5 = 24,690 - 0,275 = 24,415
HA6 = 24,415 + 0,035 = 24,450
HA7 = 24,450 + 0,27 = 24,720
HA8 = 24,720 + 0,265 = 24985

Titik B
HBC = 25,601
HB1 = 25,601 + 0,411 = 26,012

HB2 = 26,012 + 0,122 = 26,134

HB3 = 26,134 - 0,929 = 25,205

HB4 = 25,205 - 0,105 = 25,1

HB5 = 25,1 - 0,109 = 24,991

HB6 = 24,991 - 0,101 = 24,89

HB7 = 24,89 + 0,01 = 24,9

HB8 = 24,9 + 0,197 = 25,097

Titik C
HCD = 25,589

HC1 = 25,589 - 0,136 = 25,453

50
HC2 = 25,453 - 0,151 = 25,302

HC3 = 25,302 + 0,041 = 25,343

HC4 = 25,343 - 0,175 = 25,168

HC5 = 25,168 - 0,353 = 24,815

HC6 = 24,815 - 0,324 = 24,491


HC7 = 24,491 - 0,336 = 24,155

HC8 = 24,155 - 0,005 = 24,15

Titik D
HDE = 25,557

HD1= 25,557 - 0,061 = 25,496

HD2 = 25,496 - 0,049 = 25,447

HD3 = 25,447 + 0,014 = 25,461

HD4 = 25,461 - 0,008 = 25,453

HD5 = 25,453 - 0,092 =25,361

HD6 = 25,361 - 0,073 = 25,288

HD7 = 25,288 - 0,026 = 25,262

51
HD8 = 25,262 - 0,037 = 25,225

Titik E
HEF = 25,516

HE1 = 25,516 + 0,035 = 25,551

HE2 = 25,551 - 0,055 = 25,496

HE3 = 25,496 - 0,075 = 25,421

HE4 = 25,421 - 0,045 = 25,376

HE5 = 25,376 - 0,088 = 25,288

HE6 = 25,288 - 0,028 = 25,26

HE7 = 25,26 - 0,03 = 25,23

HE8 = 25,23 - 0,006 = 25,224

Titik F

HFA = 25,533

HF1 = 25,533 + 0,105 = 25,638

HF2 = 25,638 + 0,339 = 25,977

52
HF3 = 25,977 + 0,105 = 26,082

HF4 = 26,082 + 0,011 = 26,093

HF5 = 26,093 + 0,014 = 26,107

HF6 = 26,107 - 0,135 = 25,972

HF7 = 25,972 + 0,045 = 26,017

HF8 = 26,017 + 0,044 = 26,061

53
Tabel Perhitungan Elevasi (H) Titik Detail

Titik HA HB HC HD HE HF
24,545 25,601 25,589 25,557 25,516 25,533
1 24,749 26,012 25,453 25,496 25,551 25,638
2 25,002 26,134 25,302 25,447 25,496 25,977
3 24,945 25,205 25,343 25,461 25,421 26,082
4 24,690 25,1 25,168 25,453 25,376 26,093
5 24,415 24,991 24,815 25,361 25,288 26,107
6 24,450 24,89 24,491 25,288 25,972 25,972
7 24,720 24,9 24,155 25,262 25,23 26,017
8 24985 25,097 24,15 25,225 26,061 26,061

54
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Setelah kami melaksanakan praktikum pengukuran Ukur Tana II ini, maka
dapat kami simpulkan sebagai berikut :

1.Kurangnya ketelitian dalam pengukuran dilapangan

2.Sudut dalam
Kesalahan pengukuran sudut dalam ksrena tidak memenuhi syarat yang
ditetapkan , Dengan Rumus :
180˚x(n - 2) + fα

3.Beda Tinggi
Pada pengukuran beda tinggi, batas kesalahan yang diijinkan ditentukan dengan
rumus :
K = ± (2,0 ±2,0 skm ) mm

Dimana : skm = jarak pengukuran km

4. Kondisi Permukaan Tanah


Dari hasil pengukuran dilokasi yang kami lakukan ternyata memiliki beda
tinggi yang tidak terlalu tinggi , sehingga dapat dinyatakan bahwa permukaan
tanah datar.

B. SARAN
Dari ketiga jenis pengukuran diatas, kesalahan-kesalahan tersebut seluruhnya
dapat dihindari dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

55
1.Sudut Dalam
Untuk menghindari kesalahan dalam pengukuran sudut dalam sebaiknya
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a.Dalam menentukan arah utara, pada setiap titik utama harus benar-benar
menunjukkan arah utara dengan melakukan hal tersebut berulang-ulang.

b.Rambu ukur harus diletakkan tegak lurus dan tepat pada titik utama yang
dibidik

c.Unting-unting harus diletakkan tegak lurus tepat pada titik utama

d.Teliti dlam pembacaan sudut horisontal

2. Pengukuran Jarak dan Beda Tinggi


Pada pengukuran jarak dan beda tinggi sebaiknya memperhatikan hal-hal
berikut :

a.Pada saat pengukuran dan beda tinggi sebaiknya memperhatikan cuaca, suhu,
kondisi dan situasi lapangan.
b.Diusahakan jarak antara titik-titik utama tidak terlalu berbeda jauh.

56
BAB VI
PENUTUP

Alat ukur Theodolit sangat penting digunakan dalam pengukuran yaitu untuk
menentukan ketinggian permukaan tanah di titik-titik tertentu pada permukaan
bumi.Pengukuran Theodolit dilakukan untuk pengukuran memanjang dan
melintang.
Alat-alat yang melengkapi dalam pengukuran selain Theodolit adalah rambu ukur
atau bak ukur, statip, meteran dan payung untuk melindungi Theodolit dari sinar
matahari secara langsung. Prinsip kerja dalam menggunakan alat waterpass ini
adalah membuat garis sumbu teropong horizontal.Bagian yang berkedudukan
horizontal adalah nivo yang berbentuk seperti tabung yang berisi cairan dengan
gelembung udara didalamnya.

57
58
DAFTAR PUSTAKA

1. Foote, David dan Kelley, 1990 Surveying, Theory and Practice, McGraw Hill
Book Company Amerika.

2. Rais Jacob, 1980, Ilmu Ukur Tanah, Jilid I, Cipta Sari Grafika, Semarang.

3. Rais Jacob, 1980, Ilmu Ukur tanah, Jilid II, Cipta sari Grafika, Semarang.

4. Soetoma Wongsotjiro, 1995, Ilmu Ukur Tanah, Swada, Jakarta.

5. Wali Jatun, Djoko dan Wolf, Brinker, 1996, Dasar – dasar Pengukuran Edisi
Ketujuh, Erlangga, Jakarta.

59

Anda mungkin juga menyukai