Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Secara geologis Indonesia terletak di pertemuan antara 3 lempeng tektonik

utama dunia (eurasia, indo- australia, mediterania) sehingga Indonesia menjadi

salah satu negara di dunia yang wilayah paling rentan terhadap berbagai bencana

alam. Skala bencana alam yang biasa terjadi pun sering tergolong bencana besar

yang memakan cukup banyak korban. Bencana merupakan kejadian yang

mendadak, tidak terduga dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja, kapan saja serta

mengakibatkan kerusakan dan kerugian harta benda, korban manusia yang relatif

besar baik mati maupun hidup ( Murniwati, 2012).

Indonesia merupakan negara yang secara geografis rawan bencana alam

seperti tanah longsor gempa bumi letusan gunung berapi, tsunami, dan banjir.

Tsunami di aceh banjir bandang di jember dan gempa bumi di padang merupakan

beberapa contoh bencana alam yang menyebabkan banyak korban meninggal.

Selain faktor alam bencana juga bisa disebabkan oleh faktor manusia. Terbakarnya

bis di Situbondo, bom Bali adalah beberapa contoh bencana karena faktor manusia.

Berbagai kejadian tersebut menyebabkan banyak korban jiwa. Berbagai kejadian

yang memakan banyak korban jiwa, terutama sejak kejadian bom Bali I membuat

kegiatan identifikasi korban bencana massal (Disaster Victim Identification)

menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada setiap kejadian yang

menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang banyak (Apriyono, 2016).

1
Proses identifikasi ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis

penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan

adanya kepastian identitas korban. Disaster Victim Identification (DVI) adalah

suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi

korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat

dipertanggungjawabkan dan mengacu pada standar baku Interpol (1). Proses DVI

meliputi 5 fase yang pada setiap fase memiliki keterkaitan antara satu dengan yang

lain. Proses DVI menggunakan bermacam-macam metode dan teknik. Interpol telah

menentukan adanya Primary Identifier yang terdiri dari Ingerprint (FP), Dental

Records (DR) dan dna serta Secondary Identifiers yang terdiri dari Medical (M),

Property (P) dan Photography (PG), dengan prinsip identifikasi adalah

membandingkan data antemortem dan postmortem (Prawestiningtyas, 2009).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah cara mengidentifikasi gigi untuk penentuan usia, jenis

kelamin, dan ras?

1.3 TUJUAN

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengidentifikasi gigi dan menentukan

usia, jenis kelamin, dan ras?

BAB 2

2
PEMBAHASAN

2.1 KEDOKTERAN GIGI FORENSIK

Kedokteran gigi forensik atau odontologi forensik merupakan cabang ilmu

kedokteran gigi dan forensik yang berhubungan dengan pengambilan sampel,

pemeriksaan dan evaluasi bukti perkara berupa gigi (dental evidence) yang menjadi

bukti dalam suatu kasus perkara pidana/korban bencana dan kecelakaan massal.

Dalam perananannya sebagai barang bukti, dental evidence sangat esensial dan

potensial menjadi sumber pemecahan perkara ataupun pemastian korban

kecelekaan atau bencana massal.

Ada beberapa jenis identifikasi melalui gigi-geligi dan rongga mulut yang

dapat dilakukan dalam terapan semua disiplin ilmu kedokteran gigi yang terkait

pada penyidikan demi kepentingan umum dan peradilan serta dalam membuat surat

keterangan ahli.

Identifikasi ilmu kedokteran gigi forensik terdapat beberapa macam antara

lain:

1. Identifikasi ras korban maupun pelaku dari gigi-geligi dan antropologi ragawi.

2. Identifikasi sex atau jenis kelamin korban melalui gigi geligi dan tulang

rahang serta antropologi ragawi.

3. Identifikasi umur korban (janin) melalui benih gigi.

4. Identifikasi umur korban melalui gigi sementara (decidul)

5. Identifikasi umur korban melalui gigi campuran.

6. Identifikasi umur korban melalui gigi tetap.

7. Identifikasi korban melalui kebiasaan menggunakan gigi.

3
8. Identifikasi korban dari pekerjaan menggunakan gigi.

9. Identifikasi golongan darah korban melalui air liur.

10. Identifikasi golongan darah korban melalui pulpa gigi.

11. Identifikasi dna korban dari analisa air liur dan jaringan dari sel dalam rongga

mulut.

12. Identifikasi korban melalui gigi palsu yang dipakainya.

13. Identifikasi wajah korban dari rekonstruksi tulang rahang dan tulang facial.

14. Identifikasi wajah korban.

15. Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku.

16. Identifikasi korban melalui eksklusi pada korban massal.

17. Radiologi ilmu kedokteran gigi forensik.

18. Fotografi ilmu kedokteran gigi forensik.

19. Victim identification form.

2.2 IDENTIFIKASI GIGI DALAM MENENTUKAN USIA KORBAN

Usia adalah salah satu faktor penting dalam odontologi forensik untuk

menentukan identitas seseorang. Prakiraan usia manusia adalah suatu prosedur

yang diadopsi oleh para antropolog, arkeolog, dan ilmuwan forensik. Prakiraan

usia dapat ditentukan dari derajat penutupan sutura kranial dan melalui gigi geligi.

Metode identifikasi usia menggunakan gigi geligi dapat digolongkan menjadi

empat kategori, yaitu berdasarkan pemeriksaan klinis, radiografis, histologis, dan

biokimia. Metode identifikasi usia berdasarkan pemeriksaan klinis, histologis, dan

biokimia membutuhkan pencabutan gigi terlebih dahulu sehingga metode-metode

4
ini tidak dapat dilakukan pada individu yang masih hidup dan pada kasus individu

mati yang tidak menerima pencabutan terkait masalah etika, agama, budaya, dan

alasan ilmiah. Metode identifikasi usia dengan menggunakan pemeriksaan

histologis dan biokimia, selain membutuhkan pencabutan gigi juga membutuhkan

pemeriksaan mikrokopis. Pemeriksaan ini cukup kompleks dan membutuhkan

waktu yang lama. Berbeda dengan metode identifikasi usia lainnya, metode

identifikasi usia dengan menggunakan pemeriksaan radiografis tidak membutuhkan

pencabutan gigi dan dapat dilakukan pada individu yang masih hidup. Metode ini

juga tidak membutuhkan waktu yang lama. Pemeriksaan radiografis yang

merupakan metode non-invasif memiliki peran penting untuk mengetahui fakta

yang tersembunyi yang tidak bisa dilihat secara klinis.

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa dengan bertambahnya usia, maka

ukuran ruang pulpa gigi akan berkurang karena pengaruh deposisi dentin sekunder.

Ruang pulpa tidak dapat dilihat secara klinis, oleh karena itu dibutuhkan

pemeriksaan radiografis. Deposisi dentin sekunder, rasio perbandingan diameter

pulpa dan diameter mahkota, panjang dan lebar pulpa atau akar dapat diukur

dengan menggunakan radiograf.

Seperti telah disinggung sebelumnya salah satu perubahan yang dapat

terjadi seiring pertambahan usia adalah penyempitan ukuran ruang pulpa. Pulpa

adalah suatu rongga di bawah lapisan dentin. Pulpa gigi banyak memiliki

kemiripan dengan jaringan ikat lain pada tubuh manusia, namun pulpa memiliki

karakteristik yang unik. Di dalam pulpa terdapat berbagai elemen jaringan seperti

pembuluh darah, persyarafan, serabut jaringan ikat, cairan interstitial, dan sel-sel

seperti fibroblast, odontoblast dan sel imun.

5
2.2.1 Perubahan pada pulpa terkait usia

Enam perubahan normal yang terjadi pada jaringan pulpa seiring

pertambahan usia yaitu; penurunan ukuran dan volume pulpa, peningkatan jumlah

serat kolagen, penurunan jumlah odontoblas, penurunan jumlah dan kualitas saraf,

menurunnya vaskularisasi, dan peningkatan selularitas secara keseluruhan

Pembentukan dentin sekunder yang terjadi seiring dengan bertambahnya usia,

secara bertahap akan mengurangi ukuran ruang pulpa dan saluran akar. Selain itu,

muncul beberapa beberapa perubahan regresif pada pulpa yang berhubungan

dengan proses penuaan. Ada penurunan secara bertahap dalam selularitas seiring

dengan peningkatan jumlah dan ketebalan serat kolagen, terutama pada pulpa

didaerah akar gigi. Odontoblas dapat mengalami penurunan dalam ukuran, jumlah,

dan dapat menghilang sama sekali di daerah-daerah tertentu pada pulpa, terutama

di lantai atas pulpa diatas bifurkasi atau trifurkasi pada gigi berakar ganda.

Penurunan ukuran pulpa dianggap berkaitan dengan pengurangan jumlah saraf dan

pembuluh darah. Fibrosis tampaknya berperan dalam hubungan menurunnya jalur

pembuluh atau saraf, dan serat kolagen yang tebal yang mungkin sebagai penyebab

terjadinya kalsifikasi pulpa.

2.2.2 Metode Identifikasi Usia Dalam Odontologi Forensik

Prakiraan usia dapat ditentukan dari pemeriksaan gigi melalui empat

pendekatan, yaitu klinis, radiografis, histologis, dan biokimiawi. Penelitian

mengenai prakiraan usia melalui pemeriksaan klinis gigi geligi sudah pernah

dilakukan oleh Gustafson (1952). Gustafson menentukan prakiraan usia melalui 6

6
macam perubahan pada gigi geligi dengan bertambahnya usia, yaitu atrisi,

periodontosis, pembentukkan dentin sekunder, pembentukkan sementum, resorpsi

akar, dan transparansi dentin diakar. Metode identifikasi usia berdasarkan tahap

kalsifikasi gigi secara radiograf dilakukan oleh Demirjian (1973). Penelitian

mengenai prakiraan usia melalui rasemisasi asam aspartat sudah pernah dilakukan

oleh Helfman & Bada (1976) dan dilanjutkan oleh Yekkala (2006). Ubelaker

(1978) menentukan prakiraan usia melalui tahap erupsi gigi secara radiograf.

Penelitian mengenai prakiraan usia dengan memperhatikan dentin sekunder secara

histologis sudah dilakukan oleh Solheim (1992). Sedangkan Murray (2002)

membuktikan bahwa densitas sel odontoblas, sel subodontoblas, dan sel fibroblas

berhubungan dengan usia kronologis manusia. Selain itu, Drusini (2005)

melakukan penelitian dengan menggunakan teknik Tooth Coronal Index (TCI)

dengan radiograf panoramik untuk memprakirakan usia. Metode prakiraan usia

melalui tahap perkembangan molar ketiga dilakukan oleh Thevissen (2009) dengan

menggunakan radiograf panoramik. Salah satu penelitian prakiraan usia

menggunakan ukuran ruang pulpa dipublikasikan oleh Singaraju (2009).

Gustafson menemukan suatu metode determinasi baru dengan menerapkan

pemeriksaan histologis. Determinasi dengan pemeriksaan histologis ini dilakukan

pada potongan melintang gigi yang tipis. Prinsip dasar pemikiran dari penerapan

metode ini adalah bahwa gigi yang sudah melewati masa pertumbuhan dan

perkembangan akan tetap mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan

bertambahnya usia. Menurut Gustafson ada 6 macam perubahan pada gigi geligi

dengan bertambahnya usia, yaitu atrisi, periodontosis, pembentukkan dentin

sekunder, pembentukkan sementum, resorpsi akar, dan transparansi dentin di akar.

7
Metode yang sering digunakan dalam menentukan usia korban bencana dari

beberapa jurnal metode yang sering digunakan antara lain (Apriyono, 2016) :

a. Metode Demirjian

Metode ini didasarkan pada tahapan perkembangan. Gigi permanen rahang

bawah kiri melalui foto rontgen panoramik, didasarkan pada kriteria bentuk dan

nilai relatif dan bukan pada panjang mutlak gigi.

Metode ini didasarkan pada estimasi usia kronologis yang disederhanakan

dengan membatasi jumlah tahapan perkembangan gigi menjadi delapan tahapan

dan memberinya skor mulai dari A hingga H. Delapan tahapan tersebut mewakili

kalsifikasi masing-masing gigi, mulai dari kalsifikasi mahkota dan akar hingga

penutupan apeks gigi. Pemberian skor setiap gigi dan setiap tahap perkembangan

berasal dari metode tanner yang menggambarkan maturasi tulang.

Pemberian skor terbatas pada tujuh gigi permanen pertama kuadran kiri

bawah dan dibandingkan dengan representasi grafis tahap perkembangan. Setiap

tahap perkembangan memiliki kriteria khusus dan satu, dua, atau tiga kriteria

tertulis. Jika hanya terdapat satu kriteria, harus dipenuhi untuk mencapai tahap

tertentu, jika terdapat dua kriteria maka dianggap terpenuhi jika yang pertama telah

ditemukan, jika terdapat tiga kriteria maka dua yang pertama harus ditemukan agar

dianggap terpenuhi. Analisis statistik skor maturasi digunakan untuk masing-

masing gigi dari tujuh gigi dari tiap-tiap tahap dari 8 tahap perkembangan. Standar

penghitungan anak laki-laki dan perempuan dipisah.

8
Gambar 1. Tahap kalsifikasi gigi permanen menurut demirjian, et al.

Demirjian menggunakan penilaian gigi yang diubah ke dalam skor dengan

menggunakan tabel untuk anak laki-laki dan anak perempuan secara sendiri-sendiri.

Semua skor untuk masing-masing gigi dijumlah dan skor maturasi dihitung. Skor

maturasi kemudian dikonversi langsung ke dalam usia gigi dengan menggunakan

tabel konversi.

b. Metode Nolla

Metode nolla membagi periode kalsifikasi gigi permanen menjadi 10

tahapan dimulai dari terbentuknya benih gigi sampai dengan penutupan foramen

apikal gigi. Pembentukan crypte hingga penutupan apeks akar gigi yang dapat

dilihat pada foto radiografi disebut tingkat 1, dan selanjutnya sampai penutupan

apeks akar gigi adalah tingkat 10. Masing-masing tahapan juga diberi nilai skor.

9
Dengan foto panoramik, cukup menggunakan satu sisi dengan mengabaikan

geraham 3, gigi permanen rahang atas dan rahang bawah dianalisis, dicocokkan

tahapannya dan diberi skor. Skor masing-masing tahapan ditotal. Metode nolla juga

menggunakan tabel konversi.

Gambar 2. Tahap kalsifikasi gigi menurut Nolla

c. Metode Gustafson

Merupakan metode penentuan usia berdasarkan perubahan makrostruktural

gigi geligi. Skala nilai adalah 0,1,2,3. Gustafon membagi menjadi 6 tahapan,

yaitu:

10
 Derajat atrisi

 Jumlah dentin sekunder

 Posisi perlekatan ginggiva

 Derajat resorpsi akar

 Transparansi dentin akar

 Ketebalan sementum

Nilai masing-masing perubahan dijumlah (X) dan kemudian dihitung

dengan rumus Y = 3,52x + 8,88. Sampel yang digunakan adalah gigi insisivus.

Standard error sekitar 4,5 tahun.

gambar 3. Gambaran perubahan jaringan keras gigi menurut gustafson.

11
2.3 IDENTIFIKASI GIGI KORBAN DALAM MENENTUKAN JENIS

KELAMIN

Sistem identifikasi jenis kelamin manusia berdasarkan foto panoramik gigi,

di mana merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk dapat membantu pihak

tim forensik dalam mengenali korban bencana alam atau mengidentifikasi korban

kejahatan. Setelah ditetapkan bahwa sisa tubuh yang ditemukan adalah merupakan

manusia, biasanya pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah tentang jenis

kelaminnya.Kerangka yang paling dapat diandalkan untuk penentuan jenis kelamin

adalah tulang panggul dan tengkorak. Dokter gigi dapat membantu ahli lain untuk

menentukan jenis kelamin dari jasad yang tersisa menggunakan gigi.

A. Jenis kelamin ditentukan dari jaringan nekrotik pulpa yang diwarnai melalui

pewarnaan menggunakan quinacrine mustard untuk fluoresensi kromosom

Y. Fluoresensi kromosom Y dapat dilihat pada gigi laki-laki. Amelogenin

merupakan gen jenis kelamin manusia dan juga merupakan protein utama

pada pembentukkan email manusia. Pada wanita gen amelogenin

menunjukkan dua alel yang homozigot (XX), dimana pria memiliki dua alel

yang heterozigot (XY)

B. Metode morfologi mendekatkan dengan bentuk dan ukuran gigi yang

dibedakan antara korban laki-laki dan perempuan. Terutama pada gigi seri

bagian atas. Perbedaan yang lain ada pada bentuk rahang antara laki-laki

dan perempuan. Pada ukuran gigi, didapatkan gigi incivus dan caninus

central Maxilla pada pria lebih besar dibanding pada wanita. Tentunya

merujuk pada setiap ras tertentu. Tetapi secara global ukurannya lebih besar

pada pria dibanding wanita. Metode laboratorium melalui identifikasi DNA

12
dari sel-sel jaringan pulpa gigi. Dentin dan enamel menyediakan

perlindungan bagi pulpa gigi untuk pemeriksaan DNA genomik dan

mitokondrial, serta juga kimiawi. Odontologist dapat memaksimalkan

perolehan DNA melalui teknik konservatif preservasi gigi secara

keseluruhan. Metode sampling yang baik dan tanpa terkontaminasi tidak

akan mempengaruhi hasil analisis. Gigi yang didapatkan harus

didekontaminasi, misalnya dengan larutan sodium hipoklorit 5.25% selama

20 menit untuk menghindari kontaminasi DNA asing, degradator DNA

ataupun penghambat PCR seperti heme. Kemudian dibersihkan kembali

dengan etanol 95%. Beberapa tahapan dalam pengambilan sampling DNA

dari dental evidence. Antara lain penghancuran gigi untuk memperoleh sel-

sel pulpa, akses endodontik konvensioal, split vertical, dan pemotongan

horizontal. Penentuan jenis kelamin dilakukan melalui metode PCR. Pada

DNA genomik dapat ditentukan jenis kelaminnya. Pemeriksaan DNA

mitokondrial dapat memeriksa jalur maternalitas korban.

2.4 IDENTIFIKASI GIGI DALAM MENENTUKAN RAS KORBAN

Ras dibagi dalam 3 ras besar yaitu caucasoid, mongoloid, dan ras negroid.

Kini terdapat ras khusus dan ras australoid yaitu ras aborigin dan ras-ras kecil di

kepulauan pasifik. Hal ini terjadi karena adanya perkawinan campur dari ketiga ras

tersebut pada jaman peperangan antar negara (perang dunia I dan perang dunia II).

Beberapa rincian anatomis, terutama di wajah sering menunjukkan ras

individual. Pada ras kulit putih memiliki wajah yang menyempit dengan hidung

yang agak meninggi dan dagu yang menonjol. Ras kulit hitam memiliki hidung

13
yang lebar dan subnasal yang berlekuk. Indian Amerika dan Asia memiliki bentuk

tulang pipi yang menonjol dan tekstur gigi yang khas. Ciri-ciri kelima ras tersebut

ditinjau dari gigi insisive, premolar, dan molar, yaitu gigi insisive dari cingulum,

gigi premolar dari jarak mesiodistal dengan bucopalatal atau relasi jarak mesodistal

dengan bucolingual dan gigi molar dari fissure, jumlah pit dan adanya carabelli

ataupun jumlah gigi molar. Identifikasi ras tersebut antara lain :

1. Ras Caucasoid

Dengan ciri-ciri sebagai berikut :

a. Menurut Kierberger’55 dan Pederson’49, Permukaan lingual rata

pada gigi seri/insisive(1.2 1.1, 2.1 2.2)

b. Sering ditemukan gigi-geligi yang crowded

c. Gigi molar pertama bawah lebih panjang dan tapered (3.6, 4.6)

d. Menurut Dalberg (1956) , bagian buko-palatal lebih kecil dari

mesio-distal (P2, 1.5, 2.5)

e. Sering ditemukan cusp carabelli dibagian palatal pada gigi 1.6, 2.6

f. Lengkung rahang sempit

1. Memperlihatkan gigi incisive bagian atas tidak terdapat cingulum.

14
2. Memperlihatkan gigi molar 1 dengan fissure dan dua pit yaitu pit distal

dan pitmesial.

3. Memperlihatkan cusp carabelli pada M1 atas pada bagian mesio

palatal.

2. Ras Mongoloid

Dengan ciri-ciri sebagai berikut :

a. Menurut Herdlicka (1921) bahwa gigi insisive mempunyai

perkembangan penuh pada permukaan palatal bahkan lngual

sehingga shovel shaped incisor cingulum jelas dominan(1.1, 1.2,

2.1, 2.2).

b. Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan

oklusal premolar bawahpada 1-4% ras mongoloid.

c. Bentuk gigi molar segiempat dominanOleh karena itu satu

individu tidak murni satu ras. Maka identifikasi gigi diperlukan

untukpenentuan ras yang didapat dari penothype gigi dari

genotype nya.

15
3. Ras Negroid

Dengan ciri-ciri sebagai berikut :

a. Menurut R. Biggerstaf bahwa akar premolar cenderung

membelah atau terdapat tiga akar(trifurkasi). (1.4, 1.5, 2.4, 2.5)

b. Bimaxillary protusion

c. Molar ke-4 sering ditemukan (banyak ditemukan)

d. Premolar pertama terdapat 2 atau 3 cusp (1.4, 2.4)

e. Gigi molar berbentuk segiempat membulat

16
4. Ras australoid

Yang termasuk dalam ras ini adalah : suku aborigin dan suku-suku

kepulauan kecil pasifik.

5. Ras khusus

Ras khusus ini menurut Nursil Luth dan Daniel Fernandez (1995), yaitu:

a. Brushman, Suku ini bermukim di negara Spanyol.

b. Vedoid, Suku ini bermukim di Afrika Tengah.

c. Polynesian, Suku ini bermukim di pulau-pulau kecil di lautan

Hindia dan lautan Afrika.

d. Ainu, Suku ini bermukim di kepulauan kecil di Jepang.

Identifikasi Ras Korban Dari Lengkung Gigi

Identifikasi ras melalui lengkung gigi mempunyai 5 jenis :

17
Gambar 8

a. Memperlihatkan lengkung gigi yang berbentuk elipsoid ciri ini dapat

didentifikasi sebagai rasmongoloid.

b. Memperlihatkan lengkung gigi berbentuk U yang dapat diidentifikasi sebagai ras

negroid.

c. Memperlihatkan lengkung gigi berbentuk paraboloid yang dapat diidentifikasi

sebagai rascaucasoid.

Gambar 9

a. memperlihatkan lengkung rahang berbentuk paraboloid yang lebar degan gigi

incisive yang besar-besar hal ini dapat diidentifikasikan sebagai ras australoid.

b. Memperlihatkan lengkung rahang berbentuk U yang sangat nyata sedangkan gigi

incisivekecil-kecil hal ini dapat diidentifikasikan sebagai ras khusus.

18
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Proses identifikasi dalam kedokteran gigi forensik selain merupakan hak asasi

korban, juga penting untuk keperluan legal seperti asuransi, status pernikahan,

warisan, perebutan hak ahli waris, peradilan dan perwakilan anak.

19
Salah satu bagian tubuh yang sangat penting untuk identifikasi individu adalah

gigi geligi. Karena gigi dapat mempunyai daya tahan tinggi terhadap pengaruh

temperatur, terutama emailnya merupakan jaringan yang paling keras ditubuh

manusia, paling tahan terhadap benturan maupun panas dan baru bisa menjadi abu

bila terbakar diatas suhu 450oC

Gigi-geligi dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin korban, ras korban,

dan umur korban. Hal-hal tersebut dibutuhkan sebagai data tambahan dan dapat

juga digunakan sebagai alat mempersempit populasi untuk memudahkan proses

identifikasi.

1) Penentuan jenis kelamin; Penentuan jenis kelamin melalui gigi-geligi dapat

dilakukan dengan melihat bentuk lengkung gigi, ukuran diameter mesio-distal gigi,

dan kromosom yang terdapat pada pulpa.

2) Penentuan ras korban; Ras korban dapat diketahui dari struktur rahang dan

gigi-geliginya. Secara antropologi, ras dibagi tiga yaitu ras kaukasoid, ras negroid,

dan ras mongoloid. Masing-masing ras memiliki bentuk rahang dan struktur gigi-

geligi yang berbeda.

20

Anda mungkin juga menyukai