Anda di halaman 1dari 24

MODUL UTAMA

RINOLOGI

MODUL II.9
LESI JINAK HIDUNG DAN
SINUS PARANASAL

EDISI II

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

DAFTAR ISI

A. WAKTU ...................................................................................... 2
B. PERSIAPAN SESI ...................................................................... 2
C. REFERENSI ......................................................................................... 2
D. KOMPETENSI ..................................................................................... 3
E. GAMBARAN UMUM ......................................................................... 3
F. CONTOH KASUS DAN DISKUSI ..................................................... 4
G. TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................... 4
H. METODE PEMBELAJARAN ............................................................. 4
I. EVALUASI .......................................................................................... 6
J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF .................. 7
K. INSTRUMEN PENILAIAN PSIKOMOTOR ...................................... 8
L. DAFTAR TILIK .................................................................................... 9
M. MATERI PRESENTASI ....................................................................... 11
N. MATERI BAKU .................................................................................... 17

1
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

A. WAKTU

Waktu :
Sesi di dalam kelas 10 X 60 menit
Sesi dengan fasilitas pembimbing 6 X 60 menit
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 11 X 60 menit

B. PERSIAPAN SESI
1. Materi Presentasi
2. Kasus
3. Sarana dan alat bantu latih

C. REFERENSI

1. Carrau RL, Myers EN. Neoplasma of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Bailey
BJ, Pillsbury III HC, Driscoll BP,editors. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Philadhelpia: Lippicontt-Raven Pub; 2001. p.1445-68.
2. Kennedy DW, Hwang PH, David W Kennedy, Petter H Hwang. In: Rhinology,
Disease of the nose, sinuses and skull base. 1st ed, Thieme New York Stutgart
2012 p 395-407
3. Nepal A. Benign sinonasal masses: A Clinicopathological and Radiological
Profile. Kathmandu University University Medical Journal 2014; 11 (41):4-8
4. Syrjanen KJ. HPV Infection in Benign and Malignant Sinonasal lesions. J Clin
Pathol 2003; 56:174-181
5. Bakari A, Afolabi OA, Adoga AA, Kodiya AM, Ahmad BM. Clinico-
pathological profile of sinonasal masses: an experience in national ear care center
Kaduna, Nigeria. BMC Research Notes 2010; 3 (186) : 1-5
6. Thapa N. Diagnosis and Treatment of Sinonasal Inverted Papilloma. Nepalese
Journal of ENT Head & Neck Surgery 2010; 1 (1) : 30-33
7. Kim DY, Hong SL, Lee CH, Jin HR, Kang JM, Lee BJ, et al. Inverted Papilloma
of the Nasal Cavity and Paranasal Sinus : A Korean Multicenter Study. The
Laryngoscope 2012; 122: 487-494
8. Baradaranfar MH, Dabirmoghaddam P. Endoscopic endonasal Surgery for
Resection of Benign Sinonasal Tumors: experience With 107 Patients. Arch
Iranian Med 2006; 9(3):244-249
9. Joo DJ, Chhetri DK, Wang MB. How I Do It. Endoscopic Removal of Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibromas : A Video Presentation. The Laryngoscop 2008;
118:XX: 1-3
10. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen
2010; 7(4):419-425
11. Nicolai P, Castelnuovo P, Villaret AB, Farina D.. The Role of Endoscopy in the
Management of Benign and Malignant Sinonasal Tumors. In: Georgalas C,
Fokkens W, editors. Rhinology and Skull Base Surgery. Stutgatgart,New York:
Thieme;2013.p.835-861

D. KOMPETENSI

Kompetensi Kemampuan Klinis Tingkat 4


Mampu menginterpretasi hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik berbagai lesi jinak
hidung dan sinus paranasal dan dan menentukan diagnosis pasti berdasarkan

2
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

pemeriksaan penunjang (nasoendoskopi, laboratorium, X-ray, Ct Scan, angiografi,


histopatologi) sehingga dapat memberikan terapi yang relevan.

Kompetensi Keterampilan Klinis :


a. Kompetensi Ketrampilan Klinis Tingkat 4 : untuk biopsi tumor dan lesi jinak
hidung dan sinus paranasal
b. Kompetensi Ketrampilan Klinis Tingkat 2 : untuk bedah tunor sinus endoskopik

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:


1. Mampu menjelaskan definisi lesi jinak hidung dan sinus paranasal dan mengetahui
berbagai jenis lesi jinak hidung dan sinus paranasal
2. Terampil melakukan dan menginterpretasi hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
penderita lesi jinak hidung dan sinus paranasal.
3. Mampu menetapkan diagnosis klinik lesi jinak hidung dan sinus paranasal.
Memutuskan pemeriksaan penunjang laboratorium yang diperlukan dan
menginterpretasi hasilnya.
4. Mampu melakukan tindakan biopsi dan menetapkan staging sesuai acuan.
5. Mampu menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang seperti Tomografi
komputer , MRI, angiografi.
6. Mampu memberikan pengobatan dan rencana penatalaksanaan sesuai jenis lesi
jinak ,lokasi dan kegawatdaruratan.
7. Mampu memberikan edukasi kepada penderita tentang lesi jinak hidung dan
sinus paranasal baik pre operasi maupun pasca operasi.
8. Menilai perlunya pemeriksaan dan konsultasi ke disiplin lain

E. GAMBARAN UMUM

Lesi jinak hidung dan sinus paranasal adalah suatu istilah untuk pertumbuhan
suatu masa didalam rongga hidung dan sinus paranasal yang berdasarkan histologi
diklasifikasikan sebagai neoplasma jinak. Pertumbuhan yang ditandai dengan
ekspansi lokal dapat menyebabkan pendesakan pada struktur-struktur penting
disekitar hidung dan sinus paranasal seperti orbita, otak dan dasar tengkorak. 1,2, 3
Tumor hidung dan sinus paranasal pada dasarnya jarang ditemukan. Di
indonesia kekerapan baik tumor ganas dan jinak sekitar 1% dari keganasan seluruh
tubuh dan 3% dari keganasan di kepala dan leher . Lesi jinak sinonasal yang tersering
adalah papilloma inverted dengan insiden 80%, kemudian Angiofibroma nasofaring
belia, dan osteoma. Selain itu terdapat penyakit sistemik yang dapat juga
bermanifestasi sebagai granuloma di rongga hidung seperti
Sarcoidosis,granulomatosis wagener dan yang bersifat ganas seperti lethal midlne
granuloma.1
Sumbatan hidung unilateral yang disertai dengan sekret adalah gejala tersering.
Epistaksis kadang-kadang ditemukan terutama untuk lesi yang hipercaskularisasi
contohnya angiofibroma nasofaring belia.1
Saat ini aplikasi operasi endoskopi (ESS atau Endoscopic Sinus Surgery) sudah
berkembang untuk mendiagnosis dan penatalaksaan lesi jinak hidung dan sinus
paranasal karena morbiditas yang lebih minimal dibandingkan dengan pendekatan
terbuka. meskipun masih ada tempat bedah terbuka khususnya untuk kasus2 lesi jinak
yang sudah meluas dan tidak bisa dijamin kebersihan pengangkatannya dengan
menggunakan endoskopi. 11

3
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

F. CONTOH KASUS

Seorang laki-laki, 50 tahun datang ke poliklinik THT dengan keluhan ingus kental
hilang timbul dari hidung kiri, mimisan dan mata kiri berair sejk 10 bulan smrs. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan rinorea purulen dan massa berwarna merah muda
memenuhi kavum nasi kiri.

Diskusi:
Harus diketahui:
 Diagnosis banding massa di hidung dan sinus paranasal baik yang bersifat
jinak dan ganas
 Dapat melakukan pemeriksaan endoskopi untuk melihat massa dan letak
perlekatan dari massa.
 Dapat melakukan tindakan biopsi dengan menggunakan nasoendoskopi
dengan baik
 Mengetahui pemeriksaan penunjang lain seperti laboratorium darah dan
radiologi untuk mengetahui perluasan massa dan keterlibatan regio sekitar
hidung dan sinus paranasal.

G. TUJUAN PEMBELAJARAN

Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan dan keterampilan serta perilaku yang terkait dengan pencapaian
kompetensi dan keterampilan yang diperlukan dalam mengenali dan menatalaksana
penyakit lesi jinak hidung dan sinus paranasal, yaitu :
1. Menguasai definisi lesi jinak hidung dan sinus paranasal dan mengetahui berbagai
jenis lesi jinak hidung dan sinus paranasal.
2. Trampil melakukan dan menginterpretasi hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
penderita lesi jinak hidung dan sinus paranasal.
3. Mampu menetapkan diagnosis klinik lesi jinak hidung dan sinus paranasal.
4. Memutuskan pemeriksaan penunjang laboratorium yang diperlukan dan
menginterpretasi hasilnya.
5. Mampu melakukan tindakan biopsi dan menetapkan staging sesuai acuan .
6. Mampu menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang seperti Tomografi
komputer , MRI, angiografi.
7. Mampu memberikan pengobatan dan rencana penatalaksanaan sesuai jenis lesi
jinak ,lokasi dan kegawatdaruratan.
8. Mampu memberikan edukasi kepada penderita tentang lesi jinak hidung dan
sinus paranasal baik pre operasi maupun pasca operasi.

H. METODE PEMBELAJARAN

Tujuan 1. Menguasai definisi lesi jinak hidung dan sinus paranasal dan
mengetahui berbagai jenis lesi jinak hidung dan sinus paranasal
Untuk mencapai tujuan ini dipilih metoda/ proses pembelajaran dengan
cara :
a. Interactive lecture
b. Small group discussion
c. Text book review

Peserta didik harus tahu :


1. Definisi lesi jinak hidung dan sinus paranasal
2. Macam-macam lesi jinak hidung dan sinus paranasal
4
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

Tujuan 2. Trampil melakukan dan menginterpretasi hasil anamnesis dan


pemeriksaan fisik penderita lesi jinak hidung dan sinus paranasal.
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses /pembelajaran melalui :
a. Small group discussion
b. Stase di klinik THT dan kamar operasi
c. Presentasi kasus

Peserta didik harus tahu :


1. Gejala klinis umum lesi jinak hidung dan paranasal
2. Kegawat daruratan pada pasien .

Tujuan 3. Mampu menetapkan diagnosis klinik lesi jinak hidung dan sinus
paranasal.

Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :


a. Small group discussion
b. Stase di klinik alergi

Peserta didik harus tahu :


1. Melakukan diagnosa berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
2. Mampu memperkirakan perluasan tumor

Tujuan 4. Memutuskan pemeriksaan penunjang laboratorium yang diperlukan


dan menginterpretasi hasilnya

Untuk mencapai tujuan tersebut peserta didik harus mengetahiu


perangangai lesi jinak hidung dan sinus paranasal serta keadaan umum
dan derajat berat penyakit pada pasien
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses/ pembelajaran melalui :
a. Text book review
b. Small group discussion

Tujuan 5. Mampu melakukan tindakan biopsi dan menetapkan staging sesuai


acuan.
Peserta didik harus tahu :
1. Cara melakukan biopsi dan resiko pasca biopsi
2. Penatalaksanan pasien pasca biopsi.
.
Tujuan 6. Mampu menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang seperti
Tomografi komputer , MRI, angiografi
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
a. Text book review
b. Small group discussion
c. Stase di klinik THT dan Radiologi

Peserta didik harus tahu :


1. Menguasai pembacaan Tomografi komputer dan MRI
2. Menginterpretasi perluasan tumor secara radiologik.
3. Gangguan psikis pada pasien lesi jinak hidung dan sinus paranasal

5
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

Tujuan 7. Mampu memberikan pengobatan dan rencana penatalaksanaan


sesuai jenis lesi jinak ,lokasi dan kegawatdaruratan.
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
a. Text book review
b. Small group discussion
c. Stase di klinik
d. Presentasi kasus

Peserta didik harus tahu :


1. Menjelaskan teknik operasi pilihan pada lesi jinak hidung dan sinus
paranasal.
2. Keuntungan dan kerugian tiap teknik operasi
3. Resiko kegawatdaruratan pasien lesi jinak hidung dan sinus paranasal
dan tatalaksananya.

Tujuan 8. Mampu memberikan edukasi kepada penderita tentang lesi jinak


hidung dan sinus paranasal baik pre operasi maupun pasca operasi.
a. Text book review
b.Small group discussion
c.Stase di klinik
d.Presentasi kasus

Peserta didik harus tahu :


1. Cara menjelaskan prognosis lesi jinak hidung dan sinus paranasal
serta berbagai cara pengobatan yang dipilih serta resikonya
2. Menjelaskan persiapan operasi yang diperlukan sebelum operasi
kepada pasien
3. Menjelaskan perawatan pasca operasi dan rencana follow up kepada
pasien

I. EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk tertulis (essay) dan oral
sesuai dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai
pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik dan peserta didik dapat mempunyai
gambaran apa yang harus diketahui dan dipelajari sehingga dapat diidentifikasi
kekurangan yang ada .
Materi pre tes terdiri dari :
- Definisi dan gejala dan lesi jinak hidung dan sinus paranasal
- Berbagai penyebab yang dapat mengakibatkan lesi jinak hidung dan sinus
paranasal
- Cara membedakan tiap jenis dan perangai lesi jinak hidung dan sinus
paranasal
- Tatalaksana pada lesi jinak hidung dan sinus paranasal
- Cara penjelasan kepada penderita untuk mengetahui permasalahan serta
resiko yang akan terjadi
2. Dilakukan diskusi dengan instruktur/ pembimbing untuk membahas kekurangan
yang teridentifikasi, membahas hal-hal yang tercantum dalam penuntun belajar ,
kesempatan yang akan diperoleh selama bedside teaching dan proses
penilaiannya.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar, peserta didik diwajibkan untuk melihat dan
memperhatikan aplikasi langkah – langkah yang tertera dalam penuntun belajar
yang dilakukan oleh kakak kelasnya pada Standardized Patient (SP) yang
sedang bekerja pada penderita/ kasus lesi jinak hidung dan sinus paranasal. Pada
6
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

saat tersebut peserta didik belum diperkenankan untuk mengerjakan sendiri,


tetapi boleh membawa penuntun belajar sambil memperhatikan yang dikerjakan
oleh peserta didik yang lebih senior. Setelah melihat, dilakukan diskusi dengan
pembimbing untuk membicarakan hal-hal yang belum jelas dari penuntun belajar.
Baru kemudian peserta didik diberi kesempatan untuk mengaplikasikan
penuntun belajar dibawah pengawasan pembimbing / kakak seniornya dengan
pedoman penuntun belajar. Setelah dianggap cukup, peserta didik diberi
kesempatan untuk melakukan pada berbagai kasus yang datang di klinik
rhinology dan diharuskan membicarakan / mendiskusikan rencana pengelolaan
pasien yang di hadapinya dengan pembimbing.
Pada saat pelaksanaan , evaluator/ senior melakukan pengawasan langsung dan
mengisi formulir penilaian yang isinya sebagai berikut :
Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkahnya tidak
dilaksanakan
Cukup : pelaksanaan sudah benar tapi tidak efisisen, misalnya
memerlukan waktu lama atau membuat pasien tidak nyaman.
Baik : pelaksanaan sudah benar dan efisien.
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan
penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan
pasien dan memberikan masukan untuk memperbaiki kekurangan yang
ditemukan.
5. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan menggunakan penuntun
belajar
6. Pendidik/ fasilitator
Kriteria penilaian keseluruhan : Cakap, Tidak cakap, Lalai
7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas
yang
dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education).
8. Pencapaian pembelajaran
Ujian akhir stase oleh unit kerja oleh masing-masing sentra pendidikan
Ujian akhir kognitif dilakukan di akhir tahap oleh masing-masing sentra
dilanjutkan
Ujian kognitif dilakukan dengan ujian tulis dan OSCE oleh Kolegium IK THT–
KL,

J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF

• Kuesioner Sebelum Pembelajaran

1. Jenis tumor jinak apa yang tersering ditemukan di hidung dan sinus paranasal?
a. Osteoma
b. Papilloma Inverted
c. Juvenile angiofibroma
d. Adenoma
Jawaban : b

2. Struktur mana yang tersering yang terlibat pada tumor juvenile angiofibroma
nasofaring?
a. Ethmoid
b. Fosa Pterigoid
c. Fossa Pterigopalatina
d. Sfenoid
Jawaban :

7
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

2. Kuesioner Tengah Pembelajaran


3. Kuesioner Akhir Pembelajaran

K. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR

PENUNTUN BELAJAR
BIOPSI TUMOR DAN LESI JINAK DI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

KEGIATAN

I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF

II. PROSEDUR PEMASANGAN TAMPON KAPAS LIDOCAIN


ADRENALIN (4:1)

1 Peganglah endoskopi dengan lensa 0 0 dengan tangan kiri, kemudian


masukkan scope lensa 00 ke nostril kanan/kiri dengan bertumpu pada
atap vestibulum agar tidak banyak pergerakan dan mengganggu
visualisasi. Dilakukan evaluasi massa di dalam kavum nasi.
2 Tangan kanan memegang pinset bayonet dan menjepit kapas yang sdh
diberikan analgesi topical lidocain: adrenalin dengan perbandingan 4 cc
lidocain : 1 cc adrenalin, kapas dimasukkan ke dalam kavum nasi jika
memungkinkan di medial dan lateral dari massa yang tampak pada
kavum nasi. Tampon dibiarkan di dalam kavum nasi selama 10 menit
3. Setelah 10 menit tampon dikeluarkan dan kemudian dilakukan evaluasi
massa dan sumber perlekatannya

III. PROSEDUR BIOPSI TUMOR DAN LESI JINAK RONGGA


HIDUNG

1 Dengan tangan kiri tetap memegang endoskop, tangan kanan memegang


cunam biopsy (forsep blaksley lurus atau upturn) , cunam diarahkan
menembus massa dalam posisi menutup, kemudian di dalam massa
cunam dibuka dan dilakukan penjepitan isi massa sambil diputar ke kiri
atau ke kanan. Haringan yang diapat disimpan di dalam larutan formalin
dan dikirim ke bagian patologi anatomi.
2 Asisten memegang kanul suction, apabila terdapat darah disuction agar
tidak mengganggu visualisasi
3 Dilakukan pemasangan kembali tampon kapas lidocain : adrenalin dan
dibiarkan selama 10-15 menit untuk menghentikan perdarahan
4 Apabila darah masih tetap mengalir dan tidak berhenti setelah diberikan
tampin kapas lidocain adrenalin, dilakukan pemasangan tampon anterior
yang telah dilapisi vaselin atau salep antibakteri ke dalam rongga hidung
atau menggunakan tampon yang dimasukkan ke dalam handscoon,
dipasang dalam kavum nasi.
5 -Hal- hal yang harus diperhatikan:
Waktu memasang tampon tidak melukai columella dan septum nasi,
karena bagian ini sangat mudah mengalami trauma.
-Tampon tidak bole terlalu padat
6 Setelah tampon terpasang dengan baik di dalam rongga hidung:
8
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

-memasang kasa + plester di anterior untuk menahan tampon supaya


tidak keluar
Pada pemasangan tampon hidung bilateral:
- Bila perlu berilah oksigen yang telah dihumidifikasi
- Penderita harus diobservasi
7 Berilah antibiotik spectrum luas selama pemasangan tampon
8 Tampon hidung anterior dipertahankan selama 2x24 jam bila setelah
dilepas darah masih ada, lakukan kembali pemasangan tampon posterior,
pasang infus dan transfuse sesuai indikasi

L. DAFTAR TILIK

PENILAIAN
BIOPSI TUMOR DAN LESI JINAK DI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya
(jika harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan
atau membantu untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja
yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)

KEGIATAN PENILAIAN

I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF

II. PROSEDUR PEMASANGAN TAMPON KAPAS


LIDOCAIN ADRENALIN (4:1)

1 Peganglah endoskopi dengan lensa 0 0 dengan tangan


kiri, kemudian masukkan scope lensa 00 ke nostril
kanan/kiri dengan bertumpu pada atap vestibulum agar
tidak banyak pergerakan dan mengganggu visualisasi.
Dilakukan evaluasi massa di dalam kavum nasi.
2 Tangan kanan memegang pinset bayonet dan menjepit
kapas yang sdh diberikan analgesi topical lidocain:
adrenalin dengan perbandingan 4 cc lidocain : 1 cc
adrenalin, kapas dimasukkan ke dalam kavum nasi jika

9
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

memungkinkan di medial dan lateral dari massa yang


tampak pada kavum nasi. Tampon dibiarkan di dalam
kavum nasi selama 10 menit
3. Setelah 10 menit tampon dikeluarkan dan kemudian
dilakukan evaluasi massa dan sumber perlekatannya

III. PROSEDUR BIOPSI TUMOR DAN LESI JINAK


RONGGA HIDUNG

1 Dengan tangan kiri tetap memegang endoskop, tangan


kanan memegang cunam biopsy (forsep blaksley lurus
atau upturn) , cunam diarahkan menembus massa dalam
posisi menutup, kemudian di dalam massa cunam
dibuka dan dilakukan penjepitan isi massa sambil
diputar ke kiri atau ke kanan. Haringan yang diapat
disimpan di dalam larutan formalin dan dikirim ke
bagian patologi anatomi.
2 Asisten memegang kanul suction, apabila terdapat darah
disuction agar tidak mengganggu visualisasi
3 Dilakukan pemasangan kembali tampon kapas lidocain :
adrenalin dan dibiarkan selama 10-15 menit untuk
menghentikan perdarahan
4 Apabila darah masih tetap mengalir dan tidak berhenti
setelah diberikan tampin kapas lidocain adrenalin,
dilakukan pemasangan tampon anterior yang telah
dilapisi vaselin atau salep antibakteri ke dalam rongga
hidung atau menggunakan tampon yang dimasukkan ke
dalam handscoon, dipasang dalam kavum nasi.
5 -Hal- hal yang harus diperhatikan:
Waktu memasang tampon tidak melukai columella dan
septum nasi, karena bagian ini sangat mudah mengalami
trauma.
-Tampon tidak bole terlalu padat
6 Setelah tampon terpasang dengan baik di dalam rongga
hidung:
-memasang kasa + plester di anterior untuk menahan
tampon supaya tidak keluar
Pada pemasangan tampon hidung bilateral:
- Bila perlu berilah oksigen yang telah
dihumidifikasi
- Penderita harus diobservasi
7 Berilah antibiotik spectrum luas selama pemasangan
tampon
8 Tampon hidung anterior dipertahankan selama 2x24 jam
bila setelah dilepas darah masih ada, lakukan kembali
pemasangan tampon posterior, pasang infus dan
transfuse sesuai indikasi

10
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

M. MATERI PRESENTASI

LCD 1. ANATOMI DINDING LATERAL HIDUNG

11
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

LCD 2. KLASIFIKASI LESI JINAK HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


PEMBAGIAN MENURUT WHO

LESI JINAK LOKAL

BERASAL DARI NEURON :  NASAL GLIOMA


 MENINGOENCEPHALOCELE
 NEUROFIBROMA
 SCHWANNOMA
 PARAGANGLIOMA
BERASAL DARI JARINGAN  HEMANGIOMA
IKAT:  JUVENILE ANGIOFOBROMA
NASOFARING

BERASAL DARI JARINGAN  PAPILLOMA INVERTED


EPITEL  FUNGIFORM PAPILLOMA
 KERATOTIC PAPILLOMA
 ADENOMA
CYLINDRICAL PAPILOMA
BERASAL DARI JARINGAN  CHONDROMA
MESENKIM:  OSTEOMA
 DISPLASIA FIBROSA
FIBROMA
MASSA NASOFARING:  NASOPHARINGEAL CYST
 NASOPHARYNGEAL TERATOMA
JUVENILE ANGIOFOBROMA
NASOFARING
LESI JINAK SISTEMIK  SARCOIDOSIS
 MIDLINE GRANULOMA (GANAS)
 WAGENER GRANULOMATOSIS
 LANGERHANS CELL
HISTIOCYTOSIS
 CHURG – STRAUSS SYNDROME

LCD 3. GAMBARAN ENDOSKOPI LESI JINAK HIDUNG DAN SINUS


PARANASAL (PAPILOMA INVERTED)

12
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

LCD 4. GAMBARAN ENDOSKOPI LESI JINAK HIDUNG DAN SINUS


PARANASAL (JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING)

LCD 5. GAMBARAN ENDOSKOPI LESI JINAK HIDUNG DAN SINUS


PARANASAL (LETHAL MIDLINE GRANULOMA)

13
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

LCD 6. TINDAKAN BIOPSI LESI JINAK HIDUNG DAN SINUS


PARANASAL

LCD 7. GAMBARAN RADIOLOGI LESI JINAK HIDUNG DAN SINUS


PARANASAL

LCD 8. PENATALAKSANAAN AWAL LESI JINAK HIDUNG DAN SINUS


PARANASAL

 PENATALAKSANAAN AWAL
- Pemeriksaan Nasoendoskopi
- Biopsi massa hidung dan sinus paranasal
- Persiapan operasi
- Pemeriksaan laboratorium Lengkap (DPL, BT,CT,
PT,APTT, SGOT,SGPT, UREUM, CREATININ, SGOT
SGPT, GDS)
- Pemeriksaan CT Scan Sinus Paranasal
- Ro Thorax PA
- Konsul IPD
14
- Konsul Kardiologi (usia di atas 40 tthn)
- Konsul Anestesi
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

LCD 9. PENATALAKSANAAN BEDAH LESI JINAK HIDUNG DAN SINUS


PARANASAL

 PENATALAKSANAAN BEDAH
- Persiapan operasi
- Pemeriksaan laboratorium Lengkap (DPL, BT,CT, PT,APTT,
SGOT,SGPT, UREUM, CREATININ, SGOT SGPT, GDS)
- Pemeriksaan CT Scan Sinus Paranasal High resolution untuk
melihat keterlibatan tulang
- MRI untuk melihat perluasan intrakranial
- Ro Thorax PA
- Konsul IPD
- Konsul Kardiologi (usia > 40 thn)
- Konsul Anestesi

LCD 10. PENATALAKSANAAN NON BEDAH LESI JINAK HIDUNG DAN


SINUS PARANASAL

Terapi Non Bedah:


Radioterapi :
 Papilloma Inverted yang sudah menunjukkan perubahan
kearah sel skuamosa karsinoma
 Juvenile Angiofibroma Nasofaring (dosis rendah 30-36 Gy) :
pada kasus rekuren atau tumor yang terlalu besar sehingga
tidak dimungkinkkan untuk reseksi komplit
 Kemoterapi :
Lethal Midline Granuloma, Langerhan Cell Histiocytosis
 Kortikosteroid
- Sarkoidosis
- Wagener Granulomatosis (dikombinasi dengan
cyclophosphamide)
- Churg –Strauss Syndrome

15
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

LCD 11. TERAPI PEMBEDAHAN DENGAN PENDEKATAN ENDOSKOPI

Pendekatan Endoskopi
Indikasi:
 Tumor Jinak hidung dan Sinus Paranasal
Kontra Indikasi:
 Jika tumor sudah mengonfiltrasi ke orbita
 Perluasan tumor jauh ke sinus frontal dan/atau fossa
infratemporal lateral
 Perluasan massif ke basis kranii
 Perluasan ke arteri karotis
 Pasien yang sbelumnya sudah menjalani radioterapi

LCD 12. TERAPI PEMBEDAHAN DENGAN PENDEKATAN EKSTERNA


(TERBUKA)
Pendekatan Eksterna (Terbuka)

Rinotomi Lateral dengan Maksilektomy Medial


Indikasi
 Tumor Jinak Hidung dan sinus paranasal yang tmeluas dan
tidak memungkinkan untuk dilakukan ekstirpasi tumor dengan
pedekatan endoskopi
 Tumor Jinak hidung dan Sinus Paranasal yang berubah menjadi
ganas (papilloma Inverted yang berubah menjadi karsinoma sel
skuamosa)
Kontra Indikasi:
 Tumor berukuran besar yang meluas ke dinding lateral (invasi
fossa kribriformis, atap ethmoid, sinus sfenoid, lantai rongga
hidung) yang membutuhkan pendekatan yang lebih luas

Pendekatan sinus frontal osteoplastic


Indikasi;
 Tumor jinak : Papilloma Inverted atau osteoma yang meluas ke
sinus frontal

16
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

N. MATERI BAKU

GAMBARAN UMUM

Lesi jinak sinonasal adalah suatu istilah untuk pertumbuhan suatu masa didalam
rongga hidung dan sinus paranasal yang berdasarkan histologi diklasifikasikan
sebagai neoplasma jinak.Pertumbuhan yang ditandai dengan ekspansi lokal dapat
menyebabkan pendesakan pada struktur-struktur penting disekitar hidung dan sinus
paranasal seperti orbita, otak dan dasar tengkorak.1,2, 3
Selain itu terdapat lesi sistemik dengan manifestasi granulomatosis pada
rongga hidung dan sinus paranasal seperti sarcoidosis, langerhans cells histiocytosis,
midline granuloma, churg-strauss syndrome, wagener granulomatosis dan samter
triad (aspirin-exacercated respiratory diseases)
Tumor hidung sinonasal pada dasarnya jarang ditemukan. Di indonesia
kekerapan baik tumor ganas dan jinak sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh dan
3% dari keganasan di kepala dan leher.

Lesi jinak hidung sinonasal dapat dikelompokan berdasarkan jenis histologinya.

1. Macam – macam lesi jinak hidung dan sinus paranasal 3

Epitelial terdiri dari :


1. Papiloma inverted
2. Papiloma keratotik
3. Papiloma fungiformis
4. Papiloma silindrikal
5. Adenoma
Mesenkimal terdiri dari
1. Fibroma
2. Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma
3. Osteoma
4. Chondroma
Neural terdiri dari :
1. Schwanoma
2. Neurofibroma
3. Meningioma
Fibrousosseous terdiri dari
1. Fibrous displasia
2. Ossifying fibroma
3. Giant cell tumor
4. Giant cell granuloma
5. Aneurysma bone cyst
Vaskular terdiri dari :
1. Hemangioma
2. Hemangioperisitoma
3. Pyogenic granuloma
Odontogenik terdiri dari :
1. Ameloblastoma
2. Adamantinoma
3. Kista tulang

2. Lesi Sistemik Hidung dan Sinus Paranasal 1,11


1. Sarkoidosis
2. Langerhans cell histiocytosis
3. Lethal Midline Granuloma (maligna)
4. Churg-Strauss Syndrome
17
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

5. Wagener Granulomatosis
6. Aspirin –Exacerbated Respiratory Disease (Samter Triad)

Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan anamnesis , pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang ,
pemeriksaan histopatologi dengan melakukan biopsi dengan cara biopsi trans nasal,
sinuskopi, atau operasi 1,3

Lesi jinak hidung dan sinus paranasal terbanyak adalah


1. Papiloma inverted
Papiloma inverted merupakan lesi jinak hidung dan sinus paranasal dengan insiden
0.2 sampai 0.6 per 100.000 individu per tahun. Papiloma inverted merupakan 0.4
sampai 4.7% dari seluruh tumor hidung dan sinus paranasal. Papiloma inverted
mempunyai beberapa nama seperti scheiderian papiloma, soft papiloma, inverting
papiloma. Populasi papiloma inverted 3:1 terjadi pada pria dibanding dengan
wanita dan terjadi tersering pada usia diatas 50 tahun. Papiloma inverted sering
terjadi unilateral, walaupun pernah dilaporkan 4.9% kasus terjadi bilateral. Jenis
tumor jinak ini memiliki kecenderungan potensi menjadi ganas sehingga diagnosis
dan tindakan operatif yang adekwat dapat mencegah transformasi ke arah
keganasan. 3

Etiologi
Etiologi pasti terjadi nya papiloma inverted masih dalam perdebatan. Beberapa
teori menjelaskan hubungan papiloma inverted dengan sinusitis kronik. Terdapapt
suatu teori yang menjelaskan inflamasi kronik menginduksi ekspansi sel
monoklonal yang mengakibatkan terjadinya formasi papiloma inverted. Selain itu
suatu studi menjelaskan adanya peran Human papiloma virus. Kashima menjelas
kan terdapat resiko papiloma inverted dapat berubah menjadi kegananasan
terutama pada HPV tipe 6, 11 dan 16. Papiloma inverted secara histologi
merupakan tumor jinak tetapi mempunyai perangai mendestruksi jaringan sekitar ,
menyebabkan erosi dan remodeling tulang sekitarnya, cenderung terjadi rekurensi
terutama papiloma inverted yang berhubungan dengan keganasan. 4

Gejala klinis
Gejala klinis yang paling sering ditemukan
1. Obstruksi hidung unilateral
2. Rinorea
3. Nyeri kepala
4. Post nasal drainage
5. Epistaksis
Pada tumor yang sudah meluas ke organ sekitarnya seperti mata dapat
mengakibatkan diplopia, proptosis sampai kebutaan. 5

Pemeriksaan 6
1. Inspeksi : Asimetris wajah, proptosis, gigi goyah, peradangan kulit sekitar
penonjolan masa
2. Rinoskopi anterior dan posterior : Deskripsi secara lengkap massa , permukaan
licin atau tidak , mudah berdarah atau tidak, rapuh, berbenjol-benjol
3. Palpasi : dengan memakai sarung tangan paloasi daerah gusi, palatum, rahang,
apakah terdapat nyeri tekan , penonjolan atau gigi goyang.
4. Pemeriksaan kelenjar getah bening leher
5. Nasoendoskopi
6. Tomografi komputer . Pada pemeriksaan Ct scan dapat menunjukkan asal
tumor dengan adanya gambaran hiperostosis pada 89.1% .
7. MRI
18
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

Diagnosis
Dilakukan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik , nasoendoskopi, pemeriksaan
penunjang dan biopsi
Papiloma inverted dapat dilakukan staging berdasarkan Krouse 7

Stage Deskripsi
T1 Tumor terbatas hanya pada kavum nasi
T2 Tumor meluas ke sinus etmoid dan bagian superior sinus maksila
T3 Tumor meluas ke lateral, inferior, anterior atau posterior dinding sinus
maksila, sfenoid atau frontal
T4 Tumor meluas keluar daerah sinus paranasal seperti orbita atau
intrakranial atau berhubungan dengan keganasan

Pasien T1 sampai T3 direkomendasikan dilakukan operasi secara endoskopik


sedang kan T4 disarankan external approach digabung dengan endoskopi.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan lesi jinak hidung dan sinus paranasal sangat tergantung
histopatologi, lokasi dan perluasan tumor, serta keadaan umum pasien. Teknik
operasi yang dapat dilakukan terbagi atas :
 Open approaches
Rinotomi lateral, midface degloving, medial maxillectomi,.
 Endoscopic approaches
Beberapa keunggulan nya adalah menurunkan tingkat morbiditas,
mengurangi resiko perdarahan masif, mengurangi bekas luka operasi oleh
karena insisi kulit, visualisasi lebih baik, dan dapat digunakan sebagai
proses pembelajaran. 8

Penatalaksanaan pasca operasi


Pasien pasca operasi diwajibkan kontrol secara rutin setelah operasi untuk
pembersihan krusta , sekret, darah. Pemberian antibiotik dianjurkan terutama pada
minggu pertama setelah operasi. Pasien dianjurkan untuk mencuci hidung dengan
larutan saline sampai luka operasi sembuh. Kortikosteroid topikal dapat diberikan
untuk mengurangi inflamasi. Pada kasus kecurigaan keganasan dapat dilakukan
biopsi jaringan. Pemeriksaan MRI dilakukan pada kasus obliterasi parsial setelah 1
atau 2 tahun pasca operasi.

2. Angiofibroma
Angiofibroma merupakan neoplasma vaskular yang secara histologik jinak tetapi
secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang
dan meluas ke jaringan sekitar seperti sinus paranasal , pipi , mata sampai ke
dasar tengkorak. Tumor ini sangat mudah berdarh dan sulit untuk dihentikan.
EtiologiAngiofibroma masih belum jelas, berbagai macam teori diajukan salah
satu nya teori asal jaringan yaitu berasal dari batas superior foramen sfenopalatina
yang dibentuk oleh trifurcatio tulang palatina, bagian horisontal vomer, dan atap
prosesus pterigoideus. 9,10

Gejala klinis

Tersering adalah obstrusi hidung (80%) epistaksi (60%), nyeri kepala (25%) dan
pembengkakan wajah (10%). Gejala klinis yang lain dapat berupa rinorea,
hiposmia, suara hiponasal, proptosis, gangguan pendengaran, asimetris wajah, dan
deformitas dorsum nasi.

19
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

Pada pemeriksaan klinis didapatkan massa licin keunguan disertai sekret atau
jaringan nekrotik mengisi nasofaring dan rongga hidung.

Diagnosis

Untuk melakukan diagnosa pada Angiofibroma selain anamnesis dan


pemeriksaan fisik sangat dianjurkan dilaukan pemeriksaan radiologik yaitu
pemeriksaan Tomografi komputer.
Tanda Angiofibroma pada pemeriksaan Tomografi komputer :
1. Massa di nasofaring
2. Dinding sinus maksila posterior terdorong ke anterior
3. Erosi pada sinus sfenoid
4. Ekspansi dari fisura pterigomaksila
5. Erosi dari palatum durum
6. Erosi sinus maksila
7. Perubahan letak septum nasi
8. Pelebaran dari foramen sfenopalatina

Berdasarkan pemeriksaan Tomografi komputer dapat dikatagorikan staging dari


Angiofibroma. 10
Stage Deskripsi
I Tumor terbatas pada nasofaring dan rongga hidung, destruksi tulang
hanya terdapat pelebaran foramen sfenopalatina
II Tumor meluas ke fossa pterigopalatina atau meluas ke sinus maksila,
etmoid dan sfenoid, disertai destruksi tulang
IIIa Tumor meluas ke fossa infratemporal atau ke orbita tanpa keterlibatan
invasi ke intrakranial
IIIb Tumor meluas ke fossa infratemporal atau ke orbita dengan keterlibatan
invasi ke ekstradura intrakranial
IVa Tumor dengan keterlibatan intradura intrakranial tanpa infiltrasi
kedalam sinus kavernosus, fossa pituitari atau kiasma optikum
IVb Tumor dengan infiltrasi ke sinus kavernosus, fossa pituitari atau kiasma
optikum

Biopsi
Biopsi massa yang dilakukan di klinik tidak dianjurkan. Angiografi dapat
menentukan vaskularisasi dari tumor dan dapat digunakan sebagai diagnosa dan
panduan terapi. Karakteristik gambaran kemerahan pada angiografi dapat
menentukan diagnostik dan tindakan embolisasi pre operasi. Embolisasi dapat
dilakukan 24 jam sebelum dilakukan operasi untuk mengurangi resiko kehilangan
darah yang masif pada saat operasi. 10

Penatalaksanaan
Operasi
Tatalaksana Angiofibroma adalah dilakukan operasi dengan pengangkatan tumor
secara keseluruhan. Terdapat berbagai macam teknik operasi seperti :
1. Transpalatine
2. Tranzygomatikus
3. Transmandibular
4. Transhyoid
5. Transantral
6. Medialmaksilektomi
7. Infratemporal
8. Bedah Endoskopik pada tumor ukuran kecil dan tumor tanpa keterlibatan
intrakranial.8,9,10
20
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

Medikamentosa
Selain itu pernah dilakukn terapi medikal pada Angiofibroma seperti terapi
hormonal, tetapi terapi hormonal terbatas diaplikasikan oleh karena efek samping
dan respon tumor setelah terapi yang tidak konsisten mengecil. Preparat yang
diberikan testosteron bloker reseptor.10

Radioterapi
Radiasi dengan dosis rendah telah dilaporkan dapat mereduksi ukuran dari tumor.
Tetapi terapi radiasi tidakdapat menghilangkan tumor dan terapi radiasi dapat
menginduksi keganasan, sehingga terapi radiasi dilakukan pada kasus tidak dapat
dilakukan operasi dan untuk mengurangi ukuran tumor yang telah menginvasi
intrakranial atau organ vital lainnya. Pada kasus Juvenile Angiofibroma Nasofaring
pemberian radiasi masih dalam perdebatan akan tetapi pada dosis rendah 30-36 Gy
dapat memberikan hasil yang baik pada kasus rekuren atau tumor yang terlalu besar
sehingga tidak dimungkinkkan untuk reseksi komplit. 1

LESI SISTEMIK DENGAN MANIFESTASI GRANULOMATOSIS PADA


HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

1. Sarkoidosis
Sarkoidosis sinonasal merupakan manifestasi hidung yang jarang ditemukan dan
hanya 15 dari populasi. Sarkoidosis merupakan penyakit sistemik dengan
multisystem granulomatosis kronis dengan gambaran klasik granuloma
noncaseating. Prevalensi doseluruh dunia bervariasi, Swedia 20 per 100.000
populasi dan 1.3 kasus per 100.000 populasi di Japan.Penyebab penyakit ini
sampai saat ini belum diketahui. Genetik disebut salah satu penyebab yang
berhubungan dengan spesifik HLA pada beberapakelompok etnik tertentu.
Patofisiologi terjadi pembentukan granuloma di seluruh tubuh sebagai reaksi
sekunder terhadap agregasi makrofag yang berdifferensiasi menjadi sel epiteloid.
Sel epiteloid ini dibungus oleh fibroblast dan collagen membentuk fibrosis dan
jaringan sklerotik . gejala biasanya melibatkan organ multiple dan gejala tersering
pada paru.Keterlibatan sinonasal ditandai dengan hidung tersumbat, post nasal
drips, krusta, epistaksis, rinosinusitis kronis dan sakit kepala. Pada pemeriksaan
nasoendoskopi terdapat eritema, edema, mudah beerdarah dan mukosa hipertrofi.
Terdapat nodul granulomatosa kekuningan pada septum dan konka inferior dan
dapt disertai dengan polip dan rinofima11

Diagnosis pasti ditegakkan dengan biopsy dan histopatologi. Pemeriksaan rongent


Thoraks dan ct scan thoraksadalah pemeriksaan paling penting dalam penegakan
diagnosis dan penenruan stadium. Diperlukan kerjasama dengan ahli pulmonologis
dan reumatologis agar didapatkan diagnosis yang akurat. 11

Pengobatan sarkoidosis pada keterlibatan hidung dan sinonasal harus lebih agresif
karena merupakan pertanda sudah terjadi perluasan sisstemik yang berat.
Pemberian steroid prednisone oral jangka panjang (1-3 bulan) sampai saat ini
masih menjadi modalitas utama. Jika terdapat respon yang baik kortikosteroid
dapat ditappering off selama 9-12 bulan. Jika gagal dengan steroid, Methotrexate
atau transplantasi dapat menjadi pilihan terutaa pada kasus dengan sarkoidosis
paru yang berat atau dengan keterlibatan heoar dan jantung. Pada sarkoidosis
hidung sinonasal selain pemberian steroid otral, bedah sinus endoskopi dapat
membantu meskipun tidak untuk jangkanpanjang. Larutan cuci hidung juga
digunakan untuk membersihkan stasis secret, memperbaiki akses steroid topical.
Secara keseluruhan prognosis sarkoidosis sinonasal tanpa disertai keterlibatan
paru, jantung atau hepar. 11
21
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

2. Lethal Midline Granuloma


Lethal Midline granuloma adalah lesi sistemik hidung yang bersifat ganas.
Biasanya disebabkan oleh virus Epstein-Barr (EBV). Populasi terbanyak
didapatkan di Asia dan termasuk kasus yang jarang ditemukan. Lesi ini
dimasukkan dalam lymphoma Hodgkin ekstranodal sel T/NK. 11

Penderita dengan lethal midline granuloma biasanya datang dengan keluhan


epistaksis, hidung tersumbat, secret hidung, nyeri wajah, pembengkakan di daerah
tengah hidung dan wajah dan rasa kering di hidung. Meskipun lesi ini biasanya
terbatas di bagian tengah hidung dan wajah, sering didapatkan keterlibatan
kelenjar getah bening eher dan sistemik seperti demam, penurunan berat badan
dan malaise. 11

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan multimodalitas speerti pemeriksaan


nasoendoskopi, biopsy dan histopatologi, pemeriksaan imunohistokimia atau flow
citomteri. Biopsi harus dilakukan dengan hati-hati dengan cara membersihkan
krusta dan mengambil jaringan patologis dengan benar di beberapa area sehingga
didapatkan hasil pemeriksaan histopatologis yang akurat. Pemeriksan radiologis
seperti CT Scan hidung dan sinus paranasal sebaiknya disertai pemeriksaan
radiologis thoraks dan abdomen jika dicurigai sudah terdapat keterlibatan sistemik.
11

Sampai saat ini pengobatan yang terbaik untuk lethal midline granuloma belum
ditemukan. Kemoterapi dikombinasi dengan radioterapi saat ini masih menjadi
modalitas pilihan meskipun biasanya prognosis yang buruk khususnya pada kasus
yang sudah meluas secara sistemik. Jika terdapat kerusakan midfasial dapat
dilakukan terapi pembedahan dan rekonstruksi. 11

3. Granulomatosis Wagener
Granulomatosis wagener merupakan penyakit autoimun multisistemik yang jarang
ditemukan. Manifestasi hidung dan sinonasal sering ditemukan pada jenis penyakit
ini. Prevalensi di US 3 kasus per 100.000 populasi dan predileksi usia tersering
antara 35-55 tahun. Penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui meskipun
diketahui terdapat keterlibatan system imun humoral dan selular. Terdapat
komponen autoimun seperti sitoplasmik antigen within neutrophil (c-ANCA)
ketika penyakit menjadi aktif.

Pada gambaran klinis terdapat trias gejala: vaskulitis sistemik, necrotizing


granuloma di saluran nafas dan glomerulonephritis di ginjal. Keterlibatan hidung
dapat berupa mukosa yang mudah berdarah, eritema dan krusta septum. Epifora
dapat ditemukan jika terjadi sumbatan pada duktus nasolacrimal. Penderita
biasanya mengeluh hidung tersumbat, secret hidung, epistaksis, krusta dan nyeri.
Keterlibatan THT yang lain seperti disfonia apabila mengenai laring, otitis media,
atau ulserasi mukosa oral. Penyakit sistemik lainnya dapat ditemukan infiltrate
paru, batuk, batuk darah, arthralgia, gagal ginjal, neuritis, purpura pada kulit.
Diagnosis pasti dengan biopsy didapatkan inflamasi granulomatosa pada dinding
arteri dan area perivaskuler atau ekstravaskuler. Pemeriksaan serologis C-ANCA
memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan radiologis seperti
rongent thoraks atau CT scan Thoraks dan SPN dapat membantu diagnosis. 11

Pengobatan dengan kortikosteroid yang dikombinasi dengan methotrexate sampai


saat ini menjadi modalitas utama. Pada kasus yang berat kombinasi steroid dengan
cyclophosphamide. Terapi Bedah pada kasus granulomatosis wagener sinonasal
yaitu bedah sinus endoskopi (BSE) , dakcriosistorhinostomy (DCR) atau

22
II.9 – Lesi Jinak Hidung dan Sinus Paranasal

rekonstruksi hidung. Prognosis baik jika diagnosis dapat ditegakkan pada stadium
awal.11

REFERENSI

1. Carrau RL, Myers EN. Neoplasma of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Bailey
BJ, Pillsbury III HC, Driscoll BP,editors. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Philadhelpia: Lippicontt-Raven Pub; 2001. p.1445-68.
2. Kennedy DW, Hwang PH, David W Kennedy, Petter H Hwang. In: Rhinology,
Disease of the nose, sinuses and skull base. 1st ed, Thieme New York Stutgart
2012 p 395-407
3. Nepal A. Benign sinonasal masses: A Clinicopathological and Radiological
Profile. Kathmandu University University Medical Journal 2014; 11 (41):4-8
4. Syrjanen KJ. HPV Infection in Benign and Malignant Sinonasal lesions. J Clin
Pathol 2003; 56:174-181
5. Bakari A, Afolabi OA, Adoga AA, Kodiya AM, Ahmad BM. Clinico-
pathological profile of sinonasal masses: an experience in national ear care center
Kaduna, Nigeria. BMC Research Notes 2010; 3 (186) : 1-5
6. Thapa N. Diagnosis and Treatment of Sinonasal Inverted Papilloma. Nepalese
Journal of ENT Head & Neck Surgery 2010; 1 (1) : 30-33
7. Kim DY, Hong SL, Lee CH, Jin HR, Kang JM, Lee BJ, et al. Inverted Papilloma
of the Nasal Cavity and Paranasal Sinus : A Korean Multicenter Study. The
Laryngoscope 2012; 122: 487-494
8. Baradaranfar MH, Dabirmoghaddam P. Endoscopic endonasal Surgery for
Resection of Benign Sinonasal Tumors: experience With 107 Patients. Arch
Iranian Med 2006; 9(3):244-249
9. Joo DJ, Chhetri DK, Wang MB. How I Do It. Endoscopic Removal of Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibromas : A Video Presentation. The Laryngoscop 2008;
118:XX: 1-3
10. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J
Gen 2010; 7(4):419-42
11. Nicolai P, Castelnuovo P, Villaret AB, Farina D.. The Role of Endoscopy in the
Management of Benign and Malignant Sinonasal Tumors. In: Georgalas C,
Fokkens W, editors. Rhinology and Skull Base Surgery. Stutgatgart,New York:
Thieme;2013.p.835-861

23

Anda mungkin juga menyukai