Anda di halaman 1dari 32

FORMULASI SHAMPO ANTIKETOMBE DENGAN BERBAGAI

KONSENTRASI EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH RAMBUTAN

(Nephelium lappaceum L.)

LAPORAN PENELITIAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Menempuh Ujian Semester Akhir
Mata Kuliah Metodologi Penelitian Pada Program S1-Farmasi Stikes Bhakti Tunas
Husada Tasikmalaya.

FEMI YULIANTI
31115076

STIKes BAKTI TUNAS HUSADA TASIKMALAYA


PROGRAM STUDI S1 FARMASI
TASIKMALAYA
2018
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................vi

DAFTAR TABEL...........................................................................................vii

BAB I PENDAHULAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................2

1.3 Tujuan Penelitiann ...................................................................................3

1..4 Kegunaan Penelitiaan..............................................................................3

1.5 Kerangka pemikiran..................................................................................3

1.6 Metodologi Penelitian ..............................................................................4

1.4 Waktu dan Lokasi ...................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rambutan.................................................................................................6

2.1.1 Klasifikasi.......................................................................................6

2.1.2 Karakteristik Morfologi..................................................................7

2.1.3 Kandungan......................................................................................8
2.1.4 Kegunaan........................................................................................8

2.2 Ekstraksi................................................................................................10

2.2.1 Pengertian Ekstraksi.....................................................................10

2.2.2 Pembagian Jenis Ekstraksi............................................................10

2.3 Bakteri.....................................................................................................13

2.4 Patogenesis ............................................................................................14

2.5 Antibakteri..............................................................................................15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat Dan Bahan......................................................................................17

3.1.1 Alat Penelitian...............................................................................17

3.1.2 Bahan Penelitian...........................................................................17

3.2 Sampel Penelitian ..................................................................................18

3.3 Determinasi Tumbuhan...........................................................................18

3.4 Tahapan Persiapan..................................................................................18

3.5 Prosedur Penelitian.................................................................................20

3.5.1 Pembuatan Serbuk Simplisia dari Kulit Buah Rambutan Hijau,

Kuning, Merah.............................................................................20

3.5.2 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia............................................21

3.5.2.1 Pemeriksaan Makroskopik...............................................21

3.5.2.2 Pemeriksaan Mikroskopik................................................21

3.5.2.3 Skrining Fitokimia...........................................................21

3.5.2.4 Penetapan Kadar Air.........................................................23


3.4.3.5 Penetapan Susut Pengeringan...........................................24

3.4.4 Prosedur Karakteristik Ekstrak Encer...........................................24

3.4.5 Prosedur Karakteristik Ekstrak Kental.........................................25

3.6 Uji Aktivitas Antibakteri.........................................................................28

3.6.1 Uji Bakteri Staphylococcus aureus Terhadap Ekstrak Kulit buah

rambutan hijau, kuning, merah..................................................28

3.6.2 Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)....................28

3.6.3 Uji Kesetaraan Aktivitas dengan Pembanding Antibiotik

Vancomicyn...............................................................................29
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rambut merupakan mahkota pada kepala yang juga berfungsi sebagai

pelindung kepala dan kulit kepala dari kondisi buruk lingkungan serta sebagai

daya tarik pada semua orang khususnya pada wanita (Rostamailis dkk., 2009).

Banyak faktor yang dapat menyebabkan rambut tidak sehat, seperti pengaruh

cuaca, debu atau kotoran dan bahan-bahan kimia (Mottram and Less, 2000).

Ketombe yang merupakan pengelupasan kulit kepala yang berlebihan dengan

bentuk besar-besar seperti sisik-sisik, disertai dengan adanya kotoran-kotoran

berlemak dan juga disertai oleh kerontokan rambut. Ketombe dapat disebabkan

oleh beberapa faktor seperti genetik, stres, kelelahan, serta jamur penyebab

ketombe (Degree et al. 1989).

Masalah yang masih merupakan penyebab kerpercayaan diri seseorang

berkurang dalam beraktivitas ialah rambut berketombe (Mahataranti, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian Chandran et al., (2013) kemampuan sampo anti

ketombe yang dikembangkan dari bahan-bahan alami adalah pengganti terbaik


untuk sampo berbahan sintetis. Bahan aktif alami bisa berasal dari tanaman-

tanaman yang mengandung komponen zat yang berfungsi sebagai anti jamur.

Polifenol adalah senyawa fenolik yang memiliki lebih dari satu gugus

hidroksil (OH), golongan senyawa ini terdapat pada berbagai jenis tumbuhan

yang mempunyai berbagai macam aktivitas biologi salah satunya adalah

aktivitas anti jamur (Zhang and Hamauzu, 2004). Tanin merupakan senyawa

metabolit sekunder yang tergolong dalam senyawa polifenol (Deaville, Givens

and Mueler, 2010). Tanin adalah salah satu komponen zat aktif yang dapat

menghambat pertumbuhan jamur penyebab ketombe (Figueras et al., 2000).

Tanin akan berinteraksi dengan protein membran sel melalui proses adsorpsi

yang akan menyebabkan presipitasi dan terdenaturasinya protein membran sel

yang mengakibatkan perubahan permeabilitas pada membran, sehingga terjadi

lisis pada membran sel jamur (Parwata dan Dewi, 2008).

Kulit buah rambutan adalah salah satunya yang mempunyai kandungan

senyawa tanin dan saponin terbanyak. Tanin pada kulit buah rambutan

merupakan tanin yang terhidrolisis serta kadar tanin total pada rambutan adalah

sebanyak 23,25%. Begitupun dengan penelitian terdahulu oleh Thitilertdecha et

al. (2008), bahwa kulit rambutan mengandung senyawa-senyawa golongan

tanin, polifenol dan saponin. (Pratiwi, 2015).

Dari uraian diatas, maka dilakukan pembuatan sediaan formulasi shampo

antiketombe dengan berbagai konsentrasi ekstrak etanol kulit buah rambutan

(Nephelium lappaceum L.)


1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Berapa komposisi optimum ekstrak kulit buah rambutan (Nephelium

lappaceum L.) untuk mendapatkan shampo antiketombe dengan sifat

fisik dan stabilitas yang baik?

2. Bagaimana pengaruh perbedaan konsentrasi ekstrak kulit buah rambutan


(Nephelium lappaceum L.) pada formulasi shampo antiketombe ?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui berapa komposisi optimum ekstrak kulit buah rambutan

(Nephelium lappaceum L.) untuk mendapatkan shampo antiketombe

dengan sifat fisik dan stabilitas yang baik.


2. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi ekstrak kulit buah

rambutan (Nephelium lappaceum L.) pada formulasi shampo antiketombe.

1.4 Kegunaan Penelitian


Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan formula shampo yang

baik, yang mampu menjadi pengobatan untuk ketombe dan dapat

dikembangkan menjadi produk kosmetik yang aman dan berkhasiat.

1.5 Kerangka Pemikiran


Kulit buah rambutan adalah salah satunya yang mempunyai kandungan

senyawa tanin dan saponin terbanyak. Tanin pada kulit buah rambutan

merupakan tanin yang terhidrolisis serta kadar tanin total pada rambutan adalah

sebanyak 23,25%. Tanin adalah salah satu komponen zat aktif yang dapat

menghambat pertumbuhan jamur penyebab ketombe (Figueras et al., 2000).


Salah satu produk perawatan rambut yang dapat digunakan sebagai

pengobatan sekaligus pencegahan ketombe adalah shampo anti ketombe.

Modifikasi shampo diharapkan akan menghasilkan suatu sediaan yang lebih

praktis penggunaanya dan dapat menghasilkan shampo yang baik, aman dan

berkhasiat sebagai antiketombe.

1.6 Metodologi Penelitian


Penelitian mengenai formulasi shampo antiketombe dengan berbagai

konsentrasi kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum L.) Penelitian ini

dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu penyiapan bahan, karakteristik

simplisia, ekstraksi, pembuatan formulasi shampo antiketombe dan evaluasi

sediaan shampo antiketombe.

1.7 Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2018 bertempat

di Laboratorium Formulasi Prodi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu kesehatan Bakti

Tunas Husada Tasikmalaya. (Tabel 1.1)

TABEL 1.1 Jadwal Penelitian

Tahapan penelitian April Mei Juni


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
Pengumpulan
bahan
Pengolahan
simplisia
Skrining fitokimia
Ekstraksi
Formulasi dan
pembuatan sediaan
shampo
Evaluasi sediaan
shampo
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rambutan (Nephelium Lappaceum . L)

Rambutan (nama botani: Nephelium Lappaceum L.) adalah sejenis

pokok buah saka. Rambutan juga merupakan tanaman tropis yang tergolong ke

dalam suku lerak-lerakan atau sapindaceae, berasal dari daerah kepulauan di

Asia Tenggara. Penyebaran tanaman rambutan pada awalnya sangat terbatas

hanya di daerah tropis saja, saat ini sudah bisa ditemui di daratan yang

mempunyai iklim subtropis. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan di

bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berhasil diciptakannya rumah

kaca. Hingga saat ini rambutan banyak terdapat didaerah tropis seperti Afrika,

Kamboja, Karibia, Amerika Tengah, India, Indonesia, Malaysia, Filipina,

Thailand dan Sri Lanka. (Mahirworo, dkk, 1989).

2.1.1 Klasifikasi

Gambar 1.1 Rambutan (Nephelium Lappaceum . L)


Menurut data BPDAS Pemali Jratun (2010), rambutan diklasifikasikan
Narmada

sebagai berikut:
Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Rosidae

Ordo : Sapindales

Famili : Sapindaceae

Genus : Nephelium

Spesies : Nephelium lappaceum

2.1.2 Karakteristik Morfologi

Rambutan banyak ditanam sebagai pohon buah, kadang-kadang

ditemukan tumbuh liar. Tumbuhan tropis ini memerlukan iklim lembap

dengan curah hujan tahunan paling sedikit 2.000 mm. Rambutan

merupakan tanaman daratan rendah, hingga ketinggian 300-600 m dpl.

Buah rambutan terbungkus oleh kulit yang memiliki rambut di bagian

luarnya (eksokarp). Warnanya hijau ketika masih muda, lalu berangsur

kuning hingga merah ketika masak atau ranum. Endokarp berwarna putih,

menutupi daging. Bagian buah yang dimakan, daging buah, sebenarnya

adalah salut biji atau aril, yang bisa melekat kuat pada kulit terluar biji

atau lepas (rambutan ace atau ngelotok).


Pohon dengan tinggi 15-25 m ini mempunyai banyak cabang.

Daun majemuk menyirip letaknya berseling, dengan anak daun 2-4

pasang. Helaian anak daun bulat lonjong, panjang 7,5-20 cm, lebar 3,5-

8,5 cm, ujung pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, tangkai

silindris, warnanya hijau, kerapkali mengering. Bunga tersusun pada

tandan di ujung ranting, harum, kecil-kecil, warnanya hijau muda. Bunga

jantan dan bunga betina tumbuh terpisah dalam satu pohon. Buah

rambutan bentuknya bulat lonjong, panjang 4-5 cm, dengan duri tempel

yang bengkok, lemas sampai kaku. Kulit buahnya berwarna hijau dan

menjadi kuning atau merah jika sudah masak. Dinding buah tebal.

Biji berbentuk ellips, terbungkus daging buah berwarna putih

transparan yang dapat dimakan dan banyak mengandung air, rasanya

bervariasi dari masam sampai manis. Kulit biji tipis berkayu. Pohon

dengan buah masak sangat menarik perhatian karena biasanya rambutan

sangat banyak menghasilkan buah. Jika pertumbuhan musiman, buah

masak pada bulan Desember hingga Maret, dikenal sebagai musim

rambutan. Masanya biasanya bersamaan dengan buah musiman lain,

seperti durian dan mangga (Dalimartha, 2003).

2.1.3 Kandungan
Buah mengandung karbohidrat, protein, lemak, fosfor, besi,

kalsium, dan vitamin C. Kulit buah mengandung tanin, flavonoid dan

saponin. Biji mengadung lemak dan polifenol. Daun mengandung tanin

dan saponin. Kulit batang mengandung tanin, saponin, flavonoida, pectic

substances, dan zat besi (Dalimartha, 2003).

2.1.4 Kegunaan

Rambutan (Nephelium lappaceum L.) memiliki berbagai macam

aktivitas farmakologis dalam mengatasi antidiabetes, antihiperkolesterol,

antimikroba, antioksidan, antihiperurisemia dan antikanker. Senyawa

aktif yang umumnya bertanggungjawab terhadap aktivitas farmakologi

yaitu kuersetin, geraniin, kandungan senyawa flavonoid, dan saponin.

Aktivitas farmakologis terjadi dengan berbagai mekanisme kerja dalam

mengatasi berbagai penyakit.

2.2 Rambut
Rambut merupakan adneksa kulit (kelenjar kulit atau lapisan dermis)

yang tumbuh pada hampir seluruh permukaan kulit mamalia kecuali telapak

tangan dan telapak kaki (Wasitaatmadja, 1997). Rambut tumbuh pada bagian

epidermis kulit, terdistribusi merata pada tubuh. Komponen rambut terdiri dari

keratin, asam nukleat, karbohidrat, sistin, sistein, lemak, arginin, sistrulin, dan

enzim (Rook dan Dawber, 1991).

2.3 Ketombe
2.3.1 Definisi ketombe
Ketombe berasal dari bahasa latin yaitu Pitriasis simpleks

capillitii. Pengelupasan kulit kepala yang berlebihan dengan bentuk

besar -besar seperti sisik-sisik, disertai dengan adanya kotoran-kotoran

yang berlemak, rasa gatal dan kerontokan rambut dikenal sebagai

ketombe (dandruff). Ketombe termasuk penyakit kulit yang disebut

dengan dermatitis seboroik (seborrohiec dermatitis) dengan tanda-tanda

inflamasi atau peradangan kulit kepala (Harahap, 1990).

2.3.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi terjadinya ketombe


Faktor-faktor penyebab timbulnya ketombe adalah sebagai berikut:
1. Hiperproliferasi sel epidermis
Dalam keadaan normal lapisan kulit teratas (stratum

korneum) akan diganti oleh sel-sel dari lapisan di bawahnya. Hal

ini terjadi pula pada kulit kepala yaitu sel keratin (sel yang telah

mati) akan terlepas dan diganti oleh sel-sel dari lapisan yang lebih

bawah. Sel-sel basal pada lapisan basalis akan bergerak ke lapisan

yang lebih atas dan akhirnya sampai pada permukaan kulit (lapisan

kulit yang paling atas). Umumnya, proses ini berlangsung cukup

pelan sehingga tetap tidak terlihat. Pada kebanyakan orang, seluruh

kulit kepala berganti setiap bulan, tetapi pada penderita ketombe

proses ini berlangsung lebih cepat menjadi 10−15 hari (Wijaya,

2001).
2. Genetik
Faktor genetik mempunyai peran penting dalam patogenesis

ketombe karena didapati bahwa P. ovale tanpa faktor predisposisi


genetik tidak mungkin menginduksi ketombe pada orang-orang

yang tidak berketombe (Wijaya, 2001).


3. Kelenjar Sebacea
Produksi sebum akan mulai menurun meskipun ukuran

kelenjar sebasea bertambah. Sekresi sebum ini dipengaruhi oleh

hormon androgen. Distribusi usia penderita, dimana ketombe relatif

jarang dan ringan pada masa anak-anak, mencapai puncak

keparahan pada usia sekitar 20 tahun, kemudian menjadi lebih

jarang setelah usia 50 tahun, memberi kesan bahwa hormon

androgen mempunyai pengaruh dan tingkat aktivitas kelenjar

sebasea merupakan salah satu faktor terjadinya ketombe (Wijaya,

2001).
4. Diet

Lemak yang dimakan dalam proporsi normal diperlukan

oleh tubuh tetapi jika berlebihan, lemak tersebut dapat mencapai

kelenjar sebasea dan akhirnya menjadi bahan pembentuk sebum.

Kelenjar sebasea akan memproduksi minyak sehingga kulit kepala

menjadi sangat berminyak dan dengan pengaruh P. ovale akan

menimbulkan ketombe (Wijaya, 2001).

5. Variasi musim
Ketombe mencapai keadaan terendah pada musim panas dan

pada musim dingin ketombe akan memburuk (Wijaya, 2001).


6. Stress
Stress psikis menyebabkan peningkatan aktivitas kelenjar

sebasea diduga dapat mempengaruhi timbulnya ketombe (Wijaya,

2001).
7. Iritasi
Garukan dan penyisiran yang terlalu keras pada kulit kepala

dapat menimbulkan iritasi. Pemakaian kosmetika rambut yang

mengandung zat kimia tertentu dapat menimbulkan iritasi kulit

kepala. Penggunaan beberapa minyak rambut yang mengandung

mustard atau minyak kelapa dicampur ramuan tradisional dapat

menimbulkan ketombe. Minyak kelapa merupakan media yang baik

bagi P. ovale karena fungi ini bersifat lipofilik (Wijaya, 2001).

2.4 Metode Ekstraksi


A. Ekstraksi Cara Dingin

Proses ektraksi secara dingin pada prinsipnya tidak memerlukan

pemanasan. Hal ini diperuntukkan untuk bahan alam yang mengandung

komponen kimia yang tidak tahan pemanasan dan bahan alam yang

mempunyai tekstur yang lunak. Yang termasuk ekstraksi secara dingin

adalah :

a. Metode Maserasi
Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak

digunakan. Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala

industri. (Goeswin, 2007). Keuntungan cara penyarian dengan

maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan


sederhana dan mudah diusahakan. Selain itu, kerusakan pada

komponen kimia sangat minimal. Adapun kerugian cara maserasi ini

adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna

(Sudjadi, 1988)
b. Metode Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkanpenyari

melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi dengan

perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana

silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari

dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari

akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampel

dalam keadaan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh kekuatan

gaya beratnya sendiri dan tekanan penyari dari cairan di atasnya,

dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan gerakan

ke bawah (Sudjadi, 1988).


B. Ekstraksi Cara Panas
Ekstraksi secara panas dilakukan untuk meng-ekstraksi komponen

kimia yang tahan terhadap pemanasan seperti glikosida, saponin dan

minyak - minyak menguap yang mempunyai titik didih yang tinggi, selain

itu pemanasan juga di peruntukkan untuk membuka pori-pori sel simplisia

sehingga pelarut organik mudah masuk ke dalam sel untuk melarutkan

komponen kimia. Metode ekstraksi yang termasuk cara panas yaitu

(Sudjadi, 1988).
a. Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut yang dilakukan

pada titik didih pelarut tersebut, selama waktu tertentu dan sejumlah

pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik (kondensor).


b. Dekoktasi
Penyarian menggunakan simplisian dengan perbandinnga dan

derajat kehalusan tertentu.cairran penyari air digunakan pada suhu 90º

selama 30 menit.
c. Infundasi
Infusa merupakan proses ekstraksi dengan merebus sample

(khusunya simplisia) pada suhu 90º selama 15 menit.


d. Soxhletasi
Ekstraksi dengan alat Soxhlet merupakan ekstraksi dengan

pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat

khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya pendingin

balik (kondensor).

2.5 Shampo
Shampo merupakan sediaan kosmetik yang digunakan sebagai

pembersih rambut dan kulit kepala dari segala kotoran diantaranya minyak,

debu, sel-sel yang sudah mati dan sebagainya. Sampo berdasarkan macamnya

dibagi menjadi empat yaitu sampo untuk rambut yang diwarnai dan keriting,

sampo untuk membersihkan secara menyeluruh, sampo untuk penambah

volume rambut dan sampo anti ketombe (Tranggono dan Latifah, 2007).
Shampo merupakan kategori produk perawatan rambut yang memiliki

mekanisme kerja secara fisika, dan tidak mempengaruhi kandungan kimia

dalam rambut (Mottram and Lees, 2000). Mekanisme kerja sampo pada

dasarnya menggunakan The Chain’ float-away’ mechanism yaitu membersihkan


rambut dengan mengangkat kotoran dan sebum yang dihasilkan dari sekresi

kelenjar sebaceous dan membuatnya larut air (Mottram and Lees, 2000). Dalam

mekanisme ini, surfaktan dalam sampo atau free-detergen micelle dalam sampo

menyebar di rambut dan kemudian berikatan dengan kotoran dan minyak

membentuk co-micelle (detergen dan kotoran) sehingga kotoran terangkat

melalui proses pembilasan (Mottram and Lees, 2000).


Bahan yang digunakan dalam formulasi sampo dapat di peroleh dari

alam maupun sintetik. Dalam formulasi sediaan sampo, komposisi terbesar

bahan yang digunakan adalah surfaktan. Surfaktan inilah yang berperan besar

dalam mekanisme kerja sampo sehingga dilakukan kombinasi berbagai jenis

surfaktan untuk mendapatkan sebuah sampo dengan daya bersih dan mutu fisik

yang baik. Kombinasi antara surfaktan sintetik dan surfaktan alami dapat

dilakukan dalam formulasi pembuatan sampo (Rigano, Lionetti and Otero,

2009).

2.6 Komponen Shampo

1. Opacifying Agent

Zat yang dapat menimbulkan kekeruhan dan penting pada pembuatan shampo

krim atau shampo krim cair. Biasanya merupakan ester alkohol tinggi dan asam

lemak tinggi beserta garam- garamnya. Contoh : setil alkohol, stearil alkohol,

glikol mono dan distearat, magnesium stearat.


2. Clarifying Agent

Zat yang digunakan untuk mencegah kekeruhan pada shampo terutama untuk

shampo yang dibuat dengan sabun. Sangat diperlukan pada pembuatan shampo

cair atau shampo cair jernih. Contoh : butil alkohol, isopropil alkohol, etil

alkohol, metilen glikol, dan EDTA.

3. Finishing Agent

Zat yang berguna untuk melindungi kekurangan minyak yang hilang pada waktu

pencucian rambut, sehingga rambut tidak menjadi kering dan rapuh. Contoh :

lanolin, minyak mineral.

4. Conditioning agent

Merupakan zat-zat berlemak yang berguna agar rambut mudah disisir. Contoh :

lanolin, minyak mineral, telur dan polipeptida.

5. Zat pendispersi

Zat yang berguna untuk mendispersikan sabun Ca dan Mg yang terbentuk dari

air sadah. Contoh : tween 80.

6. Zat pengental

Merupakan zat yang perlu ditambah terutama pada shampo cair jernih dan

shampo krim cair supaya sediaan shampo dapat dituang dengan baik.

Penggunaanya dalam rentang 2– 4%, contoh: gom, tragakan, metil selulosa, dan

karboksi metil selulosa (CMC).


7. Zat pembusa

Digunakan untuk membentuk busa yang cukup banyak, walaupun busa bukan

merupakan suatu ukuran dari shampo, namun adanya busa akan membuat

sediaan shampo menjadi menarik dan sangat disukai oleh para konsumen.

Persyaratan tinggi busa pada umumnya yaitu berkisar antara 1,3 - 22 cm.

Contoh: dietanolamin, monoisopropanol amin.

8. Zat pengawet

Zat yang berguna untuk melindungi rusaknya shampo dari pengaruh mikroba

yang dapat menyebabkan rusaknya sediaan, seperti misalnya hilangnya warna,

timbul kekeruhan, atau timbulnya bau. Digunakan dalam rentang 1–2 %,

contoh: formaldehida, hidroksi benzoat, metyl paraben,propil paraben.

9. Zat aktif

Untuk shampo dengan fungsi tertentu atau zat yang ditambahkan ke dalam

shampo dengan maksud untuk membunuh bakteri atau mikroorganisme lainnya.

Contoh: Heksaklorofen, Asam salisilat.

10. Zat pewangi

Berfungsi untuk memberi keharuman pada sediaan shampo supaya mempunyai

bau yang menarik. Digunakan dengan kadar 1–2%, contoh: Minyak jeruk,

minyak mawar, dan minyak lavender, minyak bunga tanjung.


11. Pewarna

Zat pewarna digunakan untuk memberikan warna yang menarik pada sediaan

shampo. Digunakan dengan kadar 1-2%, contoh : untuk pewarna hijau biasanya

digunakan senyawa klorofil atau ultra marin hijau.

12. Zat tambahan lain

Merupakan zat pada formula shampo yang mempunyai fungsi atau maksud

tertentu, seperti shampo anti ketombe, shampoo bayi, shampo antikerontokan,

dan sebagainya. Zat tambahan dapat berupa zat aktif anti ketombe, ekstrak

tumbuhan, vitamin, protein, dan lain-lain (Wikipedia,2011).

2.7 Preformulasi

a. Natrium Lauril Sulfat


Natrium Lauril sulfat (C12H25SO4Na) memiliki sinonim sodium dodecil

sulfat, sodium laurilsulfate; sodium monododecyl sulfate; sodium

monolauryl sulfate merupakan surfaktan anionik. SLS dapat menurunkan

tegangan permukaan larutan sehingga dapat melarutkan minyak serta

membentuk mikro emulsi menyebabkan busa terbentuk. Memiliki massa

molar 288.38 g/mol-1 densitas 1.01 g/mol-1 dengan titik lebur 206ᵒC.

Memiliki pH 7,0 - 9,5, pemerian SLS berupa serbuk putih atau kuning

kristal, memiliki rasa getir, tidak berbau (Price, 2003).

b. Metilparaben
Dalam formulasi farmasetika, produk makanan, dan terutama dalam

kosmetik. Basanya digunakan methyl paraben sebagai bahan pengawet,

dengan aktivitas paling efektif untuk jamur dan kapang. Methyl paraben

larut dlam air, etanol (95%), eter (1:10), dan metanol. Bahan ini dapat

digunakan tunggal maupun kombinasi dengan jenis paraben lain. Efektifitas

pengawet ini memiliki pH 4-8. Dalam sediaan tropikal konsentrasi yang

umum digunakan adalah 0,02-0,3% (Wade & Weller, 1994).


c. Air
Air atau aquadest merupakan bahan yang hampir selalu digunakan

sebagai eksipien formulasi di bidang farmasi berupa cairan bening, tidak

berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Aquadest memiliki titik didih

100°C (Galichet, 2005).


d. CMC
Pemerian: Serbuk atau granul, putih sampai krem, higroskopis.

Kelarutan: Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan koloida, tidak

larut dalam etanol, eter, dan pelarut organik lain. Stabilitas: Larutan stabil

pada pH 2-10, pengendapan terjadi pada pH dibawah 2. Viskositas larutan

berkurang dengan cepat jika pH diatas 10. Menunjukan viskositas dan

stabilitas maksimum pada pH 7-9. Bisa disterilisasi dalam kondisi kering

pada suhu 160o selama 1 jam, tapi terjadi pengurangan viskositas.

Penyimpanan: Dalam wadah tertutup rapat. OTT: Inkompatibel dengan

larutan asam kuat dan dengan larutan garam besi dan beberapa logam seperti

aluminium, merkuri dan zink juga dengan gom xanthan; pengendapan terjadi
pada pH dibawah 2 dan pada saat pencampuran dengan etanol 95%.;

Membentuk kompleks dengan gelatin dan pektin.


e. Cocamide DEA
Cocamide DEA merupakan zat yang dapat menurunkan tegangan

permukaan atau surfaktan. Semua surfaktan dapat larut dalam sebagian air

dan sebagian lemak Hal ini yang memungkinkan kualitas minyak dan air,

yang biasanya tidak dapat bercampur atau tidak dapat bersatu. Cocamide

DEA digunakan untuk meningkatkan kualitas foaming (busa yang terbentuk)

serta menstabilkan busa, selain itu cocamide DEA membantu mengentalkan

produk seperti shampo, hand soap, serta sediaan kosmetik yang lain.
f. Menthol
Pemerian : Hablur heksagonal atau serbuk hablur, tidak berwarna,

biasanya berbentuk jarum, atau massa melebur, bau enak seperti minyak

permen. Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, sangat mudah larut dalam

etanol, dalam kloroform dalam eter, dan dalam heksana, mudah larut dalam

asam asetat glasial, dalam minyak mineral, dan dalam minyak lemak dan

dalam minyak atisri (Depkes RI,1995,Edisi IV hal 529).

2.8 Evaluasi Sediaan

a. Penampilan fisik

Penampilan fisik sampo haruslah menarik, homogen, tidak pecah, dan mampu

membentuk busa.

b. pH
pH sampo sangat penting untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas

rambut, meminimalkan iritasi pada mata dan menstabilkan keseimbangan

ekologis kulit kepala. Uji pH sampo dapat dilakukan menggunakan pH meter

maupun kertas pH.

c. Viskositas

Uji viskositas sampo dilakukan menggunakan viskosimeter Brookfield.

Viskositas sampo akan berpengaruh pada saat filling ke wadah, proses

pencampuran, dan pada saat pemakaian.

d. Kemapuan dan stabilitas busa

Uji kemampuan dan stabilitas busa dari sampo dilakukan denga metode cylinder

shake. Caranya yaitu dengan memasukkan 50 ml sampo 1% ke dalam tabung

reaksi 250 ml kemudian dikocok kuat selama 10 kali. Total volume dari isi busa

diukur dan diamati penurunan dan stabilitas busanya (Kumar, 2010).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
3.1.1 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama 3 bulan dimulai dari bulan April sampai Juni.

3.1.2 Tempat penelitian


Untuk proses ekstraksi dan formulasi kulit buah rambutan (Nephelium

lappaceum L.) dilakukan di laboratorium formulasi STIKes Bakti Tunas

Husada Tasikmalaya.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan ialah gelas ukur, gelas beker, Erlenmeyer, tabung

reaksi, ayakan 65 mesh, aluminium foil, batang pengaduk, cawan petri, timbangan

analitik, oven, blender, hot plate, wadah sampo, pencadang, mikropipet,

penggaris berskala, pH meter digital, desikator, kertas saring, rotary evaporator,

kawat ose, autoklaf, incubator dan Laminar Air Flow.

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan ialah kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum

L.), etanol 96%, Natrium Lauril Sulfat, Cocamide DEA, CMC, Metil Paraben,

Menthol, Aquades.

3.3 Sampel Penelitian

Sampel penelitian kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum L.)

yang masih segar kemudian yang diambil dari daerah Cikoneng Ciamis.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Pembuatan Serbuk kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum L.)
Kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum L.) yang masih segar

ditimbang sebanyak 1000 g, kemudian dimasukkan ke dalam oven,

selanjutnya diblender dan diayak dengan menggunakan pengayak no 40,

sehingga didapat serbuk kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum L.).

3.4.2 Karakteristik Simplisia


1. Organoleptik
Pemeriksaaan secara visual yang dilakukan terhadap bentuk, warna, bau,

dan rasa.

2. Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan dengan prosedur umum dari Farnsworth

(1966), yaitu:
a. Alkaloid
Bahan dibasakan dengan menggunakan larutan ammonia 10%.

Larutan yang telah dibasakan tersebut kemudian diekstraksi

menggunakan CHCl3. Ekstrak CHCl3 dikumpulkan kemudian

diasamkan dengan larutan HCl 1N. Campuran dikocok, dibiarkan

hingga terjadi pemisahan fase. Fase air diambil dan diuji dengan

pereaksi Mayer, Dragendorf, dan Bouchardat. Adanya endapan putih

(Mayer), kuning jingga (Dragendorf), dan coklat (Bouchardat)

menyatakan adanya alkaloid. Untuk menghindari adanya kesalahan

karena adanya reaksi positif palsu alkaloid, maka ke dalam endapan

diteteskan etanol. Endapan-endapan yang diberikan oleh senyawa


non alkaloid akan larut, sedangkan endapan yang diberikan oleh

alkaloid tidak larut.


b. Flavonoid
Bahan digerus dalam mortir, kemudian masukkan ke dalam

tabung reaksi yang berisi logam Mg dan larutan HCl 2N. Seluruh

campuran dipanaskan dalam air selama 5-10 menit, kemudian

disaring panas-panas dan filtrat dibiarkan dingin. Kedalam filtrat

ditambahkan amil alkohol dan dikocok kuat-kuat. Adanya flavonoid

akan menyebabkan filtrat berwarna merah yang dapat ditarik oleh

amil alkohol.
c. Saponin
Bahan dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu dikocok kuat

selama beberapa menit. Pembentukan busa sekurang-kurangnya

setinggi 1 cm dan persisten selama beberapa menit dan tidak hilang

dengan penambahan asam menunjukkan adanya saponin.


d. Tanin dan Polifenol
Sampel ditambah air panas, didihkan selama 15 menit,

dinginkan lalu saring. Filtrat dibagi 2 bagian, dimasukkan dalam

masing-masing tabung reaksi dan diuji dengan FeCl 1% dan gelatin.

Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau violet

pada FeCl 1% dan terbentuk endapan putih pada gelatin.


e. Steroid dan Triterpenoid
Bahan disari dengan eter, kemudian sari eter diuapkan hingga

kering. Pada residu ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1

tetes asam sulfat pekat. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuk

warna merah, hijau biru, violet.


f. Monoterpen dan Seskuiterpen
Bahan disari dengan eter, kemudian sari eter diuapkan hingga

kering. Pada residu diteteskan pereaksi anisaldehid atau vanillin.

Terbentuknya warna-warna menunjukkan adanya senyawa

monoterpen dan seskuiterpen.


g. Kuinon
Bahan diteteskan dengan NaOH. Terbentuknya warna kuning

hingga merah menunjukkan adanya senyawa kelompok kuinon.

3.4.3 Ekstraksi
Metode Maserasi

Timbang simplisia yang sudah di serbukan sebanyak 500 gram.

Masukan simplisia yang sudah ditimbang dalam maserator tambahkan etanol

70% sebanyak 500 mL atau sampai simplisia terendam. Aduk campuran

tersebut setiap 6 jam sekali dan di saring setiap 24 jam. Setiap 24 jam setelah

disaring pelarut diganti dengan etanol 70% yang baru. Dilakukan selama

3×24 jam. Kemudian dimasukkan kedalam evaporator pada suhu 70°C,

uapkan filtrat sampai membentuk ekstrak kental.

3.5 Formula Sampo Ekstrak Etanol Kulit buah rambutan (Nephelium

lappaceum L.)
Formulasi ekstrak etanol menjadi bentuk sediaan sampo antiketombe terdiri

dari zat aktif berupa ekstrak etanol Kulit buah rambutan (Nephelium
lappaceum L.) pada berbagai tingkat konsentrasi yaitu 15% (F1) dan 30%

(F2) serta zat tambahan.


Tabel 3.1 Formula Sediaan Sampo Antiketombe Ekstrak Etanol Kulit buah

rambutan (Nephelium lappaceum L.)

Komposisi Formulasi Formulasi


1 2
Ekstrak Etanol Kulit buah rambutan 15 % 30 %
(Nephelium lappaceum L.)
Natrium Lauril Sulfat 10 % 10 %
Cocamide DEA 4% 4%
CMC 3% 3%
Metil Paraben 0,15 % 0,15 %
Menthol 0,5 % 0,5 %
Aquadest Ad 50 mL Ad 50 mL

3.6 Evaluasi Sediaan Sampo


3.6.1 Pengamatan Organoleptik
Pengamatan organoleptik dilakukan dengan mengamati bentuk, bau

dan warna sediaan sampo antiketombe yang mengandung berbagai

konsentrasi ekstrak daun Allamanda cathartica (Anonim, 1992).

3.6.2 Pengukuran pH

Sampo sebanyak 1 g dilarutkan kedalam 10 mL air dan diukur pH nya

dengan menggunakan pH meter digital (Anonim, 1992).

3.6.3 Pengukuran Tinggi Busa


Sampo sebanyak 0,1 g dilarutkan dalam 10 mL air. Kemudian

dimasukkan kedalam tabung reaksi, ditutup dan dikocok selama 20 detik


dengan cara membalikkan tabung reaksi secara beraturan. Kemudian diukur

tinggi busa yang terbentuk (Ratnawulan, 2009).

3.6.4 Pengukuran kadar air


1 g sampel ditimbang dalam cawan petri yang telah diketahui massa

awalnya. Sampel dan cawan petri dipanaskan dalam oven pada suhu Oven

103-105°C selama 24 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan

ditimbang. Setelah dingin, sampel dipanaskan selama 2 jam dan ditimbang

kembali. Langkah ini dilakukan sampai diperoleh berat yang konstan

(Anonim, 1992).

3.6.5 Viskositas
Uji viskositas sampo dilakukan menggunakan viskosimeter Brookfield.

Viskositas sampo akan berpengaruh pada saat filling ke wadah, proses

pencampuran, dan pada saat pemakaian.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Jakarta.

Ansel, H.C,. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Diterjemahkan oleh Ibrahim,

F,. Edisi IV. Jakarta. Universitas Indonesia Press.


Ansel, Howard, C., 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia.

Barry, W. 1983. Dermatological Formulations, Percutaneous Absorbtion. New York.

Marcel Dekker Inc.

Departemen Kesehatan. 2006. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Vol.2.

Jakarta. Depkes RI.

Harahap, M. 1990. Penyakit Kulit. Jakarta : PT. Gramedia.

Kibbe, A.H. 2000. Handbook of Pharmaceutical Excipients, 3rd ed,. London. The

Pharmaceutical Press..

Rowe, R.C. et Al. (2009). Handbook Of Pharmaceutical Excipients. 6th Ed. London.

The Pharmaceutical Press.

Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh Soendani N.

S. Yogyakarta. UGM Press.

Wasitaatmadja, S.M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai