Cutaneus Larva Migrans

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

CUTANEUS LARVA MIGRANS

A. Definisi
Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kelainan kulit yang merupakan
peradangan yang berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif,
disebabkan oleh invasi cacing tambang yang berasal dari kucing dan anjing, yaitu
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum.
Selama beberapa dekade, istilah CLM dan creeping eruption sering disamaartikan.
Perbedaannya adalah, CLM menggambarkan sindrom, sedangkan creeping eruption
menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai lesi
yang linear atau serpiginius, sedikit menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam
pola yang tidak teratur.
Penyakit yang menimbulkan gejala berupa creeping eruption tapi tidak
disebabkan oleh parasit non-larva tidak disebut sebagai CLM, misalnya seperti pada
dracunculiasis, loiasis, skabies, schistosomiasis, ataupun onchocerciasis. 1

B. Epidemiologi
CLM terjadi di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia, terutama di
daerah yang lembab dan terdapat pesisir pasir. Di Amerika Serikat, penyakit ini
sebagian besar terjadi di negara bagian tenggara, terutama Florida, tetapi dapat juga
ditemukan secara sporadik di negara bagian lain. Kasus CLM telah dilaporkan di
Jerman, Prancis, Inggris, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.
CLM endemik di masyarakat kurang mampu di negara berkembang, seperti
Brazil, India, dan Hindia Barat. Sebuah studi di Manaus, Brazil, menunjukkan
prevalensi CLM pada anak-anak selama musim hujan berkisar 9,4%. Di daerah
perkumuhan di Timur Laut Brazil, didapati lebih dari 4% dari keseluruhan populasi
dan 15% pada anak-anak menderita CLM.
Di negara-negara berpenghasilan tinggi, CLM terjadi secara sporadis atau
dalam bentuk epidemi yang kecil. Kasus sporadis biasanya berhubungan dengan
kondisi iklim yang tidak umum seperti musim semi atau hujan yang memanjang.
Penyakit ini sering muncul pada daerah dimana anjing dan kucing tidak diberikan
antihelmintes secara teratur.
Secara geografis, distribusi CLM mencerminkan distribusi geografi
Ancylostoma braziliense. Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah wisatawan
yang sering berkunjung ke daerah pantai. Ancylostoma braziliense endemik pada
anjing dan kucing, sering ditemukan di sepanjang Pantai Atlantik Amerika Utara
bagian tenggara, Teluk Meksiko, Laut Karibia, Uruguay, Afrika (Afrika Selatan,
Somalia, Republik Kongo, Sierra Leone), Australia, dan Asia. Penyakit ini tidak
muncul setelah terpapar pantai yang tidak terdapat Ancylostoma braziliense, misalnya
Pantai Pasifik Amerika Serikat dan Meksiko. 1

C. Etiologi
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing
(Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum) dan
Strongyloides. Penyebab lain yang juga memungkinkan yaitu larva dari serangga
seperti Hypoderma dan Gasterophilus. Di Asia Timur, CLM umumnya disebabkan
oleh Gnasthostoma sp. pada babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan
Echinococcus, Dermatobia maxiales, Lucilia caesar.
Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan
menyebabkan CLM selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di sisi lain,
larva Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum dapat melakukan penetrasi
yang lebih dalam dan menimbulkan gejala klinis yang lain seperti enteritis eosinofilik.
2

D. Patogenesis
Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan
berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva dapat
bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahari langsung dan
berada dalam lingkungan yang hangat dan lembab. Kemudian jika terjadi kenaikan
suhu, maka larva akan mencari pejamunya. Setelah menempel pada manusia, larva
merayap di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai. Akhirnya, larva
menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease dan
hialuronidase agar dapat bermigrasi di kulilt manusia. Selanjutnya, larva bermigrasi
melalui jaringan subkutan membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke
tempat lainnya. 3
Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya
dengan berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim
kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis,
sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya.
Akibatnya, selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa hidup
dari cacing ini berakhir. 3

E. Tanda Gejala
Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di tempat
larva melakukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama terasa pada malam hari,
jika digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder. Mula-mula akan timbul papul,
kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok,
menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul
yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama
beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya, papul merah ini menjalar seperti
benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan membentuk
terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter (Aisah, 2010). Pada
stadium yang lebih lanjut, lesi-lesi ini akan lebih sulit untuk diidentifikasi, hanya
ditandai dengan rasa gatal dan nodul-nodul.
Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva dapat
bergerak secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun bertambah
beberapa milimeter perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada CLM, dapat
dijumpai lesi tunggal atau lesi multipel, tergantung pada tingkat keparahan infeksi.
Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala mulai muncul
beberapa menit setelah tusukan, diikuti dengan munculnya papul-papul setelah 10
menit. Beberapa jam kemudian, bercak awal mulai digantikan oleh papul kemerahan.
Papul-papul kemudian bergabung membentuk erupsi eritematopapular, yang
kemudian akan menjadi vesikel yang sangat gatal setelah 24 jam. Lesi berbentuk
linear atau berkelok-kelok mulai muncul 5 hari setelah infeksi.
CLM biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung dengan
tanah atau pasir. Tempat predileksi antara lain di tungkai, plantar, tangan, anus,
bokong, dan paha.
Pada kondisi sistemik, gejala yang muncul antara lain eosinofilia perifer
(sindroma Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan peningkatan kadar
imunoglobulin E, namun kondisi ini jarang ditemui. 3

F. Interpretasi Pemeriksaan
Anamnesis
Pasien mengeluh gatal dan panas pada tempat infeksi. Pada awal infeksi, lesi
berbentuk papul yang kemudian diikuti dengan lesi berbentuk linear atau berkelok-
kelok yang terus menjalar memanjang. Keluhan dirasakan muncul sekitar empat hari
setelah terpajan.
Pemeriksaan fisik dan penunjang
Lesi awal berupa papul eritema yang menjalar dan tersusun linear atau
berkelok-kelok menyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per hari. Predileksi
penyakit ini terutama pada daerah telapak kaki, bokong, genital dan tangan.
Pada pemeriksaan lab, eosinofilia mungkin ditemukan, namun tidak spesifik.
Dalam sebuah penelitian di Jerman pada wisatawan dengan CLM, hanya pada 8
(20%) dari 40 orang didapatkan eosinofilia. Namun, peningkatan kadar eosinofil
dapat mengindikasikan perpindahan larva cacing ke visceral, tetapi ini termasuk
komplikasi yang jarang terjadi. 4

G. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesi serta pemeriksaan fisik.
Diagnosis banding:
Dermatofitosis, dermatitis, dermatosis.

H. Tatalaksana
Obat pilihan utama pada CLM adalah ivermectin. Dosis tunggal (200 µg/kg
berat badan) dapat membunuh larva secara efektif dan menghilangkan rasa gatal
dengan cepat. Angka kesembuhan dengan dosis tunggal berkisar 77% sampai 100%.
Dalam hal kegagalan pengobatan, dosis kedua biasanya dapat memberikan
kesembuhan. Ivermectin kontradiksi pada anak-anak dengan berat kurang dari 15 kg
atau berumur kurang dari 5 tahun dan pada ibu hamil atau wanita menyusui. Namun,
pengobatan offlabel pada anak-anak dan ibu hamil sudah pernah dilakukan dengan
tanpa adanya laporan kejadian merugikan yang signifikan.
Dosis tunggal ivermectin lebih efektif daripada dosis tunggal albendazol,
tetapi pengobatan berulang dengan albendazol dapat dilakukan sebagai alternatif yang
baik di negara-negara dimana ivermectin tidak tersedia. Oral albendazol (400 mg
setiap hari) yang diberikan selama 5-7 hari menunjukkan tingkat kesembuhan yang
sangat baik, dengan angka kesembuhan mencapai 92-100%. Karena dosis tunggal
albendazol memiliki efikasi yang rendah, albendazol dengan regimen tiga hari
biasanya lebih direkomendasikan. Jika diperlukan, dapat dilakukan pendekatan
alternatif dengan dosis awal albendazol dan mengulangi pengobatan.
Tiabendazol (50 mg per kg berat badan selama 2-4 hari) telah digunakan
secara luas sejak laporan mengenai efikasinya pada tahun 1963. Namun, tiabendazol
yang diberikan secara oral memiliki toleransi yang buruk. Selain itu, penggunaan
tiabendazol secara oral sering menimbul efek samping berupa pusing, mual muntah,
dan keram usus. Karena penggunaan ivermectin dan albendazol secara oral
menunjukkan hasil yang baik, penggunaan tiabendazol secara oral tidak
direkomendasikan.
Penggunaan tiabendazol secara topikal pada lesi dengan konsentrasi 10-15%
tiga kali sehari selama 5-7 hari terbukti memiliki efektivitas yang sama dengan
pengguaan ivermectin secara oral. Penggunaan secara topikal didapati tidak memiliki
efek samping, tetapi memerlukan kepatuhan pasien yang baik. Tiabendazol topikal
terbatas pada lesi multipel yang luas dan tidak dapat digunakan pada folikulitis.
Ivermectin dan albendazol adalah gabungan yang menjanjikan untuk penggunaan
topikal, terutama untuk anak-anak, namun data efikasi untuk penggunaan ini masih
terbatas. Infeksi sekunder harus ditangani dengan antiobiotik topikal.
Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow (dry
ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturut turut. Selain
itu, dapat juga dilakukan dengan menggunakan nitrogen liquid dan penyemprotan
kloretil sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara tersebut sulit karena sulit untuk
mengetahui secara pasti dimana larva berada. Di samping itu, cara ini dapat
menimbulkan nyeri dan ulkus. Pengobatan dengan cara ini sudah lama ditinggalkan. 3

I. Pencegahan
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian CLM antara lain:
1. Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir yang
terkontaminasi
2. Saat menjemur pastikan handuk atau pakaian tidak menyentuh tanah
3. Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan
antihelmintik
4. Hewan dilarang untuk berada di wilayah pantai ataupun taman bermain
5. Menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang untuk
defekasi di lubang tersebut
6. Wisatawan disarankan untuk menggunakan alas kaki saat berjalan di pantai dan
menggunakan kursi saat berjemur. 2

Akan tetapi, pada masyarakat yang kurang mampu, keterbatasan finansial


mengakibatkan sulitnya masyarakat untuk memberikan pengobatan yang teratur
terhadap anjing dan kucing. Sehingga pada akhirnya, pemberantasan cacing tambang
pada binatang hanya bisa dilakukan dengan cara melakukan pengontrolan yang
terintegrasi antara pihak kesehatan masyarakat, antropologis medis, dokter hewan,
dan masyarakat. 2

J. Prognosis
CLM termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting. Pada akhirnya, larva
akan mati di epidermis setelah beberapa minggu atau bulan. Hal ini disebabkan
karena larva tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada manusia. Lesi tanpa
komplikasi yang tidak diobati akan sembuh dalam 4-8 minggu, tetapi pengobatan
farmakologi dapat memperpendek perjalanan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyaki Kulit dan Kelamin. Edisi
5. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Disease of the Skin :
Clinical Dermathology. 10th Ed. Canada : Saunders Elsevier
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2011. Pedoman Pelayanan
Medik. Jakarta
4. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A. 2012. Risk factors of hookworm related
cutaneus larva migrans and definitive host prevalence on a settlements area in
kulon progo district, Indonesia. Field Epidemiology Training. Yogyakarta.
Universitas Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai