Anda di halaman 1dari 8

NAMA : MUTIA RAHMAWATI

NIM :2014730066

9) Jelaskan pemeriksaan penunjang pada peyakit skenario

1. Diagnosis Laboratorium

Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV dibagi dalam dua
kelompok yaitu :

1.1 Uji Imunologi


Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan sebagai
test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme – linked immunosorbent assay
(ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot atau indirect
immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari test
krining. Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan
persentase CD4+ dan CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk
diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.

a) Deteksi antibodi HIV


Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV.
ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama, dan
hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect Immunofluorescence
Assays). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes konfirmasi lanjutan,
walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela (window period), tetapi harus
ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu
dapat terjadi pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi
melawan HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua
tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi
pada individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan transfer
maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1.
Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di
konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1.
b) Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap HIV-1.
Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau
imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes
dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
c) Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai
hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan antibodi yang
melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan hanya
sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes). Hasil negative
Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai
hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
d) Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit
lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan fluorokrom dan
akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan
fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan
antibodi HIV-1.
e) Penurunan sistem imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4 + T limfosit, sebagian besar sel
target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai
petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama
perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100
sel/tahun.

1. 2 Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi asam
nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk menemukan asam nukleat
HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti uji untuk
protein kapsid virus (antigen p24)).

a) Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel
darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan
supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau untuk
antigen spesifik virus. NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test) Menemukan RNA
virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk diagnosis pada anak usia kurang
dari 18 bulan. Karena asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat
banyak dalam sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR,
menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV
merupakan petanda predikti penting dari progresi penyakit dan menjadi alat bantu yang
bernilai untuk memantau efektivitas terapi antivirus.
b) Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam keadaan
bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24
jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang
sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang digunakan
untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi
anti-p24 (Read, 2007).
Pemeriksaan Penunjang Pada Infeksi HIV
Adapun pemeriksaan yang dapat kita lakukan pada Infeksi HIV adalah sebagai berikut :

1. Tes anti HIV-1/HIV-2 (rapid tes)


2. Tes anti HIV1/2 (ELISA)
3. Tes western Blot (WB)
Prinsip pemeriksaan penunjang pada HIV adalah untuk menemukan antibodi anti
HIV pada serum/plasma pasien

a. Tes Anti HIV-1/HIV-2 (Rapid Tes)


1. Alat dan bahan :
Kit ACON HIV-1/2 : alat tes, buffer, pipet tetes
Serum/plasma (EDTA/heparin/citrate)

2. Cara kerja :
Alat tes dilepaskan dari tutupnya dan dilakukan pada suhu ruangan.
Sebaiknya tes dilakukan dalam waktu 1 jam untuk mendapatkan hasil yang baik.
Tempatkan alat tes pada permukaan datar dan bersih. Pipet tetes dipegang secara
vertical lalu teteskan serum/plasma 1 tetes (30-40 ul) ke dalam sumur specimen (S),
kemudian tambahkan 2 tetes buffer. Hindarkan adanya gelembung udara Tunggu
sampai garis merah muncul. Hasil sebaiknya dibaca dalam waktu 10 menit
Catatan : titer antibody anti HIV-1/2 yang rendah dapat menyebabkan
timbulnya garis yang tidak jelas pada bagian tes (T) bila pembacaan hasil terlambat.
Hasil tidak diinterpretasikan setelah 20 menit
Sensitivitas : 100% spesitivitas : 99,6%

3. Interpretasi hasil :
a. Positif (reaktif) jika tampak 2 garis merah pada garis control (C) dan garis tes (T)
b. Negative (reaktif) hanya tampak 1 garis merah pada bagian control (C)
c. Invalid tidak tampak garis merah sama sekali atau hanya tampak pada garis (T)

b. Tes Anti HIV1/2 (ELISA)


1. Alat :
Rak dan tabung reaksi dengan adhesi foil
Instrument organonteknik : incubator, washer, fotometer
Mikropipet
Sentrifus

2. Bahan :
a. sampel : serum/plasma darah donor (DD)
b. reagen : biomerieux HIV uni form II plus O
c. mikro elisa-plates : 12 strip terdiri dari 96 sumur
d. negative control (NC)
e. control positif (PC 1) anti HIV 1
f. control posotif (PC 2) anti HIV 2
g. sampel diluents
h. buffer phosphate concentrate (H2SO4 2N)
i. larutan TMB
j. larutan urea peroksidase (UP)
k. penutup plate plastic
3. cara kerja (manual)
Siapkan sumur sampel (strip mikro ELISA) sesuai banyaknya sampel darah
donor yang akan diperiksa,Pipetkan 100 IL sampel diluents ke dalam masing-
masing sumur
Pipet 50 IL 3NC, PC 1,PC 2, sampel ke dalam sumur
Sentrifus selama 15 detik (lebih kurang 900 rpm)
Tutup sumur-sumur dengan plastic penutup plat
Inkubasi pada 30 C selama 60 menit
10 menit sebelum inkubasi selesai, buatlah larutan substrat
Cuci strip dengan 6 kali perendaman 60 detik dengan washer
Tambahkan larutan substrat masing-masing 100ul (jangan digoyang)
Inkubasi pada 20-25 C selama 30 menit
Tambahkan H2SO4 2N masing-masing 100 ul
Baca absorbansi pada fotometer dengan panjang gelombang 400nm (waktu baca 2
jam)

4. Interpretasi hasil :
a. Positif bila ansorban sampel lebih sama dengan cut off
b. Negative bila absorban sampel lebih kecil dari cut off
c. Interpretasi klinik : reaktif (+) : indikasi sampel mengandung anti HIV 1, anti HIV
2 dan atau anti HIV 1 grup O atau mengandung faktor reaksi non spesifik

c. Tes Western Blot (WB)


1. Alat :
a. Gel holder cassette
b. Tank buffer
c. Electrode
d. Unit pendingin
2. Bahan :
a. Filter pads
b. What mann Filter paper 3 mm
c. Gel poliakrilamind
d. Membrane nitroseluse
e. Blotting buffer yang terdiri 25 mM tris, 192 mM glycine 20 % v/v methanol, pH = 8,3
f. Antibody buffer 1 % gelatin dalam twen tris buffer solution (TTBS)
g. Larutan bloking 3 % gelatin dalam tris buffer solution (TBS)
h. TTBS : 0,5 ml twen 20 dalam 1 l TBS
i. HRP : color development solution
j. Primer dan skunder antibody

3. Cara kerja :
a. Potongan membrane notroselulose sesuai dengan gel, beri label. Basahi membrane
dengan transfer buffer pengenceran 10 kali,Rendam filter paper dan fiber pads
dalam buffer, Siapkan sandwich untuk western blot dalam casset dengan susunan
sebagai berikut :
b. Porous pads, What mann filter paper, Membrane nitroselulose, What mann filter
paper, Porous pads
c. Tutup kaset dengan rapat agar sandwich tidak bergeser sebelumnya hilangkan
gelembung udara antara gel dan membrane, Masukkan trans blot electrode ke
dalam tank buffer, isi tank dan letakkan kaset gel holder ke dalamnya , Isi tank
dengan bloting buffer dan hubungkan dengan elektroda 100 volt. 220 mA selama 1
jam, bagian luar alat diberi es
d. Lepaskan membrane nitroselulose, rendam dalam larutan bloking inkubasi selam 30
menit sampe 1 jam pada suhu kamar. Pencucian dengan TTBS 5-10 menit pada
suhu kamar
e. Tuangkan TTBS, tambahkan primer antibody (1 : 100), inkubasi dalam incubator
selama 30 menit sampai 1 jam
f. Konjugasi : siapkan sekunder antibody (1 : 1000) dalam incubator selama 30 menit
sampai 1 jam
g. Pencucian membrane setelah ditambah sekunder antibody dengan TTBS selama 5
sampai 10 menit 2 kali. Cuci lagi dengan TBS selama 5 menit untuk menghilangkan
sisa-sisa tween 20 dari membrane
h. Rendam membrane nitroselulose dalam HRP color development solution pada suhu
kamar tutup dengn kertas alumunium, kemudian cuci dengan distilet water.
i. Membrane nitroselulose diamati untuk melihat band/pita, kemudian simpan antara
2 filter peper atau difoto untuk dokumentasi
4. Interpretasi hasil :
Saat ini terdapat berbagai cara interpretasi hasil WB. Centers disaere control (CDC) di
Amerika Serikat menggunakan criteria di bawah ini. Criteria ini paling banyak dipakai saat
ini
WB positif : tampak 2 pita diantara pita-pita : p24, gp41, atau gp 120/gp160
WB negative : tidak tampak adanya pita-pita pada membrane intraselulose
WB intermediate : tampak pita-pita lain yang tidak termasuk criteria positif
a. Criteria WHO : infeksi HIV (+) bila didapat paling sedikit 2 pita protein sampul
b. Criteria US FDA : infeksi HIV positif adanya pita-pita p24, p31, gp 41atau
gp120/160
c. Interpretasi klinik : anti HIV positif : tersangka kasus infeksi HIV

11) Jelaskan mekanisme mencret dan berkeringat malam pada skenario

Definisi Diare Kronik

Diare kronik diartikan sebagai sebagai buang air besar dalam konsistensi cair atau tidak, dengan
frekwensi yang meningkat, umumnya > 3kali per hari, atau dengan perkiraan berat tinja>200
gram per hari dengan durasi lebih dari 4 minggu.

Diare kronik juga mempunyai mekanisme patofisiologikal yang terdiri dari :


 Diare sekretorik ditandai dengan diare cair, volume feses yang banyak, tanpa disertai rasa
sakit, dan menetap dengan puasa. Diare jenis ini terjadi kerana gangguan transportasi
cairan dan elektrolit melewati mukosa elektrolik (Wiryani dan Wibawa, 2007).
 Diare osmotik, kandungan air feses meningkat sebanding dengan jumlah solute, ditandai
dengan keluhan yang berkurang saat puasa dan menghentikan agen penyebab. Diare
osmotik terjadi bila terdapat asupan makanan, solute osmotik aktif dalam lumen yang
melampaui kapasitas resorpsi kolon (Wiryani dan Wibawa, 2007).
 Diare inflamasi pula biasanya disertai dengan tanda inflamasi sperti demam, nyeri,
berdarah, dan sebagainya. Selain melalui eksudasi, mekanismenya bergantung kepada
lokasi lesi, gangguan absorbsi lemak, gangguan absorbsi air dan elektrolit, hipersekresi
dan hipermotilitas akibat pelapasan sitokin dan mediator inflamasi yang lainnya (Wiryani
dan Wibawa, 2007).

Faktor yang menyebabkan HIV mengalami diare kronik

Infeksi HIV menyebabkan sistem imun menjadi lemah dan penderita menjadi lebih gampang
untuk terkena infeksi yang secara normalnya boleh dilawan. Pertahanan tubuh terhadap infeksi
dan penyakit dimusnahkan oleh HIV dengan cara memusnahkan CD4+ dan ini menghilangkan
kebolehan tubuh untuk melawan infeksi. Masih belum ditemukan lagi obat untuk mengobati HIV.
Semakin lama, penderita akan menderita berbagai penyakit yang boleh membawa maut termasuk
infeksi opportunistik dan beberapa tipe kanker (WHO, 2008).

Infeksi opportunistik adalah penyakit yang disebabkan oleh organisme sehingga menimbulkan
penyakit, tidak pada orang yang sehat tetapi pada orang yang mempunyai sistem imun yang
lemah. CD count adalah jumlah limfosit T CD4 dalam darah dan menunjukkan tahap kekebalan
sistem imun kita. Pada dewasa sehat, jumlah CD4 count adalah di antara 500–1400 sel/mm3.
Resiko untuk mendapat infeksi opportunistik semakin tinggi apabila jumlah CD4 di bawah 200
sel/mm3. Viral load menunjukkan jumlah HIV di dalam darah dan jumlahnya yang tinggi
memberi tanda perkembangan penyakit yang semakin buruk (WHO, 2008).

Infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada pasien AIDS meliputi infeksi dari:
(1). Protozoa- spesies Toxoplasma gondii, Isospora belli
(2). Jamur – Candida albicans, Cyyptococcus neoforman, Coccidioides immitis, Histoplasma
capsulatum, Pneumonitis
(3). Bakteri – Mycobacterium avium-intraseluler, Mycobacterium tuberculosis, Lysteria
monocytogen, Nocardia asteroids, spesies salmonella, spesies streptokokus
(4).Virus- Cytomegalovirus, virus herves simpleks, virus varicella-zoster, adenovirus, virus
hepatitias (Jawetz, 2001).

Infeksi opportunistik mengakibatkan hampir 80% kematian pada pasien AIDS (Kumar et al.,
2007). Antara infeksi opportunistik yang menyebabkan infeksi gastrointestinal hingga
menyebabkan diare kronik pada HIV adalah Cryptosporidiosis yaitu sejenis parasit. Antara
symptom yang disebabkannya adalah keram lambung, nausea, lemah, berat badan menurun,
hilang selera makan, muntah, dan dehidrasi.. Selain itu ialah Cytomegalovirus yaitu sejenis virus
yang boleh menginfeksi seluruh tubuh tetapi ianya biasa menginfeksi lambung, menyebabkan
demam, diare dan nyeri lambung. Infeksi virus ini biasanya terjadi apabila jumlah sel T CD4+
kurang dari 50 mm3 darah.

Infeksi bakteri Mycobacterium Avium Kompleks menyebabkan demam berlanjutan, keringat pada
malam hari, berat badan menurun, anemia, nyeri badan, pusing, diare, dan kelemahan. Bakteria
yang menyebabkan infeksi ini biasanya ditemui dalam air, habuk, tanah, dan tinja burung. Infeksi
ini biasanya terjadi apabila jumlah sel CD4+ kurang dari 50 mm 3 darah. Azithromycin biasanya
diberikan sebagai pemgobatan pencegahan (Coffey, 2009).

HAART adalah kombinasi obat antiretroviral yang mengurangkan replikasi HIV. Kombinasi 3
kelas obat yang biasa digunakan adalah nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs) dan protease inhibitors (PIs). Efek samping
dari penggunaan obat NRTI dan PIs adalah diare (WHO, 2008). Menurut Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), diare kronik bertanggungjawab terhadap 17% kasus AIDS yang
baru didiagnosa di Amerika Serikat akibat penggunaan terapi antiretroviral yang sangat tinggi
(HAART) (Wilcox, 2010).

World Health Organization (WHO) menjangkakan 85–90% penyakit diare pada negara
berkembang disebabkan air yang tidak selamat dan sanitasi sera higiene yang tidak adekuat.
Walaupun tidak mungkin transmisi melalui feses–oral atau terpegang feses orang yang terinfeksi
oleh HIV, ini akan meningkatkan resiko ahli keluarga untuk mendapat infeksi tersebut jika
pembaikan higiene tidak diikuti (HIP, 2009).

HIV/AIDS dan Diare Kronis

Bagi penderita infeksi HIV, diare kronik merupakan komplikasi yang biasa terjadi di mana 60–
90% di negara berkembang. Suatu studi di India menyatakan bahawa diare merupakan
manifestasi klinikal ketiga paling banyak pada pasien AIDS (Sadraei et al., 2005). Walaupun
begitu, sehingga 50% pasien tidak dapat diidentifikasi patogen pada usus. Hal ini kerana infeksi
intestinal pada HIV berkait dengan enteropati pada AIDS dan organismenya masih tidak dapat
dideteksi seperti prevalensi infeksi mikrosporidia pada pasien HIV dijangkakan 15% (Surawicz,
2005).
Penelitian menunjukkan bahawa infeksi bersamaan antara diare kronis dan HIV/AIDS lebih
berbahaya berbanding pada anak yang hanya mengidap HIV/AIDS sahaja. Suatu studi di
Republik demokrasi Congo menjumpai bahawa risiko kematian disebabkan diare kronis pada
anak yang mengidap HIV 11 kali lebih besar dari anak yang tidak mengidap HIV (HIP, 2009).

Referensi
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23163/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3391/1/penydalam-srimaryani2.pdf
http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/132877-T+27751-Perbandingan+respon-
Literatur.pdf

Anda mungkin juga menyukai