Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2018


UNIVERSITAS PATTIMURA

“DIFTERI PADA ANAK”

Disusun Oleh:
SARIBAH LATUPONO
NIM. 2016-84-041

Pembimbing:
dr. Robby Kalew, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
anugerah dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat
berjudul “Penyakit Difteri pada anak” ini sesuai dengan waktu yang diharapkan.
Dalam penyusunan Refarat ini telah banyak pihak yang turut membantu.

Untuk itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. dr. Robby Kalew, Sp.A selaku pembimbing yang telah membimbing

penulis dalam menyelesaikan Referat ini.

2. Teman-teman co-ass yang telah banyak membantu memberikan masukan

dalam menyelesaikan tugas Referat ini.

Penulis menyadari bahwa Referat yang penulis buat ini belum mencapai

kesempurnaan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari

berbagai pihak dalam penyempurnaan Referat ini.

Akhir kata, semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi orang lain yang hendak

membacanya. terima kasih.

Ambon, 1 Juli 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................. ii

Daftar Isi....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1

1.2 Tujuan Penulisan..................................................................................... 1

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi difteri....................................................................................... 2

2.2 Etiologi................................................................................................... 2

2.3 Epidemiologi.......................................................................................... 3

2.4 Patogenesis............................................................................................. 5

2.5 Manifestasi Klinis.................................................................................. 6

2.6 Diagnosis................................................................................................ 8

2.7 Diagnosis Banding................................................................................. 9

2.8 Komplikasi ............................................................................................ 10

2.9 Penatalaksanaan .................................................................................... 11

2.10 Pencegahan.......................................................................................... 15

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan........................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 19

3
BAB I
PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,


disebabkan oleh toxin dari bakteri yang ditandai dengan pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa, dan penyebarannya melalui udara.
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia
merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini.1
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa menjadi
media penularan (vehicle of transmission). Menurut manifestasi klinisnya difteri
terdiri dari difteri hidung, difteri tonsil faring, difteri laring, dan difteria kulit,
vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga. Jika terinfeksi dapat menyebabkan gejala-
gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang
dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.1
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang biasanya
akan hilang pada usia 6 bulan, bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi
ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut.2
Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan
keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50%
penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa dapat
terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Berkat adanya
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian
menurun secara drastis.2

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-
membran pada kulit dan atau mukosa.1

2.2. Etiologi

Gambar 1. Morfologi Corynebacterium diphtheria

Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang Gram-positif,


tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 600C, tahan dalam keadaan kering dan beku. Dengan
pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V,
atau merupakan kelompok dengan formasi mirip dengan huruf cina. Kuman
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih banyak pada
media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane
mukosa manusia Corynebacterium diphtheria dapat hidup bersama-sama
dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa,
sehingga untuk membedakan kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan
cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose dan sukrosa.3
Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheria yaitu tipe gravis,
intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak
tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang

5
pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C. diphtheria. Ciri khas C.
diphtheria adalah kemampuan memproduksi eksotoksin baik in vivo dan in
vitro.3

2.3. Epidemiologi
Difteri tersebar luas ke seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara
nyata setelah perang dunia kedua, setelah penggunaan toksoid difteria.
Demikian pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar 5-10%. Delapan
puluh persen kasus terjadi di bawah umur 15 tahun, meskipun demikian
dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status
imunitas populasi setempat.2
Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat
dan Eropa, karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama
beberapa dekade. Namun, difteri masih sering ditemukan pada negara-negara
berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah. Faktor sosial
ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas
kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini. Orang-orang
yang berada pada risiko tertular difteri meliputi:3
 Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru
 Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak
sehat
 Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan
 Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri

Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan


Eropa, karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa
dekade. Namun, difteri masih sering ditemukan pada negara-negara berkembang
di mana tingkat imunisasinya masih rendah seperti halnya yang saat ini terjadi di
Jawa timur.

6
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu
bisa menjadi media penularan (vehicle of transmission).3
Difteria kulit, meskipun jarang dibahas, memegang peranan yang cukup
penting secara epidemiologik. Pada suatu saat ketika angka kejadian difteria
faucial di beberapa negara mulai memudar, difteria kulit dilaporkan meningkat.
Hal yang penting bahwa dalam suatu populasi tertentu dengan karier kulit dalam
proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap difteria faucial, namun
sebalikya berperan pula dalam terjadinya wabah difteri faucial. 3
Di Indonesia, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur,
Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR)
11,7-31,9%. Di Jawa Timur sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan
jumlah kematian 11 orang dan pada tanggal 10 Oktober 2011 Provinsi Jawa
Timur dinyatakan berstatus KLB.

Gambar I. Penyebaran Difteri

7
2.4. Patogenesis
Kuman Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit,
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas
bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling,
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari
penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang
mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai
dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A
ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase yang
aktif.4
Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan
bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan
inaktivasi enzim translokase yang menyebabkan proses translokasi tidak
berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan jaringan
nekrotik, membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi
toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin melebar dan terbentuklah
eksudat fibrin.Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna
kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Bila
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran
akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.5
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan
atau sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau
cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan

8
ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan
penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten
yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya
terjadi dalam 10 - 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 -
7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan
degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan sistem
konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemik, kadang-
kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.4

2.5. Manifestasi Klinis


Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai keadaan/penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheria (kemampuan kuman membentuk
toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur,
penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah
ada sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada
umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan
sistemik. Demam jarang melebihi 38,90C dan keluhan serta gejala lain
tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.5
2.5.1 Difteria Hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan
gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen,
menyebabkan lecet pada nares dan bibis atas. Pada pemeriksaan tampak
membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat

9
dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat
dibuat. 3

2.5.2 Difteria Tonsil Faring


Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam
ringan dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran
yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding
faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan
trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan.
Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila
limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang
luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat
penetrasi toksin dan luas membran.3
Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau
sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun
bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,
kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus
sedang, penyembuhan terjadi berangsung-angsur dan bisa disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan
terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.3

Gambar 2. Membran putih kelabu yang menutupi tonsil dan dinding faring

10
Gambar 3. Pseudomembran dan bull neck
2.5.3 Difteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada
difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring
mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring
sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala
klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups
yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan
batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan
membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.2

2.5.4 Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga


Difteria kulit, difteria vulvovaginal, difteria konjungtiva dan
difteria telinga merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual).
Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran
pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata
dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
sekret purulen dan berbau.2

2.6 Diagnosis
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis.
Penentuan kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody

11
technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan
isolasi C.diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenisitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).1

KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis1
 Kontak dengan penderita difteri
 Suara serak
 Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas
 Demam tak begitu tinggi
Pemeriksaan Fisik1
 Tonsilitis, faringitis, rinitis
 Limfadenitis servikal + edema jaringan lunak leher (bullneck)
 Sangat penting untuk dignosis ditemukannya membran pada tempat
infeksi yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat.
Laboratorium1
 Hitung leukosit darah tepi dapat ↑
 Kadang-kadang timbul anemia
 Protein likuor pada neuritis difteria sedikit ↑
 Urea N darah pada nekrosis tubular akut dapat ↑
 Diagnosis pasti ; Kuman difteria pada sediaan langsung / biakan (+)

2.7 Diagnosis Banding2


 Difteria Hidung : rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda
asing dalam hidung
 Difteria Faring : tonsilitis membranosa akut yang disebabkan oleh
Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat), mononukleosis infeksiosa,
tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis,
blood dyscrasia

12
 Difteria Laring : laringitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain
yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing
dalam laring.
 Difteria Kulit : impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus dan stafilokokus.

2.8 Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau
akibat aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria dapat dikelompokkan
dalam obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung,
saraf dan ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.3
 Obtruksi jalan nafas
Disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan
servikal.3
 Dampak toksin
Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa
miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin.3
Pada umumnya penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2,
tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu
ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung redup,
terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung.
Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST,
perpanjangan interval PR, dan heart block.3
Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi
kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau,
terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya

13
terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan
ke-7. 3
Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai
hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor
serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke -
7 sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan
kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi
kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal
jantung.3
 Infeksi sekunder bakteri
Setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit sekunder
bakteri sudah sangat jarang terjadi. 3
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi Corynebacterum diphteriae untuk mencegah penularan, serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.6
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi
selama 2 - 3 minggu. 4
 Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih lama bila
terjadi miokrditis
 Oksigen bila sesak nafas
 Pemberian cairan serta diet makanan lunak yang mudah dicerna dengan
kalori tinggi
 Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
 Trakeostomi pada kasus dengan obstruksi saluran nafas berat
 Prednisone 1 – 1,5 mg/kgbb/hari, peroral, tiap 6 – 8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.

14
Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri.
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh
karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10 mm. Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1
tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain
diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi.4
Bila tes kulit / konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi. Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus
diberikan sekaligus secara intravena. Dosis serum anti difteri ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat
badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI. 4
Dosis yang diberikan seperti :
 Difteri hidung / faring ringan 40.000 U
 Difteri faring 60.000 – 80.000 U
 Difteri faring berat / laring / dengan bull neck 100.000 – 120.000 U

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam


larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan
selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat.4

15
Tabel Dosis ADS menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit11
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara Pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuskular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuskular atau Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuskular atau Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuskular atau Intravena
Kombinasi Lokasi di atas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, 80.000 – 120.000 Intravena
bullneck
Terlambat berobat (> 72 80.000 – 120.000 Intravena
jam), lokasi di mana saja

2. Antibiotik
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000
KI/BB/hari selama 7-10 hari atau 25.000 – 50.000 U/kgbb/hari intra
muscular, tiap 12 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari
berturut-turut negative (-).4
Bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 - 50 mg/kg/hari, di bagi
dalam 4 dosis maksimal 2gr/ hari, peroral atau intravena, tiap 6 jam
selama 14 hari.4
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,
melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin.11,12 Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50
mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram
15
per hari), Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari , kristal aqueous
pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV
atau IM), atau Penisilin prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis
terbagi setiap 12 jam IM).12 Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa
pasien dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari.
Eliminasi bakteri harus dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang

16
negatif dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam
setelah terapi selesai. Terapi dengan eritromisin diulang apabila hasil
kultur didapatkan C. diphteriae.12

Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini
pada difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria
yang disertai gejala. 11
- Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)
- Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk
mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. 11
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian
diturunkan dosisnya bertahap. 11
Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar
hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin
umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. 11

Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai
tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta
gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui,
pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat
imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. 11,12

Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama

17
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi /
adenoidektomi.

Tabel Pengobatan terhadap Kontak Difteria

Biakan Uji Schick Tindakan


(-) (-) Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier: penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1
minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin
40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status
imunisasi

2.10 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada
umumnya, setelah anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini
sangat rendah sehingga perlu imunisasi.6
Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria
lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak
mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya
(karier) atau menderita difteria ringan.6
Pengobatan yang dapat diberikan pada karier adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi. 6

Imunisasi
Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteria sampai 6 bulan. Sedangkan imunitas aktif diperoleh
setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta

18
imunisasi toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan
uji Schick dan uji Moloney.6
Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas)
seorang terhadap difteria. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan
toksin difteria yang dilemahkan secara intrakutan. Bila tidak terdapat
kekebalan (tidak mempunyai antitoksin), toksin akan menimbulkan
nekrosis jaringan; maka hasil disebut positif. Demikian sebaliknya, apabila
seorang mempunyai antitoksin, tidak mempunyai antitoksin, tidak
menimbulkan reaksi dan hasil dinyatakan negatif. 6
Uji kepekaan Moloney, lebih menentukan sensitivitas terhadap
produk bakteri dari basil difteria. Dilakukan dengan cara memberikan 0,1
ml larutan toksoid difteria secara intradermal. Reaksi positif bila dalam 24
jam timbul eritema > 10 mm, yang berarti bahwa :
o pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
o pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya.7
Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid
difteria (alum-precipitated toxoid) yang kemudian digabung dengan
toksoid tetanus dan vaksin pertussis dalam bentuk vaksin DTP.3
Lama kekebalan sesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid
difteria merupakan masalah yang penting diperhatikan. Beberapa
penelitian serologic membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah
kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak. Booster
pada sangat diperlukan untuk meningkatkan kekebalan, diberikan baik
setahun setelah DTP3 maupun pada usia 4-5 tahun.3

19
Gambar 4. Jadwal Imunisasi 20176

Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih
baik daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain.
Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih
dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. 8
Kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena:9
1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya
membrana difteria
2) adanya miokarditis dan gagal jantung
3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai
penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa;
walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. 10

20
BAB III
KESIMPULAN

Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di terapi dengan


segera, oleh karena itu bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam
mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai
tempat di dunia tetapi masih terdapat beberapa kasus yang terkena pada anak yang
kadang dengan tanda dan gejala yang tidak khas.2
Penyebab dari penyakit difteri adalah C diphtheriae yang merupakan
kuman gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan
memperlihatkan bentuk seperti tulisan China. Masa inkubasi kuman 2-5 hari,
dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,90C. 2
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal,
difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri
konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri
tonsil faring. 3
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit
ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian
dalam (kultur). 3
Dasar dari terapi adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C.
diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotik penisilin dan eritromisin sangat efektif
untuk kebanyakan strain C. diphtheriae. 4
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.9
Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan
memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan
pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuskular untuk anak kurang dari 7 tahun
dan pemberian DT 0,5 mL intramuskular untuk anak lebih dari 7 tahun.6

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. T.H.Rampengan, Sp. A(K) & Dr. I.R. Laurentz, Sp. A. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC; 2008.
2. Richard E. Behrman, et al. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 6. Jakarta: Elsevier;
2015.
3. Abdul Latief, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Sagung Seto;
2013.
4. FKUI. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: FKUI; 2010.
5. Fajriyah, Ishmatul. Hubungan Pengetahuan Ibu Dan Dukungan Keluarga
Dengan Status Imunisasi TD Pada Sub Pin Difteri. Jurnal Berkala
Epidemiologi; 2014: 2(3).
6. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/
7. Iriani Yulia, et al. Kadar Immunoglobulin G-Difteri dan Tetanus pada Anak
Sekolah Dasar Kelas Satu. Sari Pediatri; 2012: 14( 1).
8. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Current Evidences in
Pediatric Emergencies Management. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2014
9. Fadlyana Eddy, et al. Imunogenisitas dan Keamanan vaksin Tetanus Difteri
(Td) pada Remaja sebagai salah satu upaya mencegah Reemerging Disease di
Indonesia. Sari Pediatri; 2013: 15(3).
10. Julitasari Sundoro, et al. Protektivitas, Reaksi Lokal, dan Reaksi Sistemik
setelah Imunisasi dengan Vaksin Td pada Anak Sekolah Dasar; 2014: 46(3).
11. Anonim. 2010. Difteria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Hal 312-21.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI
12. Buescher, E Stephen. 2007. Diphtheria in Nelson Textbook of Pediatrics 18th
Chapter 186. USA: Saunders
13. Lubis, Bidasari. 2005. Penelitian Status Imunitas terhadap Penyakit Difteri
dengan Schick Test pada Anak Sekolah Taman Kanak-kanak Kotamadya
Medan pada Repository Universitas Sumatera Utara 2005. Medan: eUSU

22
14. Abdul Rahim, Mathilda Lintong, Suharto dan Suharno Josodiwondo. 1994.
Corynebacterium pada Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran edisi Revisi Hal.
128-9. Jakarta: Binarupa Aksara.
15. Wharton, Melinda. 2004. Diphtheria in Krugman's Infectious Diseases of
Children, 11th ed. USA: Mosby.

23

Anda mungkin juga menyukai