ABSTRAK
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Pengumpulan data tentang fenomena-fenomena yang terjadi dan
penyebabnya terkumpul, juga harus mencakup rekomendasi terhadap perbaikan
blok di masa yang akan datang sehingga, dapat diolah menjadi informasi yang
kemudian dapat dijadikan bahan bagi penyusunan standard operating procedure
(SOP) yang diharapkan akan menjamin pelaksanaan praktikum di masa yang akan
datang. SOP ini bermanfaat agar proses belajar memiliki kualitas yang dapat
menjamin pencapaian kompetensi manajemen bencana bagi dokter lulusan FK
Unsyiah dan akan meningkatkan akreditasi lembaga pendidikan, baik di tingkat
fakultas maupun di tingkat universitas.
3
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
5
3.2 Blok Disaster management
Disaster atau bencana adalah keadaan kerusakan serius yang mengenai
suatu komunitas kehidupan yang dapat mengancam atau menyebabkan kematian
atau luka-luka dan juga kerusakan bangunan yang membutuhkan waktu berhari-
hari dalam membangun kapasitas dan membutuhkan mobilisasi dan pengaturan
khusus dari sumber daya yang ada dibandingkan keadaan yang tersedia pada
keadaan normal (Bradt, Abraham, & Franks, 2003).
Kegiatan penting lain yang termasuk di dalamnya adalah mitigasi dan
perencanaan, respon, serta pemulihan (Moe, 2006).
Kedokteran Kebencanaan (disaster medicine) adalah suatu pendekatan dan
aplikasi yang kolaboratif terhadap berbagai disiplin ilmu kesehatan dalam upaya
pencegahan, persiapan, respon, dan penanggulangan dari suatu masalah kesehatan
yang terjadi akibat suatu bencana. Kerangka konsep tentang kedokteran
kebencanaan dapat diilustrasikan seperti pada gambar 1 (Bradt, Abraham, &
Franks, 2003).
Disaster
Management
Clinical Public
Medicine Health
6
Bencana Koordinasi, sinkronisasi,
dan integrasi
Kesiapsiagaan Respon
mencakup ko
Manajemen Krisis
Manajemen Risiko
Rehabilitasi
Mitigasi
Pencegahan
Rekonstruksi
7
akademik mahasiswa dalam bidang manajemen bencana. Blok ini juga
menekankan pada pentingnya kerjasama yang baik antara profesi dokter dengan
seluruh komponen masyarakat dalam manajemen bencana (Jamal, 2011).
Dengan bekal konsep pengajaran di atas, para mahasiswa diharapkan kelak
akan mempunyai pola pikir yang sama bahwa di dalam penanggulangan bencana
tidak mungkin profesi kedokteran bekerja sendirian namun justru kita harus
berada dalam satu sistem yang mampu bekerjasama dengan siapapun. Meskipun
demikian, kemampuan profesionalisme kedokteran harus tetap dikedepankan,
dengan selalu meng-update ilmu dan keterampilan melalui berbagai pelatihan
kelak sehingga peranan dokter akan menjadi bagian utama di dalam patient care
& patient safety pada setiap penanggulangan bencana yang dapat terjadi di mana
saja, kapan saja dan kalaupun harus bekerjasama dengan siapapun. (Jamal, 2011).
8
pendukung dan mahasiswa. Praktikum juga mahal, karena bahan, peralatan dan
ruang fisik yang dibutuhkan (Balendong & Dolmans, 1999).
Ada 4 jenis praktikum dalam blok Disaster management ini, yang dapat
dilihat nama dan tujuan pembelajarannya pada Tabel 1. Ada praktikum yang
dilaksanakan di lingkungan kampus FK Unsyiah dan ada pula yang dilaksanakan
di luar kampus FK Unsyiah dalam setting masyarakat dan melibatkan banyak
supervisor dari berbagai profesi. (Jamal, 2011).
Berikut adalah judul praktikum pada blok Disaster management:
Tabel 1. Praktikum pada blok Disaster management
Judul
N Frekuensi Lokasi Keterangan
No Praktikum
Penyusunan
1 3x3 jam Prak 1: ruang tutorial Prakt 1: table top
1 Simulasi Prak 2: aula FK exercise
Bencana Prak 3: lapangan di kampus Prak 2: latihan simulasi
berkelompok
FK
Prak 3: disaster day
whole simulation
Pembuatan
2 1x3 jam Kecamatan Peukan Bada Mengunjungi fasilitas di
2 Hazard Map desa siaga bencana
dan Rencana
Manajemen
Penggunaan
3 1x3 jam FK Unsyiah Melatih penggunaan
3 instrumen Scoop Stretcher, ambu-
dalam bag, Cervical-Collar.
tanggap
bencana
Identifikasi
4 1x3 jam FK Unsyiah (lapangan) Melatih identifikasi
4 Korban korban bencana dan
bencana barang bukti pendukung.
Sumber: Buku Tutor Blok Disaster management (Jamal, 2011).
9
periode berikutnya. Kirkpatrick (1996) merumuskan empat tingkatan dalam
proses evaluasi yang dapat dilihat pada gambar 3.
Result
Behaviour
Learning
Reaction
10
Banyak studi yang memaparkan bahwa ada banyak faktor yang harus terus
dievaluasi dan dikembangkan dalam rangka meningkatkan kualitas kurikulum
PBL (Dolmans, De Grave, Wolfhagen, & van der Vleuten, 2005). Misalnya lewat
sebuah studi oleh (Secondira, Gandes, & Suhoyo, 2009) di Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada, disampaikan bahwa ada 7 dari sekian banyak faktor
yang mempengaruhi keefektifitasan sebuah kurikulum PBL secara berurutan;
faktor subjek didik (28.41%), tenaga pengajar (22.35%), fasilitas (19.70%), proses
belajar (16.67%), materi pembelajaran (4.92%), jadwal kuliah/belajar (4.55%),
lain-lain (3.40%). Faktor lain yang mempengaruhi kualitas penerapan PBL adalah
kepahaman stakeholder tentang tujuan pemberlakuan PBL dan pola ujian yang
diterapkan (Jayawickramarajah, 1987).
Ada pula faktor-faktor lain yang dapat ditemui secara kondisional, sebab
pada kenyataannya pelaksanaan PBL dari satu institusi ke institusi lainnya sangat
bervariatif (Norman & Schmidt, Effectiveness of problem-based learning
curricula: theory, practice and paper darts, 2000). Berikut ini adalah penjelasan
dari faktor-faktor tersebut:
a. Faktor mahasiswa
Mahasiswa sebagai subyek didik harus memiliki motivasi. Penelitian
Secondira et al (2009) menyebutkan faktor motivasi intrinsik adalah motivasi
dari diri sendiri untuk belajar, kesadaran akan pentingnya belajar, dan motivasi
untuk menjadi seorang dokter. Dengan adanya motivasi dapat meningkatkan
kinerja dari mahasiswa, dosen, dan staf administrasi (Sankind, 2008).
b. Tenaga Pengajar
Irby (1994) menyebutkan bahwa tenaga pengajar di bidang kedokteran
harus menguasai multidisiplin ilmu. Proses belajar mengajar akan semakin baik
jika tenaga pengajar mempunyai pengetahuan tentang berikut ini:
1. Disiplin ilmu kedokteran,
2. Memiliki pengetahuan tentang kondisi subyek belajar (mahasiswa)
3. Mempunyai ilmu tentang prinsip belajar-mengajar
4. Mampu melakukan pengajaran berdasarkan kasus nyata
11
Instruktur harus memiliki cukup ilmu agar dapat membangun pengetahuan
yang integral bagi mahasiswa. Pengetahuan yang dimiliki cukup
mempengaruhi proses mengajar. Pengetahuan yang spesifik terhadap bidang
yang diajarkan dirasakan cukup penting. Instruktur sebagai tenaga pengajar di
bidang kedokteran harus mengembangkan kemampuannya mengajarkan topik
tertentu. Dikarenakan hal ini akan mempengaruhi keberhasilan proses belajar
mengajar (Irby D. J., 1994).
(Wood, 2003) juga menyebutkan instruktur yang baik adalah instruktur
yang mengerti tentang kurikulum yang berlaku dan menjadi fasilitator yang
baik. Namun demikian, dokter yang belum spesialis juga dapat menjadi
seorang instruktur yang baik jika telah melakukan pelatihan sebagai fasilitator,
mengerti kurikulum yang berlaku dan membuat catatan tersendiri ketika
menjadi tutor.
Seperti hasil penelitian (Secondira, Gandes, & Suhoyo, 2009) menyatakan
beberapa fungsi utama instruktur yaitu menjaga agar proses belajar tetap
berjalan, memancing mahasiswa belajar secara mendalam, memastikan semua
mahasiswa terlibat dalam proses belajar, memantau kemajuan belajar dari tiap-
tiap anggota kelompok, dan memberi tahu hal yang mampu mendorong
mahasiswa dalam menggali kasusnya. Cara instruktur dalam menstimulasi
diskusi juga berpengaruh kepada mahasiswa itu sendiri. Cara instruktur dalam
menstimulasi adalah dengan mengajukan pertanyaan umum dan spesifik,
mendorong refleksi kritis, memberi saran dan tantangan yang bersifat
membantu. Kemampuan dosen sebagai instruktur merupakan hal yang penting
dalam pelaksanaan pembelajaran dengan sistem PBL (Secondira, Gandes, &
Suhoyo, 2009).
c. Fasilitas
Fasilitas yang dibutuhkan dalam penerapan sistem PBL ini dibagi 2 yaitu
fasilitas sumber belajar dan fasilitas tempat. Fasilitas tempat meliputi ruang
diskusi dan tempat belajar lain. Ruang diskusi yang diperlukan adalah ruang
kecil yang cukup nyaman untuk 8-10 orang, lengkap dengan meja, kursi, papan
tulis, dan penerangan yang cukup (Wood, 2003). Dalam hal ini kita sudah
12
memenuhi persyaratan untuk ruang kelas dan fasilitas yang baik, dimana kita
memiliki ruangan “kedap suara” yang diperlukan agar ruangan tidak terganggu
oleh suara dari ruangan lainnya dan juga memiliki pendingin udara (air
conditioner) adalah ideal apabila dapat dipasang (Secondira et al, 2009).
d. Proses belajar
Secondira et al (2009) menyebutkan bahwa penjelasan yang lengkap dari
dosen dapat membuat mahasiswa mengerti dan meresapi proses belajar dalam
praktikum. Dent & Harden (2005) menyebutkan bahwa sebuah kelompok
belajar akan optimal jika jumlah anggota kelompok tidak terlalu banyak. Jika
jumlah anggota kelompok terlalu besar, maka akan sulit memastikan setiap
anggota berpartisipasi aktif. Selain itu instruktur harus sudah hadir sejak
kegiatan dimulai, bukan hanya hadir di akhir kegiatan. Mereka harus
memastikan tidak ada penyimpangan tujuan-tujuan kegiatan.
e. Panduan pembelajaran
Panduan belajar yang baik harus memenuhi syarat berikut :
a. Mengatur proses pembelajaran selama kegiatan
b. Menjelaskan capaian kegiatan
c. Menyediakan informasi yang dibutuhkan terkait topik kegiatan (Dent &
Harden, New horizons in medical education, 2005).
f. Jadwal kegiatan
Secondira et all (2009) menyebutkan perubahan jadwal belajar yang sering
terjadi kemungkinan dapat mengacaukan jadwal pribadi yang sudah dibuat
mahasiswa. Padahal, pengaturan jadwal pribadi merupakan salah satu
komponen planning. Hal ini bersifat teknis namun mempengaruhi pelaksanaan
pembelajaran seseorang karena dalam efisiensi jadwal diperlukan ketepatan
waktu dan ketetapan jumlah.
g. Penilaian
Proses penilaian harus mencakup tiga aspek, antara lain:
1. Aspek kognitif (pengetahuan)
2. Aspek afektif (sikap, moral, dan spiritual), dan
13
3. Aspek psikomotorik (keterampilan adan aplikasi dalam kehidupan (Jazadi,
2009).
14
3.5. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini adalah seperti pada gambar berikut:
Praktikum
Mahasiswa
Tenaga Pengajar
Reaksi
Mahasiswa
Fasilitas Reaction
Reaksi
Proses Belajar Evaluasi Learning Instruktur
(reaction)
Jadwal Behaviour
Panduan Result
Penilaian
15
BAB IV
TUJUAN PENELITIAN
16
BAB V
METODE PENELITIAN
17
5.3.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini dimulai dengan 5 mahasiswa angkatan 2008
Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Syiah Kuala yang dipilih secara
subjektif oleh peneliti dengan melihat berbagai kriteria, yaitu 1 orang mahasiswa
yang pintar, 1 orang mahasiswa yang kurang pintar, 1 orang mahasiswa yang
antusias terhadap praktikum Blok Disaster management, 1 orang mahasiswa yang
tidak antusias terhadap praktikum Blok Disaster management, serta 1 orang
mahasiswa yang unik (tidak berasal dari kriteria-kriteria sebelumnya). Selain
mahasiswa, sampel penelitian ini juga melibatkan instruktur praktikum. Jumlah
instruktur yang akan diteliti adalah 4 orang, masing-masing mewakili satu judul
praktikum. Sampel pada penelitian ini dapat berubah tergantung pada kondisi di
lapangan. Jumlah sampel akan dicukupkan apabila peneliti telah menemukan
kejenuhan tema dari setiap sampel.
Kriteria inklusi dan eksklusi untuk sampel mahasiswa adalah sebagai
berikut.
a. Kriteria inklusi:
1. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala angkatan 2008 yang terdata telah mengikuti blok
Disaster management.
2. Bersedia menjadi responden
b. Kriteria eksklusi:
Tidak mengikuti kegiatan praktikum secara penuh
Kriteria inklusi dan eksklusi untuk sampel instruktur adalah sebagai
berikut.
a. Kriteria inklusi:
a. Para dosen yang terdata sebagai instruktur praktikum Blok Disaster
management, tahun akademik 2011-2012 dan secara aktif mengikuti setiap
rangkaian praktikum.
b. Bersedia menjadi responden
b. Kriteria eksklusi:
Bertugas namun tidak menghadiri keseluruhan kegiatan
18
5.4. Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Di
samping itu, agar hasil wawancara dan focus group discussion dapat terekam
dengan baik dan peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara dan diskusi
dengan sumber data, maka diperlukan bantuan alat-alat seperti: buku catatan,
informed consent, voice recorder dan kamera.
19
A
Wawan
B
cara mendalam
20
Langkah selanjutnya setelah data direduksi adalah mendisplaykan data.
Data disajikan dalam bentuk uraian singkat dengan menggunakan teks yang
bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk
memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa
yang telah dipahami.
c) Conclusion Drawing/ Verification
Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan
awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak
ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data
berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemkakan pada tahap awal
didukung oleh bukti –bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke
lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
kesimpulan yang kredibel.
21
Alur Penelitian
Referensi tentang
Bedahkompetensi
Dokumen dokter di
bidang Disaster management
wawancara
dengan wawancara FGD1
dg instruktur FGD 2
mahasiswa
Analisis Tema
Sintesis Tema
Penyusunan
Dokumen Evaluasi
Pembelajaran
Penyusunan SOP
Praktikum
Penyusunan Laporan
Penelitian
22
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL PENELITIAN
Mereka juga sadar bahwa sebagai calon dokter dan komponen penting dari bangsa
ini, kemampuan mereka akan dapat dikontribusikan kepada orang lain, karena
Aceh sudah dikenal sebagai laboratorium besar bencana.
Tujuan mengenalkan mahasiswa kepada siklus bencana, baik pra, saat maupun
pasca bencana, juga termasuk upaya mitigasi bencana, telah dipahami oleh
mahasiswa.
23
jadi nanti mahasiswa merasakan kalau sebenarnya ada sistem itu.”(FGD2, M2,
109-113).
Prinsip kesiapsiagaan bencana pun telah dilakukan oleh mahasiswa, dalam hal ini
adalah konsep “tas siaga bencana”, mencegah kehilangan anggota keluarga
dengan berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan tidak saling mencari-cari saat
bencana tiba. Mahasiswa juga memahami bahwa tangga adalah bagian terlemah
dari struktur konstruksi bangunan sehingga tidak lari turun melalui tangga.
“Setelah adanya praktikum itu saya jadi ingat untuk mempersiapkan barang-
barang yang perlu dipersiapkan jika ada bencana harus sudah stand by di dalam
24
tas, tinggal angkat tas itu aja. Saat gempa bulan April itu saya ada di lantai atas,
lantai tiga atau empat di suatu bangunan, karena saya sudah mengerti, saya tidak
buru-buru turun dari atas ke bawah...”(FGD1, M5,82-85).
Tema 3
Praktikum di blok ini mampu membangun kemampuan
memimpin(leadership)
Kemampuan memimpin, menggerakkan orang lain sehingga mencapai sebuah
tujuan bersama menuju kondisi yang lebih baik, merupakan kemampuan istimewa
yang sulit untuk ditumbuhkan. Namun dalam praktikum ini, memungkinkan
potensi memimpin tumbuh dalam suasana belajar yang nyaman.
“Ketika disaster day kebetulan saya posisinya sebagai logistic commander.
Awalnya saya berfikir, ..apa sih logistic commander itu? Apa tugasnya?. Tadinya
saya kira jika saja ditugaskan di tim evakuasi itu lebih keren, atau kalau misalnya
kerjanya di triase itu hebat. Logistik itu apalah. Ternyata tidak ada satupun tugas
yang ringan di dalam sebuah Incident Command System. Tidak mudah menjadi
logistic commander... Saya sangat belajar bagaimana cara mengontrol orang
lain. Mengontrol dalam hal memimpin...”(FGD1, M1, 98-112).
“...dan saya juga mengarahkan orang lain untuk tidak lari, tidak berdiri dekat
jendela kaca, dan berjanji untuk berkumpul dengan anggota keluarga di satu
tempat yang aman...(FGD1, M5, 86-88)
“...Saat gempa kemarin itu saya sedang berjalan pulang. Sampai di jalan lorong
dekat rumah, orang sudah keluar [dari rumah mereka]. Heboh sekali. Saya
melihat mulai ramai di jalan. Saya bisa bilang ke ibu-ibu tetangga yang memang
anaknya ramai, lari saja, tidak usah naik motor berlima. Khawatir anaknya yang
lima orang itu jatuh [dari motor]. Saya sarankan supaya jangan panik”(FGD1,
M6, 91-95).
25
Tema 4
Adanya kesenjangan kompetensi instruktur satu dengan yang lain.
“Kalau menurut saya kemampuan instruktur sudah lumayan bagus. Arahan yang
diberikan kepada kita semua, terkait dengan apa yang harus kita lakukan,
kemudian pengetahuan yang diberikan kepada kita, bagaimana sistematika
misalnya, sudah bagus.” (FGD1, M8, 138-141)
“Kalau menurut saya pribadi, maaf sebelumnya Bu, tidak semua instruktur itu
menguasai pemahaman dan ilmu yang sama. Karena dalam beberapa hal, untuk
arahan dan penjelasan dari instruktur A itu tidak sama dengan instruktur B,
seperti itu. Dan dalam beberapa hal juga mungkin hanya si A-nya saja yang ini,
yang lebih menguasai, yang lainnya.”.(FGD1. M2, 161-165).
Tema 5
Kurangnya fasilitas praktikum.
Praktikum dalam blok ini menggunakan relatif banyak alat, untuk
menolong banyak korban. Alat yang digunakan merupakan alat pada pertolongan
gawat darurat, seperti P3K, untuk menangani luka, menstabilkan peredaran darah,
juga mengangkut atau mengevakuasi dengan aman dengan tandu dan pengaman
leher seperti collar neck. Sayangnya jumlah alat yang dimiliki FK Unsyiah saat
itu hampir nol, namun tim blok berasil meminjam beberapa alat dari RS Zainal
Abidin. Tentu saja keterbatasan alat ini menjadi kendala bagi pembelajaran.
26
“Saat praktikum pengenalan alat mereka ingin sekali mencoba, tapi sedikit sekali
yang berhasil mencoba, karena jumlah alatnya sedikit.” (D1, 55-56).
Tema 6
Pembagian peran yang kurang detail sehingga menghambat praktikum
Tidak adanya pembagian peran yang detail, beserta deskripsi tugas masing-
masing anggota kelompok ternyata menghambat praktikum. Mahasiswa kesulitan
dalam membagi tugas di antara teman-temannya karena deskripsi tugas belum
ada.
“ Dan kalau saya pikirkan setidaknya pembagian kelompok sendiri itu ada tugas-
tugasnya[tersendiri] juga dokter. Atau kalau tidak ada pembagian tugas secara
langsung, internal saja bisa, bikin sendiri tugasnya apa...” (FGD2, M3, 323-327)
Kurangnya detail atau keterangan terhadap tugas yang akan dimainkan dalam role
play praktikum membuat mahasiswa masih bertanya-tanya tentang peran yang
akan mereka mainkan.
“Saat praktikum tugas kita tidak sama. Ada yang manjadi tim SAR, ada yang
berperan sebagai tenaga medis, ada yang berperan sebagai incident
commander...Ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika kita
dibriefing dan ketika pelatihan...Terasa arahannya kurang detail.(FGD1,
M8,142-147)
Tema 7
27
Ruangan tempat praktikum harus sesuai dengan jumlah mahasiswa.
Ruangan tempat beberapa praktikum dilaksanakan adalah ruang kuliah
yang dapat memuat 250 mahasiswa. Jika digunakan sekaligus oleh 250
mahasiswa dirasakan kurang nyaman, karena praktikum berbeda dengan kuliah,
memerlukan ruangan yang lebih leluasa.
“Cuma saat itu [praktikum]kapasitas ruang kecil, pesertanya yang ada sedikit terlalu
ramai. Itu menurut saya kurang ideal. Karena konsentrasinya akan terpecah-pecah
nantinya. Jadi seharusnya waktu yang dua jam itu sudah cukup, akan tetapi pesertanya
jangan terlalu ramai.” (FGD 1, M9)
Tema 8
Perlunya peningkatan kompetensi instruktur dalam memberi feedback dan
melakukan assessment terhadap kompetensi mahasiswa.
Kompetensi dalam bidang disaster management memang baru saja didefinisikan
setelah dunia belajar dari bencana tsunami Laut Hindia yang menghantam Aceh
tahun 2004, sehingga kompetensi ini baru saja diajarkan kepada mahasiswa
kedokteran sejak tahun 2006, saat reformasi kurikulum di FK Unsyiah terjadi.
Para staf pengajar yang notabene lulusan tahun-tahun sebelumnya dan dididik
pada kurikulum konvensional belumlah menguasai kompetensi tersebut. Wajar
jika para instruktur yang terdiri dari staf pengajar itu perlu dilatihkan terlebih
dahulu sebelum melatih para mahasiswa mereka. Program pelatihan terhadap
pengajar tentu mencapai tingkat yang lebih dari yang harus dikuasai seorang calon
lulusan sarjana S-1 .
“Menurut saya instruktur harus dibekali terlebih dahulu. Harus ada pelatihan
terlebih dahulu. Saya rasa instruktur kurang berkompeten, karena hanya
dibriefing sesaat sebelum praktikum . Harusnya ada bahan bacaan buat kami,
sehingga jika ada kekurangan instruktur dapat memberi feedback dan tiap tahun
praktikum jadi lebih baik lagi.”(D1. 23-27)
28
Tema 9
Pentingnya penekanan pada community-based education (CBE) dalam
pendidikan kebencanaan.
Desain praktikum dalam blok ini berusaha menguatkan hubungan antara profesi
dokter dan masyarakat. Salah satu tujuannya adalah agar mahasiswa memiliki
paradigma berpikir tidak hanya menyelesaikan masalah masyarakat di kampus,
tapi menyelesaikan masalah itu dengan memberdayakan kekuatan yang ada di
masyarakat itu. Tentu hal ini hanya dapat dicapai dengan membawa mahasiswa
ke situasi yang riil, berlokasi di tempat masyarakat tinggal, tidak hanya membawa
masalah masyarakat ke lokasi kampus.
“...menurut saya praktikum itu tetap ada karena praktikum itu sangat berbeda
dengan skenario, kalau kita buat scenario kita tidak tahu secara nyata, realnya
daerahnya bagaimana jadi dengan adanya terjun ke lapangan kita akan lebih
tahu, terutama sekali kita banyak belajar, terjun ke lapangan terutama
bagaimana kita berinteraksi dengan masyarakat, seperti itu terutama dengan
kepala desa” (FGD2, M6, 206-211)
“Satu hal yang saya pelajari adalah pentingnya adalah interaksi sosial itu.
Maksudnya adang kita lupa untuk berinteraksi secara sosial karena sibuk dengan
tugas bagi mahasiswa kedokteran, sibuk dengan tugas ini dan itu, organisasi ini
dan itu, sehingga lupa berbicara dengan tetangga sendiri”.(FGD 1, M1)
“Manfaatnya secara tidak langsung kita jadi paham bahwa kita harus kenal
daerah kita sendiri, minimal kampong sendiri, sehingga kita jadi lebih peka
terhadap bencana di sekitar kita. Nanti saat kita menjadi dokter umum,otomatis
kita yang di puskesmas menjadi salah satu pimpinan kecamatan, kan? MUSPIKA.
Kita dapat memberi inisiatif bahwa penyusunan hazardmap itu penting” (FGD1,
M6)
Tema 10
Sumber belajar yang sangat perlu ditambah, mencakup panduan
praktikum, e-learning dan modul lainnya.
29
Dosen pun memerlukan hal yang serupa, yaitu bahan bacaan untuk meningkatkan
kompetensinya.
“...Harusnya ada bahan bacaan buat kami, sehingga jika ada kekurangan instruktur dapat
memberi feedback dan tiap tahun praktikum jadi lebih baik lagi. (D1, 25-27).
PEMBAHASAN
Kepahaman terhadap tujuan dari pembelajaran merupakan indikator penting
kesiapan objek didik dan memastikan motivasi mereka cukup besar untuk
berperan aktif dalam proses pembelajaran. Aspek ini terbukti berkontribusi
sekitar 28% dari keberhasilan sebuah pembelajaran (Secondira, Gandes, &
Suhoyo, 2009).
Terasanya manfaat dari konsep-konsep dalam disaster management,
terutama saat diuji pada situasi baru (saat terjadi gempa dan peringatan tsunami)
setelah diterapkan di situasi sebelumnya (saat praktikum) telah membuat para
mahasiswa merasakan efek dari belajar dari pengalaman, atau dikenal luas sebagai
konsep experiential learning. Konsep experiential learning merupakan sebuah
teori bahwa pembelajaran terjadi sebagai hasil dari empat jenis aktivitas yang
terjadi secara berurutan dan membentuk siklus. Fase pertama dari siklus
experiential learning adalah concrete experience, mahasiswa merasakan
pengalaman pertama. Lalu ia masuk ke fase kedua jika ia mengobservasi dan
merefleksi pengalaman itu untuk memahami makna dari pengalaman tersebut.
Jika ia berhasil membentuk konsep umum dan prinsip hidup akibat refleksi
tersebut maka ia masuk ke tahap ketiga. Pada tahap berikutnya, sang mahasiswa
akan mengaplikasikan prinsip hidup yang ia dapat pada situasi baru, lalu masuk
ke siklus belajar berikutnya, berulang lagi (Amin & Eng, 2003). Mahasiswa
peserta praktikum blok disaster management mengaku telah mengaplikasikan
pengetahuan dalam blok ini saat gempa 11 April 2012 lalu. Sebelum gempa
mereka mempersiapkan tas siaga bencana, saat gempa mereka tidak bersikap
panik, jika berada di daerah yang aman maka mereka tidak lari sehingga
memenuhi jalan yang macet. Mereka juga mengimplementasikan penyelamatan
vertikal dan horizontal dengan baik, sesuai kesadaran atas tempat mereka berada,
30
di daerah yang aman atau yang tidak aman. Mereka bahkan mampu memimpin
dan mengarahkan orang lain untuk menyelamatkan diri dengan menghindari
kepanikan.
Aspek lain yang harus diperbaiki adalah kompetensi instruktur. Memang
seorang instruktur yang baik harus memiliki cukup ilmu agar dapat membangun
pengetahuan yang integral bagi mahasiswa. Pengetahuan yang dimiliki cukup
mempengaruhi proses mengajar. Pengetahuan yang spesifik terhadap bidang yang
diajarkan dirasakan cukup penting. Instruktur sebagai tenaga pengajar di bidang
kedokteran harus mengembangkan kemampuannya mengajarkan topik tertentu.
Dikarenakan hal ini akan mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar
(Irby D. J., 1994). Pengelola blok/tim blok semestinya membekali para instruktur
dengan pelatihan khusus, mengingat pengetahuan dan keterampilan disaster
management belum ada pada program pendidikan dokter sebelum
diberlakukannya KBK tahun 2006. Kompetensi para pendidik juga harus terus
ditingkatkan dengan pelatihan berkala dan berjenjang, sebagai bagian dari
program faculty development yang sangat penting bagi peningkatan mutu lulusan
(Seldin, 2006).
Kurangnya fasilitas memang sangat mempengaruhi pembelajaran, namun
bukanlah faktor yang dapat menghentikan pembelajaran. Memang banyak
keuntungan memiliki fasilitas pembelajaran keterampilan medik, antara lain: 1)
mendukung pembelajaran, 2) pendekatan ajar lebih konsisten, 3) memungkinkan
demonstrasi, 4) bebas dari rasa malu (jika dibandingkan langsung praktik pada
pasien yang sakit) (Bradley & Poslethwaite, 2004). Usaha untuk meningkatkan
alat simulasi terus diupayakan oleh tim blok, untuk memfasilitasi pembelajaran
melalui praktikum. Tentu saja tantangan bagi sebuah universitas negeri adalah
pengadaan barang yang terkait birokrasi keuangan tentu menuntut kesabaran
sampai pihak yang terkait berhasil mengadakan barang tersebut ke hadapan
pengajar. Proses ini lambat, namun sebagian besar kebutuhan terpenuhi di tahun
berikutnya.
Pembagian peran dengan detail yang akan dimainkan memang menjadi
salah satu langkah penting dalam menyusun sebuah konsep pelatihan dengan
31
bermain peran (role play). Kodotchigova ( 2002) menjelaskan 6 langkah dalam
menyusun sebuah role play pembelajaran, yakni: 1) Menyusun situasi/konteks,
yakni suasana dan kondisi yang diinginkan dan membantu pencapaian tujuan
pembelajaran. Instruktur boleh meminta peserta untuk ikut memilih situasi yang
diinginkan, 2) Mendesain role play sesuai kompetensi peserta, 3) menyusun alur
4) persiapan deskripsi masing-masing peran, 5) melatihkan cara bermain peran
dan 6) Debriefing, atau mengevaluasi role play yang telah dimainkan. Saat
memainkan simulasi bencana tentu beragam peran diperlukan dan perlu
dideskripsikan dengan detil demi menghasilkan sebuah simulasi atau role play
yang berkualitasl
Kompetensi berkolaborasi dengan individu lain merupakan kompetensi
yang sangat mendasar dalam disaster management karena penanggulangan
bencana mustahil dilakukan oleh hanya segelintir orang. Tercapainya kompetensi
ini merupakan kabar gembira bagi disainer blok dan tantangan bagi pelaksana
blok untuk mempertahankannya di periode tahun ajaran mendatang. Dan dari
perspektif ide kognitif kontemporer, seseorang yang mampu berkolaborasi dalam
tugas-tugas belajar menciptakan dukungan bagi upaya satu sama lain dan akan
lebih sukses dalam karir mereka di masa depan. Mereka mampu saling membantu
dalam membangun ide-ide lebih canggih dan lebih strategis daripada bekerja
sendirian (Ormrod, 2004).
Sifat kolaboratif juga merupakan pemicu bagi deep learning atau proses
belajar yang mendalam. Seperti kita ketahui bahwa ada 2 jenis pembelajaran,
yakni Surface learning dan deep learning. Surface learning terjadi pada
mahasiswa yang hanya ingin menghafal fakta dan memunculkan fakta-fakta itu
pada waktu tertentu seperti ujian, tanpa ada keinginan untuk memahami lebih
dalam makna dari fakta-fakta tersebut. Motivasi belajar pada pembelajar dangkal
ini ada di luar dirinya, dari guru, orang tua, atau pun lingkungan, bukan dari
dalam diri. Sebaliknya, pembelajar deep learning memiliki motivasi internal
untuk secara aktif mencari bahan belajar, memaknai pengetahuan baru dengan
menggunakan pengetahuan lama yang telah ia miliki. Pembelajar tipe deep
learning akan mencapai kepuasan dalam belajar setelah ia memahami konsep dan
32
menemukan cara mempraktikkan pengetahuannya ke alam nyata. Hal-hal yang
mendorong deep learning adalah kerjasama dalam group, dan sesuainya antara
tujuan belajar dan ujian (Amin & Eng, 2003).
Community-based Education (CBE). Perancangan suatu program
pendidikan dengan berbasis komunitas/CBE memang telah dibuktikan sangat
efektif untuk memberi konteks yang sesuai dan membantu mahasiswa mengingat
pelajaran itu dalam jangka waktu lebih panjang /long term memory (Koens,
Mann, Custers, & Ten Cate, 2005). Menerapkan saran ini mungkin juga efektif
dalam membantu untuk melawan persepsi bahwa universitas sebagian besar acuh
tak acuh terhadap keprihatinan masyarakat dan / atau bahwa program ini
dirancang lebih untuk mempromosikan kepentingan universitas daripada melayani
masyarakat pada umumnya (Dalen, 2005). Oleh karena itu rancangan praktikum
yang didesain dengan konteks CBE harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan,
termasuk dengan memperbaiki kompetensi instruktur dan desain instruksionalnya.
Buku ajar adalah sebuah perangkat manajemen yang menjadi media dosen
untuk menunjukkan tanggungjawabnya sekaligus cara bagi mahasiswa untuk
mengatur sendiri pembelajaran bagi dirinya. Study guide, buku ajar, sumber
belajar atau learning resources, baik berupa media cetak maupun elektronik
adalah salah satu daya dukung esensial bagi aplikasi metode problem-based
learning (PBL). Study guide atau petunjuk praktikum dan buku ajar menjadi
sangat krusial sifatnya bagi kesuksesan sebuah pembelajaran (Dent & Harden,
2005). Karena itu setiap kegiatan belajar semestinya memiliki buku ajar yang
akan membantu mahasiswa untuk mengarahkan proses belajarnya dan
mempersiapkan mahasiswa sebelum proses tatap muka terjadi.Wajarlah jika para
dosen harus memperhatikan kualitas dari buku ajarnya, karena ia berbanding lurus
dengan retensi bahan ajar dalam benak sang mahasiswa.
33
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Transparansi kurikulum kepada mahasiswa akan meningkatkan motivasi
belajar. Tercapainya tujuan dan pemberian motivasi melalui transparansi
nilai perlu menjadi perhatian pada penyusun kurikulum.
2. Manfaat blok disaster management sangat dirasakan oleh para mahasiswa
maupun dosen, segera maupun beberapa saat setelah blok usai. Sifat-sifat
lulusan yang penting seperti kolaboratif dan kemampuan leadership dapat
dilatihkan dalam blok ini. Efek jangka panjang dari pembelajaran ini masih
perlu dikaji lebih jauh.
3. Banyaknya perbaikan yang perlu diperhatikan oleh tim kurikulum terungkap
dalam penelitian ini. Perbaikan pada sumber belajar/study guide,
pembagian peran, sistem penilaian, kompetensi instruktur dan format belajar
adalah hal-hal yang menjadi prioritas.
4. Semangat untuk memberdayakan masyarakat telah dilatihkan dalam format
blok yang mengacu pada konsep community-based education. Hal ini telah
dirasakan manfaatnya oleh mahasiswa dan perlu kiranya lebih dioptimalkan
pada pembelajaran di masa yang akan datang.
SARAN
1. Pentingnya perbaikan dalam aspek-aspek kurikulum yang telah dibahas
dalam penelitian ini untuk ditindaklanjuti oleh pihak terkait di FK Unsyiah.
2. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang efek dari masing-masing praktikum
terhadap kompetensi dokter Indonesia di masa yang akan datang.
34
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z., & Eng, K. H. (2003). Basics in Medical Education. Singapore: World
Scientific.
Balendong, H. S., & Dolmans, D. (1999). Block Construction. Maastricht:
Department of Educational Development and Research.
Bradley, P., & Poslethwaite, K. (2004). Setting up and running clinical skills
learning programmes. the Clinical Teacher , 1 (2), 53-58.
Bradt, D. A., Abraham, K., & Franks, R. (2003). A strategic plan for disaster
medicine in Australasia. Emergency Medicine , 1, 271-282.
Dent, J. A., & Harden, R. M. (2005). New horizons in medical education. In J. A.
Dent, & R. M. Harden, A Practical Guide for Medical Teacher (pp. 2-9).
Edinburg: Elsevier.
Dolmans, D., De Grave, W., Wolfhagen, I., & van der Vleuten, C. (2005).
Problem-based learning: Future challenges for educational practice and
research. Medical Education , 39, 732-741.
Emzir. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan; Kuantitatif dan Kualitatif.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Irby, D. J. (1994). What Clinical Teachers in medicine Need to Know. Academic
Medicine , 333-342.
Ireland, M., Ea, E., Kontzamanis, E., & Michel, C. (2006). Integrating Disaster
Preparedness into a Community Health Nursing Course. Disaster
Management & Response , 4 (3), 72-76.
Jamal, F. (2011). Buku Tutor Blok 21 Disaster Management. Banda Aceh:
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Jayawickramarajah, P. T. (1987). The Analysis of Medical Curriculum. Medical
Teacher , 9 (2), 167-178.
Jazadi, I. (2009). evaluasi dan pengembangan proses belajar mengajar di
perguruan tinggi. jurnal ilmu pendidikan , 1-17.
Katajavuori, N., Lindblom-Ylanne, S., & Hirvonen, J. (2006). The significance of
practical training in linking theoretical. Higher Education , 51, 439-464.
Kirkpatrick, D. L. (1996). Techniques for evaluating training programs. In D. P.
Ely, & T. Plomp, Classic Writings on Instructional Technology (pp. 116-
130). Libraries Unlimited.
Kodotchigova, M. A. ( 2002). Role-play in Teaching Culture: Six Quick Steps for
Classroom Implementation. The Internet TESL Journal .
Koens, F., Mann, K. V., Custers, E. J., & Ten Cate, O. T. (2005). Analysing the
concept of context in medical education. Medical Education , 39, 1243-
1249.
35
Levy, J. K., & Gopalakrishnan, C. (2005). Promoting disaster-resilient
communities: the great Sumatra-Andaman earthquake of 26 december 2004
and the resulting Indian ocean tsunami. Water Resources Development , 21
(4), 543-559.
Manley, W. G., Furbee, P. M., Coben, J. H., Smyth, S. K., Summers, D. E.,
Althouse, R. C., et al. (2006). Realities of Disaster Preparedness in Rural
Hospital. Disaster Management & Response , 4 (3), 80-87.
Moe, T. L. (2006). An integrated approach to natural disaster management.
Emerald , 396-413.
Norman, G. R., & Schmidt, H. G. (2000). Effectiveness of problem-based
learning curricula: theory, practice and paper darts. Medical Education ,
721-728.
Ormrod, J. E. (2004). Human Learning (4th ed.). Pearson Merrill Prentice Hall.
Pitt, E., & Pusponegoro, A. (2005). Prehospital care in Indonesia. Emergency
Medical Journal , 22, 144-147.
Prideaux, D. (2000). The Emperor’s new cloths: From objectives to outcomes.
Medical Education , 34, 168-169.
Riddez, L., Kruck, M., Gardarsdottir, H., & Redwood-Campbell, L. (2006). The
surgical and obstetrical activity at the ICRC Field Hospital in Banda Aceh
in the aftermath of the tsunami. International Journal of Disaster Medicine ,
3 (1), 55-61.
Rowbottom, S. (2007, December 1). The Indian Ocean Tsunami: Vulnerabilities
Exposed… Opportunities to Seize: Case study prepared for Enhancing
Urban Safety and Security, Global Report on Human Settlements. Retrieved
June 6, 2008, from UN Habitat: http://www.unhabitat.org/grhs/2007
Sankind, N. J. (2008). Encyclopedia education psychology:case studies. United
States of Amerika: SAGE Publication.
Secondira, V. R., Gandes, R. R., & Suhoyo, Y. (2009). Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
untuk Melaksanakan Pembelajaran yang Konstruktif, Mandiri, Kolaboratif
dan Kontekstual dalam Problem-Based Learning. Jurnal Pendidikan
Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia , 4 (1), 32-45.
Seldin, P. (2006). Evaluating faculty performance: a practical guide to assessing
teaching, research and service. Bolton: Anker Publishing Company.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Trevisan, M. S. (2004). Practical Training in Evaluation: A Review of the
Literature. American Journal of Evaluation , 25 (2), 255-272.
Wood, D. F. (2003). ABC of learning and teaching in medicine. British Medical
Journal , 328-330.
36
37
LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
38
3 2011 Proceeding AIWEST-DR 6th: Designing Disaster management
Block on Disaster-prone Area
39
CURRICULUM VITAE
dr. Marisa
NIP. 198501012010122003
40