Anda di halaman 1dari 33

KOMA HEPATIKUM

Definisi
Hati merupakan salah satu organ yang sangat berperan penting dalam
mengatur metabolisme tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis
bahan-bahan yang penting seperti sintesis protein, pembentukan glukosa serta
proses katabolisme yaitu dengan melakukan detoksifikasi bahan-bahan seperti
amonia, berbagai jenis hormone, obat-obatan, dan sebagainya. Selain itu hati juga
berperan sebagai penyimpan bahan-bahan seperti glikogen dan vitamin serta
memelihara keseimbangan aliran darah splanknikus.
Adanya kerusakan hati akan mengganggu fungsi-fungsi tersebut sehingga
dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat-zat yang
bersifat toksik. Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati tersebut
merupakan gangguan neuropsikiatri yang disebut sebagai koma hepatik atau
ensefalopati hepatik.
Perjalanan klinis koma hepatik dapat subklinis, apabila tidak begitu nyata
gambaran klinisnya dan hanya dapat diketahui dengan cara-cara tertentu. Angka
kekerapan (prevalensi) ensefalopati subklinis berkisar antara 30% sampai 88% pada
pasien sirosis hati.

Etiologi dan Patogenesis


Patogenesis koma hepatikum sampai saat ini belum diketahui secara pasti hal
ini disebabkan karena :
1. Masih terdapatnya perbedaan mengenai dasar neurokimia/neurofisiologis
2. Heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda
dalam jaringan otak
3. Ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan biokimia
saling berkaitan satu dengan lainnya
Sebagai konsep umum dikemukakan bahwa koma hepatik terjadi akibat
akumulasi dari sejumlah zat neuroaktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat
tersebut dalam sirkulasi sistemik.
Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan pada patogenesis koma hepatik
antara lain adalah :
1. Hipotesis amoniak
Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam
lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati amonia diubah
menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi glutamin pada sel hati perivenus,
sehingga jumlah amonia yang masuk ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik.
Glutamin juga diproduksi oleh otot (50%), hati, ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit
hati kronis akan terjadi gangguan metabolisme amonia sehingga terjadi
peningkatan konsentrasi amonia sebesar 5-10 kali lipat.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa amonia secara invitro akan
mengubah loncatan (fluk) klorida melalui membran neural dan akan mengganggu
keseimbangan potensial aksi sel saraf. Di samping itu, amonia dalam proses
detoksifikasi akan menekan eksitasi transmiter asam amino, aspartat, dan
glutamate.
2. Hipotesis toksisitas sinergik
Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia seperti
merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lain-lain.
Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan berperan
menghambat NaK-ATP-ase.
Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek metabolik
seperti gangguan oksidasi, fosforilasi dan penghambatan konsumsi oksigen serta
penekanan aktivitas NaK-ATP-ase sehingga dapat mengakibatkan koma hepatik
reversibel.
Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilalanin dapat menekan
aktivitas otak dan enzim hati monoamine oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat
dehidrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti amonia
yang mengakibatkan koma hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut akan
memperkuat sifat-sifat neurotoksisitas dari amonia.
3. Hipotesis neurotransmiter palsu
Pada keadaan normal pada otak terdapat neurotransmiter dopamin dan
noradrenalin, sedangkan pada keadaan gangguan fungsi hati, neurotransmiter
otak akan diganti oleh neurotransmiter palsu seperti oktapamin dan
feniletanolamin, yang lebih lemah dibanding dopamin atau noradrenalin.
Beberapa faktor yang memengaruhi adalah :
a. Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi
oktapamin yang melalui aliran pintas masuk ke sirkulasi otak
b. Pada gagal hati seperti pada sirosis hati akan terjadi penurunan asam amino
rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin, yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti
tirosin, fenilalanin, dan triptopan karena penurunan ambilan hati.
Rasio antara BCAA dan AAA normal antara 3-3,5 akan menjadi lebih kecil
dari 1,0.
Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting
dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi neurotransmiter pada
susunan saraf.
4. Hipotesis GABA dan Benzodiazepin
Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmiter yang merangsang
dan yang menghambat fungsi otak merupakan faktor yang berperan pada
terjadinya koma hepatic. Terjadi penurunan transmiter yang memiliki efek
merangsang seperti glutamate, aspartat dan dopamin sebagai akibat
meningkatnya amonia dan gama aminobutirat (GABA) yang menghambat
transmisi impuls.
Efek GABA yang meningkat bukan karena influks yang meningkat ke
dalam otak tapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat suatu
substansi yang mirip benzodiazepin.

Manifestasi Klinis
Koma hepatik merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang dapat dijumpai
pada pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun kronis. Pada umumnya
gambaran klinis berupa kelainan mental, kelainan neurologis, terdapatnya kelainan
parenkim hati serta kelainan laboratorium.
Sesuai dengan perjalanan penyakit hati maka koma hepatik dibedakan atas:
1. Koma hepatik akut ditemukan pada pasien hepatitis virus, hepatitis toksik obat,
perlemakan hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim hati yang fulminan
tanpa faktor pencetus. Perjalanan penyakit eksplosif, ditandai dengan delirium,
kejang disertai dengan edema otak. Dengan perawatan intensif angka kematian
masih tinggi sekitar 80%. Kematian terutama disebabkan edema serebral yang
patogenesisnya belum jelas, kemungkinan akibat perubahan permeabilitas sawar
otak dan inhibisi neuronal (Na+ dan K+) ATP-ase, serta perubahan osmolar
karena metabolisme amonia.
2. Pada penyakit hati kronis dengan koma portosistemik, perjalanan tidak progresif
sehingga gejala neuropsikiatri terjadi pelan-pelan dan dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus seperti azotemia, sedatif,
analgetik, perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolik, kelebihan protein,
infeksi, obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan pemakaian diuretik akan
dapat mencetuskan koma hepatik.
Pada permulaan perjalanan koma hepatikum gambaran gangguan mental
mungkin berupa perubahan dalam mengambil keputusan dan gangguan
konsentrasi. Keadaan ini dapat dinilai dengan uji psikomotor atau pada pasien
dengan intelektual cukup dapat dites dengan membuat gambar-gambar atau dengan
uji hitung angka (UHA), Reitan trail making test, dengan menghubungkan
angka-angka dari 1 sampai 25 kemudian diukur lama penyelesaian oleh pasien
dalam satuan detik.

Diagnosis
Diagnosis koma hepatik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan dibantu
dengan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang antara lain
adalah
1. Elektroensefalografi (EEG)
Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian amplitudo dan menurunnya jumlah
siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal
Alfa (8-12 Hz).
2. Tes Psikometri
Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang
mengalami koma hepatik subklinis. Penggunaannya sangat sederhana dan
mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak mahal. Tes
ini pertama kali dipakai oleh Reitan yang dipergunakan secara luas pada ujian
personal militer Amerika kemudian dilakukan modifikasi dari tes ini yang disebut
sebagai Uji Hubung Angka (UHA) atau Number Connection Test (NCT). Dengan
UHA tingkat ensefalopati dibagi atas 4 kategori.
Tes psikometri UHA dapat dipakai untuk menilai tingkat ensefalopati hepatik
terutama pada pasien sirosis hati yang rawat jalan.
3. Pemeriksaan amonia darah
Amonia merupakan hasil akhir dari metabolisme asam amino baik yang berasal
dari dekarboksilasi protein maupun hasil deaminasi glutamine pada usus dari
hasil katabolisme protein otot. Dalam keadaan normal amonia dikeluarkan oleh
hati dengan pembentukan urea. Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hati,
terjadi peningkatan konsentrasi amonia darah karena gangguan fungsi hati dalam
mendetoksifikasi amonia serta adanya pintas porto-sistemik.

Diagnosis Banding
1. Koma akibat intoksikasi obat-obatan dan alkohol
2. Trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan subdural,
dan perdarahan epidural
3. Tumor otak
4. Koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremia, koma hipoglikemia,
koma hiperglikemia
5. Epilepsi

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan koma hepatik harus memperhatikan apakah koma hepatik
yang terjadi adalah primer atau sekunder. Pada koma hepatik primer terjadinya koma
adalah akibat kerusakan parenkim hati yang berat tanpa adanya faktor pencetus
(presipitasi), sedangkan pada koma hepatik sekunder terjadinya korna dipicu oleh
faktor pencetus.
Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma hepatik adalah:
1. Mengobati penyakit dasar hati
2. Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus
3. Mengurangi atau mencegah pembentukan influks toksin-toksin nitrogen ke
jaringan otak antara lain dengan cara:
a. Menurunkan atau mengurangi asupan makanan yang mengandung protein
b. Menggunakan laktulosa dan antibiotika
c. Membersihkan saluran cema bagian bawah
d. Upaya suportif dengan memberikan kalori yang cukup serta mengatasi
komplikasi yang mungkin ditemui seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cema,
dan keseimbangan elektrolit.
Secara umum tatalaksana pasien dengan koma hepatik adalah memperbaiki
oksigenasi jaringan. Pemberian vitamin terutama golongan vitamin B, memperbaiki
keseimbangan elektrolit dan cairan, serta menjaga agar jangan terjadi dehidrasi.
Pemberian makanan berasal dari protein dikurangi atau dihentikan sementara dan
dapat kembali diberikan setelah terdapat perbaikan. Protein dapat ditingkatkan secara
bertahap, misalnya dari 10 gram menjadi 20 gram sehari selama 3-5 hari disesuaikan
dengan respon klinis, dan bila keadaan telah stabil dapat diberikan protein 40-60 gram
sehari.
Sumber protein terutama dari campuran asam amino rantai cabang.
Pemberian asam amino ini diharapkan akan menormalkan keseimbangan asam amino
sehingga neurotransmiter asli dan palsu akan berimbang dan kemungkinan dapat
meningkatkan metabolisme amonia di otot.
Tujuan pemberian asam amino rantai cabang pada koma hepatik
(ensepalopati hepatik) antara lain adalah:
1. Untuk mendapatkan energi yang dibutuhkan tanpa memperberat fungsi hati
2. Pemberian asam amino rantai cabang akan mengurangi asam amino aromatik
dalam darah
3. Asam amino rantai cabang akan memperbaiki sintesis katekolamin pada
jaringan perifer
4. Pemberian asam amino rantai cabang dengan dekstrosa hipertonik akan
mengurangi hiperaminosidemia.
Selanjutnya dapat dipergunakan laksansia, antibiotika, atau keduanya.
Pemakaian laksansia laktulosa diberikan secara oral dengan dosis 60-120ml perhari
untuk merangsang defekasi.
Laktulosa merupakan suatu disakarida sintetis yang tidak diabsorbsi oleh usus
halus, tetapi dihidrolisis oleh bakteri usus besar, sehingga terjadi lingkungan dengan pH
asam yang akan menghambat penyerapan amoniak. Selain itu frekuensi defekasi
bertambah sehingga memperpendek waktu transit protein diusus. Penggunaan
laktulosa bersama antibiotika yang tidak diabsorbsi usus seperti neomisin, akan
memberikan hasil yang lebih baik.
Neomisin diberikan 2-4 gram perhari baik secara oral atau secara
enema, walaupun pemberian oral lebih baik kecuali terdapat tanda-tanda ileus.
Metronidazol 4 x 250 mg perhari merupakan alternatif.
Upaya membersihkan saluran cerna bagian bawah dilakukan terutama
kalau terjadi perdarahan saluran cerna (hematemesis/melena) agar darah
sebagai sumber toksin nitrogen segera dikeluarkan.

Prognosis
Pada koma hepatik portosistemik sekunder, bila faktor-faktor pencetus
teratasi, maka dengan pengobatan standar hampir 80% pasien akan kembali sadar.
Pada pasien dengan koma hepatik primer dan penyakit berat prognosis akan lebih
buruk bila disertai hipoalbuminemia, ikterus serta asites. Sementara koma hepatik
akibat gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat sadar kembali setelah
dirawat pada pusat-pusat kesehatan yang maju.

KOMA DIABETIKUM
Ketoasidosis Metabolik
Definisi
Koma diabetikum sering dikaitkan dengan ketoasidosis diabetikum (KAD)
adalah keadaan ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis. Dapat disertai
pula dengan gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini
terkadang disebut “akselerasi puasa” dan merupakan gangguan metabolisme yang
paling serius pada diabetes ketergantungan insulin.

Etiologi
KAD disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolute yang terjadi pada
penderita IDDM (atau DM tipe II).
Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) atau diabetes melitus tergantung
insulin disebabkan oleh destruksi sel B pulau langerhans akibat proses autoimun.
Sedangkan non insulin dependen diabetik melitus (NIDDM) atau diabetes melitus
tidak tergantung insulin disebabkan kegagalan relatif sel B dan resistensi insulin.
Resistensu insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa
oleh hati. Sel B tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya. Artinya
terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi
insulin pada perangsangan sekresi insulin, berarti sel B pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa.

Klasifikasi
Ketoasidosis diabetik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu akibat
hiperglikemia dan akibat ketosis, yang sering dicetuskan oleh faktor infeksi dan stress
fisik maupun emosional; respons hormonal terhadap stress mendorong peningkatan
proses katabolik . Menolak terapi insulin

Patofisiologi
Diawali dengan defisiensi insulin bersamaan dengan peningkatan konsentrasi
glukagon. Penurunan insulin sering terjadi akibat keadaan fisik seperti infeksi atau
operasi, namun dapat juga oleh keadaan emosional. Kedua hal tersebut menginduksi
glukoneogenesis dengan menurunkan kadar fruktosa 2,6 diphosphate, yang berfungi
untuk menghambat glukoneogenesis. Terjadi osmosis diuretik yang mengarah pada
penurunan volume dan dehidrasi pada fase ketoasidosis. Selain itu terjadi pula
aktivasi proses ketogenik yang menginisiasi perkembangan asidosis metabolik.
Formasi badan keton didapatkan dari reaksi asam lemak bebas dari jaringan adiposa.
Saat proses ketogenesis berlangsung, didapatkan konsentrasi asam lemak bebas
dalam plasma yang tinggi. Asam lemak bebas ini kemudian akan disimpan dalam hati
sebagai trigliserida atau dikonversi menjadi VLDL (very low density lipoproteins) dan
disalurkan kembali ke sirkulasi kecuali apabila oksidasi asam lemak dalam hati
diaktifkan. Insulin yang berkurang meningkatkan pelepasan asam lemak bebas ke
dalam darah, dan glukagon di sisi lain mempercepat oksidasi asam lemak di dalam
hati melalui aksi sistem carnitine acyltransferase, suatu enzim yang bertanggung
jawab untuk transportasi asam lemak ke dalam mitokondria. Kelebihan produksi
Keaton adalah proses utama pada fase ketosis namun dihambat oleh penggunaan
perifer.

Tanda dan gejala


Gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien KAD adalah:
a. Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl)
b. Terdapat keton di urin
c. Banyak buang air kecil sehingga dapat dehidrasi
d. Sesak nafas (nafas cepat dan dalam)
e. Nafas berbau aseton
f. Badan lemas
g. Kesadaran menurun sampai koma
h. KU lemah, bisa penurunan kesadaran
i. Polidipsi, poliuria
j. Anoreksia, mual, muntah, nyeri perut
k. Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis osmotik
l. Kulit kering
m. Keringat menurun
n. Pernapasan Kusmaul karena asidosis metabolic

Faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya KAD adalah:


1. Infeksi, stres akut atau trauma
2. Penghentian pemakaian insulin atau obat diabetes
3. Dosis insulin yang kurang

Diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium
1. Glukosa.
Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian
pasien mungkin memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan
sebagian lainnya mungkin memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl atau lebih
yang biasanya bergantung pada derajat dehidrasi.
Harus disadari bahwa ketoasidosis diabetik tidak selalu berhubungan
dengan kadar glukosa darah. Sebagian pasien dapat mengalami asidosis berat
disertai kadar glukosa yang berkisar dari 100 – 200 mg/dl, sementara sebagian
lainnya mungkin tidak memperlihatkan ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar
glukosa darahnya mencapai 400-500 mg/dl.
2. Natrium.
Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler.
Untuk setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL, tingkat natrium serum
diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat natrium
serum meningkat dengan jumlah yang sesuai.
3. Kalium.
Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan
perawatan. EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di tingkat
potasium.
4. Bikarbonat.
Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH yang
rendah (6,8-7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg) mencerminkan
kompensasi respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi metabolik.
Akumulasi badan keton (yang mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil
pengukuran keton dalam darah dan urin. Gunakan tingkat ini dalam hubungannya
dengan kesenjangan anion untuk menilai derajat asidosis.
5. Sel darah lengkap (CBC).
Tinggi sel darah putih (WBC) menghitung (> 15 X 109 / L) atau ditandai
pergeseran kiri mungkin menyarankan mendasari infeksi.
6. Gas darah arteri (ABG).
pH sering <7.3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang pH
measurements. Brandenburg dan Dire menemukan bahwa pH pada tingkat gas
darah vena pada pasien dengan KAD adalah lebih rendah dari pH 0,03 pada
ABG. Karena perbedaan ini relatif dapat diandalkan dan bukan dari signifikansi
klinis, hampir tidak ada alasan untuk melakukan lebih menyakitkan ABG. Akhir
CO2 pasang surut telah dilaporkan sebagai cara untuk menilai asidosis juga.
7. Keton.
Diagnosis memadai ketonuria memerlukan fungsi ginjal. Selain itu,
ketonuria dapat berlangsung lebih lama dari asidosis jaringan yang
mendasarinya.
8. β-hidroksibutirat.
Serum atau hidroksibutirat β kapiler dapat digunakan untuk mengikuti
respons terhadap pengobatan. Tingkat yang lebih besar dari 0,5 mmol / L
dianggap normal, dan tingkat dari 3 mmol / L berkorelasi dengan kebutuhan untuk
ketoasidosis diabetik (KAD).
9. Urinalisis (UA)
Cari glikosuria dan urin ketosis. Hal ini digunakan untuk mendeteksi infeksi
saluran kencing yang mendasari.
10. Osmolalitas
Diukur sebagai 2 (Na +) (mEq / L) + glukosa (mg / dL) / 18 + BUN (mg / dL)
/ 2.8. Pasien dengan diabetes ketoasidosis yang berada dalam keadaan koma
biasanya memiliki osmolalitis > 330 mOsm / kg H2O. Jika osmolalitas kurang dari
> 330 mOsm / kg H2O ini, maka pasien jatuh pada kondisi koma.

11. Fosfor
Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk,
alkoholisme kronis), maka tingkat fosfor serum harus ditentukan.
12. Tingkat BUN meningkat.
Anion gap yang lebih tinggi dari biasanya.
13. Kadar kreatinin
Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga dapat
terjadi pada dehirasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan kadar kreatinin
dan BUN serum yang terus berlanjut akan dijumpai pada pasien yang mengalami
insufisiensi renal.

Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl). Biasanya tes
ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah
kondisi stress.
2. Gula darah puasa normal atau diatas normal.
3. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
4. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
5. Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya
aterosklerosis.
Penatalaksanaan
1. Cairan
Pasien penderita KAD biasanya mengalami depresi cairan yang hebat.
NaCl 0,9 % diberikan 500-1000 ml/jam selama 2-3 jam. Pemberian cairan normal
salin hipotonik (0,45 %) dapat digunakan pada pasien-pasien yang menderita
hipertensi atau hipernatremia atau yang beresiko mengalami gagal jantung
kongestif. Infus dengan kecepatan sedang hingga tinggi (200-500 ml/jam) dapat
dilanjutkan untuk beberapa jam selanjutnya.
2. Insulin
Insulin intravena paling umum dipergunakan. Insulin intramuskular adalah
alterantif bila pompa infusi tidak tersedia atau bila akses vena mengalami
kesulitan, misalnya pada anak anak kecil. Asidosis yang terjadi dapat diatasi
melalui pemberian insulin yang akn menghambat pemecahan lemak sehingga
menghentikan pembentukan senyawa-senyawa yang bersifat asam. Insulin
diberikan melalui infus dengan kecaptan lambat tapi kontinu .Kadar glukosa harus
diukur tiap jam. Dektrosa ditambahkan kedalam cairan infus bila kadar glukosa
darah mencpai 250 – 300 mg/dl untuk menghindari penurunan kadar glukosa
darah yang terlalu cepat.
3. Kalium
Cairan fisiologis NaCl 0.9%, akan pulih kembali selama defisit cairan dan
elektrolite pasien semakin baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu
dengan menggunakan pompa otomatis, dan suplemen potasium ditambahkan
kedalam regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien
penderita KAD (ketoasidosis diabetikum) adalah melalui monitoring klinis dan
biokimia yang cermat.

Komplikasi
1. Ginjal diabetik ( Nefropati Diabetik )
2. Kebutaan ( Retinopati Diabetik )
3. Syaraf ( Neuropati Diabetik )
4. Kelainan Jantung.
5. Hipoglikemia.
6. Impotensi.
7. Hipertensi.

Prognosis
Prognosis dari ketoasidosis diabetik biasanya buruk, tetapi sebenarnya
kematian pada pasien ini bukan disebabkan oleh sindom hiperosmolarnya sendiri tetapi
oleh penyakit yang mendasar atau menyertainya. Angka kematian masih berkisar
30-50%. Di negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia
lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi.

Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik

Hiperglikemia, hiperosmoler, koma non ketotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik


akut diabetes, biasanya pada penderita diabetes mellitus (DM) tipe 2 yang lebih tua. Pada
kondisi ini, terjadi hiperglikemia berat (kadar glukosa serum > 600 mg/dL) yang tanpa disertai
ketosis. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat.
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila tidak segera ditanganin

Etiologi

Koma hiperosmolar hipoglikemik nonketotik dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai


berikut :
1. Infeksi, misalnya adanya selulitis, infeksi gigi, pneumonia, sepsis, dan ISK

2. Pengobatan, misalnya pada penggunaan obat kemoterapi, glukokortikoid, fenitoin,


diuretic tiazid, dan propanolol.
3. Noncompliance, maksudnya adalah ketidakpatuhan penderita Diabetes Melitus terhadap
penatalaksanaan yang dianjurkan, misalnya dalam hal mengkonsumsi makanan, tidak
patuh meminum obat, melewatkan jadwal penyuntikan, dan lain-lain.
4. Diabetes Melitus tidak terdiagnosis.

5. Penyalahgunaan obat, seperti alkohol dan kokain.

6. Penyakit penyerta, missal adanya infark miokard akut, tumor yang menghasilkan
hormone adrenokortikotropin, kejadian serebrovaskular, sindrom cushing, hipertemia,
hipotermia, thrombosis mesenterika, pancreatitis, emboli paru, gagal ginjal, luka bakar
berat, tirotoksitosis, dll.
Patofisiologi
Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan kekurangan
hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan
pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan
hormon glukagon menyebabkan glikogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa
plasma. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar
serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan
volume cairan intraselluler. Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan menyebabkan
kekurangan cairan .
Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul
glikosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan (poliuria). Dampak
dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan dan diikuti hilangnya
potasium,sodium dan phospat.
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen
sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan
hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila
terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa
dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan
dikeluarkan bersama urin yang disebut glukosuria.
Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK)
adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal
dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air.
Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu.
Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada
sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa
meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah,
terutama jika terdapat resistensi insulin.
Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut
poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini akan merangsang pusat haus
sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus
yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat
lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik.
Kemudian produksi insulin yang kurang pun akan menyebabkan menurunnya
transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan
karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan
pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak
makan yang disebut poliphagia. Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan
mengakibatkan hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat.
Disfungsi sistem saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung
menjadi koma. Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas darah dimana dapat
mengakibatkan pembentukan bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral, jantung.
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak
dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudian
hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan
gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan stadium terakhir dari proses
hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi.

Diagnosis

Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM, dan
pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat hipoglikemi oral. Seringkali
dijumpai penggunaan obat yang semakin memperberat masalah, misalnya diuretic
(Soewondo, 2009).
Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang.
Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan
dengan KAD. Kadang, pasien dating dengan disertai keluhan saraf seperti letargi,
disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tamda dehidrasi berat seperti turgor yang
buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut
nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu
tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah
rehidrasi adekuat.
Perubahan pada status mental dapat bekisar dari disorientasi sampai koma. Derajat
gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif
serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol
per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, local, maupun,
mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi deficit
cairan.
Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK adalah konsentrasi glukosa
darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan osmolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm
per kg air [normal = 290 ± 5]), dengan pH lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan
atau tidak. Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion gap yang
ringan (10 – 12). Jika anion gap nya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis diferensial
asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan penggunaan diuretik tiazid dapat
menyebabkan alkalosis metabolik yang dapat menutupi tingkat keparahan asidosis.
Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen
(BUN), dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak
kehilangan berbagai macam elektrolit.

Kehilangan Elektrolit pada HHNK

Elektrolit Hilang
Natrium 7 – 13 mEq per kg
Florida 3 – 7 mEq per kg
Kalium 5 – 15 mEq per kg
Fosfat 70 – 140 mEq per kg
Kalsium 50 – 100 mEq per kg
Magnesium 50 – 100 mEq per kg
Air 100 – 200 mEq per kg

Dalam penemuan laboratorium awal pada koma hiperosmolar dengan seri Brookiyn
dan Washington, didapatkan data sebagai berikut :

Penemuan Laboratorium Awal pada Koma Hiperosmolar

Seri : Brookiyn Washington


Umur, tahun 60 57
Glukosa, mmol/L (mg/dl) 65(1166) 54(976)
Natrium, mmol/L 144 142
Kalium, mmol/L 5 5
Klorida, mmol/L 99 98
Bikarbonat, mmol/L 17 22
BUN, mmol/L (mg/dl) 31(87) 23(65)
Kreatinin, mmol/L (mg/dl) 490(5,5) -
Asam lemak bebas, mmol/L 0,73 0,96
Osmolaritas, mosmol/Liter 384 374
Data rata-rata dari 33 kejadian koma hiperosmoler (AA Arieff, HJ Carrol, Medicine
51:73, 1972)

Data rata-rata dari 20 kejadian koma hiperosmoler (JE Gerich et al, Diabetes 20:28,
1971)
Penatalaksanaan

1. Prinsip Penatalaksanaan

Angka kematian pada koma hiperosmolar tinggi (>50%). Akibatnya terapi segera
sangat mendesak. Tindakan yang paling penting adalah pemberian cairan intravena
dalam jumlah besar untuk memulihkan sirkulasi dan aliran urin. Deficit cairan rata-rata
adalah 10 sampai 11 liter. Sementara air tawar akan sangat diperlukan, terapi awal harus
berupa larutan garam isotonik, 2 sampai 3 liter harus diberikan dalam 1 sampai 2 jam
pertama.
Kemudian salin separuh kekuatan dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai
normal, dapat diberikan dekstrose 5 persen sebagai pembawa air tawar. Jika
komahiperosmolar dapat dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus diberikan untuk
mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Banyak penulis menganjurkan dosis kecil
insulin tetapi mungkin diperlukan jumlah yang lebih besar terutama pada pasien obes.
Garam kalium biasanya diperlukan lebih awal dalam terapi koma hiperosmolar
disbanding pada ketoasidosis karena pergeseran K+ plasma intraseluler selama
peningkatan terapi tanpa asidosis. Jika terdapat asidosis laktat, natrium bikarbonat harus
diberikan sampai perfusi jaringan dapat dipulihkan. Antibiotika diperlukan jika infeksi
merupakan penyakit.

Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK) meliputi


lima pendekatan:
a. Rehidrasi intravena agresif

b. Penggantian elektrolit

c. Pemberian insulin intravena

d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta

e. Pencegahan

2. Penatalaksanaan Medikamentosa

a. Cairan

Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah


penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan
perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L).
Penggunaan larutan isotonik akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan
hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial
menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya
diberikan 1L normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik,
mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik,
maka diperlukan monitor hemodinamik.
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum
insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi
cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar
75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang
atau gangguan ginjal.
b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena konsentrasi
kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan
terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke
dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien
juga harus dimonitor.
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin
ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai
konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0
mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0
mEq per L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika
konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30 mEq kalium harus
diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3
kalium fosfat) untuk mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol
per L) dan 5,0 mEq per L.
c. Insulin

Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pamberian cairan yang
adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan
akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps
vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB
secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa
darah turun antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan
dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah sudah mencapai dibawah 300
mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara
sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.
2. Penatalaksanaan Non Medikamentosa

Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK) biasanya datang


dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam keadaan gawat darurat, oleh karena
itu pemberian obat secara non farmakologi akan kurang tepat karena memberikan efek
yang cukup lama. Penatalaksaan yang tepat bagi pasien (KHHNK) yaitu secara
medikamentosa. Selain itu dapat juga dengan dilakukan pencegahan penyakit Diabetes
Melitus yang biasanya merupakan penyebab awal KHHNK, meliputi:
a. Terapi gizi
Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada
status gizi diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
b. Latihan jasmani

Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan metabolik, yang


dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat kebugaran, juga oleh kada insulin
plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh
3. Identifikasi dan Mengatasi Faktor Penyebab

Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik kepada semua pasien


yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antibiotik dianjurkan sambil menunggu
kultur pada pasien usia lanjut dan pada pasien hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini,
peningkatan konsentrasi C-reactive protein dan interleukin-6 merupakan indikator awal
sepsis pada pasien dengan HHNK.
4. Pencegahan

Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya penyuluhan


mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan compliance yang
tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah
adanya akses terhadap persediaan air. Jika pasien tinggal sendiri, teman atau anggota
keluarga terdekat sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya
perubahan status mental dan kemudian menghubungi dokter jika hal tersebut ditemui.
Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus diberikan
edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga edukasi mengenai
pentingnya asupan cairan yang memadai dan pemantauan yang ketat.
Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari HHNK. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,
protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut :
a. Karbohidrat : 60-70%

b. Protein : 10-15%

c. Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat
badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensim
insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu
penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c
sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan
berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah kalori,
pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan,
namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati,
yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai
sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena
tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes,
diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak,
makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar
yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu
makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan
mineral.
Selain diet, dengan berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur
jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga
berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi
kesehatan.

Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi
maksimal (220-umur),disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh
olahraga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang,dan lain sebagainya.
Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total30-40 menit per hari didahului dengan
pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak
jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan
glukosa.
Hipoglikemia

DEFINISI HIPOGLIKEMIA:
 Suatu keadaan abnormal dimana kadar glukosa dalam darah < 50/60 mg/dl

PENYEBAB HIPOGLIKEMIA:
 Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita Diabetes dan Non Diabetes dengan etiologi
sebagai berikut
1. Pada Diabetes:
- Overdose insulin
- Asupan makanan berkurang (tertunda atau lupa, terlalu sedikit, output yang
meningkat (muntah, diare), diet berlebihan)
- Aktivitas berlebihan
- Gagal ginjal
- Hipotiroid

2. Pada Non Diabetes


- Peningkatan produksi insulin
- Paska aktivitas
- Konsumsi makanan yang sedikit kalori
- Konsumsi alkohol
- Paska melahirkan
- Post gastrectomy
- Penggunaan obat-obatan dalam jumlah besar (co.: salisilat, sulfonamide)

KARAKTERISTIK DIAGNOSTIK HIPOGLIKEMIA:


Menurut Soemadji (2006) dan Cryer (2005), karakteristik diagnostik
hipoglikemia ditentukan berdasarkan pada TRIAS WIPPLE sebagai berikut
1. Terdapat tanda-tanda hipoglikemi
2. Kadar glukosa darah kurang dari 50 mg%
3. Gejala akan hilang seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah (paska koreksi)

KLASIFIKASI & MANIFESTASI KLINIS HIPOGLIKEMIA:


Menurut Soemadji (2006) dan Rush & Louies (2004) klasifikasi dan manifestasi klinis
dari hipoglikemia sebagai berikut

JENIS
SIGN & SYMPTOMS
HIPOGLIKEMI

RINGAN  Dapat diatasi sendiri dan tidak mengganggu aktivitas


sehari-hari
 Penurunan glukosa (stresor) merangsang saraf simpatis
€ sekresi adrenalin ke p.d: perspirasi, tremor,
takikardia, palpitasi, gelisah
 Penurunan glukosa (stresor) merangsang saraf
parasimpatis €lapar, mual, tekanan darah turun

SEDANG  Dapat diatasi sendiri, mengganggu aktivitas sehari-hari


 Otak mulai kurang mendapat glukosa sebagai sumber
energi € timbul gangguan pada SSP: headache, vertigo,gg.
konsentrasi, penurunan daya ingat, perubahan emosi,
perilaku irasional, penurunan fungsi rasa, gg. koordinasi
gerak, double vision

BERAT  Membutuhkan orang lain dan terapi glukosa


 Fs. SSP mengalami gg. berat: disorientasi, kejang,
penurunan kesadaran
TUJUAN TATALAKSANA HIPOGLIKEMIA:
Memenuhi kadar gula darah dalam otak agar tidak terjadi kerusakan
irreversibel.
Tidak mengganggu regulasi DM.

PEDOMAN TATALAKSANA HIPOGLIKEMIA:


Menurut PERKENI (2006) pedoman tatalaksana hipoglikemia sebagai berikut
 Glukosa diarahkan pada kadar glukosa puasa yaitu 120 mg/dl.
 Bila diperlukan pemberian glukosa cepat (IV) € satu flakon (25
cc) Dex (10 gr Dex) dapat menaikkan kadar glukosa kurang
lebih 25-30 mg/dl.

Manajemen Hipoglikemi menurut Soemadji (2006); Rush & Louise (2004);


Smeltzer & Bare (2003) sebagai berikut
Tergantung derajat hipoglikemi:
1. Hipoglikemi ringan:
 Diberikan 150-200 ml teh manis atau jus buah atau 6-10
butir permen atau 2-3 sendok teh sirup atau madu
 Bila gejala tidak berkurang dalam 15 menit € ulangi
pemberiannya
 Tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori

coklat, kue, donat, ice cream, cake
2. Hipoglikemi berat:
 Tergantung pada tingkat kesadaran pasien
 Bila klien dalam keadaan tidak sadar € jangan
memberikan makananatau minuman € ASPIRASI !!!

Terapi hipoglikemi:
 GLUKOSA ORAL
 GLUKOSA INTRAVENA
 GLUKAGON 1 mg (SC/IM)
 MONITORING
KADAR GLUKOSA TERAPI HIPOGLIKEMI (DGN
(mg/dl) RUMUS 3-2-1)

< 30 mg/dl Injeksi IV Dex.40% (25 cc) bolus 3 flakon

30-60 mg/dl Injeksi IV Dex.40% (25 cc) bolus 2 flakon

60-100 mg/dl Injeksi IV Dex.40% (25 cc) bolus 1 flakon

FOLLOW UP:
1. Periksa kadar gula darah lagi, 30 menit sesudah injeksi IV
2. Sesudah bolus 3 atau 2 atau 1 flakon setelah 30 menit dapat diberikan 1
flakon lagi sampai 2-3 kali untuk mencapai kadar > 120 mg/dl

Koma Uremikum
1. Definisi
Pasien dengan gagal ginjal sering memiliki tanda-tanda dan gejala yang
berhubungan dengan gangguan cairan dan elektrolit, anemia, kekurangan gizi,
penyakit tulang dan masalah gastrointestinal. Salah satu komplikasi adalah
ensefalopati uremik. Dengan diperkenalkannya dialisis dan transplantasi ginjal,
insiden dan keparahan ensefalopati uremik telah menurun, tetapi banyak pasien
gagal untuk sepenuhnya menanggapi terapi dialitik. Pada pasien dengan gagal ginjal,
ensefalopati adalah masalah umum yang mungkin disebabkan oleh uremia, defisiensi
tiamin, dialisis, penolakan transplantasi, hipertensi, gangguan cairan dan elektrolit
atau toksisitas obat. Dalam bab ini, gejala, patofisiologi dan pengobatan ensefalopati
uremik akan dibahas. Komplikasi neurologis lain dari gagal ginjal tidak dibahas dalam
bab ini, tetapi baru-baru ini ditinjau.

1. Presentasi klinis
Encephalopathy uremik dapat menyertai segala bentuk gagal ginjal akut atau
kronis yang parah. Gambaran klinis tampaknya terkait dengan tingkat perkembangan
gagal ginjal. Pada pasien dengan gagal ginjal akut, gejala umumnya lebih jelas dan
berkembang lebih cepat dibandingkan pada pasien dengan gagal ginjal kronis.
Gejala-gejalanya dimulai secara diam-diam dan sering tidak diperhatikan oleh
pasien tetapi oleh anggota keluarga atau pengasuh mereka. Kebanyakan
encephalopathies bersifat reversible, membuat pengenalan yang cepat dan
perawatan yang penting. Setelah hemodialisis, perbaikan signifikan ensefalopati
uremik terjadi, tetapi tingkat azotemia berkorelasi buruk dengan tingkat disfungsi
neurologis.

2.1 Status mental


Encephalopathy adalah disfungsi serebral global, seringkali tanpa adanya
penyakit otak struktural utama. Namun demikian, dalam beberapa konteks itu juga
dapat menyebabkan cedera otak permanen, sementara dalam kasus lain itu
reversibel. Itu bisa karena cedera langsung ke otak, atau penyakit yang jauh dari otak.
Dalam istilah medis, ini bisa merujuk pada berbagai gangguan otak dengan etiologi,
prognosis, dan implikasi yang sangat berbeda.
Ensefalopati uremik biasanya hadir dengan perubahan dalam status mental
berfluktuasi dari penginderaan sensorik ringan hingga delirium dan koma. Perhatian
yang terganggu dapat diuji dengan sederhana seperti pengurangan seri atau bulan
penamaan tahun secara terbalik. Temuan umum lainnya termasuk siklus
tidur-bangun terganggu, penurunan kewaspadaan, hypervigilance, halusinasi,
kesalahan persepsi sensorik, gangguan memori dan disorientasi. Proses berpikir
sering tidak teratur dan percakapan membingungkan. Apatis, kelelahan, lekas marah
dan tidak perhatian biasanya merupakan gejala awal sementara kebingungan,
gangguan persepsi sensorik, halusinasi dan pingsan muncul kemudian. Tingkat
kewaspadaan mencerminkan keparahan dari ensefalopati, koma menjadi tahap yang
paling serius.

2.2 Gejala terkait


Selain perubahan status mental, gejala terkait lainnya sering muncul. Clouding
dari sensorium hampir selalu terkait dengan kelemahan difus ringan dan berbagai
gangguan motorik. Tremor sering terjadi, tetapi gerakan tidak sadar lainnya seperti
fasikulasi, mioklonus multifokal, chorea, asteriks, atau kejang terlihat pada pasien
pada berbagai waktu. Tremor biasanya kasar dan tidak teratur pada tingkat 8-10 Hz.
Asterixis atau tremor mengepak adalah masalah dramatis, dengan gerakan
menyentak yang timbul dari penyimpangan memegang postur, seperti tangan yang
terulur. Hampir selalu bilateral. Ateriks unilateral menunjukkan lesi struktural gaib.
Multifokal myoclonus ditandai dengan tiba-tiba, non-ritmik, otot bruto berkedut,
terutama yang melibatkan wajah dan otot-otot proksimal.
Selain kompleks gejala umum encephalopathy, sakit kepala, tanda-tanda motorik
fokal dan sindrom "uremic twitch convulsive" dapat diamati. Tanda-tanda neurologis
fokal seperti hemiparesis, dysarthria, kelainan visual atau asimetri refleks cenderung
sementara dan bergantian dari sisi ke sisi. Gejala umum lainnya yang berhubungan
termasuk polineuropati uremik, pruritus-menyebabkan lesi kulit yang disebabkan oleh
diri sendiri, dan sindrom kaki gelisah. Semua tanda-tanda ini berfluktuasi dari hari ke
hari atau kadang-kadang dari jam ke jam.

3. Diagnosis
Investigasi laboratorium untuk ensefalopati termasuk hitung darah lengkap, panel
elektrolit dan pemeriksaan glukosa, urea, kreatinin, enzim hati dan amonia. Tidak ada
nilai laboratorium, termasuk evaluasi spesifik fungsi ginjal, berkorelasi baik dengan
gejala klinis dan tanda-tanda uremia. Pungsi lumbal sering mengungkapkan protein
tinggi dan kadang-kadang pleocytosis ringan. Pungsi lumbal terutama dilakukan
untuk menyingkirkan penyebab ensefalopati menular. CT atau MRI kepala hanya
diindikasikan ketika tanda-tanda fokal hadir pada pemeriksaan fisik dan untuk
mengecualikan kehadiran hematoma subdural, stroke iskemik atau hidrosefalus.
Temuan Electroencephalographic (EEG) pada ensefalopati uremik tidak spesifik
tetapi berkorelasi dengan gejala klinis dan, oleh karena itu, mungkin merupakan nilai
diagnostik. Selain itu, dapat berguna untuk menyingkirkan penyebab lain
kebingungan seperti infeksi atau kelainan struktural. Temuan EEG yang paling umum
adalah pelambatan umum dari latar belakang normal. Aktivitas theta ritmik
frontmittent dan paroxysmal, bilateral, gelombang tegangan tinggi delta juga sering
terjadi. Kadang-kadang kompleks spike-wave bilateral atau gelombang triphasic di
daerah frontal ditemukan (Gambar 1). Konvulsi sering merupakan manifestasi tahap
akhir dari gagal ginjal kronis. Kejang biasanya kejang tonik klonik umum. Namun
demikian, kejang motorik fokal tidak jarang terjadi. Epilepsia partialis continua dapat
terjadi tanpa kejang umum.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis asimptomatik neurologis, gangguan
proses kognitif dapat diungkapkan oleh potensi yang terkait dengan kejadian.
Peningkatan P3 latency dan penurunan amplitudo P3 ditemukan.
Gambar 1. Temuan elektroensefalografi pada pasien dengan ensefalopati uremik,
menunjukkan perlambatan umum dengan kelebihan gelombang delta dan theta dan
paku bilateral.

4. Patofisiologi
Semua bentuk ensefalopati metabolik akut beracun mengganggu fungsi sistem
aktivasi retikuler menaik dan proyeksi untuk korteks serebral, yang menyebabkan
gangguan gairah dan kesadaran. Mekanisme neurofisiologi encephalopathy
termasuk gangguan jalur polysynaptic dan perubahan keseimbangan asam amino
rangsang-hambat. Akumulasi metabolit, gangguan hormonal, gangguan metabolisme
perantara dan ketidakseimbangan dalam neurotransmiter rangsang dan
penghambatan telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi.

Gagal ginjal menghasilkan akumulasi berbagai zat organik yang mungkin


bertindak sebagai neurotoksin uremik, tetapi tidak ada metabolit tunggal yang
diidentifikasi sebagai penyebab tunggal uremia. Gejala biasanya dikurangi dengan
dialisis atau transplantasi ginjal yang berhasil. Akumulasi urea, senyawa guanidino,
asam urat, asam hipurat, berbagai asam amino, polipeptida, poliamina, fenol dan
konjugasi fenol, fenolik dan asam indolik, aseton, asam glukuronat, karnitin,
mioinositol, sulfat dan fosfat telah dilaporkan dalam literatur.

Oleh beberapa sumber, zat terlarut retensi uremik dibagi menjadi tiga kelas
utama: 1) zat terlarut kecil (<500 Da) tanpa ikatan protein yang dikenal; 2) zat terlarut
dengan protein yang diketahui atau kemungkinan mengikat dan 3) molekul tengah (≥
500 Da). Klasifikasi ini didasarkan pada karakteristik yang berpotensi mempengaruhi
pola penghapusan mereka selama dialisis. Meta analisis menggambarkan
kompleksitas retensi uremik. Tidak semua zat terlarut dipertahankan untuk
memperpanjang yang sama, dan retensi mereka sering tidak berkorelasi dengan
penanda saat ini, urea dan kreatinin. Hal ini disebabkan berat molekul mereka,
pengikatan protein, dan / atau perilaku multikompartemen. Selain itu, konsentrasi
tinggi belum tentu terkait dengan aktivitas biologis yang kuat. Sebagai contoh, dua
molekul dengan konsentrasi tertinggi (urea dan kreatinin) dikenal karena aktivitas
biologisnya yang relatif terbatas. Ini menunjukkan bahwa strategi penghilangan harus
dirancang sedemikian rupa sehingga tidak hanya molekul standar, tetapi juga molekul
lain yang mungkin penting dalam memburuknya kondisi klinis, dapat dihilangkan
secara efisien.
Urea telah digunakan sebagai penanda retensi uremik dan penghilangan selama
beberapa tahun, dan pemindahannya secara langsung berkorelasi dengan
kelangsungan hidup pasien. Namun demikian, ada sangat sedikit studi yang
menunjukkan dampak biologis langsung dari urea pada konsentrasi uremik yang saat
ini ditemui, dan penelitian tersebut menunjukkan dampak yang tidak perlu
berkonsentrasi pada fungsi organik utama dalam status biokimia / biologis dari tubuh
manusia. Ketika urea ditambahkan ke dialisat selama periode beberapa bulan pada
konsentrasi yang sebagian besar melebihi yang saat ini ditemui dalam uremik dialisis,
gejala uremik tidak secara konsisten diubah selama periode penelitian keseluruhan,
lagi-lagi menunjukkan bahwa urea dengan sendirinya tidak terlalu penting dalam
pengembangan toksisitas uremik. Sulit untuk menjelaskan paradoks nyata antara
validitas urea sebagai penanda dan kurangnya toksisitasnya. Dari catatan,
penghapusan urea tampaknya terkait sebagai penanda pengganti hanya secara tidak
langsung untuk bertahan hidup, dan bukan untuk kualitas hidup. Salah satu
kemungkinan untuk dipertimbangkan adalah bahwa penghapusan urea dengan
sendirinya tidak mempengaruhi kelangsungan hidup, tetapi itu adalah perwakilan
untuk menghilangkan satu atau beberapa zat terlarut lainnya dengan dampak yang
lebih konsisten. Salah satu penyebab potensial adalah kalium, senyawa larut air kecil
lainnya yang diketahui secara substansial mempengaruhi kelangsungan hidup dialitik.
Kemungkinan lain adalah bahwa, bersama dengan urea, zat terlarut uremik lainnya
yang bertentangan dengan dampak racunnya dipertahankan. Akhirnya, urea mungkin
berasal dari bagian lain yang lebih beracun, seperti beberapa produk guanidin atau
karbamilasi.
Gangguan metabolisme lain yang mungkin atau mungkin tidak berkorelasi
dengan intensitas disfungsi serebral adalah asidosis, hiponatremia, hiperkalemia,
hipokalsemia, hipermagnesemia, hiperhidrasi dan dehidrasi. Namun, gambaran klinis
ensefalopati uremik tidak berkorelasi secara tepat dengan perubahan laboratorium
tunggal. Di sisi lain, gejala biasanya diringankan oleh dialisis dan umumnya lega
hampir seluruhnya setelah transplantasi ginjal yang sukses.
5. Perawatan
5.1 Perawatan dialisis
Encephalopathy uremik akut terbalik dengan hemodialisis atau dialisis peritoneal,
meskipun waktu jeda 1 sampai 2 hari biasanya diperlukan sebelum status mental
hilang. Kesulitan kognitif halus dapat bertahan bahkan setelah dialisis. Kerugian
dialisis adalah tidak spesifik dan fakta bahwa ia menghilangkan juga senyawa
penting. Selain itu, senyawa lipofilik, yang mungkin bertanggung jawab setidaknya
sebagian untuk perubahan fungsional pada uremia, tidak dihilangkan dengan dialisis.
Juga, transplantasi ginjal dapat dianggap sebagai pengobatan. Namun, ensefalopati
uremik dapat mempersulit transplantasi ginjal.

5.2 Perawatan tanpa dialisis


Penghapusan racun uremik juga dipengaruhi oleh asupan intestinal dan
pelestarian fungsi ginjal. Pengambilan usus dapat dikurangi dengan mempengaruhi
penyerapan makanan atau dengan pemberian oral absorben. Pendekatan yang telah
terbukti menghasilkan penurunan konsentrasi termasuk diet protein rendah,
pemberian prebiotik seperti pati resisten atau probiotik seperti bifidobacterium.
Pelestarian fungsi ginjal sisa juga dapat menjadi cara penting untuk mengejar
penghapusan tambahan zat terlarut.
Gagal ginjal akut menyebabkan disfungsi otak mitokondria. Pemberian
antioksidan N-acetylcysteine dan deferoxamine mampu mencegah penghambatan
kompleks rantai pernafasan mitokondria I dan IV (Barbosa et al., 2010). Oleh karena
itu, dapat dispekulasikan bahwa pembentukan spesies reaktif yang berlebihan
mungkin berkontribusi pada neuropatologi yang terkait dengan gagal ginjal akut.
Creatine kinase dihambat di korteks prefrontal, korteks serebral dan hippocampus
pada model hewan gagal ginjal akut. Dengan cara ini, kreatin kinase berkurang
mungkin terlibat dalam gangguan kognitif pada pasien dengan ensefalopati uremik.
Penghambatan creatine kinase dicegah oleh antioksidan. Itu berspekulasi bahwa
stres oksidatif mungkin terlibat dalam mekanisme penghambatan aktivitas creatine
kinase (Di -Pietro et al., 2008). Selain itu, peningkatan kadar glutathione
malondialdehyde dan berkurang di otak tikus diserahkan ke model gagal ginjal kronis.

6. Dialisis disequilibrium
Sindrom disequilibrium dialisis terjadi pada pasien yang menerima hemodialisis.
Gejala termasuk sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur, kedutan otot,
disorientasi, delirium, hipertensi, tremor dan kejang. Kondisi ini cenderung terbatas
dan reda selama beberapa jam. Ini dikaitkan dengan efek urea terbalik. Urea
dibersihkan lebih lambat dari otak daripada dari darah, efek yang menyebabkan
gradien osmotik yang mengarah ke aliran bersih ke otak dan edema serebral
transien.

7. Ensefalopati dialisis
Beberapa pasien yang menjalani dialisis jangka panjang mengembangkan
dialisis encephalopathy atau dialysis dementia. Ini adalah penyakit subakut, progresif
dan sering fatal. Hal ini diyakini menjadi bagian dari penyakit sistem ganda yang
mencakup ensefalopati, penyakit tulang osteomalalik, miopati proksimal dan anemia.
Gejala lain termasuk dysarthria, aparaxia, perubahan kepribadian, psikosis,
mioklonus, kejang dan akhirnya demensia. Dalam banyak kasus, kondisi berlanjut
hingga kematian dalam enam bulan.

Anda mungkin juga menyukai

  • B 9 M 1
    B 9 M 1
    Dokumen14 halaman
    B 9 M 1
    Tri Wulandari
    Belum ada peringkat
  • P-Treatment Lipid
    P-Treatment Lipid
    Dokumen18 halaman
    P-Treatment Lipid
    Tri Wulandari
    Belum ada peringkat
  • B9M1
    B9M1
    Dokumen28 halaman
    B9M1
    Tri Wulandari
    Belum ada peringkat
  • Deteksi Dini
    Deteksi Dini
    Dokumen8 halaman
    Deteksi Dini
    Ade Kurnia
    Belum ada peringkat
  • Laporan B8M5
    Laporan B8M5
    Dokumen18 halaman
    Laporan B8M5
    Tri Wulandari
    Belum ada peringkat
  • Manual CSL II Foto Thorax 2015
    Manual CSL II Foto Thorax 2015
    Dokumen5 halaman
    Manual CSL II Foto Thorax 2015
    Made Ageng Pramana
    Belum ada peringkat
  • B9M1
    B9M1
    Dokumen28 halaman
    B9M1
    Tri Wulandari
    Belum ada peringkat
  • Kel. 8 B2M1 SEL
    Kel. 8 B2M1 SEL
    Dokumen14 halaman
    Kel. 8 B2M1 SEL
    Tri Wulandari
    Belum ada peringkat
  • Laporan B8M5
    Laporan B8M5
    Dokumen37 halaman
    Laporan B8M5
    Tri Wulandari
    Belum ada peringkat
  • Laporan Blok1 Modul3
    Laporan Blok1 Modul3
    Dokumen16 halaman
    Laporan Blok1 Modul3
    Tri Wulandari
    Belum ada peringkat
  • Laporan B8M5
    Laporan B8M5
    Dokumen37 halaman
    Laporan B8M5
    Tri Wulandari
    Belum ada peringkat