Anda di halaman 1dari 5

Mata Yang Salah

Aku teliti lagi wajah itu. Yang sedari tadi aku perhatikan. Mata indahnya, senyumnya. Termenung
aku kehilangan kesadaran hingga otakku berkata hentikan! Hentikan semua hal bodoh ini! Pergilah!
Kau tak diciptakan untukku! Tuhan hapuskan perasaan bodoh ini. Aku tak mengerti mengapa hati
dan otakku berhenti berikatan dan malah berperang.

“wei! Udahan kali merhatiin dia mulu! Punya orang tuh ” aku tersadarkan dari lamunanku dan tak
melihat sosok tadi disana. Kini Daniel duduk di sampingku menyadarkanku dari lamunan panjang
dengan menepuk pundakku. Sentuhan itu menyadarkanku dan kembali membuat otakku berfungsi.

“apaansih. Merhatiin siapa coba” bantahku dengan yakin.

“jangan muna deh lo Del, gue tau kali kalo elu merhatiin dia”

“dia siapa?” tanyaku.

Daniel mendekatkan wajahnya ke wajahku “Rio” Daniel berbisik. Telingaku tak dapat mendengar
apa-apa. Aku perhatian sosok di hadapanku ini. Sosok inilah yang selalu disampingku selama 5 tahun
ini. Aku teliti lagi garis wajahnya. Matanya benar benar indah. Sedetik kemudian aku kembali ke
lamunanku sampai daniel akhirnya menyadarkanku lagi

“Del! Elu kenapa sih merhatiin gue gitu? Elu baru sadar ya kalo gue kece? Kalo gue keren? Ah kenapa
baru sadar deeell?” ucap Daniel sambil tertawa

“yakali gue bosen liat muka elu, Dan. Gak pernah berubah tau” kami tertawa hingga akhirnya
sesosok lain menghampiriku

“del, kamu tadi nyatet soalnya nggak? Pinjem dong catetan kamu” wajah ini tak asing lagi, iya dialah
orang yang bernama Rio itu. Sedetik kemudian sosok disebelahku menghilang.

“ah, lupa nyatet juga nih” jawabku menjelajahkan mata ke penjuru kelas mencari sosok Daniel. Bel
pulang memang sudah berbunyi. Ternyata Daniel sudah pulang. Saat aku menunggu di gerbang
sekolah sesosok tadi datang menghampiriku.

“del, rumah kamu di citra kan? Bareng yuk. Kebetulan aku mau kerumah nenek di sana. Sekalian kan,
daripada kamu nunggu disini” aku terdiam. Apa yang terjadi? Bukannya biasanya Rio pulang bareng
Putri, pacarnya? Tapi, yasudahlah. Aku juga tak tau kan mau pulang sama siapa. Akhirnya aku pulang
dengan Rio. Saat melewati rumah Daniel, dia sedang duduk di teras. Aku melihatnya, tapi sepertinya
dia tak melihatku.

Sesampainya dirumah aku langsung meraih handphone ku danmengirim pesan ke Daniel

“elu tega ya ninggalin gue, kan gue mau nebeng, nyet” lama pesan itu terkirim tapi tak juga dibalas.
Handphone ku akhirnya berdering. Pesan dari Daniel “ sekarang elu udah pulang kan? Nggak
disekolah lagi. Yaudah kali.” Aneh. Apa yang terjadi dengannya. Setelah itu aku kehilangan keinginan
untuk membalas pesannya.
Keesokan paginya disekolah sikap Daniel benar-benar berubah, aku tak mengerti apa yang terjadi
dengannya. Dan juga Rio, dia lebih sering mengajakku mengobrol. Dan Daniel, tak mengucapkan
sepatah katapun. Diam seribu bahasa.

“elu sakit tenggorokan?” tanyaku menghampiri daniel

“nggak” jawabnya dingin. Singkat ,padat, jelas. Setidaknya aku tau tenggorokannya baik-baik saja
dan dia bisa berbicara. Sedetik kemudian pemilik kursi yang aku duduki datang. Aku lansung berdiri

“what happend bro? Elu aneh banget!” ucapku lalu berlalu meninggalkan Daniel yang tetap dingin.

Aku kehilangan mata teduh itu hari ini. Kehilangan suara itu, kehilangan tawa itu. Seharian Rio lah
yang berbicara denganku, dan bukan Daniel.

Sepulang sekolah Daniel langsung pulang dan lagi-lagi meninggalkanku dengan sejuta bisunya. Aku
menyusul Daniel kerumahnya.

Pembantunya bilang dia sedang di ruang keluarga. Ya! Aku menemukan sosok yang aku cari duduk
besandar menenggelamkan tubuhnya ke sofa yang empuk itu. Sejurus kemudian aku telah duduk
disampingnya. Menyandarkan kepalaku di bahunya.

“Daniel yang gue kenal gak sedingin ini” hening, matanya masih saja menatap layar televisi itu.
Seperti tak merasakan adanya aku disini, tak mendengar kalimatku, diam seribu bahasa. Lama aku
ikut terdiam. Aku tak suka suasana ini. Aku menatapnya. Mata itu kini berbeda. Termenung, lagi
pikiranku melayang entah kemana. Daniel kini balas menatapku. Mata itu masih tak bisa aku
temukan.

“Del?” akhirnya. Suara itu yang aku butuhkan, yang aku tunngu sedari tadi

“hm?” jawabku masih mencari mata itu. Tak juga kutemukan

“elu tau nggak kalo Rio sama Putri udah putus?” tanyanya masih dingin

“Tau, kenapa?”

“Elu lagi deket sama Rio?” tanyanya yang kini menghadapkan tubuhnya kearahku

“ deket gimana?” tanyaku melakukan hal yang sama.

“Kemaren elu pulang bareng dia?”

“Iya, dia bilang mau ke rumah neneknya, jadi sejalan gitu. Lagian elu ninggalin gue sih” jawabku
sambil memutar tubuhku lagi kearah televisi.

“del?” raut wajahnya kini benar benar berubah, serius. Aku merasakan ada hujan es di otakku. Ada
apa dengan Daniel.

“hm?” jawabku menghadapkan wajahku kearahnya.


“ sebenernya gue suka sama elu. Bukan, sayang. Bukan, gue..” ucapannya terhenti, jantungku
terhenti. Ucapannya bergema ditelingaku mengalir meremuk otakku, lidahku kelu. Aku membeku.
Kenapa baru sekarang daniel? Kenapa?

Hening ,aku terdiam, Daniel terus menatapku. Aku tak tau apa yang harusnya aku ucapkan.

“Gue gak suka elu deket sama Rio” Daniel memecah keheningan itu. Sejurus kemudian aku
tenggelamkan tubuhku dalam pelukannya. Dapat aku rasakan dengan jelas sekarang detak
jantungnya. Ada ribuan kuda disana.

“ Mengapa baru sekarang, Dan?” bodoh! Apa yang kau ucapkan adel? Apa yang terjadi kenapa
bibirku tiba-tiba mrngucapkan kalimat itu? Sekarang terasa detak jantungnya berdetak semakin
kencang. Daniel menarik napasnya.

“ Gue gak mau elu ngejauhin gue del” kata itulah yang selama ini aku pikirkan, yang selama ini
terngiang di otakku. Jantungku berhenti berdetak.

“ kalo kita sama-sama mikir gitu, kapan kebenaran akan terungkap? Kita akan sama-sama tenggelam
dalam lautan cinta terpendam yang tak mampu diungkapkan. Gue udah coba buat hapus rasa ini
Dan, tapi gue gak mampu. Cinta emang egois. Tak mau dihapus.” kini mata itu menatapku dalam,
jantungnya kembali berdegup normal. “Gue takut kalo gue bilang semuanya kita gak bisa deket lagi.
Gue takut elu ngejauhin gue. Gue gamau kehilangan elu, Dan. Tapi gue gak suka saat elu deket sama
cewek lain. Rasanya ada sesuatu yang nusuk jantung gue. Sakit , Dan.” Lanjutku. Dapat kurasakan
dengan jelas sekarang jantunya kembali berdegup kencang

“itu yang gue rasain saat elu deket sama Rio ,Del. Saat elu merhatiin dia.”

“Gue gak pernah merhatiin Rio , Dan. Yang selama ini gue perhatiin orang yang duduk di sebelah Rio,
elu.”

Aku merasakan ada petir menggelegar dan hujan es itu semakin deras. Tuhan, aku baru saja
mengungkapkannya. Aku merasakan bendungan dimataku akan segera runtuh. Seluruh tubuhku
hangat. Petir itu telah hilang, hujan es telah reda. Bendungan dimataku runtuh. Kini sosok itu
mendekapku erat. Aku menangis dalam dekapannya. Hangat, tenang, hening. Sejurus kemudian
sosok itu melepaskan dekapannya. Menatapku dalam, kini aku dapat melihat mata itu lagi, mata
indah itu lagi, senyum itu lagi.

“del, jadian yuk?”

Aku membeku. Rasanya ada jutaan jarum es yang menusuk otakku. Lidahku kelu. Apa yang harus
aku katakan? Tuhan. Kami telah bersahabat sejak lama. Bagaimana bila nanti kami akan berpisah?
Aku tak ingin itu semua terjadi. Aku nyaman disisinya. Dengan semua ini. Tapi aku tak bisa
melihatnya bersama orang lain. Lama aku termenung sampai akhirnya

“del, laper nih makan yuk!”

Ah! Selalu saja seperti ini. Tapi baguslah. Setidaknya aku tidak perlu memikirkan jawabannya. Terus
aku perhatikan sosok itu. Ah dia memang bisa membuat aku gila. Tak lagi dia bahas ucapannya yang
telah membuatku gila itu. Setelah waktu makan yang sunyi itu kami kembali duduk di sofa tadi.
Tempat eksekusi mati itu. Akankah dia kembali membahas gugatannya tadi? Akankah status
tersangkaku kembali? Entahlah akupun menunggunya.

Lama tak terucap satu katapun dari bibirnya. Yang terdengar hanyalah suara spongebob dan teman-
temannya dari televisi.

“del?” sekejap jantungku berhenti berdetak. Paru-paruku kehilanngan oksigen. Ya memang inilah
yang aku tunggu. Tapi, aku masih tak tau jawabannya.

“hm? Kenapa?” bodoh! Kenapa aku bertindak seperti orang asing sekarang?

“ elu harus nyerahin diri ke polisi sekarang” bingung, aku benar benar bingung dan tak mengucap
satu katapun. Hanya menatapnya dengan tatapan kebingungan. Ya, aku memang kebingungan.

“elu udah nyuri barang gue yang paling berharga. gue gak nyangka gue bisa kecolongan gini del. Elu
mau nyerahin diri atau perlu gue telpon sekarang? ” masih bingung, aku masih membisu dan masih
tak mengerti apa-apa dengan ucapan daniel.

“del elu udah nyuri hati gue. Gue gamau elu balikikn itu. Tapi elu harus tanggung jawab” deg! Aku
terdiam aku merasakan jarum-jarum es itu semakin menusuk otakku. Aku gila. Aku benar-benar gila.
Sedangngkan yang dilakukan daniel sekarang adalah tertawa. Ah suasana ini jadi lebih baik sekarang
dengan tawa itu.

“gue gak ngerasa udah nyuri” jawabku dan tersenyum. Akhirnya aku bisa tersenyum

“tapi semua bukti-bukti tertuju ke elu. Itu pasti elu yang udah nyuri” jawabnya dengan nada
menirukan detektif di film

“ nggak, elu gabisa nuduh gue gitu dong”

“ semua udah terbukti, del. semua bukti udah ngarah ke elu” sejurus kemudian aku merasakan
tubuhku hangat. Daniel memelukku erat “tuh kan, gue tau sekarang elu sandera dimana hati gue. Elu
udah kebukti nyuri del. elu harus tanggung jawab” aku membalas pelukannya.

“terus caranya gue tanggung jawab?” ucapku pelan.

“be mine?” jawab daniel menatapku. Ah mata itu, aku tak pernah bisa menahan diriku untuk tak
jatuh ke dalamnya.

“ itu pertanyaan?” ah aku mulai lagi. Mungkin salah satu sambungan di otakku terputus sehingga
perlu diperbaiki sebelum aku berbicara lagi.

“nggak, del. itu pernyataan. Elu jadi pacar gue. Jadi punya gue.” Entahlah aku tak tau apa yang ada
dibenaknya. Yang aku rasakan sekarang aku kebingungan. Masihkah aku bisa berfikir untuk tetap
berteman saja dengan daniel atau .. menjadi pacarnya bahkan.

“enak aja elu bikin pernyataan kaya gitu. Nggak gue gak mau. Elu nyebelin”

“deeeeel ini serius ah”

“iya gue serius” jawabku


“serius gak mau?” tanya daniel

“ iya gak mau” jawabku singkat dan memalingkan pandanganku ke televisi

“adeeeeeeell” ucap daniel menyandarkan tubuhnya ke bahuku.

“ apaan ah. Berat tau” aku berusaha untuk tak tertawa dan menggeserkan tubuhku menjauhi daniel

“ gak mau apa?” tanya daniel mengarahkan wajahku kearahnya dengan kedua tangannya

“gak mau nolak” jawabku pelan dan menundukkan kepalaku. Sejurus kemudian tubuhku kembali
hangat. Nyaman.

Latifah Meda Ferlita

Anda mungkin juga menyukai