Refarat Difteri (Saribah Latupono 2016-84-041)
Refarat Difteri (Saribah Latupono 2016-84-041)
Disusun Oleh:
SARIBAH LATUPONO
NIM. 2016-84-041
Pembimbing:
dr. Robby Kalew, Sp.A
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
anugerah dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat
berjudul “Penyakit Difteri pada anak” ini sesuai dengan waktu yang diharapkan.
Dalam penyusunan Refarat ini telah banyak pihak yang turut membantu.
Penulis menyadari bahwa Referat yang penulis buat ini belum mencapai
kesempurnaan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari
Akhir kata, semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi orang lain yang hendak
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
2.2 Etiologi................................................................................................... 2
2.3 Epidemiologi.......................................................................................... 3
2.4 Patogenesis............................................................................................. 5
2.6 Diagnosis................................................................................................ 8
2.10 Pencegahan.......................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 19
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-
membran pada kulit dan atau mukosa.1
2.2. Etiologi
5
pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C. diphtheria. Ciri khas C.
diphtheria adalah kemampuan memproduksi eksotoksin baik in vivo dan in
vitro.3
2.3. Epidemiologi
Difteri tersebar luas ke seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara
nyata setelah perang dunia kedua, setelah penggunaan toksoid difteria.
Demikian pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar 5-10%. Delapan
puluh persen kasus terjadi di bawah umur 15 tahun, meskipun demikian
dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status
imunitas populasi setempat.2
Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat
dan Eropa, karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama
beberapa dekade. Namun, difteri masih sering ditemukan pada negara-negara
berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah. Faktor sosial
ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas
kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini. Orang-orang
yang berada pada risiko tertular difteri meliputi:3
Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru
Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak
sehat
Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan
Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri
6
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu
bisa menjadi media penularan (vehicle of transmission).3
Difteria kulit, meskipun jarang dibahas, memegang peranan yang cukup
penting secara epidemiologik. Pada suatu saat ketika angka kejadian difteria
faucial di beberapa negara mulai memudar, difteria kulit dilaporkan meningkat.
Hal yang penting bahwa dalam suatu populasi tertentu dengan karier kulit dalam
proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap difteria faucial, namun
sebalikya berperan pula dalam terjadinya wabah difteri faucial. 3
Di Indonesia, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur,
Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR)
11,7-31,9%. Di Jawa Timur sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan
jumlah kematian 11 orang dan pada tanggal 10 Oktober 2011 Provinsi Jawa
Timur dinyatakan berstatus KLB.
7
2.4. Patogenesis
Kuman Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit,
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas
bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling,
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari
penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang
mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai
dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A
ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase yang
aktif.4
Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan
bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan
inaktivasi enzim translokase yang menyebabkan proses translokasi tidak
berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan jaringan
nekrotik, membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi
toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin melebar dan terbentuklah
eksudat fibrin.Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna
kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Bila
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran
akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.5
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan
atau sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau
cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
8
ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan
penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten
yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya
terjadi dalam 10 - 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 -
7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan
degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan sistem
konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemik, kadang-
kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.4
9
dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat
dibuat. 3
Gambar 2. Membran putih kelabu yang menutupi tonsil dan dinding faring
10
Gambar 3. Pseudomembran dan bull neck
2.5.3 Difteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada
difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring
mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring
sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala
klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups
yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan
batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan
membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.2
2.6 Diagnosis
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis.
Penentuan kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody
11
technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan
isolasi C.diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenisitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).1
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis1
Kontak dengan penderita difteri
Suara serak
Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas
Demam tak begitu tinggi
Pemeriksaan Fisik1
Tonsilitis, faringitis, rinitis
Limfadenitis servikal + edema jaringan lunak leher (bullneck)
Sangat penting untuk dignosis ditemukannya membran pada tempat
infeksi yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat.
Laboratorium1
Hitung leukosit darah tepi dapat ↑
Kadang-kadang timbul anemia
Protein likuor pada neuritis difteria sedikit ↑
Urea N darah pada nekrosis tubular akut dapat ↑
Diagnosis pasti ; Kuman difteria pada sediaan langsung / biakan (+)
12
Difteria Laring : laringitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain
yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing
dalam laring.
Difteria Kulit : impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus dan stafilokokus.
2.8 Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau
akibat aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria dapat dikelompokkan
dalam obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung,
saraf dan ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.3
Obtruksi jalan nafas
Disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan
servikal.3
Dampak toksin
Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa
miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin.3
Pada umumnya penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2,
tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu
ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung redup,
terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung.
Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST,
perpanjangan interval PR, dan heart block.3
Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi
kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau,
terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya
13
terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan
ke-7. 3
Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai
hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor
serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke -
7 sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan
kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi
kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal
jantung.3
Infeksi sekunder bakteri
Setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit sekunder
bakteri sudah sangat jarang terjadi. 3
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi Corynebacterum diphteriae untuk mencegah penularan, serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.6
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi
selama 2 - 3 minggu. 4
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih lama bila
terjadi miokrditis
Oksigen bila sesak nafas
Pemberian cairan serta diet makanan lunak yang mudah dicerna dengan
kalori tinggi
Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Trakeostomi pada kasus dengan obstruksi saluran nafas berat
Prednisone 1 – 1,5 mg/kgbb/hari, peroral, tiap 6 – 8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.
14
Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri.
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh
karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10 mm. Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1
tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain
diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi.4
Bila tes kulit / konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi. Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus
diberikan sekaligus secara intravena. Dosis serum anti difteri ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat
badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI. 4
Dosis yang diberikan seperti :
Difteri hidung / faring ringan 40.000 U
Difteri faring 60.000 – 80.000 U
Difteri faring berat / laring / dengan bull neck 100.000 – 120.000 U
15
Tabel Dosis ADS menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit11
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara Pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuskular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuskular atau Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuskular atau Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuskular atau Intravena
Kombinasi Lokasi di atas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, 80.000 – 120.000 Intravena
bullneck
Terlambat berobat (> 72 80.000 – 120.000 Intravena
jam), lokasi di mana saja
2. Antibiotik
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000
KI/BB/hari selama 7-10 hari atau 25.000 – 50.000 U/kgbb/hari intra
muscular, tiap 12 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari
berturut-turut negative (-).4
Bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 - 50 mg/kg/hari, di bagi
dalam 4 dosis maksimal 2gr/ hari, peroral atau intravena, tiap 6 jam
selama 14 hari.4
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,
melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin.11,12 Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50
mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram
15
per hari), Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari , kristal aqueous
pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV
atau IM), atau Penisilin prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis
terbagi setiap 12 jam IM).12 Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa
pasien dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari.
Eliminasi bakteri harus dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang
16
negatif dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam
setelah terapi selesai. Terapi dengan eritromisin diulang apabila hasil
kultur didapatkan C. diphteriae.12
Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini
pada difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria
yang disertai gejala. 11
- Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)
- Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk
mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. 11
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian
diturunkan dosisnya bertahap. 11
Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar
hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin
umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. 11
Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai
tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta
gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui,
pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat
imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. 11,12
Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
17
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi /
adenoidektomi.
2.10 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada
umumnya, setelah anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini
sangat rendah sehingga perlu imunisasi.6
Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria
lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak
mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya
(karier) atau menderita difteria ringan.6
Pengobatan yang dapat diberikan pada karier adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi. 6
Imunisasi
Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteria sampai 6 bulan. Sedangkan imunitas aktif diperoleh
setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta
18
imunisasi toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan
uji Schick dan uji Moloney.6
Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas)
seorang terhadap difteria. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan
toksin difteria yang dilemahkan secara intrakutan. Bila tidak terdapat
kekebalan (tidak mempunyai antitoksin), toksin akan menimbulkan
nekrosis jaringan; maka hasil disebut positif. Demikian sebaliknya, apabila
seorang mempunyai antitoksin, tidak mempunyai antitoksin, tidak
menimbulkan reaksi dan hasil dinyatakan negatif. 6
Uji kepekaan Moloney, lebih menentukan sensitivitas terhadap
produk bakteri dari basil difteria. Dilakukan dengan cara memberikan 0,1
ml larutan toksoid difteria secara intradermal. Reaksi positif bila dalam 24
jam timbul eritema > 10 mm, yang berarti bahwa :
o pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
o pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya.7
Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid
difteria (alum-precipitated toxoid) yang kemudian digabung dengan
toksoid tetanus dan vaksin pertussis dalam bentuk vaksin DTP.3
Lama kekebalan sesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid
difteria merupakan masalah yang penting diperhatikan. Beberapa
penelitian serologic membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah
kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak. Booster
pada sangat diperlukan untuk meningkatkan kekebalan, diberikan baik
setahun setelah DTP3 maupun pada usia 4-5 tahun.3
19
Gambar 4. Jadwal Imunisasi 20176
Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih
baik daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain.
Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih
dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. 8
Kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena:9
1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya
membrana difteria
2) adanya miokarditis dan gagal jantung
3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai
penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa;
walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. 10
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. T.H.Rampengan, Sp. A(K) & Dr. I.R. Laurentz, Sp. A. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC; 2008.
2. Richard E. Behrman, et al. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 6. Jakarta: Elsevier;
2015.
3. Abdul Latief, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Sagung Seto;
2013.
4. FKUI. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: FKUI; 2010.
5. Fajriyah, Ishmatul. Hubungan Pengetahuan Ibu Dan Dukungan Keluarga
Dengan Status Imunisasi TD Pada Sub Pin Difteri. Jurnal Berkala
Epidemiologi; 2014: 2(3).
6. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/
7. Iriani Yulia, et al. Kadar Immunoglobulin G-Difteri dan Tetanus pada Anak
Sekolah Dasar Kelas Satu. Sari Pediatri; 2012: 14( 1).
8. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Current Evidences in
Pediatric Emergencies Management. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2014
9. Fadlyana Eddy, et al. Imunogenisitas dan Keamanan vaksin Tetanus Difteri
(Td) pada Remaja sebagai salah satu upaya mencegah Reemerging Disease di
Indonesia. Sari Pediatri; 2013: 15(3).
10. Julitasari Sundoro, et al. Protektivitas, Reaksi Lokal, dan Reaksi Sistemik
setelah Imunisasi dengan Vaksin Td pada Anak Sekolah Dasar; 2014: 46(3).
11. Anonim. 2010. Difteria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Hal 312-21.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI
12. Buescher, E Stephen. 2007. Diphtheria in Nelson Textbook of Pediatrics 18th
Chapter 186. USA: Saunders
13. Lubis, Bidasari. 2005. Penelitian Status Imunitas terhadap Penyakit Difteri
dengan Schick Test pada Anak Sekolah Taman Kanak-kanak Kotamadya
Medan pada Repository Universitas Sumatera Utara 2005. Medan: eUSU
22
14. Abdul Rahim, Mathilda Lintong, Suharto dan Suharno Josodiwondo. 1994.
Corynebacterium pada Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran edisi Revisi Hal.
128-9. Jakarta: Binarupa Aksara.
15. Wharton, Melinda. 2004. Diphtheria in Krugman's Infectious Diseases of
Children, 11th ed. USA: Mosby.
23