Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rambutan (Nephelium Lappaceum . L)

Gambar 1.1 Rambutan (Nephelium Lappaceum . L)


Narmada

2.1.1 Klasifikasi

Menurut data BPDAS Pemali Jratun (2010), rambutan diklasifikasikan

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Rosidae

Ordo : Sapindales
Famili : Sapindaceae

Genus : Nephelium

Spesies : Nephelium lappaceum

2.1.2 Karakteristik Morfologi

Rambutan banyak ditanam sebagai pohon buah, kadang-

kadang ditemukan tumbuh liar. Tumbuhan tropis ini memerlukan

iklim lembap dengan curah hujan tahunan paling sedikit 2.000 mm.

Rambutan merupakan tanaman daratan rendah, hingga ketinggian

300-600 m dpl. Buah rambutan terbungkus oleh kulit yang memiliki

rambut di bagian luarnya (eksokarp). Warnanya hijau ketika masih

muda, lalu berangsur kuning hingga merah ketika masak atau ranum.

Endokarp berwarna putih, menutupi daging. Bagian buah yang

dimakan, daging buah, sebenarnya adalah salut biji atau aril, yang bisa

melekat kuat pada kulit terluar biji atau lepas (rambutan ace atau

ngelotok).

Pohon dengan tinggi 15-25 m ini mempunyai banyak cabang.

Daun majemuk menyirip letaknya berseling, dengan anak daun 2-4

pasang. Helaian anak daun bulat lonjong, panjang 7,5-20 cm, lebar

3,5-8,5 cm, ujung pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip,

tangkai silindris, warnanya hijau, kerapkali mengering. Bunga

tersusun pada tandan di ujung ranting, harum, kecil-kecil, warnanya

hijau muda. Bunga jantan dan bunga betina tumbuh terpisah dalam
satu pohon. Buah rambutan bentuknya bulat lonjong, panjang 4-5 cm,

dengan duri tempel yang bengkok, lemas sampai kaku. Kulit buahnya

berwarna hijau dan menjadi kuning atau merah jika sudah masak.

Dinding buah tebal.

Biji berbentuk ellips, terbungkus daging buah berwarna putih

transparan yang dapat dimakan dan banyak mengandung air, rasanya

bervariasi dari masam sampai manis. Kulit biji tipis berkayu. Pohon

dengan buah masak sangat menarik perhatian karena biasanya

rambutan sangat banyak menghasilkan buah. Jika pertumbuhan

musiman, buah masak pada bulan Desember hingga Maret, dikenal

sebagai musim rambutan. Masanya biasanya bersamaan dengan buah

musiman lain, seperti durian dan mangga (Dalimartha, 2003).

2.1.3 Kandungan

Buah mengandung karbohidrat, protein, lemak, fosfor, besi,

kalsium, dan vitamin C. Kulit buah mengandung tanin, flavonoid dan

saponin. Biji mengadung lemak dan polifenol. Daun mengandung

tanin dan saponin. Kulit batang mengandung tanin, saponin,

flavonoida, pectic substances, dan zat besi (Dalimartha, 2003).

2.1.4 Kegunaan

Rambutan (Nephelium lappaceum L.) memiliki berbagai macam

aktivitas farmakologis dalam mengatasi antidiabetes,


antihiperkolesterol, antimikroba, antioksidan, antihiperurisemia dan

antikanker. Senyawa aktif yang umumnya bertanggungjawab terhadap

aktivitas farmakologi yaitu kuersetin, geraniin, kandungan senyawa

flavonoid, dan saponin. Aktivitas farmakologis terjadi dengan

berbagai mekanisme kerja dalam mengatasi berbagai penyakit.

2.2 Rambut

Rambut merupakan adneksa kulit (kelenjar kulit atau lapisan

dermis) yang tumbuh pada hampir seluruh permukaan kulit mamalia kecuali

telapak tangan dan telapak kaki (Wasitaatmadja, 1997). Rambut tumbuh

pada bagian epidermis kulit, terdistribusi merata pada tubuh. Komponen

rambut terdiri dari keratin, asam nukleat, karbohidrat, sistin, sistein, lemak,

arginin, sistrulin, dan enzim (Rook dan Dawber, 1991).

2.3 Ketombe

2.3.1 Definisi ketombe

Ketombe berasal dari bahasa latin yaitu Pitriasis simpleks

capillitii. Pengelupasan kulit kepala yang berlebihan dengan bentuk

besar -besar seperti sisik-sisik, disertai dengan adanya kotoran-

kotoran yang berlemak, rasa gatal dan kerontokan rambut dikenal

sebagai ketombe (dandruff). Ketombe termasuk penyakit kulit yang

disebut dengan dermatitis seboroik (seborrohiec dermatitis) dengan

tanda-tanda inflamasi atau peradangan kulit kepala (Harahap, 1990).


2.3.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi terjadinya ketombe

Faktor-faktor penyebab timbulnya ketombe adalah sebagai berikut:

1. Hiperproliferasi sel epidermis

Dalam keadaan normal lapisan kulit teratas (stratum

korneum) akan diganti oleh sel-sel dari lapisan di bawahnya.

Hal ini terjadi pula pada kulit kepala yaitu sel keratin (sel yang

telah mati) akan terlepas dan diganti oleh sel-sel dari lapisan

yang lebih bawah. Sel-sel basal pada lapisan basalis akan

bergerak ke lapisan yang lebih atas dan akhirnya sampai pada

permukaan kulit (lapisan kulit yang paling atas). Umumnya,

proses ini berlangsung cukup pelan sehingga tetap tidak terlihat.

Pada kebanyakan orang, seluruh kulit kepala berganti setiap

bulan, tetapi pada penderita ketombe proses ini berlangsung

lebih cepat menjadi 10−15 hari (Wijaya, 2001).

2. Genetik

Faktor genetik mempunyai peran penting dalam

patogenesis ketombe karena didapati bahwa P. ovale tanpa

faktor predisposisi genetik tidak mungkin menginduksi ketombe

pada orang-orang yang tidak berketombe (Wijaya, 2001).

3. Kelenjar Sebacea

Produksi sebum akan mulai menurun meskipun ukuran

kelenjar sebasea bertambah. Sekresi sebum ini dipengaruhi oleh

hormon androgen. Distribusi usia penderita, dimana ketombe


relatif jarang dan ringan pada masa anak-anak, mencapai puncak

keparahan pada usia sekitar 20 tahun, kemudian menjadi lebih

jarang setelah usia 50 tahun, memberi kesan bahwa hormon

androgen mempunyai pengaruh dan tingkat aktivitas kelenjar

sebasea merupakan salah satu faktor terjadinya ketombe

(Wijaya, 2001).

4. Diet

Lemak yang dimakan dalam proporsi normal diperlukan

oleh tubuh tetapi jika berlebihan, lemak tersebut dapat mencapai

kelenjar sebasea dan akhirnya menjadi bahan pembentuk sebum.

Kelenjar sebasea akan memproduksi minyak sehingga kulit

kepala menjadi sangat berminyak dan dengan pengaruh P. ovale

akan menimbulkan ketombe (Wijaya, 2001).

5. Variasi musim

Ketombe mencapai keadaan terendah pada musim panas

dan pada musim dingin ketombe akan memburuk (Wijaya,

2001).

6. Stress

Stress psikis menyebabkan peningkatan aktivitas kelenjar

sebasea diduga dapat mempengaruhi timbulnya ketombe

(Wijaya, 2001).
7. Iritasi

Garukan dan penyisiran yang terlalu keras pada kulit

kepala dapat menimbulkan iritasi. Pemakaian kosmetika rambut

yang mengandung zat kimia tertentu dapat menimbulkan iritasi

kulit kepala. Penggunaan beberapa minyak rambut yang

mengandung mustard atau minyak kelapa dicampur ramuan

tradisional dapat menimbulkan ketombe. Minyak kelapa

merupakan media yang baik bagi P. ovale karena fungi ini

bersifat lipofilik (Wijaya, 2001).

2.4 Metode Ekstraksi

A. Ekstraksi Cara Dingin

Proses ektraksi secara dingin pada prinsipnya tidak memerlukan

pemanasan. Hal ini diperuntukkan untuk bahan alam yang mengandung

komponen kimia yang tidak tahan pemanasan dan bahan alam yang

mempunyai tekstur yang lunak. Yang termasuk ekstraksi secara dingin

adalah :

a. Metode Maserasi

Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak

digunakan. Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala

industri. (Goeswin, 2007). Keuntungan cara penyarian dengan

maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan

sederhana dan mudah diusahakan. Selain itu, kerusakan pada


komponen kimia sangat minimal. Adapun kerugian cara maserasi

ini adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna

(Sudjadi, 1988)

b. Metode Perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkanpenyari

melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi

dengan perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu

bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan

penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan

penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang

dilalui sampel dalam keadaan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan

oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan tekanan penyari dari

cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung

untuk menahan gerakan ke bawah (Sudjadi, 1988).

B. Ekstraksi Cara Panas

Ekstraksi secara panas dilakukan untuk meng-

ekstraksi komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan seperti

glikosida, saponin dan minyak - minyak menguap yang mempunyai

titik didih yang tinggi, selain itu pemanasan juga di peruntukkan untuk

membuka pori-pori sel simplisia sehingga pelarut organik mudah

masuk ke dalam sel untuk melarutkan komponen kimia. Metode

ekstraksi yang termasuk cara panas yaitu (Sudjadi, 1988).


a. Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut yang dilakukan

pada titik didih pelarut tersebut, selama waktu tertentu dan

sejumlah pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik

(kondensor).

b. Dekoktasi
Penyarian menggunakan simplisian dengan perbandinnga dan

derajat kehalusan tertentu.cairran penyari air digunakan pada suhu

90º selama 30 menit.

c. Infundasi
Infusa merupakan proses ekstraksi dengan merebus sample

(khusunya simplisia) pada suhu 90º selama 15 menit.

d. Soxhletasi
Ekstraksi dengan alat Soxhlet merupakan ekstraksi dengan

pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat

khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya pendingin

balik (kondensor).

2.5 Shampo

Sampo merupakan sediaan kosmetik yang digunakan sebagai

pembersih rambut dan kulit kepala dari segala kotoran diantaranya minyak,

debu, sel-sel yang sudah mati dan sebagainya. Sampo berdasarkan

macamnya dibagi menjadi empat yaitu sampo untuk rambut yang diwarnai
dan keriting, sampo untuk membersihkan secara menyeluruh, sampo untuk

penambah volume rambut dan sampo anti ketombe (Tranggono dan Latifah,

2007).

Sampo merupakan kategori produk perawatan rambut yang

memiliki mekanisme kerja secara fisika, dan tidak mempengaruhi

kandungan kimia dalam rambut (Mottram and Lees, 2000). Mekanisme

kerja sampo pada dasarnya menggunakan The Chain’ float-away’

mechanism yaitu membersihkan rambut dengan mengangkat kotoran dan

sebum yang dihasilkan dari sekresi kelenjar sebaceous dan membuatnya

larut air (Mottram and Lees, 2000). Dalam mekanisme ini, surfaktan dalam

sampo atau free-detergen micelle dalam sampo menyebar di rambut dan

kemudian berikatan dengan kotoran dan minyak membentuk co-micelle

(detergen dan kotoran) sehingga kotoran terangkat melalui proses

pembilasan (Mottram and Lees, 2000).

Bahan yang digunakan dalam formulasi sampo dapat di peroleh

dari alam maupun sintetik. Dalam formulasi sediaan sampo, komposisi

terbesar bahan yang digunakan adalah surfaktan. Surfaktan inilah yang

berperan besar dalam mekanisme kerja sampo sehingga dilakukan

kombinasi berbagai jenis surfaktan untuk mendapatkan sebuah sampo

dengan daya bersih dan mutu fisik yang baik. Kombinasi antara surfaktan

sintetik dan surfaktan alami dapat dilakukan dalam formulasi pembuatan

sampo (Rigano, Lionetti and Otero, 2009).


2.6 Monografi Bahan

a. Natrium Lauril Sulfat

Natrium Lauril sulfat (C12H25SO4Na) memiliki sinonim sodium

dodecil sulfat, sodium laurilsulfate; sodium monododecyl sulfate; sodium

monolauryl sulfate merupakan surfaktan anionik. SLS dapat menurunkan

tegangan permukaan larutan sehingga dapat melarutkan minyak serta

membentuk mikro emulsi menyebabkan busa terbentuk. Memiliki massa

molar 288.38 g/mol-1 densitas 1.01 g/mol-1 dengan titik lebur 206ᵒC.

Memiliki pH 7,0 - 9,5, pemerian SLS berupa serbuk putih atau kuning

kristal, memiliki rasa getir, tidak berbau (Price, 2003).

b. Metilparaben

Dalam formulasi farmasetika, produk makanan, dan terutama

dalam kosmetik. Basanya digunakan methyl paraben sebagai bahan

pengawet, dengan aktivitas paling efektif untuk jamur dan kapang.

Methyl paraben larut dlam air, etanol (95%), eter (1:10), dan metanol.

Bahan ini dapat digunakan tunggal maupun kombinasi dengan jenis

paraben lain. Efektifitas pengawet ini memiliki pH 4-8. Dalam sediaan

tropikal konsentrasi yang umum digunakan adalah 0,02-0,3% (Wade &

Weller, 1994).

c. Air

Air atau aquadest merupakan bahan yang hampir selalu digunakan

sebagai eksipien formulasi di bidang farmasi berupa cairan bening, tidak


berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Aquadest memiliki titik didih

100°C (Galichet, 2005).

d. CMC

Pemerian: Serbuk atau granul, putih sampai krem, higroskopis.

Kelarutan: Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan koloida, tidak

larut dalam etanol, eter, dan pelarut organik lain. Stabilitas: Larutan stabil

pada pH 2-10, pengendapan terjadi pada pH dibawah 2. Viskositas

larutan berkurang dengan cepat jika pH diatas 10. Menunjukan viskositas

dan stabilitas maksimum pada pH 7-9. Bisa disterilisasi dalam kondisi

kering pada suhu 160o selama 1 jam, tapi terjadi pengurangan viskositas.

Penyimpanan: Dalam wadah tertutup rapat. OTT: Inkompatibel dengan

larutan asam kuat dan dengan larutan garam besi dan beberapa logam

seperti aluminium, merkuri dan zink juga dengan gom xanthan;

pengendapan terjadi pada pH dibawah 2 dan pada saat pencampuran

dengan etanol 95%.; Membentuk kompleks dengan gelatin dan pektin.

e. Cocamide DEA

Cocamide DEA merupakan zat yang dapat menurunkan tegangan

permukaan atau surfaktan. Semua surfaktan dapat larut dalam sebagian

air dan sebagian lemak Hal ini yang memungkinkan kualitas minyak dan

air, yang biasanya tidak dapat bercampur atau tidak dapat bersatu.

Cocamide DEA digunakan untuk meningkatkan kualitas foaming (busa

yang terbentuk) serta menstabilkan busa, selain itu cocamide DEA


membantu mengentalkan produk seperti shampo, hand soap, serta

sediaan kosmetik yang lain.

f. Menthol

Pemerian : Hablur heksagonal atau serbuk hablur, tidak berwarna,

biasanya berbentuk jarum, atau massa melebur, bau enak seperti minyak

permen. Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, sangat mudah larut

dalam etanol, dalam kloroform dalam eter, dan dalam heksana, mudah

larut dalam asam asetat glasial, dalam minyak mineral, dan dalam

minyak lemak dan dalam minyak atisri (Depkes RI,1995,Edisi IV hal

529)

Anda mungkin juga menyukai