Anda di halaman 1dari 25

LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Makalah
disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Pengambangan Profesi
Bimbingan dan Konseling
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons

oleh

Ade Sucipto
0106518038

Afrizal Puji
0106518039

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................

A. Latar belakang masalah...........................................................................


B. Rumusan masalah ...................................................................................
C. Tujuan .....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................

A. Pengertian Landasan Filsafat Pendidikan


1. Pengertian Filsafat ...................................................................................
2. Pengertian pendidikan .............................................................................
3. Pengertian filsafat pendidikan ................................................................\
4. Pengertian Landasan pendidikan filosofis .............................................
B. Landasan Filsafat Pendidikan ...........................................................
1. Aspek ontologi pendidikan I ...................................................................
2. Aspek episimologi pendidikan ................................................................
3. Aspek aksiologi pendidikan ....................................................................
4. Sejarah perkembangan profesi konseling di Indonesia ...........................

BAB III PENUTUP ...........................................................................................

A. Kesimpulan ............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang
Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya,
relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara
pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang
kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para Bpendidik perlu terlebih
dahulu memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah
humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami
hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut
pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya.
Bahan ajar mandiri ini akan membantu Anda untuk memahami konsep landasan
pendidikan, hakikat manusia, dan implikasi hakikat manusia terhadap pendidikan.
Dengan mempelajari bahan ajar mandiri ini pada akhirnya Anda akan dapat
mengidentifikasi prinsip-prinsip antropologis sebagai asumsi mengenai keharusan
pendidikan (mengapa manusia perlu dididik dan mendidik diri), prinsip-prinsip
antropologis mengenai kemungkinan pendidikan (mengapa manusia dapat dididik), dan
pengertian pendidikan. Demikian pula, wawasan tentang pemahaman terhada landasan
ontologis, epitemologis dan aksiologis pendidikan, akan memberi landasan yang kuat
dalam memahami dan mengimplementasikan pendidikan yang seharusnya. Semua ini
akan mengembangkan wawasan kependidikan Anda dan akan berfungsi sebagai titik
tolak dalam rangka praktek pendidikan maupun studi pendidikan lebih lanjut. Mater
bahan ajar mandiri ini terdiri atas tiga sub pokok bahasan. Sub pokok bahasan pertama
mencakup pengertian landasan filosofis pendidikan, jenis-jenis landasan pendidikan,
dan fungsi landasan pendidikan. Sub pokok bahasan kedua mencakup permasalahan-
permasalahan kajian filsafat pendidikan, yang meliputi kajian tentang masalah
antropologis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis pendidikan.
Setelah mempelajari bahan ajar mandiri ini, Anda diharapkan memahami
hakikat landasan pendidikan, serta hakikat manusia dan implikasinya terhadap
pendidikan. Materi jenis landasan-landasan pendidikan diberikan dalam rangka
mengingatkan kembali bahwa landasan filosofis pendidikan bukan satu-satunya
landasan yang dijadikan asumsi dalam rangka teori maupun praktik pendidikan, namun
ada berbagai asumsi lain baik ilmiah maupun religi yang mempunyai fungsi dan
peranan penting dalam pendidikan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Anda diharapkan
dapat melakukan hal-hal berikut:
1. Menjelaskan pengertian landasan filosofis pendidikan.
2. Mengidentifikasi jenis-jenis landasan pendidikan.
3. Menjelaskan fungsi landasan pendidikan bagi pendidik (guru).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Landasan Filsafa pendidikan?
2. Apa saja landasan filosofis Filsafat pendidikan?

C. Tujuan penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian Landasan Filsafa pendidikan

Untuk mengetahui landasan filosofis Filsafat pendidikan

\
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Landasan Filsafat pendidikan
1. Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa yunani kuno philos dan sophia. Philos yang
berarti cinta dan sophia berarti kebajikan, kebaikan atau kebenaran, atau bisa juga
diartikan cinta atau hikmah (arifin, 1993;1). Menurut Hasbullah Bakry (1970;9),
ilmu filsafat merupakan suatu ilmu yang mempelajari sesuatu secara mendetail,
seperti ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hakikat yang dapat dicapai manusia dan bagaimana
tentang sikap manusia semestinya ketika memperoleh pengetahuan. Disamping itu,
ada juga yang mengemukakan bahwa filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang
dapat dicapai dengan budi pekerti (Salam, 1998;5).
Dalam kehidupan modern ini, filsafat bisa diartikan sebagai ilmu yang
berupaya memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan ruang lingkup
pandangan dan pengalaman umat manusia (Barnadib,1994;11). Dengan kata lain,
berfilsafat adalah satu upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul
dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Karena itu menurut Harun Nasution
filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika), bebas (tidak terikat pada
tradisi,dogma,serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke
dasar-dasar persoalan(Nasution, 1973;24).
Berfikir seperti ini, menurut jujun S. Suriasumantri, adalah sebagai
karakteristik dan berfikir filosofis. Ia berpandangan bahwa berfikir secara filsafat
merupakan cara berfikir radikal, sistematis, menyeluruh, dan mendasar untuk
sesuatu permasalahan yang mendalam. Begitupun berfikir secara spekulatif,
termasuk dalam rangkaian berfikir filsafat. Mangsut berfikir spekulatif disini adalah
berfikir dengan cara merenung, memikirkan segala sesuatu sedalam
dalamnya,tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan objek sesuatu tersebut.
Tujuannya adalahuntuk mengerti hakikat sesuatu (Muhammad Noor
Syam,1986;25). (Abu bakar atjeh (1970;6) dalam filsafat umum, prof anwar
tafsir;2009,10) juga berpendapat jadi berdasarkan kutipan itu dapatlah diketahui
bahwa dari segi bahasa, filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk menjadi
bijak.
Karena pemikiran-pemikiran yang bersifat filsafat didasarkan atas pemikiran
yang bersifat spekulatif, maka nilai-nilai kebenaran yang dihasilkannya juga tak
terhindarkan dari kebenaran yang spekulatif hasilnya akan sangat tergantung dari
pandangan filosof yang bersangkutan. Oleh karena itu, pendapat yang baku dan
diterima oleh semua orang agak sulit diwujudkan. Padahal kebenaran yang ingin
dicapai oleh filsafat ialah kebenaran yang bersifat hakiki, hingga nilai kebenaran
tersebut dapat dijadikan pandangan hidup manusia.
Mengingat dominasi penggunaan nalar manusia dalam berfilsafat. Maka
kebenaran yang dihasilkannya didasarkan atas penilaian kemampuan maksimal
menurut nalar manusia. Namun karena nalar manusia bersifat terbatas, maka
kebenaran yang didapat pun bersifat relatif. Dengan demikian,kebenaran filsafat
adalah kebenaran yang relatif. Artinya, kebenaran itu sendiri selau mengalami
perkembangan sesuai dengan perubahan zaman dan peradaban manusia.
Bagaimanapun,penilaian tentang suatu kebenaran yang dianggap benar itu masih
tergantung pada ruang dan waktu. Apa yang dianggap benar oleh masyarakat atau
bangsa lain, belum tentu akan dinilai sebagai suatu kebenaran oleh masyarakat atau
bangsa lain. Sebaliknya, sesuatu yang dianggap benar oleh suatu masyarakat atau
bangsa dalam suatu zaman, akan berbeda pada zaman berikutnya.
Dari uraian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan komprehensif yang berusaha memahami persoalan-persoalan yang
timbul didalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian,
diharapkan agar manusia dapat mengerti dan memiliki pandangan yang menyeluruh
dan sistematis mengenai alam semesta dan tempat manusia didalamnya.

2. Pengertian pendidikan
Untuk mendapatkan pengertian filsafat pendidikan yang lebih sempurna
(jelas), ada baiknya kita melihat beberapa konsep mengenai pengentian pendidikan
itu sendiri. Pendidikan adalah bimbingan secara sadar dari pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan ruhani anak didik menuju terbentuknya manusia yang
memiliki kepribadian yang utama dan ideal. Yang dimagsut kepribadian yang
utama atau ideal adalah kepribadian yang memiliki kesadaran moral dan sikap
mental secara teguh dan sungguh-sungguh memegang dan melaksanakan ajaran tau
prinsip-prinsip nilai (filsafat) yang menjadi pandangan hidup secara individu,
masyarakat maupun filsafat bangsa dan negara.
Ki Hajar Dewantara menyatakan, bahwa pendidikan umumnya berarti daya
upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek), dan tubuh anak. Sedangkan Crow and Crow menyatakan bahwa
pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi
individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya
serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi. Kemudian Driyarkara
mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda.
Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah disebut mendidik. Pendidikan adalah
memanusiakan manusia muda. Sedangkan dalam UUPN No. 20 tahun 2003
menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual-
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam pandangan john Dewey, pendidikan adalah sebagai proses
pembentukan kemampuan dasar yang foundamental, yang menyangkut : daya pikir
(intelektual) maupun daya rasa (emosi)manusia (Arifin, 1987;1). Dalam hubungan
ini, Al-syaiban menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha mengubah tingkah
laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan
masyarakat dan kehidupan alam sekitarnya (Al-syaibany, 1979;399). Lebih lanjut
Soegarda Poerwakawatja menguraikan bahwa pengertian pendidikan dalam arti
luas sebagai semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuan, pengalaman, kecakappan, dan keterampilankepada generasi muda,
sebagai usaha menyiapkan generasi muda agar dapat memahami fungsi hidupnya
baik jasmani maupun ruhani. Upaya ini dimagsutkan agar dapat meningkatkan
kedewasaan dan kemampuan anak untuk memikul tanggung jawab moral dari
segala perbuatannya(Poerwakawatja, 1976;214).
Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang bertujuan. Dan tujuan
dari proses perkembangan itu secara alamiah ialah kedewasaan, kematangan dari
kepribadian manusia. Dengan demikian jelasnya bahwa pengertian pendidikan itu
erat kaitannya dengan masalah yang dihadapi dalam kehidupan manusia. Dapat
disimpulkan bahwa pendidikan diartikan sebagai suatu proses usaha dari manusia
dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih,
mengajar dan menanamkan nilai-nilai dan dasar-dasar pandangan hidup kepada
generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab
akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakiki dan ciri-ciri
kemanusiaannya. Dengan kata lain, proses pendidikan merupakan rangkaian usaha
membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan dasar
dan kehidupan pribadinya sebagai mahluk individu dan mahluk sosial serta dalam
hubungannya dengan alam sekitarnya agar menjadi pribadi yang bertanggung
jawab.

3. Pengertian filsafat pendidikan


Berbagai pengertian filsafat pendidikan telah dikemukakan para ahli.
Menurut Al-Syaibany (1979;36), filsafat pendidikan adalah aktifitas pikiran yang
teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan
memadukan proses pendidikan. Artinya filsafat pendidikan dapat menjelaskan
nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya. Dalam
hal ini, filsafat, filsafat pendidikan dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor
integral.
Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan
kemampuan dasar fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual)
maupun daya perasaan (emosional), menuju tabiat manusia. Sedangkan menurut
Imam Barnadib (1993;3), filsafat pendidikan merupakan ilmu yang pada
hakekatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang
pendidikan. Baginya filsafat pendididkan merupakan aplikasi sesuatu analisis
filosofis terhadap bidang pendidikan. Sedangkan menurut seorang ahli filsafat
amerika, Brubachen (Arifin, 1992;3), filsafat pendidikan adalah seperti menaruh
sebuah kereta didepan seekor kuda, dan filsafat dipandang sebagai bunga, bukan
sebagai akar tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas
dengan memperoleh keuntungan karena punya kaitan dengan filsafat umum.
Kendati kaitan ini tidak penting, tapi yang terjadi ialah suatu keterpaduan antara
pandangan filosofis dengan filsafat pendidikan, karena filsafat sering diartikan
sebagai teori pendidikan dalam segala tahap.
Filsafat, jika dilihat dari fungsinya secara praktis, adalah sebagai sarana bagi
manusia untuk dapat memecahkan berbagai problematika kehidupan yang
dihadapinya, termasuk dalam problematika di bidang pendidikan. Oleh karena itu
apabila dihubungkan dengan persoalan pendidkian secara luas, dapat disimpulkan
bahwa filsafat merupakan arah dan pedoman atau pijakan dasar bagi terciptanya
pelaksanaan dan tujuan pendidikan. Jadi filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada
hakekatnya merupakan jawaban dari pertranyaan-pertanyaan dalam bidang
pendidikan yang merupakan penerapan analisis filosofis dalam lapangan
pendidikan.
4. Landasan pendidikan filosofis
Upaya pendidikan sebagai suatu sistem, dengan demikian akan selalu relevan
(gayut) pada landasan yang digunakan dalam proses pendidikan. landasan
pendidikan pada hakekatnya adalah dasar dasar, titik pijak yang melandasi
oprasionalisasi sistem pendidikan. Landasan filosofis merupakan landasan yang
berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang berusaha menelaah
masalah-masalah pokok. Seperti : apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan itu
diperlukan, apa yang seharusnya menjadi tujuan, dan sebagainya. Landasan
filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau bersifat filsafat(falsafat,falsafah).
Kata filsafat (philosiphy) bersumber dari bahasa yunani, philien berarti mencintai,
dansopos atau sophis berarti hikmah, arif, atau bijaksana.filsafat menelaah sustu
cara radukan, menyeluruh dan konseptual ysng menghasilkan konsepsi-konsepti
mengenai kehidupan dunia.
Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat
mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan
pendidikan berusaha muwujudkan citra itu. Rumusan tentang harkat dan martabat
manusia berserta masyarakat ikut menemukan tujuan dan cara-cara
penyelenggaraaan pendidikan, dan dari sisi lain, pendidikan merupakan suatu
proses memanusiakan manusia. Filsafat pendidikan berupaya menjawab secara
kritis dan mendasar berbagai pertanyaan pokok disekitar pendidikan, seperti apa,
mengapa, ke mana, bagaimana, dan sebagainya dari pendidikan itu. Kejelasan
berbagai hal itu sangat perlu untuk menjadi landasan berbagai keputusan dan
tindakan yang dilakukan dalam pendididkan. Hal itu sangat penting karena hasil
pendidikan tidak segera nampak, sehingga setiap keputusan dan tindakan itu harus
diyakinkan kebenarannya dan ketepatannya meskipun hasilnya belum dapat
dipastikan. Ketepatan setiap keputusan dan tindakan, serta diikuti dengan upaya
pemantauan dan penyesuaian yang menerus, sangat sulit dan sudah terlambat.
Kajian-kajian oleh berbagai cabang filsafat (logika, epistemologi, etika, dan
estetika, metafisika dan lain-lain) akan besar pengeruhnya terhadap pendidikan,
karena prinsip-prinsip dan kebenaran-kebenaran hasil kajian tersebut pada
umumnya diterapkan dalam bidang pendidikan.

B. Landasan Filsafat Pendidikan


1. Aspek Ontologi Pendidikan
Aspek ontologis adalah suatu bahasan pendidikan menurut hakikat kodrat
keberadaan pendidikan dalam hubungannya dengan asal mula, eksistensinya dan
tujuan akhir kehidupan manusia. Pemahaman ontology pendidikan akan
memberikan kejelasan tentang asal mula dan tujuan hidup. Dari kejelasan tersebut,
tujuan pendidikan itu sendiri kemudian menjadi terjelaskan. Sebagai
konsekuensinya, maka manusia semakin memahami fungsi pendidikan bagi
eksistensi kehidupan. Selanjutnya, atas kualitas pemahamannya itu manusia mampu
memposisikan dan memerankan dirinya secara tepat di dalam kelangsungan
kehidupannya. Reposisi dan refungsional itu, kemudian akan bisa menumbuhkan
kesadaran untuk tetap berupaya menjaga kelestarian kehidupan.
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat
keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan
hukum sebab-akibat. Yaitu ada causa prima (Tuhan), alam da nada manusia , dalam
suatu hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek
ontology segala sesuatu yang ada ini berada dalam tatanan hubungan estetis diliputi
dengan warna nilai keindahan (Gndhi, 2016 : 90).
Pendidikan, ditinjau dari sisi ontology berarti persoalan tentang hakikat
keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada dalam
hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan manusia
ditentukan asal mula dan tujuannya (Suhartono,2009 : 63). Oleh sebab itu dapat
dipahami bahwa ontologi pendidikan berarti pendidikan dalam hubungannya
dengan asal mula, eksistensi dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa manusia,
pendidikan tak ernah ada. Tetapi bagaimana halnya dengan keberadaan manusia
tanpa pendidikan? Mungkinkah itu?
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendiddikan adalah persoalan khas manusia.
Secara keilmuan, subyek pendidikan adalah manusia dan objek pendidikan adalah
juga manusia. Hai ini berarti “manusia melakukan pendidikan terhadap dirinya
sendiri”. Apakah yang harus dilakukannya? Karena pendidikan adalah masalah
manusia, maka persoalan pokoknya adalah menumbuhkembangkan potensi yang
terkandung di dalam diri manusia secara berkelanjutan.
a. Pendidikan dan Manusia
Manusia siapa pun, sebagai apa pun, di mana kapan pun berada adalah
berhak atas pendidikan. Manusia sebagai objek pendidikan adalah manusia
dalam penwujudannya sebagai individu sebagai bagian integral dari
masyarakatnya. Dua sisi perwujudan ini dipandang penting dan perlu untuk
diproses dalam sistem pendidikan, agar di kemudian hari manusia dapat
menemukan jati dirinya sebagai manusia. Berulang kali dinyataka bahwa tanpa
pendidikan manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya
di dalam eksistensi kehidupan, sesuai dengan hakikat tujuan hidupnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan secara khusus difungsikan untuk
menumbuhkembangkan segal potensi kodrat (bawaan) yang ada di dalam diri
manusia (Suhartono, 2009 : 65).
Potensi kejiwaan cipta, rasa dan karsa mutlak perlu mendapat bimbingan
berkelanjutan, karena ketiganya adalah potensi kreatif dan dinamis khas
manusia. Adapun sasaran pembimbingan dalam sistem kegiatan pendidikan
adalah menumbuhkan kesadaran atas eksistensi kehidupannya sebagai manusia
yang berasal mula dan bertujuan.
Tiga potensi kejiwaan cipta, rasa, dan karsa manusia perlu
ditumbuhkembangkan secara imbang dan terpadu, agar spint manusia semakin
cerdas. Seorang manusia yang eksist dalam kecerdasan spintual. Cenderung
berwawasan luas dan mendalam. Wawasan demikian itu menembusi tembok
batas ‘positivisme radikal’ yang sementara ini membelenggu kehidupan
manusia dalam kepicikan, kebodohan dan kesombongan. Kecerdasan spintual
membuka wawasan memasuki dunia transenden yang tunggal dan bersifat
absolut, yaitu dunia yang berada diluar jangkauan pikiran dan pengalaman
manusia. Kemudian, kecerdasan spintual untuk selanjutnya perluu dijadikan
fundasi eksistensi kehidupan manusia agar berlangsung dalam dinamika
perkembangan secara konstan berdasarkan atas kesadaran mendalam tentang
sifat hakikat asal mula dan tujuan kehidupannya (Junaedi,2010 : 30).
Potensi kecerdasan spiritual menjadi tumbuh berkembang, apabila secara
terus-menerus dirawat. Perawatannya, terletak pada seberapa jauh nilai tersebut
mewarnai kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu nilai keindahan spiritual perlu
dijabarkan ke dalam kehidupan sehari-hari oleh kedua orang tua. Hakikat asal
mula dan tujuan kehidupan harus menjiwai, dan selanjutnya menjadi spirit
setiap kegiatan kehidupan keluarga. Tiga moral spiritual, yaitu syukur, sabar,
dan ikhlas sebagai benteng dalam upaya membangun kecerdasan spiritual harus
ditumbuhkembangkan.

b. Pendidikan dan Filsafat


Secara etimologis, filsafat berari cinta kearifan. Mencintai kearifan berarti
mendambakan kehidupan yang diliputi dengan sikap dan perilaku adil.
Kehidupan yang berkeadian adalah kehidupan yang harmonis penuh dengan
ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan Kehidupan demikian adalah
kehidupan dinamis, kehidupan kreatif untuk pertumbuhan dan perkembangan
ke arah masa depan yang lebih baik.
Selanjutnya, menunut objesk penyelidikannya, fisatat adalah bidang studi
yang mempersoalkan hakikat segaia sesuatu yang ada. Apakah yang ada itu
secara kuantitatif tunggal atau plural, berada dalam realita abstrak atau konkret
Apakah yang ada itu bersitat mutlak dan tetap atau relatif dan berubah-ubah.
Filsafat terhadap pertanyaan itu mengakui bahwa menurut subtansinya. yang
ada itu tunggal, berada di tingkat abstrak, bersifat mutlak dan tidak mengalami
perubahan. Sedangkan menurut eksistensinya, yang ada itu plural, berada di
tingkat konkret, bersifat relatif dan mengalami perubahan terus-menerus
(Suhartono, 2009 : 72).
Jadi, segala sesuatu yang ada di dunia pengalaman sekarang di sini ini
berasal mula dari satu substansi. Persoalan yang muncul adalah bagaimana
menyikapi segala pluralitas ini, agar tidak terjadi benturan antara satu dengan
lainnya. Misalnya, pluralitas jenis, sifat dan bentuk manusia, inatang, tumbuhan
dan badan-badan benda berasal dari satu substansi. Apakah yang seharusnya
dilakukan, agar antara manusia satu dengan lainnya tidak saling berbenturan
kepentingan, ssehingga bias mengancam keteraturan sosial dan keterteban
dunia.
Berdasrkan filsafat, pendidikan berkepentingan untuk membangun filsafat
hidup, untuk dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Agar
dengan demikian kehidupan sehari-hari senantiasa dalam keteraturan. Jadi,
terhadap pendidikan, filsafat memberikan sumbangan berupa kesadaran
menyeluruh tentang asal mula, eksistensi dan tujuan kehidupan manusia. Ide
tentang asal mula, eksistensi dan tujuan hidup itu selanjutnya dijadikan
kerangka dasar seluruh proses pendidikan. Artinya, seluruh proses pendidikan
itu secara fungsional harus bermanfaat bagi tujuan hidup. Jadi tanpa filsafat,
proses pendidikan tidak terarah bahkan boleh jadi tidak bisa melakukan kegiatan
apa-apa, tidak tahu sesuatu apakah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, tanpa
pendidikan filsafat tidak akan pernah bisa menyentuh konteks, tetap berada di
dalam dunia utopianya (Gandhi, 2016 : 90).

c. Pendidikan dan Sejarah


Sama halnya dengan pendidikan, sejarah adalah hal yang bersifat kodrat
di dalam diri manusia. Manusia adalah makhluk yang menyejarah di sepanjang
hidupnya.Bagimana caranya? Jalan apa yang ditempuh oleh manusia di dalam
menyejarah? Jawabannya adalah pendidikan. Melalui jalan pendidikan, manusia
menciptakan masa depannya, menciptakan sejarahnya. Karena bagi manusia,
sesungguhnya sejarah adalah lebih nengenai persoalan masa depan.
Pada umumnya dipahami bahwa sejarah adalah suatu rentetan kejadian
yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat manusia dari waktu ke waktu
menuju masa depan. Rentetan kejadian dimaksud adalah bukan yang secara
kebetulan. Tetapi rentetan kejadian yang berlangsung dalam kesengajaan, yang
berarti atas suatu kesadaran. Sadar atas asal mula, eksistensi dan tujuan
hidupnya, menusia merencanakan masa depannya. Karena itu objek sejarah
adalah rentetan kejadian yang selalu bergerak menuju masa depan, ke arah
perkembangan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi jelaslah bahwa
sejarah adalah suatu sistem rentetan kejadian bersumber dari kesadaran, dengan
objek khusus yaitu kesadaran tentang perlunya perubahan-perubahan demi
perkembangan dan dan kemajuan bagi kehidupan masa depan masyarakat
manusia (Suhartono, 2009 : 73).
Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan sejarah, pendidkan adalah suatu
sistem proses pembimbingan ke arah pemanusiaan untuk masa mendatang.
Atinya, pendidikan dapat dikatakan sebagai "sistem peristiwa penyejarahan
manusia. Pendidikan membuat manusia bisa menyatu dengan sejarahnya,
mengubah dan mengembangkan dirinya secara terus-mènenus sehingga menjadi
manusia yang semakin bernilai kemanusiaan. Dengan sejarahnya manusia
mengubah dan mengembangkan pendidikan untuk melangsungkan
eksistensinya dalam sistem dialektik kausalalik menuju kethidupan masyarakat
masa mendatang yang baru dan lebih baik, lebih berbudaya dan berkeadian
(Suhartono, 2009 : 74).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sejarah dan pendidikan
bersifat "koeksistensial”. Ketika pendidikan sedang beproses berarti manusia
sedang berada di dalam proses sejarah menuju masa depannya.

d. Pendidikan dan IPTEK


Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu sistem potensi intelektual
manusia yang dihasilkan dari rentetan panjang sistem proses kegiatan
pendidikan. Dengan ilmu pangetahuan dan teknologi, sagaia perubahan vang
direncanakan oleh pendidikan dapat dikerjakan. Fakta membuktikan bahwa
teknologi mampu mempraktekkan teori ilmu dalam sistem perindustrian.
Dengan perndustrian dinamika kehidupan manusia mengalami perubahan yang
begitu cepat. Dengan teknologi dan perindustrian, kini manusia seolah-olah bisa
melakukan segala hal sesuai dengan yang dikehendaki. Ada yang berpendapat
dengan teknolagi dan perindustrian, manusia semakin mampu membuktihan
bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling istimewa (Suhartono,
2009 : 74).
Dalam hubungannya dengan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi
mendukung tanggung jawab untuk membudidayakan ekstensi kehidupan
manusia. Artinya, dengan peralatan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia
semakin lebih berpeluang untuk menciptakan perubahan- perubahan yang
bermanfaat bagi kehidupan yang lebih berkembang dan maju. Dengan teknologi
pendidikan mampu membuat perubahan, dan dengan pendidikan teknologi
diharapkan mampu membuat kehidupan semakin berkembang dan maju.
Berkembang dan maju dalam arti bernilai kultural manusiawi, segala kebuluhan
hidup dapat dengan lebih mudah dicukupi dan dapat dimanfaatkan secara adi
dan merata. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi maka seharusnya jalan
menuju kesejahteraan umum semakin terbuka (Mudyahardja,2001 : 189).
e. Sebuah Paradigma Ontologi Pendidikan
Secara ontologis, pembahasan pendidikan selaiu terkait dengan hakikat
keberadaan manusia. Dari pembahasan panjang lebar itu dapat ditarik suatu
kesimpuian bahwa tanpa menusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothingness),
sebaliknya tanpa pendidikan mustahil manusia mampu mempertahankan
kelangsungan dan mengembangkan kehidupannya. Jadi ontologi pendidikan
sepenuhnyamutlak berakar dari dalam diri dan keberadaan manusia.
Secars ontolongis, manusia berada dalam tiga tingkatan hakikat, yaitu
pada tingkat abstrak (abstract essece), tingkat potensi (potencial essence) dan
tingkat konkret (concrete essence). Karena pendidikan mutlak berlangsung di
dalam diri dan keberadaan manusia, maka ontologi pendidikan data dibahas
menurut tingkat-tingkat keberadaan sseperti itu.
Essensi abstrak pendidikan. Maksud dari ungkapan ini adalah hakikat
keberadaan pendidikan pada tingkat abstrak. Pada tingkat ini, pendidikan
bernilai universal. Artinya mutlak adanya dan berlaku bagi manusia siapapun,
yang ada kapan dan dimanapun juga.n Esensi potensial pendidikan. Pada tingkat
keberadaan ini pendidikan adalah suatu daya yang mampu membuat manusia
berada di dalam kepribadiaannya sebagai manusia, bukan makhluk lainnya.
Yaitu sebagai makhluk kreatif, yang selalu mencipta segala macam jenis
kerangka dan model perubahan yang berguna bagi kelangsungan dan
perkembangan kehidupannya (Suhartono : 77).
Esensi konkret pendidikan. Pada tingkat ini, pendidikan terkait secara
langsung dengan manusia individual. Dalam hal ini pendidikan adalah daya
yang mampu membuat setiap manusia individu berkesadaran utuh terhadap
hakıkat keberadaannya berdasar pada nilai-nilai asal muia dan tujuan
kehidupannya (cerdas spiritualnya). Di samping itu, pendidikan juga membuat
setiap individu mampu merancangbangun teori-teori perubahan yang bernilai
guna bagi kelangsungan dan perkembangan kehidupan individualnya (cerdas
intelegensinya) sendiri (Suhartono, 2009 : 78).

2. Aspek Epistemologi Pendidikan


Epistemologi adalah salah satu bidang filsafat nilai (axiology) yang
mempelajari tentang nilai kebenaran.Jadi dalam hubungannya dengan pendidikan,
maka yang menjadi masalah utamanya adalah tentang nilai keilmuannya.Adapun
yang dimaksud dengan nilai keilmuan adalah kebenaran dalam pendidikan atau
pendidikan yang benar (Sholihan, 2015 : 239)
Selanjutnya, bagaimana kebenaran pendidikan itu ditanamkan ke dalam dini
pribadinya, untuk dikembangkan menjadi sikap terdidik, (sikap ilmiah), cerminan
kecerdasan intelektual dalam pergaulan hidup berma syarakat.Adapun penanaman
dimaksud tentu menurut sudut pandang (objek forma), metoda dan sistem yang
benar pula.
Pada dasarnya, "epistemologi adalah bidang filsafat nilai yang
mempersoalkan secara khusus pengetahuan tentang nilai kebenaran yang secara
otomatis juga mempersoalkan tentang bagaimana 'cara" mendapat kannya Jadi,
jikaditerapkan pada pendidikan berarti yang menjadi persoalan pokoknya adalah
pengetanuan yang benar tentang pendidikan atau kebenaran pendidikan, dan
sekaligus bagaimana 'cara' penyelenggaraannya secara benar pula (Mudyahardja,
2001 : 44).
Pemahaman aspek epistemologi pendidikan, berfungsi sebagai landasan
dasar pengembangan potensi intelektual, sehingga pada waktunya dapat
membuahkan kecerdasan intelektual, ataukematangan inteligensia Kematangan
inteligensia ini berposisi sentral dan karenanya juga bernilai guna di dalam dan bagi
kelangsungan kehidupan sehari-hari Karena sepanjang kehidupan sehari-hari
diperlukan keahlian khusus, kecakapan dan ketrampilan untuk dapat memastikan
bahwa hal sesuatu bisa dikerjakan atau tidak.Jika menurut perhitungan dapat
membuahkan hasil untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, maka harus dilakukan
dan jika tidak maka harus tidak dilakukan.Oleh karena sasaran epistemologi
pendidikan adalah keahlian dan ketrampilan, maka pendidikan lebih merupakan
tanggung jawab institusional persekolahan (Suhartono, 2009 : 79).
Karena epistemologi mempersoalkan secara ilmiah tentang objek metoda
dan sistem untuk memperolah nilai kebenaran, maka di dalam Bab ini, pembahasan
epistemologi pendidikan dititik sentralkan pada hal-hal mengenai objek pendidikan,
metoda dan sistem penyelenggaraan pend dikan, serta pengetahuan tentang
kebenaran pendidikan itu sendiri
a. Objek Pendidikan
Objek, dalam ilmu pengetahuan terdiri dari objek materi dan objek
forma.Objek materi pendidikan adalah manusia dalam berbagai perwujudannya.
Artinya manusia siapapun, dalam kondísi bagaimanapun, yang ada di mana dan
kapanpun juga. Sedangkan objek forma pendidikan, secara epistemologis
adalah manusia menurut segi potensi intelektualnya.Sejauh mana potensi
intelektual ini dapat dibimbing untuk dikembangkan seoptimal mungkin,
menjadi cerdas dalam keahliannya (competent) dan terampil (skillful).Dengan
kecerdasan ini diharapkan dapat secara dinamis menggerakkan kehidupan
manusia dan masyarakatnya ke arah kemajuan hidup. Hal inilah yang kemudian
menjadi ruang lingkup studi atau tujuan khusus epistemologi pendidikan
(Gandhi, 2016 : 89).
Oleh sebab itu, pendidikan harus diproses menurut perencanaan yang jelas
dan pasti dapat dikerjakan.Perencanaan itu berisi tentang sebuah paket materi
pendidikan untuk dapat dididik dan diajarkan secara intensif efektif dan
efisien.Untuk kepentingan itu, maka suatu model administrasi dan manajemen
pendidikan merupakan hal-hal yang penting dan perlu Menurut objek formanya,
materi pendidikan (kurikulum) menjadi persoalan sentral.Persoalannya adalah
materi yang bagaimana? Sudah barang tentu materi yang sesuai dengan sasaran
khusus epistemologi pendidikan, yaitu yang mampu mengembangkan keahlian
dan ketrampilan hidup (life skil) (Suhartono, 2009 : 80).

b. Metoda Pendidikan
Berdasarkan objek forma pendidikan tersebut di atas, maka persoalan
metoda pendidikan adalah bagaimana cara!yang-tepat-isi atau materi
pendidikan itu dididik dan diajarkan.Sedangkan isi atau materi pendidikan,
dijabarkan dari tujuan pendidikan dan diorganisir menjadi kurikulum.
Dalam rangka menentukan metoda pendidikan yang tepat, maka tujuan
pendidikan harus jelas.Seperti telah diungkap di dalam objek form pendidikan
di atas, bahwa tujuan pendidikan adalah pengembangan p manusia khususnya
potensi intelektualnya. Potensi ini dididik untuk dikem bangkan ke arah
keahlian dan ketrampilan. Karena di dalam diri manusia sudah ada potensi atau
bakat, maka metoda pembidanan (maiyotikos Sokrates) dinilai sebagai yang
paling tepat.
Sebagaimana seorang bidan menolong suatu kelahiran, maka peranan
seorang pendidik adalah juga menolong kelahiran bakat yang sudah ada di
dalam diri peserta didik. Setelah bakat itu lahir, bagaimana dapat dikembangkan
secara efektif dan efisien. Kemudian, bakat yang telah berkembang itu dapat
dimanfaatkan demi kemajuan kahidupan.Persoalan yang muncul adalah
bagaimana mengetahui suatu bakat yang ada di dalam diri peserta didik, dan
siapa yang bertanggung-jawab untuk menentukan jenis dan bentuk bakat yang
ada itu.Setelah itu, bagaimana pula caranya mengembangkan bakat-bakat itu,
dan atas tanggung jawab siapa pengem bangannya.Kemudian, bagaimana cara
pemanfaatan bakat-bakat itu dan siapa pula yang harus bertanggungjawab
(Suhartono, 2009 : 82).
Pertama, dalam hal mengetahui bakat yang ada di dalam diri peserta didik,
orang tua adalah penanggung jawab utama.Secara tradisional jika seorang anak
lahir dari orang-tua petani, maka anak itu mendapatkan didikan, bimbingan
untuk menjadi petani.Dalam hal ini orang-tua secara diam-diam beranggapan
bahwa anak mewarisi bakat sebagai petani.Tetapi ketika zaman mulai maju,
pendidikan sekolah berkembang di mana-mana kehidupan cenderung semakin
terdidik, maka orang-tua yang petani, nelayan pedagang dan sebagainya
cendeung lebih terbuka dalam mendidik anak anaknya.Sejak melahirkan, sesuai
dengan kemampuan inteleknya, para orang-tua secara cermat terus-menerus
mengamati dinamika tingkah-laku anak-anaknya.Sambil mengasuh dan
membimbing, orang-tua membuat catatan seluruh gerak-gerik mereka.Dari
keseluruhan perilaku anak, tercatat ada suatu tingkah-laku yang dominan,
menonjol.Kemudian orang-tua untuk sementara menyimpulkan dan menilai
bahwa seorang anaknya, misalnya berbakat 'A' (pedagang).
Kedua, mengenai metoda pengembangan bakat yang ada pada peserta
didk, sekolah, dalam hal indmaksud adalah guru, mempunya tanggung-jawab
besar Pengembangan bakat, seharusnya dmulai dart inven tarisasi materi
pendidkan Selanjutnya menentukan bentuk dan model pengorganisasian
kurikulum (lihat pada bahasan tentang objek forma, di atas) Jika kurikulum
sudah siap, maka phak sekolah perlu menindak-lanjut denganmelakukan tenaga
pendidik yang berkompeten, berketrampilan dan komitmen kuat, dalam
mengimplementasikan kunkulum dalam bentuk jenis- jenis mata pelajaran
Untux memandu etektivitas kegiatan belajar, maka sistem kontrol oleh sekolah
peru dikembangkan secara terus-menerus.Kontrol sebagai sistem manajemen,
sasarannya adalah menemukan titik-titk lemah yang ada pada diri para pendidk,
untuk selanjutnya dupayakan perbaikan-perbaikan, sesual dengan ketentuan-
ketentuan yang dbuat dari hasil evaluasi Misalnya, dikutkan daiam penataran,
upgrading, atau kalau perlu diberikan kesempatian tugasbelajar ke tingkat
jenjang pendidkan sekolah yang lebih tinggi.
Ketiga, tentang pemanfaatan bakat adalah menjadi tanggung-jawab
penuhnya masyarakat Pemanfaatan bakat berhubungan dengan sistem
rekrutmen untuk menyerap habis bakat terdidik ke dalam setiap bidang kegiatan
masyarakat.Sedangkan masyarakat, dapat dimengerti secara jela menurut
bidang-bidang kegiatannya.Kegiatan masyarakat dapat dirinci meliputi bidang-
bidang sosial-ekonomi, sosial politik, sosial yustisi, sosial sekuriti, sosial
budaya dan mungkin masih ada lebih banyak lagi (Suhartono, 2009 : 83).
Selanjutnya, persoalannya adalah bahwa setiap institusi sosial yang
bergerak di bidang kegiatan sosial masing-masing seharusnya merekrut mereka
untuk menjadi sumberdaya ketenagaannya sosuai dengan bakat yang
dimiliki.Menempatkan orang di suatu profesi sesuai dengan bakat dan
kompetensi serta ketrampilannya (right men on the right place) Jangan sampai
terjadi 'sarjana hukum’ direkrut sebagai tenaga administrasi di Departemen
Pendidikan Nasional, dan sebagainya.Sistem rekrutmen seperti itu, mungkin
masih bisa ditolerir, karena keahlian hukum mempunyai titik singgung yang
berguna bagi pemberdayaan administrasi manajeman di departeman itu. Tetapi,
ketika misalnya orang yang berbakat ‘bisnis' diposisikan pada bidang peradilan,
politik, pendidikan dan kesehatan, dikhawatirkan tumbuh kecenderungan moral
bisnis keadilan, politik, pendidikan dan bisinis sehatan Akibatnya, kehidupan
masyarakat luas menjadi hancur oleh keganasan bisnis negatif seperti itu.
Jadi, pemberdayaan sumber daya manusia sesuai dengan bakat,
kompetensi dan ketrampilan seseorang perlu dipedomani.Pemberdayaan
demikian, menjanjikan suatu kehidupan sosial yang kreatif dan produktif untuk
merespon kebutuhan hidup yang selalu berkembang.

c. Sistem Pendidikan
Dalam ilmu pengetahuan, berdasar pada sifat objek studi, sistem pada
dasarnya ada dua yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka.Penerapan sistem
tertutup ke dalam objek pendidikan, berupa penyelenggaraan sistem kegiatan
pendidikan menurut koridor pengajaran, Sedangkan sistem terbuka cenderung
menurut koridor pembimbingan dan pengasuhan.
Dengan sistem pengajaran, pendidikan menghasilkan ketrampilan
‘menghafal’ seluruh isi materi pelajaran. Hal ini berarti seluruh isi buku
pelajaran persis tercetak di dalam pikiran peserta didik. Apakah ini artinya,
sejauh mana fungsinya?Bagi pihak sekolah, mungkin dinilai berarti dan
berfungsi karena memenuhi ukuran dan sasaran.Tetapi apakah semua isi
pendidikan yang terhafal itu berarti dan berfungsi bagi peserta didik di dalam
kehidupan masyarakat?Trampil membaca, menulis kembali dan berhitung
menurut isi buku pelajaran, misalnya, belum tentu trampil membaca, menulis
kembali (mengungkapkan dalam bentuk tulisan), dan memperhitungkarn
kejadian yang sesungguhnya di dalam kehidupan masyarakat.Karena isi
textbook, belum tentu bersesuaian persoalan-persoalan yang sedang berjalan di
dalam kehidupan masyarakat.Sistem kegiatan pendidikan dengan penekanan
pada, pengajaran melahirkan luaran dengan keahlian dan ketrampilan imitative
(Mudyahardja, 2001 : 64).
Model pengorganisasian materi pendidikan (kurikulum) seperti itu perlu
direspon dengan ketesediaan tenaga sumber daya pendidik (guru) yang
konpeten.Yaitu guru yang berkeahlian, cakap dan mempunyai daya kreativitas
tinggi. Kualitas guru seperti itu pasti tidak, ‘textbook oriented’ melainkan
berorientasi ‘kecakapan hidup’ (competence of life) dan ketrampilan hidup.
Dalam kegiatan pembelajaran , karena itu guru lebih banyak melakukan inovasi
dan improvisasi dengan metoda memperhadapkan materi pelajaran dengan
realitas yang sedang berjalan (context), untuk menemukan titik hubungannya.
sebagai kensekuensinya adalah guru tidak mendorong pesena hak untuk
terjebak ke dalam penghafalan, tetapi lebin cenderung kearah 'pengertian’. Oleh
sebab itu guru tidak memberikan evaluasi secara tertutup, melainkan secara
terbuka Artinya jawaban yang diberikan oleh peserta didik dalam setiap tahapan
evaluasi diukur menurut kesesuainnya dengan kenteks. Dalam hal ini mungkin
tidak perlu ada nilai mutlak 10 (sepuluh) untuk jawaban yarg benar dan nilai
mutlak 0 (nol) untuk jawaban yarg keliru.Karena di dalam kehidupan praktis,
yang terjadi adalah lebih dominan pada relatvitas (Suhartono, 2009 : 85).
Jika sistem pendidikan ini dilaksanakan secara konsisten, meski
diperlukan biaya besar, pendidikan sekolah kemudian dapat diharapkarn
menghasilkan luaran yang kreatif, cakap dan trampil menurut setiap jenjang
pendidikan. Kualitas luaran seperti itu, adalah potensi bagi kemajuan kehidupan
masyarakat. Oleh karenanya diharapkan dapat mendorong kemajuan baik pada
tingkat lokal, nasional maupun global. Kemajuan dimaksud adalah berupa
kerangka dasar bagi berkembangnya tali persahabatan dunia menurut dasar
nilai-nilai pendidikan dan kebudayaan. Tegasnya nilai-nilai perikemanusiaan
dan perikeadilan.

3. ASPEK AKSIOLOGI PENDIDIKAN


a. Etika: Hakikat Nilai Kebaikan
Secara keilmuan, filsafat berada dalam posisi sebagai sebuah ‘pohon’.
Sebagaimana sebuah pohon, memiliki cabang-cabang besar disebut ‘axiologi’,
yang mempelajari tentang hakikat nilai. Ada tiga jenis nilai yang dipersoalkan,
yaitu nilai keindahan, nilai kebenaran dan kebaikan (Jalaludin, 2011 : 127).
Nilai keindahan dipersoalkan secara khusus dalam cabang filsafat estetika. Nilai
kebenaran dipersoalkan dalam cabang filsafat epistemologi dan nilai kebaikan
dipelajari dalam cabang filsafat estetika.
Telah diketahui secara umum bahwa etika adalah suatu studi filosofis
mengenai moral (philosopycal study of morals). Jadi, persoalan pokoknya
adalah tentang ‘hakikat moral’. Moral adalah masalah tingkah-laku dalam
hubungannya dengan diri sendiri dan sesamanya, sejauh mana mengandung
nilai kebaikan. Apakah ukurannya sehingga suatu perilaku itu bernilai baik?
Apakah kebaikan itu relative atau mutlak? Apakah baik, seseorang mencuri
obatt untuk kesembuhan seorang anggota keluarganya yang sakit parah dengan
alasan tidak punya uang? Sejauh mana memberi sedekah kepada pengemis
dinilai baik? (Suhartono, 2009 : 95)
Hakikat kebaikan yang menjadi persoalan sentral etika adalah ‘nilai
baik’ menurut semua segi. Dipandang dari sisi manapun nilai kebaikan tidak
pernah mengalamu perubahan. Jadi bersifat mutlak. Hal-hal seperti kesehatan,
ketenangan, ketentraman, kemakmuran, kebahagiaan dan sebagainya tetap
mengandung nilai kebaikan. Hanya saja jenis perilaku mana yang bersesuaian
dengan nilai kebaikan. Sebab tidak semua jenis perilaku berbanding lurus
dengan nilai kebaikan. Jadi tepatnya, titik problematika etika terletak pada
tingkat emosi perbuatan. Jadi persoalan perilaku. Celakanya, dalam kehidupan
sehari-hari setiap perilaku selalu cenderung pada kepentingan individual atau
kelompok tertentu. Jadi perilaku yang mana dimaksud dalam etika Pendidikan?
(Suhartono, 2009 : 95).
Jadi, hakikat nilai kebaikan itu berada di dalam perilaku. Dengan
demikian, hakikatnya dapat diketahui dari fakta perilaku. Apakah fakta perilaku
itu bersesuaian dengan derajad nilai kemanusiaan ataukah tidak. Sedangkan
derajad nilai kemanusiaan itu terletak pada apakah suatu perilaku mampu
menumbuhkan moral menolong dan memberi, sehingga menjadikan semua
pihak mampu hidup mandiri, kreatif, cakap dan trampil dalam kehidupannya.

b. Sasaran Etika Pendidikan


Dari paparan tentang hakikat nilai kebaikan dalam pendidikan di atas,
dapat dinilai bahwa sasaran utama aspek etika pendidikan adalah menumbuh-
kembangkan nilai kebaikan dalam perilaku, sehingga bisa menjadi matang dan
cerdas (kecerdasan emosional). Karena aspek etika pendidikan merupakan
bagian integral dari aspek epistemologi dan ontologi, maka ‘pencerdasan
emosional’ dilakukan menurut pencerdasan intelegensi dan berdasar kepada
pencerdasan spiritual. Ketiga jenis pencerdasan ini berproses saling
berhubungan secara kausalistis, dengan meletakkan pencerdasan spiritual
sebagai basis dari kedua pencerdasan lainnya. Jadi berarti pencerdasan spiritual
dominan terhadap pencerdasan intelegensi dan pencerdasan emosional.
Dari pemikiran tersebut bisa dirumuskan suatu gambaran bahwa
kecerdasan emosional adalah sebuah perilaku yang dibangun menurut dasar
ontologis dan epistemologis pendidikan. Seperti diketahui, ontologi pendidikan
pada masalah "pemanusiaan manusia". Masalah ini berlatar-belakang pada
kesadaran mendalam terhadap realitas asal mula, eksistensi dan tujuan hidup
manusia. Kesadaran atas asal mula kehidupan, menumbuhkan potensi moral-
spiritual syukur; Kesadaran atas eksistensi kehidupan menumbuhkan potensi
moral-spiritual sabar, dan kesadaran atas tujuan kehidupan menumbuhkan
moral-spiritual ikhlas. Sedangkan episterminologi pendidikan menekankan
masalah pengembangan "daya intelektual", dengan sasaran keahlian
(competence) dan ketrampilan (skil) hidup. Jadi dapat disimpulkan bahwa
'kecerdasan emosional' adalah perilaku yang mengandung nilai kebenaran
(sesuai dengan keahlian) menurut landasan spirit bersyukur, bersabar dan
berikhlas. Perilaku yang sarat dengan kebijaksanaan (wisdom) (Suhartono, 2009
: 99).
Oleh sebab itu dapat dinilai bahwa bentuk dan wujud kecerdasan adalah
kemampuan emosional adalah kemampuan mengendalikan diri untuk tidak
melampaui batas. Orang yang cerdas emosinya dalam menjalani kehidupan
selalu berorientasi pada kebutuhan, bukan keinginan. Artinya tidak menjadi
tamak dan serakah. Ketamakan dan keserakahan adalah moral yang negatif dari
kompetensi epistemologis dan bisa membunuh spirit ontologis syukur, sabar
dan ikhlas,sehingga kehidupannya seribu menjadi sekuler. Kehidupan sekuler
adalah kehidupan yang berorientasi pada kenikmatan material positivistik.
Selanjutnya, secara filosofis kualitas pendidikan bisa diukur pada
konsistensi pelaksanaan sikap objektif orang-tua kedalam praktek hidup sehari-
hari. Jika’ hidup sehat’ sebagai sikap objektif , seharusnya orang tua melakukan
pembatasan-pembatasan dalam kegiatan fisis seperti makan, minum, bermain,
berbelanja dan sebagainya. Kecuali itu juga perlu melakukan pembatasan dalam
setiap kegiatan spiritual seperti berpikir berasa dan berkarsa secara berlebihan
kepada siapapun. Seluruh anggota keluarga perlu diikutsertakan dalam
melakukan semua kegiatan itu. Misalnya dengan pembiasaan 'memutuskan
untuk melakukan sesuatu menurut alasan yang jelas dan cukup', memutuskan
membeli pakaian dengan alasan yang lama sudah aus, dan sebagainya. Semua
keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan, perlu
dipercayakan kepada seluruh anggota keluarga sebagai beralasan rasional dan
empirik (Suhartono, 2009 : 102).
Akhirnya, dari seluruh bahasan tentang etika pendidikan dapat
disimpulkanbahwa inti persoalannya adalah 'perilaku terdidik' WUJUD dari
kecerdasan moral emosional. Dalam rangka membentuk perilaku terdidik itu
berproses dengan langkah-langkah metodis dan sistematis kependidikan. Secara
lebih konkret, perilaku terdidik dimaksud adalah kemampuan pengendalian
perilaku. Semuanya itu kuncinya terletak pada seberapa kuat pengaruh potensia
rasa dengan kecerdasan spiritualnya dan potensi akal.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. landasan pendidikan pada hakekatnya adalah dasar dasar, titik pijak yang melandasi
oprasionalisasi sistem pendidikan. Landasan filosofis merupakan landasan yang
berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan,
2. Pendidikan, ditinjau dari sisi ontology berarti persoalan tentang hakikat keberadaan
pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada dalam hubungannya
dengan eksistensi kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan manusia ditentukan asal
mula dan tujuannya. Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa ontologi pendidikan berarti
pendidikan dalam hubungannya dengan asal mula, eksistensi dan tujuan kehidupan
manusia.
3. Epistemologi pendidikan dititik sentralkan pada hal-hal mengenai objek pendidikan,
metoda dan sistem penyelenggaraan pend dikan, serta pengetahuan tentang kebenaran
pendidikan itu sendiri Hakikat kebaikan yang menjadi persoalan sentral etika adalah
‘nilai baik’ menurut semua segi. Dipandang dari sisi manapun nilai kebaikan tidak
pernah mengalamu perubahan. Jadi bersifat mutlak.
4. Sasaran utama aspek etika pendidikan adalah menumbuh-kembangkan nilai kebaikan
dalam perilaku, sehingga bisa menjadi matang dan cerdas (kecerdasan emosional).
DAFTAR PUSTAKA

Bernadib, Sutarmi Imam.2013. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta.


Ombak (Anggota Ikapi).
Gandhi, Teguh wongso.2016. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta. Ar,Ruz Media
Jalaludin dan Abdullah idi. 2016. Filsafat Pendidikan. Jakarta. PT. Raja Grafindo
Jakarta.
Junaedi, Mahfudz. 2010. Filsafat Pendidikan Islam. UIN Walisongo Semarang.
Mudyahardja, Redja. 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan. PT. Remaja Rosdakarya.
Sholihan. 2015. Pengantar Filsafat. UIN Walisongo Semarang.
Suhartono, suparlan. 2009. Pendidikan filsafat. Makasar. Universias Negerii Malang.

Anda mungkin juga menyukai