Anda di halaman 1dari 40

ANALISIS KUALITAS PEMBELAJARAN MELALUI

PRAKTIKUM PADA BLOK DISASTER MANAGEMENT DI FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

ABSTRAK

Indonesia sangat membutuhkan dokter-dokter yang berkompetensi dalam


bidang manajemen bencana. Besarnya jumlah korban saat bencana dapat dicegah
jika dokter Indonesia memiliki kompetensi bukan hanya pada tahap tanggap
bencana, tetapi juga pada tahap pra bencana. Sejak tahun 2006 Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala telah menerapkan kurikulum baru dan salah
satu mata kuliah (blok)nya adalah Blok Disaster management. Ada berbagai
format belajar yang diterapkan pada blok ini, salah satunya adalah format
praktikum. Praktikum dipilih sebagai format belajar jika kompetensi yang
diinginkan adalah kompetensi tinggi. Namun demikian dalam pelaksanaan
berbagai praktikum tersebut didapati banyak keluhan dari mahasiswa dan
instruktur/dosen yang menghendaki perbaikan implementasi blok ini di masa yang
akan datang, misalkan kurangnya sumber belajar, kurangnya umpan balik dari
instruktur, dan sebagainya. Dibutuhkan sebuah evaluasi menyeluruh yang
berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, mengacu pada pengumpulan data dan
penelitian yang benar. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan wawancara mendalam dan focus group discussion yang melibatkan
mahasiswa dan instruktur praktikum. Analisa data dilakukan dengan
menggunakan model Miles and Huberman sehingga menghasilkan tema-tema,
antara lain: mahasiswa telah memahami tujuan blok dan telah merasakan manfaat
jangka pendeknya pada gempa besar beberapa bulan pasca pembelajaran usai.
Adanya banyak aspek pembelajaran yang perlu perbaikan, antara lain sumber
belajar, desain pembelajaran, pembagian peran, fasilitas dan kompetensi
instruktur. Konsep community-based education mendapat sambutan baik dari
mahasiswa dan patut untuk dipertahankan kelanjutannya. Rekomendasi dari
penelitian ini akan digunakan bagi perbaikan blok ini di masa yang akan datang
dan penyusunan Prosedur Operasional Baku di lingkungan FK Unsyiah.

Kata Kunci: Praktikum, kompetensi, disaster management, focus group


discussion, Prosedur Operasional Baku.

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sejak tahun 2006 Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala


melakukan perombakan kurikulum dan Senat FK Unsyiah memutuskan untuk
memulai menggunakan metode Problem-Based Learning yang terdiri dari blok-
blok pembelajaran. Salah satu blok yang ada pada kurikulumnya adalah blok
Disaster management. Dari 52 FK di Indonesia, hanya 2 FK yang telah
memasukkan manajemen bencana dalam kurikulumnya, termasuk FK Unsyiah.
Blok tersebut menjadi blok unggulan FK Unsyiah, menjadi ciri/karakteristik
dokter lulusan Unsyiah yang bertujuan agar seorang dokter memiliki kompetensi
tidak hanya pada tahap tanggap bencana, namun juga pada tahap pra bencana
sehingga diharapkan dapat mengurangi dampak dari bencana yang sering terjadi
di Tanah Rencong ini.
Dalam pelaksanaannya, blok tersebut terdiri dari beberapa format aktivitas
belajar, salah satunya adalah praktikum. Praktikum dipilih sebagai format belajar
jika kompetensi yang diinginkan adalah kompetensi tinggi. Pada blok Disaster
management semester ganjil tahun akademik 2011/2012, praktikum yang
dilaksanakan meliputi praktikum 1) Pemetaan Bencana Desa, 2)Tabletop
Simulation and Disaster Day Simulation, 3)Disaster Victim Identification,
4)Triage, Penggunaan Instrumen dan Alat.
Namun demikian, dalam pelaksanaan berbagai praktikum tersebut didapati
banyak keluhan dari mahasiswa dan instruktur/dosen yang menghendaki
perbaikan implementasi blok ini di masa yang akan datang, misalkan kurangnya
sumber belajar, kurangnya umpan balik dari instruktur, dan sebagainya.
Dibutuhkan sebuah evaluasi menyeluruh yang berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah,
mengacu pada pengumpulan data dan penelitian yang benar, tidak hanya keluhan
sambil lalu. Data dan informasi ini tidak boleh hanya bersifat superfisial, namun
seharusnya mencapai sebab-sebab yang paling mendasar dari berbagai kelemahan
implementasi desain blok tersebut.

2
Pengumpulan data tentang fenomena-fenomena yang terjadi dan
penyebabnya terkumpul, juga harus mencakup rekomendasi terhadap perbaikan
blok di masa yang akan datang sehingga, dapat diolah menjadi informasi yang
kemudian dapat dijadikan bahan bagi penyusunan standard operating procedure
(SOP) yang diharapkan akan menjamin pelaksanaan praktikum di masa yang akan
datang. SOP ini bermanfaat agar proses belajar memiliki kualitas yang dapat
menjamin pencapaian kompetensi manajemen bencana bagi dokter lulusan FK
Unsyiah dan akan meningkatkan akreditasi lembaga pendidikan, baik di tingkat
fakultas maupun di tingkat universitas.

3
BAB II
PERUMUSAN MASALAH

Blok Disaster management yang telah dilaksanakan di Fakultas


Kedokteran Unsyiah sejak 2006 telah dilaksanakan selama 3 tahun berturut-turut
dan telah mengalami perubahan pada beberapa aspek pembelajaran. Paradigma
penanggulangan bencana yang hanya menekankan pada fase ‘tanggap bencana”
telah berubah menjadi manajemen bencana, juga mencakup tahap pra bencana,
sesuai dengan siklus manajemen bencana.
Perubahan ini berdampak pada format pembelajaran, yang tadinya hanya
menekankan fase “pasca bencana”, kini dilengkapi dengan praktikum-praktikum
pra bencana. Namun demikian banyaknya keluhan terhadap desain pembelajaran,
baik pada tahap perencanaan, implementasi maupun tahap ujian, menuntut semua
staf pengajar yang terlibat untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh dengan
kaidah penelitian yang benar, tidak hanya pengumpulan informasi superfisial yang
sambil lalu dan tidak mencapai faktor penyebab fenomena-fenomena kelemahan
dapat terjadi.
Maka dalam rangka mewujudkan informasi yang sahih, rumusan masalah
penelitian ini disusun sebagai:
“Bagaimana reaksi mahasiswa dan instruktur terhadap praktikum-
praktikum pada Blok Disaster management”.

4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Aceh dan Manajemen Bencana


Provinsi Aceh telah mengalami konflik dan merupakan daerah bencana
sejak beratus tahun yang lalu. Bencana alam menambah dampak bencana konflik,
yakni man-made disaster yang sudah ada sebelumnya sehingga kondisi
masyarakat menjadi bertambah buruk. Indonesia yang terletak di sekitar daerah
“ring of fire” Pasifik, sering mengalami dampak akibat pergeseran lempeng
tektonik. Erupsi vulkanik, gempa bumi, banjir, longsor dan tsunami merupakan
akibatnya (Pitt & Pusponegoro, 2005).
Gempa bumi yang terjadi di ujung barat Indonesia pada tanggal 26
desember 2004 adalah gempa terhebat selama 40 tahun terakhir. Berkekuatan
lebih dari 9.1 skala Ritcher, berlangsung selama beberapa menit dan
menyebabkan terjadinya gelombang tsunami yang hebat. Tsunami
menghancurkan daerah pesisir di 13 negara di sekitar Lautan Hindia, termasuk
Indonesia, Sri Lanka, Thailand, dan lain-lain (Levy & Gopalakrishnan, 2005).
Salah satu daerah yang paling berat kerusakannya adalah ujung barat
Sumatera, dimana gempa dan tsunami yang terjadi menyebabkan kematian dan
rusakan yang berat. Salah satunya adalah daerah Meulaboh dan Banda Aceh. Satu
bulan setelah tsunami, jumlah kematian total diperkirakan mencapai 166.760
orang, 127.749 hilang dan 1736 terluka. Kerusakan berat pada tempat tinggal dan
bangunan juga terjadi. Pada saat itu, Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh
mengalami rusak berat, staf rumah sakit meninggal, dan yang lainnya tidak bisa
bekerja (Riddez, Kruck, Gardarsdottir, & Redwood-Campbell, 2006).
Kerusakan yang sangat besar akibat bencana tidak hanya disebabkan oleh
besarnya skala kerusakan yang terjadi, akan tetapi juga tingkat kerentanan
masyarakat sebelum terjadinya bencana (Rowbottom, 2007). Kekurangan tenaga
medis terlatih merupakan salah satu tantangan besar ketika berhadapan dengan
masyarakat saat tsunami menerjang daerah pesisir (Manley, et al., 2006).

5
3.2 Blok Disaster management
Disaster atau bencana adalah keadaan kerusakan serius yang mengenai
suatu komunitas kehidupan yang dapat mengancam atau menyebabkan kematian
atau luka-luka dan juga kerusakan bangunan yang membutuhkan waktu berhari-
hari dalam membangun kapasitas dan membutuhkan mobilisasi dan pengaturan
khusus dari sumber daya yang ada dibandingkan keadaan yang tersedia pada
keadaan normal (Bradt, Abraham, & Franks, 2003).
Kegiatan penting lain yang termasuk di dalamnya adalah mitigasi dan
perencanaan, respon, serta pemulihan (Moe, 2006).
Kedokteran Kebencanaan (disaster medicine) adalah suatu pendekatan dan
aplikasi yang kolaboratif terhadap berbagai disiplin ilmu kesehatan dalam upaya
pencegahan, persiapan, respon, dan penanggulangan dari suatu masalah kesehatan
yang terjadi akibat suatu bencana. Kerangka konsep tentang kedokteran
kebencanaan dapat diilustrasikan seperti pada gambar 1 (Bradt, Abraham, &
Franks, 2003).

Disaster
Management

Clinical Public
Medicine Health

Gambar 1: Kerangka Konsep irisan antara ilmu-ilmu kedokteran klinis, kesehatan


masyarakat dan disaster management (Bradt et al, 2003).

Pembahasan tentang disaster management dalam kurikulum juga harus


mencakup keseluruhan fase dalam siklus bencana. Mahasiswa juga harus
diperkenalkan dengan keseluruhan fase tersebut, baik sebelum, saat maupun
setelah bencana (Ireland, Ea, Kontzamanis, & Michel, 2006).

6
Bencana Koordinasi, sinkronisasi,
dan integrasi

Kesiapsiagaan Respon

mencakup ko
Manajemen Krisis
Manajemen Risiko

Rehabilitasi
Mitigasi

Pencegahan
Rekonstruksi

Koordinasi, sinkronisasi, Pembangunan


dan integrasi
Gambar 2. Siklus Manajemen Bencana

Jones, (2001) menyatakan bahwa peningkatan kualitas pelayanan


kesehatan memiliki implikasi terhadap desain dan pengembangan pendidikan
kedokteran. Akibatnya, metode klasik yang selama ini digunakan untuk mengajar
mahasiswa kedokteran perlu diperbarui dan ditingkatkan dalam rangka memenuhi
harapan-harapan tersebut. Dalam rangka memenuhi standar internasional, kita
perlu mendidik dokter untuk memiliki pemahaman budaya lokal dan
keterampilan yang diperlukan untuk mengadakan pelayanan kesehatan terkait
bencana alam. Inilah 2 hal yang menjadi fokus khusus dari blok ini.
Lebih luas lagi, dapat kita amati adanya perubahan global dalam sistem
pelayanan kesehatan, bergeser dari perawatan kuratif menjadi lebih ke arah
preventif. Masyarakat menuntut pelayanan kesehatan dengan kualitas yang lebih
baik (Prideaux, 2000). Tentunya tuntutan ini dapat dipenuhi salah satunya dengan
cara meningkatkan kedalaman dan kualitas pendidikan kedokteran.
Blok Disaster management merupakan Blok ke 21 dari Kurikulum Ilmu
Kedokteran Berbasis Kompetensi dengan metode PBL. Kegiatan Blok ini
membutuhkan waktu selama 7 minggu termasuk 1 minggu untuk evaluasi, dengan
muatan 5 SKS (Jamal, 2011).
Blok Disaster management ini memberikan pemahaman yang menyeluruh
dan keterampilan yang tepat, praktis dan sederhana sesuai dengan jenjang

7
akademik mahasiswa dalam bidang manajemen bencana. Blok ini juga
menekankan pada pentingnya kerjasama yang baik antara profesi dokter dengan
seluruh komponen masyarakat dalam manajemen bencana (Jamal, 2011).
Dengan bekal konsep pengajaran di atas, para mahasiswa diharapkan kelak
akan mempunyai pola pikir yang sama bahwa di dalam penanggulangan bencana
tidak mungkin profesi kedokteran bekerja sendirian namun justru kita harus
berada dalam satu sistem yang mampu bekerjasama dengan siapapun. Meskipun
demikian, kemampuan profesionalisme kedokteran harus tetap dikedepankan,
dengan selalu meng-update ilmu dan keterampilan melalui berbagai pelatihan
kelak sehingga peranan dokter akan menjadi bagian utama di dalam patient care
& patient safety pada setiap penanggulangan bencana yang dapat terjadi di mana
saja, kapan saja dan kalaupun harus bekerjasama dengan siapapun. (Jamal, 2011).

3.3 Format Belajar berupa Praktikum


Perubahan cepat dari kehidupan, masyarakat, dan teknologi informasi
meningkatkan kebutuhan kita terhadap pentingnya keahlian atau keterampilan
dalam menjalani kehidupan ini. Keahlian tersebut harus dapat digunakan untuk
bekerja dalam berbagai konteks, keadaan sosial dan keterampilan berkomunikasi.
Berkaitan dengan hal itu maka diperlukannya proses membangun keahlian secara
berkesinambungan (Katajavuori, Lindblom-Ylanne, & Hirvonen, 2006). Salah
satu hal penting dalam literatur tentang evaluasi dari suatu pengajaran adalah
bahwasanya mahasiswa menerima pengalaman praktikum selama menjalani
pendidikannya. Pendekatan melalui pengalaman praktikum ini merupakan
pengajaran paling realistik. Mahasiswa akan kontak secara langsung dengan
pasien dan dengan itu ia dapat melihat sebuah permasalahan dari awal hingga
akhir. Pada akhirnya mahasiswa menjadi lebih bertanggung jawab dalam bekerja
(Trevisan, 2004).
Kelemahan format pembelajaran ini bila dibandingkan dengan format
lainnya adalah membutuhkan alokasi waktu yang cukup dari instruktur, staf

8
pendukung dan mahasiswa. Praktikum juga mahal, karena bahan, peralatan dan
ruang fisik yang dibutuhkan (Balendong & Dolmans, 1999).
Ada 4 jenis praktikum dalam blok Disaster management ini, yang dapat
dilihat nama dan tujuan pembelajarannya pada Tabel 1. Ada praktikum yang
dilaksanakan di lingkungan kampus FK Unsyiah dan ada pula yang dilaksanakan
di luar kampus FK Unsyiah dalam setting masyarakat dan melibatkan banyak
supervisor dari berbagai profesi. (Jamal, 2011).
Berikut adalah judul praktikum pada blok Disaster management:
Tabel 1. Praktikum pada blok Disaster management

Judul
N Frekuensi Lokasi Keterangan
No Praktikum
Penyusunan
1 3x3 jam Prak 1: ruang tutorial Prakt 1: table top
1 Simulasi Prak 2: aula FK exercise
Bencana Prak 3: lapangan di kampus Prak 2: latihan simulasi
berkelompok
FK
Prak 3: disaster day
whole simulation
Pembuatan
2 1x3 jam Kecamatan Peukan Bada Mengunjungi fasilitas di
2 Hazard Map desa siaga bencana
dan Rencana
Manajemen
Penggunaan
3 1x3 jam FK Unsyiah Melatih penggunaan
3 instrumen Scoop Stretcher, ambu-
dalam bag, Cervical-Collar.
tanggap
bencana
Identifikasi
4 1x3 jam FK Unsyiah (lapangan) Melatih identifikasi
4 Korban korban bencana dan
bencana barang bukti pendukung.
Sumber: Buku Tutor Blok Disaster management (Jamal, 2011).

3.4. Evaluasi Blok


Evaluasi terhadap efek pembelajaran amat penting dilakukan setelah
proses selesai untuk memperbaiki blok/mata kuliah saat diimplementasi ulang di

9
periode berikutnya. Kirkpatrick (1996) merumuskan empat tingkatan dalam
proses evaluasi yang dapat dilihat pada gambar 3.

Result

Behaviour

Learning

Reaction

Gambar 3: Kirkpatrick’s Hierarchy (Kirkpatrick, 1996)


Berdasarkan gambar 3 tersebut terlihat bahwa ada empat tingkatan dalam
proses evaluasi suatu kegiatan yang disebut Kirkpatrick’s Hierarchy atau
Kirkpatrick’s Pyramid (Piramida Kirkpatrick) yaitu:
a. Reaction, yaitu tentang “bagaimana reaksi atau respon seseorang terhadap
proses pembelajaran”. Pada proses ini termasuk diantaranya penilaian
terhadap para pelaku kegiatan.
b. Learning, yaitu tentang ‘seberapa luas seseorang memperoleh ilmu
pengetahuan dan skills (keterampilan) yang dipelajari’. Ini menjadi
indikator dalam mengukur pembelajaran sepanjang proses kegiatan
berlangsung.
c. Behaviour, yaitu tentang ‘kemampuan seseorang dalam mengaplikasikan
ilmu dan keterampilannya pada sebuah pekerjaan’.
d. Result, maksudnya outcomes hasil dari kegiatan tersebut diharapkan dapat
menjadi tolak ukur sejauh mana kegiatan tersebut mencapai tujuan dan
sasaran yang diharapkan. Pada praktiknya akhir-akhir ini, fokus
pengukuran tersebut dinilai dari tingkat finansialnya. Namun ada juga
yang menyebutkan bahwa result ini meliputi uang (materi), efficiency
(keahlian), moral, dan lain sebagainya.

10
Banyak studi yang memaparkan bahwa ada banyak faktor yang harus terus
dievaluasi dan dikembangkan dalam rangka meningkatkan kualitas kurikulum
PBL (Dolmans, De Grave, Wolfhagen, & van der Vleuten, 2005). Misalnya lewat
sebuah studi oleh (Secondira, Gandes, & Suhoyo, 2009) di Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada, disampaikan bahwa ada 7 dari sekian banyak faktor
yang mempengaruhi keefektifitasan sebuah kurikulum PBL secara berurutan;
faktor subjek didik (28.41%), tenaga pengajar (22.35%), fasilitas (19.70%), proses
belajar (16.67%), materi pembelajaran (4.92%), jadwal kuliah/belajar (4.55%),
lain-lain (3.40%). Faktor lain yang mempengaruhi kualitas penerapan PBL adalah
kepahaman stakeholder tentang tujuan pemberlakuan PBL dan pola ujian yang
diterapkan (Jayawickramarajah, 1987).
Ada pula faktor-faktor lain yang dapat ditemui secara kondisional, sebab
pada kenyataannya pelaksanaan PBL dari satu institusi ke institusi lainnya sangat
bervariatif (Norman & Schmidt, Effectiveness of problem-based learning
curricula: theory, practice and paper darts, 2000). Berikut ini adalah penjelasan
dari faktor-faktor tersebut:
a. Faktor mahasiswa
Mahasiswa sebagai subyek didik harus memiliki motivasi. Penelitian
Secondira et al (2009) menyebutkan faktor motivasi intrinsik adalah motivasi
dari diri sendiri untuk belajar, kesadaran akan pentingnya belajar, dan motivasi
untuk menjadi seorang dokter. Dengan adanya motivasi dapat meningkatkan
kinerja dari mahasiswa, dosen, dan staf administrasi (Sankind, 2008).
b. Tenaga Pengajar
Irby (1994) menyebutkan bahwa tenaga pengajar di bidang kedokteran
harus menguasai multidisiplin ilmu. Proses belajar mengajar akan semakin baik
jika tenaga pengajar mempunyai pengetahuan tentang berikut ini:
1. Disiplin ilmu kedokteran,
2. Memiliki pengetahuan tentang kondisi subyek belajar (mahasiswa)
3. Mempunyai ilmu tentang prinsip belajar-mengajar
4. Mampu melakukan pengajaran berdasarkan kasus nyata

11
Instruktur harus memiliki cukup ilmu agar dapat membangun pengetahuan
yang integral bagi mahasiswa. Pengetahuan yang dimiliki cukup
mempengaruhi proses mengajar. Pengetahuan yang spesifik terhadap bidang
yang diajarkan dirasakan cukup penting. Instruktur sebagai tenaga pengajar di
bidang kedokteran harus mengembangkan kemampuannya mengajarkan topik
tertentu. Dikarenakan hal ini akan mempengaruhi keberhasilan proses belajar
mengajar (Irby D. J., 1994).
(Wood, 2003) juga menyebutkan instruktur yang baik adalah instruktur
yang mengerti tentang kurikulum yang berlaku dan menjadi fasilitator yang
baik. Namun demikian, dokter yang belum spesialis juga dapat menjadi
seorang instruktur yang baik jika telah melakukan pelatihan sebagai fasilitator,
mengerti kurikulum yang berlaku dan membuat catatan tersendiri ketika
menjadi tutor.
Seperti hasil penelitian (Secondira, Gandes, & Suhoyo, 2009) menyatakan
beberapa fungsi utama instruktur yaitu menjaga agar proses belajar tetap
berjalan, memancing mahasiswa belajar secara mendalam, memastikan semua
mahasiswa terlibat dalam proses belajar, memantau kemajuan belajar dari tiap-
tiap anggota kelompok, dan memberi tahu hal yang mampu mendorong
mahasiswa dalam menggali kasusnya. Cara instruktur dalam menstimulasi
diskusi juga berpengaruh kepada mahasiswa itu sendiri. Cara instruktur dalam
menstimulasi adalah dengan mengajukan pertanyaan umum dan spesifik,
mendorong refleksi kritis, memberi saran dan tantangan yang bersifat
membantu. Kemampuan dosen sebagai instruktur merupakan hal yang penting
dalam pelaksanaan pembelajaran dengan sistem PBL (Secondira, Gandes, &
Suhoyo, 2009).
c. Fasilitas
Fasilitas yang dibutuhkan dalam penerapan sistem PBL ini dibagi 2 yaitu
fasilitas sumber belajar dan fasilitas tempat. Fasilitas tempat meliputi ruang
diskusi dan tempat belajar lain. Ruang diskusi yang diperlukan adalah ruang
kecil yang cukup nyaman untuk 8-10 orang, lengkap dengan meja, kursi, papan
tulis, dan penerangan yang cukup (Wood, 2003). Dalam hal ini kita sudah

12
memenuhi persyaratan untuk ruang kelas dan fasilitas yang baik, dimana kita
memiliki ruangan “kedap suara” yang diperlukan agar ruangan tidak terganggu
oleh suara dari ruangan lainnya dan juga memiliki pendingin udara (air
conditioner) adalah ideal apabila dapat dipasang (Secondira et al, 2009).
d. Proses belajar
Secondira et al (2009) menyebutkan bahwa penjelasan yang lengkap dari
dosen dapat membuat mahasiswa mengerti dan meresapi proses belajar dalam
praktikum. Dent & Harden (2005) menyebutkan bahwa sebuah kelompok
belajar akan optimal jika jumlah anggota kelompok tidak terlalu banyak. Jika
jumlah anggota kelompok terlalu besar, maka akan sulit memastikan setiap
anggota berpartisipasi aktif. Selain itu instruktur harus sudah hadir sejak
kegiatan dimulai, bukan hanya hadir di akhir kegiatan. Mereka harus
memastikan tidak ada penyimpangan tujuan-tujuan kegiatan.
e. Panduan pembelajaran
Panduan belajar yang baik harus memenuhi syarat berikut :
a. Mengatur proses pembelajaran selama kegiatan
b. Menjelaskan capaian kegiatan
c. Menyediakan informasi yang dibutuhkan terkait topik kegiatan (Dent &
Harden, New horizons in medical education, 2005).
f. Jadwal kegiatan
Secondira et all (2009) menyebutkan perubahan jadwal belajar yang sering
terjadi kemungkinan dapat mengacaukan jadwal pribadi yang sudah dibuat
mahasiswa. Padahal, pengaturan jadwal pribadi merupakan salah satu
komponen planning. Hal ini bersifat teknis namun mempengaruhi pelaksanaan
pembelajaran seseorang karena dalam efisiensi jadwal diperlukan ketepatan
waktu dan ketetapan jumlah.
g. Penilaian
Proses penilaian harus mencakup tiga aspek, antara lain:
1. Aspek kognitif (pengetahuan)
2. Aspek afektif (sikap, moral, dan spiritual), dan

13
3. Aspek psikomotorik (keterampilan adan aplikasi dalam kehidupan (Jazadi,
2009).

Dalam hal ini kegiatan pembelajaran harus memuat komponen-komponen


kompetensi bersama indikator-indikatornya yang dipahami oleh dosen dan
mahasiswa (Jazadi, 2009). Ben-David dalam (Dent dan Harden, 2005)
menyebutkan bahwa tujuan dari penilaian adalah:
a. Mengukur pencapaian kompetensi
b. Memberikan umpan balik
c. Mengevaluasi kurikulum
d. Memacu serta mengarahkan mahasiswa untuk belajar
e. Memprediksikan kemampuan instruktur dalam mengajar.

14
3.5. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini adalah seperti pada gambar berikut:

Blok Disaster Management

Praktikum

Faktor-faktor yang mempengaruhi


kualitas format belajar

Mahasiswa

Tenaga Pengajar
Reaksi
Mahasiswa
Fasilitas Reaction
Reaksi
Proses Belajar Evaluasi Learning Instruktur
(reaction)
Jadwal Behaviour

Panduan Result

Penilaian

15
BAB IV
TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kualitas pembelajaran dengan


format praktikum pada Blok Disaster management melalui reaksi mahasiswa dan
instruktur yang terlibat. Adapun luaran yang ingin dicapai adalah:
1. Menghasilkan dokumen evaluasi pembelajaran pada Blok Disaster
management.
2. Tersusunnya Standard Operating Procedure untuk praktikum-
praktikum yang ada pada blok Disaster management.

16
BAB V
METODE PENELITIAN

5.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif
eksploratif mencakup mahasiswa dan instruktur yang dipilih untuk mewakili
pandangan yang bebeda. Pengumpulan data melalui wawancara terstruktur dan
focus discussion group yang dilengkapi dengan pedoman wawancara (Emzir,
2008).

5.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan selama 6 bulan, terhitung mulai April
2012. Penelitian dilaksanakan di Program studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Unsyiah.

5.3 Populasi dan Sampel

5.3.1 Populasi Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala angkatan 2008
yang berjumlah 266 mahasiswa dan seluruh instruktur praktikum. Teknik
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive sampling dan
Snowballing sample yang termasuk ke dalam Non probability samping. Sugiyono
(2008) menyebutkan bahwa non probability sampling adalah teknik pengambilan
sampel yang tidak memberikan peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur
atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel.

17
5.3.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini dimulai dengan 5 mahasiswa angkatan 2008
Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Syiah Kuala yang dipilih secara
subjektif oleh peneliti dengan melihat berbagai kriteria, yaitu 1 orang mahasiswa
yang pintar, 1 orang mahasiswa yang kurang pintar, 1 orang mahasiswa yang
antusias terhadap praktikum Blok Disaster management, 1 orang mahasiswa yang
tidak antusias terhadap praktikum Blok Disaster management, serta 1 orang
mahasiswa yang unik (tidak berasal dari kriteria-kriteria sebelumnya). Selain
mahasiswa, sampel penelitian ini juga melibatkan instruktur praktikum. Jumlah
instruktur yang akan diteliti adalah 4 orang, masing-masing mewakili satu judul
praktikum. Sampel pada penelitian ini dapat berubah tergantung pada kondisi di
lapangan. Jumlah sampel akan dicukupkan apabila peneliti telah menemukan
kejenuhan tema dari setiap sampel.
Kriteria inklusi dan eksklusi untuk sampel mahasiswa adalah sebagai
berikut.
a. Kriteria inklusi:
1. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala angkatan 2008 yang terdata telah mengikuti blok
Disaster management.
2. Bersedia menjadi responden
b. Kriteria eksklusi:
Tidak mengikuti kegiatan praktikum secara penuh
Kriteria inklusi dan eksklusi untuk sampel instruktur adalah sebagai
berikut.
a. Kriteria inklusi:
a. Para dosen yang terdata sebagai instruktur praktikum Blok Disaster
management, tahun akademik 2011-2012 dan secara aktif mengikuti setiap
rangkaian praktikum.
b. Bersedia menjadi responden
b. Kriteria eksklusi:
Bertugas namun tidak menghadiri keseluruhan kegiatan

18
5.4. Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Di
samping itu, agar hasil wawancara dan focus group discussion dapat terekam
dengan baik dan peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara dan diskusi
dengan sumber data, maka diperlukan bantuan alat-alat seperti: buku catatan,
informed consent, voice recorder dan kamera.

5.5 Metode Pengumpulan Data

5.5.1 Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang
diperoleh secara langsung dari mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter
amgkatan 2008 dan instruktur praktikum Blok Disaster management tahun
akademik 2011/2012, melalui wawancara dan focus group discussion. Tujuan dari
wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka,
dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono,
2008).

5.5.2 Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber yang
berarti mengumpulkan data dari sumber yang berbeda namun dengan teknik yang
sama sampai datanya jenuh. Teknik yang dilakukan yaitu melalui wawancara
terstruktur menggunakan open-ended question dengan pedoman wawancara.
Pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di dalam pedoman wawancara difokuskan
pada persepsi mahasiswa dan instruktur tentang pelaksanaan praktikum blok
disaster management . Wawancara direkam dengan tape recorder dengan izin
partisipan sebelumnya, dan transkripsi verbatim dibuat untuk dinalisis dan pada
akhirnya menghasilkan tema-tema terkait judul peneliti (Emzir, 2008).

19
A

Wawan
B
cara mendalam

Gambar 3. Triangulasi sumber pengumpulan data (suatu teknik pengumpulan data


pada bermacam-macam sumber data A, B, C) (Sugiyono, 2008)

Peneliti sebagai partisipan aktif dalam pengumpulan data, bermaksud


memahami secara detail bagaimana mahasiswa berpikir dan bagaimana mereka
mengembangkan pandangan mereka. Pedoman wawancara berisi topik- topik,
dimana peneliti mengeksplorasi, melihat dan mengajukan pertanyaan untuk
mendapat keterangan dan kejelasan. Oleh karena itu, peneliti selalu bebas
membangun dan menetapkan gaya percakapan, sekalipun hanya dengan fokus
pada hal tertentu yang sudah ditentukan (Emzir, 2008).

5.6 Analisis Data


Analisis data pada penelitian ini menggunakan model Miles dan
Huberman yang mengungkapkan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas,
sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction,
data display, dan conclusion drawing/ verification (Sugiyono, 2008).
a) Data Reduction ( Reduksi Data)
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu
maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema
dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
b) Data Display ( Penyajian Data)

20
Langkah selanjutnya setelah data direduksi adalah mendisplaykan data.
Data disajikan dalam bentuk uraian singkat dengan menggunakan teks yang
bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk
memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa
yang telah dipahami.
c) Conclusion Drawing/ Verification
Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan
awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak
ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data
berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemkakan pada tahap awal
didukung oleh bukti –bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke
lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
kesimpulan yang kredibel.

21
Alur Penelitian
Referensi tentang
Bedahkompetensi
Dokumen dokter di
bidang Disaster management

Menyusun pertanyaan untuk wawancara mahasiswa dan instruktur tentang


pelaksanaan praktikum di blok disaster management

wawancara
dengan wawancara FGD1
dg instruktur FGD 2
mahasiswa

Transkrip verbatim dari seluruh wawancarara dan FGD

Analisis Tema

Sintesis Tema

Penyusunan
Dokumen Evaluasi
Pembelajaran

Penyusunan SOP
Praktikum

Penyusunan Laporan
Penelitian

22
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL PENELITIAN

Dari FGD yang dilakukan bersama dengan mahasiswa, didapatkan beberapa


tema, antara lain:
Tema 1
Tujuan praktikum-praktikum dalam blok disaster management telah
dipahami dengan cukup jelas oleh para mahasiswa
Mahasiswa memahami tujuan praktikum-praktikum di blok ini sebagai persiapan
bagi mereka sebagai profesional muda untuk menghadapi bencana, seperti yang
ada dalam kutipan berikut:
“...menurut saya, praktikum mengenai bencana yang kemarin itu intinya
[bertujuan] untuk mempersiapkan kita, supaya matang dan prepared ketika suatu
saat yang tidak diduga terjadilah bencana. Kita jadi tahu, langkah pertama kita
itu apa. Jangan sampai saat [bencana]kita bingung dan masih berpikir... (FGD1,
M2, 27-30)

Mereka juga sadar bahwa sebagai calon dokter dan komponen penting dari bangsa
ini, kemampuan mereka akan dapat dikontribusikan kepada orang lain, karena
Aceh sudah dikenal sebagai laboratorium besar bencana.

“di Indonesia, dimana kita memang adalah supermarketnya bencana, disaster


management bukan cuma sebagai program unggulan bagi kita, untuk
preparedness, tapi juga sebagai laboratorium bagi orang lain untuk belajar. Bisa
menjadi bahan refleksi atau bahan belajar buat orang lain, di daerah-daerah
lain. Mereka tidak harus mengalami bencana yang sama untuk belajar, tidak
harus mengalami calamity yang sama...”(FGD1, M1, 41-26).

Tujuan mengenalkan mahasiswa kepada siklus bencana, baik pra, saat maupun
pasca bencana, juga termasuk upaya mitigasi bencana, telah dipahami oleh
mahasiswa.

“...pengenalan sistem mitigasi bencana. Terasa diperkenalkan kepada mahasiswa


bagaimana caranya di satu desa diperkenalkan bagaimana system
penanggulangan bencana sekaligus dengan sistem mitigasi bencana itu sendiri..

23
jadi nanti mahasiswa merasakan kalau sebenarnya ada sistem itu.”(FGD2, M2,
109-113).

Mahasiswa juga memaknai konsep kolaborasi sebagai kemestian dalam


penanggulangan bencana

“...selain memberikan pendidikan kepada kita, juga sebenarnya dengan


praktikum dan simulasi ini kita memberikan wawasan yang luas, bahwa
sebenarnya untuk kiat penanganan sebuah bencana, bukan satu profesi saja yang
terlibat tapi hampir dari semua elemen masyarakat, termasuk tenaga kesehatan..
Praktikum dalam blok ini memberikan wawasan bahwa Disaster management
mencakup kerjasama yang harus teratur untuk menangani sebuah
bencana...(FGD1, M3, 48-54)
.
Tema 2
Manfaat praktikum pada blok ini segera dirasakan pada gempa besar
empat bulan pasca blok berakhir
Mahasiswa mengaku memiliki kesiapan yang lebih baik saat bencana besar
menghampiri Aceh, yakni 4 bulan setelah blok berakhir, yakni pada tanggal 11
April 2012, terjadi gempa berkekuatan 7,8 scala Richter yang disebut oleh BMKG
sebagai gempa yang berpotensi tsunami sehingga sirene peringatan dini tsunami
dihidupkan dan menyebabkan kepanikan massal di Banda Aceh saat itu.
“...Setelah mengikuti praktikum ini kan ada gempa bumi besar (11 April 2012).
Saat itu warga panik semua. Mungkin karena mereka belum terpapar oleh ilmu
tanggap bencana. Jadi waktu itu memang sempat panik, semuanya saudara-
saudara juga sempat panik, keluarga apalagi. Tapi di situ kita yang sudah tahu,
bagaimana cara menanggapinya, kita berusaha untuk menenangkan [mereka].
Ketika kita langsung keluar rumah, jangan berada di dalam rumah. Khawatir jika
berada di dekat dinding yang cepat roboh atau seperti apa. Jadi saya berusaha
agar tidak panik...” (FGD1, M4, 66-73).

Prinsip kesiapsiagaan bencana pun telah dilakukan oleh mahasiswa, dalam hal ini
adalah konsep “tas siaga bencana”, mencegah kehilangan anggota keluarga
dengan berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan tidak saling mencari-cari saat
bencana tiba. Mahasiswa juga memahami bahwa tangga adalah bagian terlemah
dari struktur konstruksi bangunan sehingga tidak lari turun melalui tangga.

“Setelah adanya praktikum itu saya jadi ingat untuk mempersiapkan barang-
barang yang perlu dipersiapkan jika ada bencana harus sudah stand by di dalam

24
tas, tinggal angkat tas itu aja. Saat gempa bulan April itu saya ada di lantai atas,
lantai tiga atau empat di suatu bangunan, karena saya sudah mengerti, saya tidak
buru-buru turun dari atas ke bawah...”(FGD1, M5,82-85).

Setelah memahami peta bencana, melalui praktikum hazard map, mahasiswa


menjadi lebih sadar terhadap bencana di tempat ia tinggal atau berada, dan mampu
mengimplementasikan pengetahuannya dengan baik.
“Saya tidak berniat untuk lari, karena saya tahu daerah saya merupakan daerah
aman dari tsunami. Saya tidak lari, supaya mengurangi jumlah korban akibat
kepanikan. Jika kita lari bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi
kalaupun air naik, kita naik saja ke lantai 3 rumah sakit dekat rumah saya
(FGD1, M7, 129-132).

Tema 3
Praktikum di blok ini mampu membangun kemampuan
memimpin(leadership)
Kemampuan memimpin, menggerakkan orang lain sehingga mencapai sebuah
tujuan bersama menuju kondisi yang lebih baik, merupakan kemampuan istimewa
yang sulit untuk ditumbuhkan. Namun dalam praktikum ini, memungkinkan
potensi memimpin tumbuh dalam suasana belajar yang nyaman.
“Ketika disaster day kebetulan saya posisinya sebagai logistic commander.
Awalnya saya berfikir, ..apa sih logistic commander itu? Apa tugasnya?. Tadinya
saya kira jika saja ditugaskan di tim evakuasi itu lebih keren, atau kalau misalnya
kerjanya di triase itu hebat. Logistik itu apalah. Ternyata tidak ada satupun tugas
yang ringan di dalam sebuah Incident Command System. Tidak mudah menjadi
logistic commander... Saya sangat belajar bagaimana cara mengontrol orang
lain. Mengontrol dalam hal memimpin...”(FGD1, M1, 98-112).

“...dan saya juga mengarahkan orang lain untuk tidak lari, tidak berdiri dekat
jendela kaca, dan berjanji untuk berkumpul dengan anggota keluarga di satu
tempat yang aman...(FGD1, M5, 86-88)

“...Saat gempa kemarin itu saya sedang berjalan pulang. Sampai di jalan lorong
dekat rumah, orang sudah keluar [dari rumah mereka]. Heboh sekali. Saya
melihat mulai ramai di jalan. Saya bisa bilang ke ibu-ibu tetangga yang memang
anaknya ramai, lari saja, tidak usah naik motor berlima. Khawatir anaknya yang
lima orang itu jatuh [dari motor]. Saya sarankan supaya jangan panik”(FGD1,
M6, 91-95).

25
Tema 4
Adanya kesenjangan kompetensi instruktur satu dengan yang lain.

Mahasiswa dan dosen sama-sama merasakan adanya ketimpangan kompetensi


antara instruktur yang satu dan yang lain. Ada yang mengaku mendapatkan
instruktur yang cukup baik dalam mengarahkan, namun ada pula yang tidak puas
dengan pengarahan dari para instruktur mereka.

“Kalau menurut saya kemampuan instruktur sudah lumayan bagus. Arahan yang
diberikan kepada kita semua, terkait dengan apa yang harus kita lakukan,
kemudian pengetahuan yang diberikan kepada kita, bagaimana sistematika
misalnya, sudah bagus.” (FGD1, M8, 138-141)

“Kalau menurut saya pribadi, maaf sebelumnya Bu, tidak semua instruktur itu
menguasai pemahaman dan ilmu yang sama. Karena dalam beberapa hal, untuk
arahan dan penjelasan dari instruktur A itu tidak sama dengan instruktur B,
seperti itu. Dan dalam beberapa hal juga mungkin hanya si A-nya saja yang ini,
yang lebih menguasai, yang lainnya.”.(FGD1. M2, 161-165).

Instuktur pun merasakan kurangnya kompetensi mereka dalam membimbing


praktikum, seperti yang diungkapkan salah satu instruktur:
“...Saya rasa instruktur kurang berkompeten, karena hanya di-briefing sesaat
sebelum praktikum . Harusnya ada bahan bacaan buat kami, sehingga jika ada
kekurangan instruktur dapat memberi feedback dan tiap tahun praktikum jadi
lebih baik lagi...(D1, 23-27)

Tema 5
Kurangnya fasilitas praktikum.
Praktikum dalam blok ini menggunakan relatif banyak alat, untuk
menolong banyak korban. Alat yang digunakan merupakan alat pada pertolongan
gawat darurat, seperti P3K, untuk menangani luka, menstabilkan peredaran darah,
juga mengangkut atau mengevakuasi dengan aman dengan tandu dan pengaman
leher seperti collar neck. Sayangnya jumlah alat yang dimiliki FK Unsyiah saat
itu hampir nol, namun tim blok berasil meminjam beberapa alat dari RS Zainal
Abidin. Tentu saja keterbatasan alat ini menjadi kendala bagi pembelajaran.

“Saat praktikum pengenalan alat, tidak semua mahasiswa sempat mencoba


menggunakan alat-alat itu.” (FGD 1, M8, 153-154).

26
“Saat praktikum pengenalan alat mereka ingin sekali mencoba, tapi sedikit sekali
yang berhasil mencoba, karena jumlah alatnya sedikit.” (D1, 55-56).

Mahasiswa juga menyarankan bahwa alat yang digunakan sebaiknya mencakup


alat modern dan alat tradisional, sehingga jika terjadi bencana mereka sudah
mengenal alternatif alat yang dapat digunakan untuk menolong korban bencana.

“...mungkin perlu juga diperkenalkan alat-alat tradisional untuk mengevakuasi


korban. Alat-alat yang kita bawa kemarin adalah alat yang memang sudah
modern. Tapi kami khawatir saat bencana kita tidak mendapatkan alat-alat
seperti itu. Jadi kita harus mampu menggunakan alat-alat tradisional. Pengganti
collar neck misalnya bantal pasir, pengganti scoop strecher misalnya tandu dari
kain sarung.”( FGD1, M8, 317-322).

Tema 6
Pembagian peran yang kurang detail sehingga menghambat praktikum
Tidak adanya pembagian peran yang detail, beserta deskripsi tugas masing-
masing anggota kelompok ternyata menghambat praktikum. Mahasiswa kesulitan
dalam membagi tugas di antara teman-temannya karena deskripsi tugas belum
ada.

“ Dan kalau saya pikirkan setidaknya pembagian kelompok sendiri itu ada tugas-
tugasnya[tersendiri] juga dokter. Atau kalau tidak ada pembagian tugas secara
langsung, internal saja bisa, bikin sendiri tugasnya apa...” (FGD2, M3, 323-327)

Kurangnya detail atau keterangan terhadap tugas yang akan dimainkan dalam role
play praktikum membuat mahasiswa masih bertanya-tanya tentang peran yang
akan mereka mainkan.

“Saat praktikum tugas kita tidak sama. Ada yang manjadi tim SAR, ada yang
berperan sebagai tenaga medis, ada yang berperan sebagai incident
commander...Ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika kita
dibriefing dan ketika pelatihan...Terasa arahannya kurang detail.(FGD1,
M8,142-147)

Tema 7

27
Ruangan tempat praktikum harus sesuai dengan jumlah mahasiswa.
Ruangan tempat beberapa praktikum dilaksanakan adalah ruang kuliah
yang dapat memuat 250 mahasiswa. Jika digunakan sekaligus oleh 250
mahasiswa dirasakan kurang nyaman, karena praktikum berbeda dengan kuliah,
memerlukan ruangan yang lebih leluasa.

“Cuma saat itu [praktikum]kapasitas ruang kecil, pesertanya yang ada sedikit terlalu
ramai. Itu menurut saya kurang ideal. Karena konsentrasinya akan terpecah-pecah
nantinya. Jadi seharusnya waktu yang dua jam itu sudah cukup, akan tetapi pesertanya
jangan terlalu ramai.” (FGD 1, M9)

Tema 8
Perlunya peningkatan kompetensi instruktur dalam memberi feedback dan
melakukan assessment terhadap kompetensi mahasiswa.
Kompetensi dalam bidang disaster management memang baru saja didefinisikan
setelah dunia belajar dari bencana tsunami Laut Hindia yang menghantam Aceh
tahun 2004, sehingga kompetensi ini baru saja diajarkan kepada mahasiswa
kedokteran sejak tahun 2006, saat reformasi kurikulum di FK Unsyiah terjadi.
Para staf pengajar yang notabene lulusan tahun-tahun sebelumnya dan dididik
pada kurikulum konvensional belumlah menguasai kompetensi tersebut. Wajar
jika para instruktur yang terdiri dari staf pengajar itu perlu dilatihkan terlebih
dahulu sebelum melatih para mahasiswa mereka. Program pelatihan terhadap
pengajar tentu mencapai tingkat yang lebih dari yang harus dikuasai seorang calon
lulusan sarjana S-1 .

“Menurut saya instruktur harus dibekali terlebih dahulu. Harus ada pelatihan
terlebih dahulu. Saya rasa instruktur kurang berkompeten, karena hanya
dibriefing sesaat sebelum praktikum . Harusnya ada bahan bacaan buat kami,
sehingga jika ada kekurangan instruktur dapat memberi feedback dan tiap tahun
praktikum jadi lebih baik lagi.”(D1. 23-27)

28
Tema 9
Pentingnya penekanan pada community-based education (CBE) dalam
pendidikan kebencanaan.
Desain praktikum dalam blok ini berusaha menguatkan hubungan antara profesi
dokter dan masyarakat. Salah satu tujuannya adalah agar mahasiswa memiliki
paradigma berpikir tidak hanya menyelesaikan masalah masyarakat di kampus,
tapi menyelesaikan masalah itu dengan memberdayakan kekuatan yang ada di
masyarakat itu. Tentu hal ini hanya dapat dicapai dengan membawa mahasiswa
ke situasi yang riil, berlokasi di tempat masyarakat tinggal, tidak hanya membawa
masalah masyarakat ke lokasi kampus.

“...menurut saya praktikum itu tetap ada karena praktikum itu sangat berbeda
dengan skenario, kalau kita buat scenario kita tidak tahu secara nyata, realnya
daerahnya bagaimana jadi dengan adanya terjun ke lapangan kita akan lebih
tahu, terutama sekali kita banyak belajar, terjun ke lapangan terutama
bagaimana kita berinteraksi dengan masyarakat, seperti itu terutama dengan
kepala desa” (FGD2, M6, 206-211)

“Satu hal yang saya pelajari adalah pentingnya adalah interaksi sosial itu.
Maksudnya adang kita lupa untuk berinteraksi secara sosial karena sibuk dengan
tugas bagi mahasiswa kedokteran, sibuk dengan tugas ini dan itu, organisasi ini
dan itu, sehingga lupa berbicara dengan tetangga sendiri”.(FGD 1, M1)

“Manfaatnya secara tidak langsung kita jadi paham bahwa kita harus kenal
daerah kita sendiri, minimal kampong sendiri, sehingga kita jadi lebih peka
terhadap bencana di sekitar kita. Nanti saat kita menjadi dokter umum,otomatis
kita yang di puskesmas menjadi salah satu pimpinan kecamatan, kan? MUSPIKA.
Kita dapat memberi inisiatif bahwa penyusunan hazardmap itu penting” (FGD1,
M6)
Tema 10
Sumber belajar yang sangat perlu ditambah, mencakup panduan
praktikum, e-learning dan modul lainnya.

Ketiadaan study guide seperti panduan praktikum membuat mahasiswa


kesulitan untuk mempersiapkan diri dan menyerap bahan ajar.
“...jika kita ada materi acuan tersendiri, tentu mahasiswa akan lebih terarah.
Juga mengingat karena hal ini masih baru di tempat kita. Nah, dengan adanya
study guide nanti harapannya pertama lebih terarah, kemudian juga mahasiswa
juga dalam hal melakukannya lebih mengerti, apa yang akan ia lakukan jauh-
jauh hari bisa dipelajari dan bisa disiapkan supaya mampu berperan lebih
maksimal lagi nantinya”.(FGD 1, M9).

29
Dosen pun memerlukan hal yang serupa, yaitu bahan bacaan untuk meningkatkan
kompetensinya.

“...Harusnya ada bahan bacaan buat kami, sehingga jika ada kekurangan instruktur dapat
memberi feedback dan tiap tahun praktikum jadi lebih baik lagi. (D1, 25-27).

PEMBAHASAN
Kepahaman terhadap tujuan dari pembelajaran merupakan indikator penting
kesiapan objek didik dan memastikan motivasi mereka cukup besar untuk
berperan aktif dalam proses pembelajaran. Aspek ini terbukti berkontribusi
sekitar 28% dari keberhasilan sebuah pembelajaran (Secondira, Gandes, &
Suhoyo, 2009).
Terasanya manfaat dari konsep-konsep dalam disaster management,
terutama saat diuji pada situasi baru (saat terjadi gempa dan peringatan tsunami)
setelah diterapkan di situasi sebelumnya (saat praktikum) telah membuat para
mahasiswa merasakan efek dari belajar dari pengalaman, atau dikenal luas sebagai
konsep experiential learning. Konsep experiential learning merupakan sebuah
teori bahwa pembelajaran terjadi sebagai hasil dari empat jenis aktivitas yang
terjadi secara berurutan dan membentuk siklus. Fase pertama dari siklus
experiential learning adalah concrete experience, mahasiswa merasakan
pengalaman pertama. Lalu ia masuk ke fase kedua jika ia mengobservasi dan
merefleksi pengalaman itu untuk memahami makna dari pengalaman tersebut.
Jika ia berhasil membentuk konsep umum dan prinsip hidup akibat refleksi
tersebut maka ia masuk ke tahap ketiga. Pada tahap berikutnya, sang mahasiswa
akan mengaplikasikan prinsip hidup yang ia dapat pada situasi baru, lalu masuk
ke siklus belajar berikutnya, berulang lagi (Amin & Eng, 2003). Mahasiswa
peserta praktikum blok disaster management mengaku telah mengaplikasikan
pengetahuan dalam blok ini saat gempa 11 April 2012 lalu. Sebelum gempa
mereka mempersiapkan tas siaga bencana, saat gempa mereka tidak bersikap
panik, jika berada di daerah yang aman maka mereka tidak lari sehingga
memenuhi jalan yang macet. Mereka juga mengimplementasikan penyelamatan
vertikal dan horizontal dengan baik, sesuai kesadaran atas tempat mereka berada,

30
di daerah yang aman atau yang tidak aman. Mereka bahkan mampu memimpin
dan mengarahkan orang lain untuk menyelamatkan diri dengan menghindari
kepanikan.
Aspek lain yang harus diperbaiki adalah kompetensi instruktur. Memang
seorang instruktur yang baik harus memiliki cukup ilmu agar dapat membangun
pengetahuan yang integral bagi mahasiswa. Pengetahuan yang dimiliki cukup
mempengaruhi proses mengajar. Pengetahuan yang spesifik terhadap bidang yang
diajarkan dirasakan cukup penting. Instruktur sebagai tenaga pengajar di bidang
kedokteran harus mengembangkan kemampuannya mengajarkan topik tertentu.
Dikarenakan hal ini akan mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar
(Irby D. J., 1994). Pengelola blok/tim blok semestinya membekali para instruktur
dengan pelatihan khusus, mengingat pengetahuan dan keterampilan disaster
management belum ada pada program pendidikan dokter sebelum
diberlakukannya KBK tahun 2006. Kompetensi para pendidik juga harus terus
ditingkatkan dengan pelatihan berkala dan berjenjang, sebagai bagian dari
program faculty development yang sangat penting bagi peningkatan mutu lulusan
(Seldin, 2006).
Kurangnya fasilitas memang sangat mempengaruhi pembelajaran, namun
bukanlah faktor yang dapat menghentikan pembelajaran. Memang banyak
keuntungan memiliki fasilitas pembelajaran keterampilan medik, antara lain: 1)
mendukung pembelajaran, 2) pendekatan ajar lebih konsisten, 3) memungkinkan
demonstrasi, 4) bebas dari rasa malu (jika dibandingkan langsung praktik pada
pasien yang sakit) (Bradley & Poslethwaite, 2004). Usaha untuk meningkatkan
alat simulasi terus diupayakan oleh tim blok, untuk memfasilitasi pembelajaran
melalui praktikum. Tentu saja tantangan bagi sebuah universitas negeri adalah
pengadaan barang yang terkait birokrasi keuangan tentu menuntut kesabaran
sampai pihak yang terkait berhasil mengadakan barang tersebut ke hadapan
pengajar. Proses ini lambat, namun sebagian besar kebutuhan terpenuhi di tahun
berikutnya.
Pembagian peran dengan detail yang akan dimainkan memang menjadi
salah satu langkah penting dalam menyusun sebuah konsep pelatihan dengan

31
bermain peran (role play). Kodotchigova ( 2002) menjelaskan 6 langkah dalam
menyusun sebuah role play pembelajaran, yakni: 1) Menyusun situasi/konteks,
yakni suasana dan kondisi yang diinginkan dan membantu pencapaian tujuan
pembelajaran. Instruktur boleh meminta peserta untuk ikut memilih situasi yang
diinginkan, 2) Mendesain role play sesuai kompetensi peserta, 3) menyusun alur
4) persiapan deskripsi masing-masing peran, 5) melatihkan cara bermain peran
dan 6) Debriefing, atau mengevaluasi role play yang telah dimainkan. Saat
memainkan simulasi bencana tentu beragam peran diperlukan dan perlu
dideskripsikan dengan detil demi menghasilkan sebuah simulasi atau role play
yang berkualitasl
Kompetensi berkolaborasi dengan individu lain merupakan kompetensi
yang sangat mendasar dalam disaster management karena penanggulangan
bencana mustahil dilakukan oleh hanya segelintir orang. Tercapainya kompetensi
ini merupakan kabar gembira bagi disainer blok dan tantangan bagi pelaksana
blok untuk mempertahankannya di periode tahun ajaran mendatang. Dan dari
perspektif ide kognitif kontemporer, seseorang yang mampu berkolaborasi dalam
tugas-tugas belajar menciptakan dukungan bagi upaya satu sama lain dan akan
lebih sukses dalam karir mereka di masa depan. Mereka mampu saling membantu
dalam membangun ide-ide lebih canggih dan lebih strategis daripada bekerja
sendirian (Ormrod, 2004).
Sifat kolaboratif juga merupakan pemicu bagi deep learning atau proses
belajar yang mendalam. Seperti kita ketahui bahwa ada 2 jenis pembelajaran,
yakni Surface learning dan deep learning. Surface learning terjadi pada
mahasiswa yang hanya ingin menghafal fakta dan memunculkan fakta-fakta itu
pada waktu tertentu seperti ujian, tanpa ada keinginan untuk memahami lebih
dalam makna dari fakta-fakta tersebut. Motivasi belajar pada pembelajar dangkal
ini ada di luar dirinya, dari guru, orang tua, atau pun lingkungan, bukan dari
dalam diri. Sebaliknya, pembelajar deep learning memiliki motivasi internal
untuk secara aktif mencari bahan belajar, memaknai pengetahuan baru dengan
menggunakan pengetahuan lama yang telah ia miliki. Pembelajar tipe deep
learning akan mencapai kepuasan dalam belajar setelah ia memahami konsep dan

32
menemukan cara mempraktikkan pengetahuannya ke alam nyata. Hal-hal yang
mendorong deep learning adalah kerjasama dalam group, dan sesuainya antara
tujuan belajar dan ujian (Amin & Eng, 2003).
Community-based Education (CBE). Perancangan suatu program
pendidikan dengan berbasis komunitas/CBE memang telah dibuktikan sangat
efektif untuk memberi konteks yang sesuai dan membantu mahasiswa mengingat
pelajaran itu dalam jangka waktu lebih panjang /long term memory (Koens,
Mann, Custers, & Ten Cate, 2005). Menerapkan saran ini mungkin juga efektif
dalam membantu untuk melawan persepsi bahwa universitas sebagian besar acuh
tak acuh terhadap keprihatinan masyarakat dan / atau bahwa program ini
dirancang lebih untuk mempromosikan kepentingan universitas daripada melayani
masyarakat pada umumnya (Dalen, 2005). Oleh karena itu rancangan praktikum
yang didesain dengan konteks CBE harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan,
termasuk dengan memperbaiki kompetensi instruktur dan desain instruksionalnya.
Buku ajar adalah sebuah perangkat manajemen yang menjadi media dosen
untuk menunjukkan tanggungjawabnya sekaligus cara bagi mahasiswa untuk
mengatur sendiri pembelajaran bagi dirinya. Study guide, buku ajar, sumber
belajar atau learning resources, baik berupa media cetak maupun elektronik
adalah salah satu daya dukung esensial bagi aplikasi metode problem-based
learning (PBL). Study guide atau petunjuk praktikum dan buku ajar menjadi
sangat krusial sifatnya bagi kesuksesan sebuah pembelajaran (Dent & Harden,
2005). Karena itu setiap kegiatan belajar semestinya memiliki buku ajar yang
akan membantu mahasiswa untuk mengarahkan proses belajarnya dan
mempersiapkan mahasiswa sebelum proses tatap muka terjadi.Wajarlah jika para
dosen harus memperhatikan kualitas dari buku ajarnya, karena ia berbanding lurus
dengan retensi bahan ajar dalam benak sang mahasiswa.

33
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
1. Transparansi kurikulum kepada mahasiswa akan meningkatkan motivasi
belajar. Tercapainya tujuan dan pemberian motivasi melalui transparansi
nilai perlu menjadi perhatian pada penyusun kurikulum.
2. Manfaat blok disaster management sangat dirasakan oleh para mahasiswa
maupun dosen, segera maupun beberapa saat setelah blok usai. Sifat-sifat
lulusan yang penting seperti kolaboratif dan kemampuan leadership dapat
dilatihkan dalam blok ini. Efek jangka panjang dari pembelajaran ini masih
perlu dikaji lebih jauh.
3. Banyaknya perbaikan yang perlu diperhatikan oleh tim kurikulum terungkap
dalam penelitian ini. Perbaikan pada sumber belajar/study guide,
pembagian peran, sistem penilaian, kompetensi instruktur dan format belajar
adalah hal-hal yang menjadi prioritas.
4. Semangat untuk memberdayakan masyarakat telah dilatihkan dalam format
blok yang mengacu pada konsep community-based education. Hal ini telah
dirasakan manfaatnya oleh mahasiswa dan perlu kiranya lebih dioptimalkan
pada pembelajaran di masa yang akan datang.

SARAN
1. Pentingnya perbaikan dalam aspek-aspek kurikulum yang telah dibahas
dalam penelitian ini untuk ditindaklanjuti oleh pihak terkait di FK Unsyiah.
2. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang efek dari masing-masing praktikum
terhadap kompetensi dokter Indonesia di masa yang akan datang.

34
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z., & Eng, K. H. (2003). Basics in Medical Education. Singapore: World
Scientific.
Balendong, H. S., & Dolmans, D. (1999). Block Construction. Maastricht:
Department of Educational Development and Research.
Bradley, P., & Poslethwaite, K. (2004). Setting up and running clinical skills
learning programmes. the Clinical Teacher , 1 (2), 53-58.
Bradt, D. A., Abraham, K., & Franks, R. (2003). A strategic plan for disaster
medicine in Australasia. Emergency Medicine , 1, 271-282.
Dent, J. A., & Harden, R. M. (2005). New horizons in medical education. In J. A.
Dent, & R. M. Harden, A Practical Guide for Medical Teacher (pp. 2-9).
Edinburg: Elsevier.
Dolmans, D., De Grave, W., Wolfhagen, I., & van der Vleuten, C. (2005).
Problem-based learning: Future challenges for educational practice and
research. Medical Education , 39, 732-741.
Emzir. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan; Kuantitatif dan Kualitatif.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Irby, D. J. (1994). What Clinical Teachers in medicine Need to Know. Academic
Medicine , 333-342.
Ireland, M., Ea, E., Kontzamanis, E., & Michel, C. (2006). Integrating Disaster
Preparedness into a Community Health Nursing Course. Disaster
Management & Response , 4 (3), 72-76.
Jamal, F. (2011). Buku Tutor Blok 21 Disaster Management. Banda Aceh:
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Jayawickramarajah, P. T. (1987). The Analysis of Medical Curriculum. Medical
Teacher , 9 (2), 167-178.
Jazadi, I. (2009). evaluasi dan pengembangan proses belajar mengajar di
perguruan tinggi. jurnal ilmu pendidikan , 1-17.
Katajavuori, N., Lindblom-Ylanne, S., & Hirvonen, J. (2006). The significance of
practical training in linking theoretical. Higher Education , 51, 439-464.
Kirkpatrick, D. L. (1996). Techniques for evaluating training programs. In D. P.
Ely, & T. Plomp, Classic Writings on Instructional Technology (pp. 116-
130). Libraries Unlimited.
Kodotchigova, M. A. ( 2002). Role-play in Teaching Culture: Six Quick Steps for
Classroom Implementation. The Internet TESL Journal .
Koens, F., Mann, K. V., Custers, E. J., & Ten Cate, O. T. (2005). Analysing the
concept of context in medical education. Medical Education , 39, 1243-
1249.

35
Levy, J. K., & Gopalakrishnan, C. (2005). Promoting disaster-resilient
communities: the great Sumatra-Andaman earthquake of 26 december 2004
and the resulting Indian ocean tsunami. Water Resources Development , 21
(4), 543-559.
Manley, W. G., Furbee, P. M., Coben, J. H., Smyth, S. K., Summers, D. E.,
Althouse, R. C., et al. (2006). Realities of Disaster Preparedness in Rural
Hospital. Disaster Management & Response , 4 (3), 80-87.
Moe, T. L. (2006). An integrated approach to natural disaster management.
Emerald , 396-413.
Norman, G. R., & Schmidt, H. G. (2000). Effectiveness of problem-based
learning curricula: theory, practice and paper darts. Medical Education ,
721-728.
Ormrod, J. E. (2004). Human Learning (4th ed.). Pearson Merrill Prentice Hall.
Pitt, E., & Pusponegoro, A. (2005). Prehospital care in Indonesia. Emergency
Medical Journal , 22, 144-147.
Prideaux, D. (2000). The Emperor’s new cloths: From objectives to outcomes.
Medical Education , 34, 168-169.
Riddez, L., Kruck, M., Gardarsdottir, H., & Redwood-Campbell, L. (2006). The
surgical and obstetrical activity at the ICRC Field Hospital in Banda Aceh
in the aftermath of the tsunami. International Journal of Disaster Medicine ,
3 (1), 55-61.
Rowbottom, S. (2007, December 1). The Indian Ocean Tsunami: Vulnerabilities
Exposed… Opportunities to Seize: Case study prepared for Enhancing
Urban Safety and Security, Global Report on Human Settlements. Retrieved
June 6, 2008, from UN Habitat: http://www.unhabitat.org/grhs/2007
Sankind, N. J. (2008). Encyclopedia education psychology:case studies. United
States of Amerika: SAGE Publication.
Secondira, V. R., Gandes, R. R., & Suhoyo, Y. (2009). Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
untuk Melaksanakan Pembelajaran yang Konstruktif, Mandiri, Kolaboratif
dan Kontekstual dalam Problem-Based Learning. Jurnal Pendidikan
Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia , 4 (1), 32-45.
Seldin, P. (2006). Evaluating faculty performance: a practical guide to assessing
teaching, research and service. Bolton: Anker Publishing Company.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Trevisan, M. S. (2004). Practical Training in Evaluation: A Review of the
Literature. American Journal of Evaluation , 25 (2), 255-272.
Wood, D. F. (2003). ABC of learning and teaching in medicine. British Medical
Journal , 328-330.

36
37
LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE

1. Nama lengkap dan gelar : dr. Rosaria Indah, M.Sc


2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/ 14 Juli 1974
4. Alamat : Jl. Soekarno Hatta no. 5, Lamteumen.
Banda Aceh.
5. NIP : 197407142005012001
6. Pangkat/golongan : IIIc/Lektor
7. Jabatan fungsional : Sekretaris Medical Education Unit FK
Unsyiah
8. Jabatan struktural : Kepala Bagian Anatomi FK Unsyiah
9. Jurusan : Pendidikan Dokter
10. Fakultas : Kedokteran
11. Riwayat pendidikan :

No Pendidikan Ijazah/Tahun Spesialisasi


1 Fakultas Kedokteran 2001 Kedokteran Umum
Universitas Gadjah Mada
2 Faculteit Medizine, 2011 Medical and Health
Maastricht University Profession Education
(kurikulum pendidikan
kesehatan)

12. Pengalaman penelitian (5 tahun terakhir)


No Tahun Judul Sumber Biaya
1 2010 Demam Berdarah Dengue: Tantangan UNDP
Pencegahan terhadap Kejadian Luar
Biasa di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Utara
2 2011 Implementasi Problem-Based Learning Loan HPEQ/
di Fakultas Kedokteran Universitas DIKTI
Syiah Kuala
3 2011 Analisa Kualitas Soal Blok Disaster Loan HPEQ/
management di Fakultas Kedokteran DIKTI
Universitas Syiah Kuala

13. Publikasi (5 tahun terakhir)


No Tahun Judul Penelitian
1 2008 Item Analysis Soal Fisiologi di Blok The Cell FK Unsyiah
2 2009 Pembelajaran Agama menggunakan Role-play pada program
Studi Keperawatan Berbasis Kompetensi

38
3 2011 Proceeding AIWEST-DR 6th: Designing Disaster management
Block on Disaster-prone Area

Banda Aceh, 29 Februari 2012,


Peneliti,

dr. Rosaria Indah, M.Sc


NIP. 197407142005012001

39
CURRICULUM VITAE

1. Nama lengkap dan gelar : dr. Marisa


2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/ 1 Januari 1985
4. Alamat : Jl. Tgk.Chik Dipineung V no. 17. Desa
Pineung. Banda Aceh
5. NIP : 198501012010122003
6. Pangkat/golongan : IIIb/Penata Muda Tk-1
7. Jabatan fungsional : -
8. Jabatan struktural : -
9. Jurusan : Pendidikan Dokter
10. Fakultas : Kedokteran
11. Riwayat pendidikan :
No Pendidikan Ijazah/Tahun Spesialisasi
1 Fakultas Kedokteran 2010 Kedokteran
Universitas Syiah Kuala Umum

12. Pengalaman penelitian (5 tahun terakhir)


No Tahun Judul Sumber Biaya
1 2010 Faktor-faktor yang Pribadi
Mempengaruhi Ibu terhadap
Pemberian ASI di Puskesmas
Ulee Kareng

13. Publikasi (5 tahun terakhir)


No Tahun Judul Penelitian

Banda Aceh, 29 Februari 2012,


Peneliti,

dr. Marisa
NIP. 198501012010122003

40

Anda mungkin juga menyukai