Anda di halaman 1dari 16

Globalisasi & Konflik Etnis

1
Konflik Etnis dalam Kajian Politik Global

Berakhirnya Perang Dingin pada akhir abad ke-20 telah


menciptakan dunia baru yang semakin tidak aman
(new world disorder). Perang antarbangsa mulai
berkurang namun perang saudara semakin meningkat.
Hal ini terutama terjadi di negara modern yang
memiliki banyak kelompok etnis. Beberapa negara baru
yang lahir setelah Perang Dingin merupakan hasil dari
konflik subnasional yang berbasis etnis. Yang termasuk
dalam kategori konflik etnis dalam tulisan ini termasuk
konflik antaretnis dan/atau agama dalam suatu negara
(konflik horizontal) maupun konflik antara negara
dengan kelompok etnis yang berada dalam wilayah
kekuasaan negara tersebut (konflik vertikal). Termasuk
dalam kategori kedua ini adalah konflik separatis dan
iredentis.

Kelompok-kelompok yang bertikai dalam suatu negara


seringkali berpengaruh pada stabilitas sistem
internasional. Di satu pihak, konflik etnis dapat
mengakibatkan memburuknya keamanan di negara-
negara tetangga; di lain pihak dapat mengundang
campur tangan asing, baik dengan tujuan yang positif
seperti membantu menyelesaikan konflik (melalui
mediasi, menjadi fasilitator) maupun dalam bentuk
yang negatif yang bisa memperparah perang tersebut.
Dengan demikian, konflik etnis yang terjadi dalam
suatu negara dapat memiliki dimensi internasonal.
Semakin banyak dimensi internasional yang terlibat
dalam konflik etnis maka semakin tinggi
1
Konflik Etnis dalam Kajian Politik Global
kecenderungan internasionalisasi konflik tersebut.
Pandangan pesimis pada umumnya menyatakan, jika
suatu konflik mulai ‘menginternasionalisasi’, maka lebih
sulit dicari penyelesaiannya. Benang-benang konflik
menjadi lebih lebih ruwet dan dengan demikian akan
memperlama jangka waktu konflik. Akibatnya, konflik
membawa korban nyawa dan harta yang lebih banyak
pula.

Tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku ini mencoba


untuk mengamati konflik etnis dari dimensi hubungan
internasional. Tulisan-tulisan tersebut tidak bermaksud
untuk tidak menghormati otonomi konflik etnis dalam
negara karena tidak semua konflik subnasional yang
berbasis etnis memiliki dimensi internasional, apalagi
sampai menyebabkan terganggunya sistem.

Dimensi internasional konflik etnis


Konflik etnis merupakan bahasan yang tidak banyak
menarik pengaji ilmu hubungan internasional, terutama
pada masa Perang Dingin. Pada masa tersebut
perhatian lebih banyak diberikan pada masalah-
masalah yang berkaitan dengan perseteruan dua
negara adidaya yang saling merebutkan hegemoni.
Kalaupun ada bahasan tentang konflik subnasional
hampir bisa dipastikan tidak terlepas dari konteks
perebutan hegemoni itu. Sebaliknya, beberapa
dasawarsa terakhir konflik etnis mulai mendapat
perhatian yang cukup dari para pemelajar politik
antarbangsa.

Ada beberapa alasan mengapa bahasan etnisitas tidak


banyak dikenal dalam studi politik internasional.

2
Globalisasi & Konflik Etnis

Populernya paradigma realis menjadi penyebab utama


terbatasnya pengajian tentang konflik etnis. Paradigma
realis menekankan pentingnya peran negara dalam
hubungan antarbangsa. Di tingkat sistemik negara
dilihat sebagai entitas tunggal yang mewakili sejumlah
kelompok masyarakat yang ada di bawah kedaulatan
negara tersebut. Keamanan negara yang menjadi isyu
utama pada masa Perang Dingin, didefinisikan secara
sempit dengan hanya menekankan pada aspek
keamanan dari serangan negara lain dan keamanan
menghadapi perang nuklir (Morgenthau 1993; Waltz
1979). Akibatnya, aspek-aspek dalam negeri yang
berpotensi menjadi destabilitas sistem menjadi
terpinggirkan. Padahal, banyak aspek dalam negeri
dapat menjadi sumber konflik antarbangsa dan bahkan
terdapat beberapa mengalami kegagalan (disebut
failed states/state failure/collapsed state) yang
membawa dampak terganggunya stabilitas
internasional yang bersumber dari ketidakmampuan
pemerintah nasional mengelola konflik internal.
Giddens (1985, 288) menegaskan,

Theorists of international relations, relatively


unconcerned with what goes on inside states,
tend to underestimate the significance of
internal struggles that influence external
policies. Everyone acknowledges that to treat a
state as an aktor is a simplifying notion,
designed to help make sense of complexities of
the relations between states.

Penjelasan Giddens tersebut merupakan kritik yang


ditujukan pada paradigma realis dan penganut ‘English
tradition’ yang secara tegas membuat dikotomi antara

3
Konflik Etnis dalam Kajian Politik Global
hubungan antarbangsa dengan politik dalam negeri.
Dikotomi semacam ini semakin tidak populer dengan
perkembangan baru dalam permasalahan dunia. Dua
variabel tersebut semakin tidak dapat dipisahkan dan
garis-garis penghubung antara keduanya semakin jelas.
Para pemelajar hubungan internasional seringkali
dihadapkan pada garis pemisah antara apa yang
seharusnya dipelajari dalam hubungan internasional
dan apa yang dipelajari dalam politik di ‘dalam’ negeri.
Hubungan internasional dipahami sebagai ‘hubungan
dan interaksi antara negara-negara berdaulat dalam
sistem yang anarki’ (Morgenthau 1993; Waltz 1979).

Kuatnya pandangan kaum realis tentang kedaulatan


juga mempengaruhi metodologi pengajaran ilmu
hubungan internasional. Masing-masing pemelajar
dalam dua ilmu berpijak kuat pada garisnya dengan
berbagai alasannya masing-masing. Kukuhnya pijakan
ini masih berlanjut di kalangan pemelajar ilmu
hubungan internasional di Indonesia sampai sekitar
dasawarsa 1990-an. Sementara itu, konflik etnis yang
terjadi dalam suatu negara yang berdimensi
internasional adalah subyek bahasan yang berdiri
ditengah-tengah dua disiplin ilmu itu. Maka tidak
mengherankan jika ada yang mendalami subyek ini
akan mengalami kesulitan ‘meletakkan diri’ diantara
dua disiplin ilmu tersebut sementara banyak dimensi
‘intermestik’ yang dapat menjadi bahan kajian para
pemelajar hubungan internasional. Pesatnya perubahan
dalam sistem internasional menyebabkan terdapatnya
jurang antara teori dan praktek dan sampai dengan
dasawarsa tersebut di Indonesia belum banyak teori
yang menjembataninya.

4
Globalisasi & Konflik Etnis

Penyebab lain kurang diminatinya bahasan konflik etnis


adalah karena kuatnya keyakinan para asimilasionis
yang percaya bahwa konflik antaretnis memudar
dengan sendirinya sejalan dengan kemajuan teknologi,
industrialisasi dan modernisasi. Mereka cenderung
meyakini bahwa konflik etnis tidak terjadi bila
hubungan antarmanusia semakin intensif sebagai
akibat dari kemajuan teknologi dan industrialisasi (Ryan
1990, xx).

Ada pula yang meyakini bahwa perbaikan ekonomi


yang disebabkan oleh faktor-faktor di atas akan
mengikis keinginan antaretnis untuk bermusuhan.
Namun para asimilasionis lupa bahwa faktor identitas
etnis adalah, sekalipun fluid, merupakan sesuatu yang
sifatnya relatif konstan. Bertemunya berbagai
kelompok subnasional dalam suatu ‘melting pot’
mungkin bisa menyebabkan terjadinya asimilasi,
namun sebaliknya, sangat memungkinkan pula untuk
terjadinya benturan-benturan yang berakar pada
perbedaan identitas etnis. Kasus Amerika yang relatif
berhasil dengan strategi asimilasi-akulturasi tampaknya
tidak selalu bisa menjadi contoh negara lain. Migrasi
yang mengakibatkan perubahan demografi justru
seringkali menjadi sumber utama konflik antaretnis. Di
Indonesia, kejadian seperti ini merupakan sesuatu yang
tidak langka, seperti yang terjadi di Riau, Poso, Ambon
dan beberapa tempat lainnya.1 Yang lebih menarik, jika
1
Beberapa pengamat seperti Mahmood Mamdani melihat konflik
etnis lebih berakar pada perilaku para penjajah yang memiliki
andil menciptakan negara itu. Ini bisa dilihat pada kasus
penciptaan Afrika Selatan. Studi Mamdani bisa diterapkan pada
5
Konflik Etnis dalam Kajian Politik Global
modernisasi dijadikan indikator melemahnya peran
etnis dalam negara adalah konflik etnis tidak hanya
terjadi di negara-negara berkembang tetapi juga
berlangsung di negara-negara dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, namun masih
memiliki masalah dengan etnisnya seperti di Inggris
(Irlandia Utara), Kanada (Quebec), Spanyol (Basque).

Beranjak dari model asimilasionis Amerika yang


berhasil tersebut dan sejalan dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi dunia, tingginya tingkat migrasi
antarnegara dan benua, lancarnya arus teknologi,
komunikasi dan transportasi, banyak sarjana yang
berpikir untuk ‘memperluas’ model tersebut di tingkat
internasional dalam bentuk integrasi seperti yang
pernah ditelaah oleh Haas (1964) dan Mitrany (1966)
sehingga melahirkan ide pembentukan Uni Eropa dan
organisasi-organisasi regional di hampir semua
kawasan. Bahkan banyak negara melakukan
reorganisasi internal melalui mekanisme integrasi
regional. Dengan kata lain, banyak organisasi regional
sengaja diciptakan untuk mengatasi konflik internal
yang sedang terjadi di suatu negara sekaligus berfungsi
untuk mekanisme mengontrol konflik antarnegara.
Dengan populernya rejim integrasi dan asimilasi maka
konflik etnis tidak pernah mendapat perhatian yang
cukup pada masa tersebut.

kasus konflik etnis di Indonesia. Lihat Mahmood Mamdani,


Citizen and Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late
Colonialism. Princeton, NY: Princeton University Press 1996.

6
Globalisasi & Konflik Etnis

Yang tidak kalah menariknya bahwa pertikaian-


pertikaian subnasional yang terjadi dalam sebuah
negara baru seringkali dipandang sebagai suatu ‘gejala
yang positif’ dan dinamis dalam proses pembangunan
nasional (nation building) dan integrasi nasional.
Sebagian besar gejala nasionalisme etnis yang muncul
setelah kemerdekaan suatu negara bangsa dianggap
sebagai proses menuju pembentukan integrasi
nasional, dengan demikian tidak perlu terlalu
dicemaskan kehadirannya. Bahkan ada yang
menganjurkan fenomena nasionalisme etnis ini dicari
penyelesaiannya dengan menerapkan kebijakan
sentralisasi kekuasaan negara, seperti yang dianjurkan
oleh Greene dan Stoessinger (Schechterman 1993, 17).
Strategi ini kenyataannya justru kontra produktif karena
sentralisasi kekuasaaan hanya memperkuat
kecenderungan pemisahan diri kelompok etnis tertentu.
Patricia Mayo (1974) menyatakan munculnya
nasionalisme etnis yang berkepanjangan merupakan
hasil dari kesalahan pemerintah pusat yang tidak peka
terhadap kebutuhan rakyatnya. Mayo menegaskan,

…dogmatic centralism and social uniformity’ to


oversimplification of administration threaten
identity and the modern state’s “coercive
apparatus and its lack of sensitivity to the needs
of its citizen”.

Perhatian yang lebih memadai tentang politik etnis dan


hubungan internasional diawali dengan disintegrasi di
Uni Soviet dan Yugoslavia. Beberapa faktor seperti
undurnya Uni Soviet dari pertarungan ideologi dengan
AS, sengketa antara Slovenia dengan Slovakia, dan
perang antara Bosnia dan Serbia merupakan faktor
7
Konflik Etnis dalam Kajian Politik Global
pemercepat (catalyst) kemunculan kembali etno-politik
dalam dimensi hubungan antarnegara (Brecher dan
Winkenfeld 1997, 164).2

Perkembangan di Uni Soviet dan Yugoslavia membawa


dampak tersendiri terhadap pemelajaran ilmu
hubungan internasional. Sejak saat itu konflik etnis
menemukan pijakannya dalam kajian ilmu hubungan
internasional. Hal ini sejalan dengan berkembangnya
aliran pluralis dalam tradisi positivis yang banyak
menentang pandangan-pandangan perspektif realis.3
Para sarjana ilmu hubungan internasional pun semakin
tertarik melihat dimensi internasional etnisitas ini, dan
tidak hanya menyerahkan masalah etnisitas pada
bidang ilmu lain seperti sosiologi, antropologi maupun
psikologi.

Walaupun paradigma pluralis tidak secara lebih jauh


mendalami masalah politik etnis, tetapi setidaknya
mengakui bahwa terdapat keberagaman isu dan aktor
dalam politik internasional, salah satunya adalah etnis.
2
Sebelum keruntuhan Uni Soviet, Daniel Moynihan (1993) pernah
mengkritik paradigma realis yang dianggapnya ‘tidak realis’
karena terlalu mengedankan aspek power-keamanan dan
mengesampingkan sama sekali nasionalisme etnis dalam arus
utama hubungan internasional. Ia juga permah memperkirakan
keruntuhan Uni Soviet beberapa tahun sebelum kejadian itu
menjadi nyata. Lihat Daniel Moynihan (1993), Pandaemonium:
Ethnicity in International Politics. Oxfrod, Oxford University Press.

Terdapat empat asumsi utama untuk memahami paradigma ini:


3

aktor bukan negara (non-state actors) merupakan bagian penting


dari politik dunia; negara bukan merupakan aktor yang bersatu;
dan negara bukan merupakan aktor yang rasional; dan agenda
politik internasional sangat beragam.
8
Globalisasi & Konflik Etnis

Kaum pluralis memandang bahwa berbagai aktor dan


unit di dalam sistem internasional saling berkerjasama
sekaligus berkompetisi dengan berbagai macam nilai
dan kepentingannya. Para pluralis mulai
memperhatikan masalah ketegangan antara negara
dengan rakyat, atau antaretnis yang bisa terjadi akibat
terdapatnya sebuah perusahaan multinasional di suatu
tempat. Kehadiran perusahaan lintas negara
(transnational), selain dapat meningkatkan
kesejahteraan ekonomi di suatu daerah, memiliki
potensi untuk memperkuat pembentukan identitas
etnis yang bisa menimbulkan dilema diplomasi. Hal ini
terutama dibahas lebih mendalam oleh generasi baru
pluralis (neo-pluralis/neo-liberalis), diantaranya Moore
dan Davis (1997, 1988), Kuran (1988) Lake dan
Rothchild (1988), Midlarsky (1992), Zartman (1992),
Carment and James (1997), Stack dan Hebron (1999),
Saideman (2001, 2002), Lobell dan Mauceri (2004).

Demokratisasi di tingkat global menarik banyak


perhatian banyak pemimpin politik untuk
menggerakkan massanya untuk menemukan kembali
identitas kolektif mereka dengan menolak identitas
‘kolektif’ yang didefinisikan oleh negara. Karakter etnis
yang sudah terdapat pada beberapa konflik di berbagai
belahan dunia (sedikit diantaranya Indonesia, Cina,
Rwanda-Burundi, PNG, Kenya, Macedonia, Tajikistan, Sri
Lanka, India) menemukan kembali momentumnya pada
masa pasca Perang Dingin dengan penyebab, proses
dan hasil yang bertbeda, tetapi hampir semua konflik
etnis tersebut melibatkan unsur kekerasan. Justru
karena lebih banyak konflik etnis yang berunsur

9
Konflik Etnis dalam Kajian Politik Global
kekerasan, kajian konflik tersebut menjadi lebih
menarik (Young 1997).

Salah satu aliran dalam tradisi positivis yang menaruh


minat pada masalah etnis adalah kaum neo-Marxist
(kadang-kadang disebut kaum globalis). 4 Para penganut
perspektif ini banyak menaruh perhatian dan
keprihatinan pada perkembangan dan pelestarian
hubungan ketergantungan antara Utara-Selatan,
negara kaya-miskin, negara maju dan sedang
berkembang. Mereka yakin bahwa perbedaan menyolok
antara dua kubu tersebut merupakan kondisi yang
disengaja oleh negara kapitalis karena kelompok ini
tidak ingin melihat negara-negara lemah dan miskin
menjadi lebih kuat. Dengan demikian, tidak
mengherankan jika faktor ekonomi menjadi begitu
dominan dalam analisis para globalis.

Walaupun Marxism tidak mengembangkan secara


khusus teorisasi tentang konflik etnis, beberapa
pengikutnya banyak menyentuh masalah konflik etnis
sebagai salah satu fokus kajiannya.5 Pendekatan
4
Asumsi-asumsi dasar paradigma yang kemunculannya relatif baru
dalam disiplin hubungan internasional ini adalah: analisis
internasional diawali dengan memahami konteks global dimana
aktor-aktor internasional berinteraksi; menekankan pentingnya
(bahkan keharusan) pendekatan sejarah dalam menganalisis
persoalan global; lebih cenderung memfokuskan pada mekanisme
dominasi para pelaku internasional untuk kepentingan para pelaku
itu sendiri; menekankan pentingnya faktor ekonomi dalam
menganalisis dinamika sistem internasional.
5
Perbedaan pandangan kaum Marxist dengan varian Marxist
(seperti neo-Marxist, post-Marxist maupun pseudo-Marxis) adalah
pandangannya tentang konflik. Marxisme melihat konflik terjadi
10
Globalisasi & Konflik Etnis

Marxist dan neo-Marxist melihat konflik etnis muncul


jika terdapat kelompok yang menempati posisi
subodinat dan tidak diuntungkan dalam suatu negara
dan jika di terdapat division of labour di berbagai
kelompok etnis yang berbeda dalam suatu negara
(Goonasekera 1996). Contohnya, ‘kolonialisme internal’
merupakan terminologi yang acapkali digunakan oleh
para neo-Marxist untuk menyebut kondisi deprivasi
relatif yang dialami oleh sebuah kelompok etnis. Istilah
ini diantaranya digunakan oleh Michael Hechter (1975
dan 1999) dan Andre Gunder Frank (1990).

Etnisitas menjadi salah satu kekuatan yang membentuk


sistem internasional pasca Perang Dingin, bahkan
menempati arti penting dalam politik luar negeri
banyak negara, termasuk negara-negara besar. Isu
nasionalisme etnis semakin populer dengan munculnya
berbagai isu lain yang berkaitan dengannya, seperti
semakin digemarinya ide negara kecil, intervensi
kemanusiaan, penyelesaian konflik dan hak azasi
manusia.

Kemunculan kembali kesadaran etnis dan minat para


pengamat hubungan internasional terhadap masalah
ini disebabkan karena beberapa faktor. Menurut
Rosenau (1989) banyak rejim nasional sedang
mengalami krisis legitimasi disebabkan desakan kuat
kelompok-kelompok etnis di dalam negeri. Kuatnya
desakan ini mengakibatkan pemerintah nasional
antarkelas dalam masyarakat (konflik vertikal yang bersumber
pada karakteristik struktural), sementara kritiknya lebih melihat
konflik sebagai fenomena sosial (konflik horizontal) tanpa
memandang kelas.
11
Konflik Etnis dalam Kajian Politik Global
kurang efektif mengatasi berbagai tuntutan mereka.
Karena ketidakmampuan negara dalam memproses
tuntutan itu, kelompok-kelompok subnasional tersebut
membawa tuntutannya ke luar batas negara. Ini
mengakibatkan terjadinya krisis otoritas global dalam
politik dunia dan melemahkan sendi-sendi kedaulatan
yang selama ini dijunjung tinggi dalam sistem
internasional. Contoh nyata bisa dilihat dari semakin
meningkatnya jumlah dan kegiatan kelompok-kelompok
pembebasan diri yang semakin berani menentang
kewenangan pemerintah nasional. Gerakan-gerakan
semacam ini, yang dulu dianggap sebagai ‘masalah
dalam negeri’, sekarang semakin nyata menjadi
masalah internasional. Pendapat Rosenau selanjutnya,
masalah nasionalisme etnis yang dulu selalu dianggap
‘tidak berwilayah’ dalam kajian hubungan internasional
ini, sesungguhnya merupakan masalah yang terdapat
‘di bawah permukaan’ Perang Dingin. Tidak diakuinya
masalah tersebut menandakan kegagalan ilmu
hubungan internasional untuk melihat lebih jauh dan
lebih dalam berbagai macam aspek internal yang
mampu menimbulkan krisis di tingkat internasional.

Kelompok-kelompok di dalam negeri yang telah berani


menyuarakan kehendaknya di tingkat global
menandakan asertifnya masyarakat nasional di tingkat
internasional. Menurut Hebron dan Stack (1999, 7)
telah terjadi perubahan sifat hubungan negara
terhadap badan-badan internasional, seperti IMF dan
WTO, yang berakibat pada meningkatnya arti penting
segmen-segmen kecil di tingkat negara yang dalam
waktu bersamaan, mengurangi pentingnya peran
negara. Dengan demikian kelompok-kelompok etnis

12
Globalisasi & Konflik Etnis

dapat melewati batas-batas formal negara dengan


secara langsung memproyeksikan kepentingannya di
arena politik dunia. Selain itu, semakin beraninya
kelompok-kelompok subnasional untuk bergerak ke luar
merupakan akibat tidak langsung dari korporasi global
yang menginternasionalisasikan masalah domestik ke
tingkat internasional melalui jaringan ketergantungan
ekonomi. Mengintegrasikan ekonomi nasional dengan
internasional secara nyata mengakibatkan rentannya
masalah domestik untuk diintervensi oleh pihak luar.
Pada saat ini sulit untuk menyatakan masalah suatu
negara adalah murni masalah dalam negeri. Semua
masalah nasional bisa menjadi masalah internasional,
hanya kadar internasionalisasinya berbeda-beda
tergantung dari jauh dekatnya masalah tersebut dari
‘radar’ internasional. Dengan menguatnya kedudukan
etnis dalam politik global, kelompok ini pun berani
menjadikan dirinya sebagai wadah/sarana yang mampu
menampung dan menyalurkan tuntutan
kepentingannya dalam sistem internasional.

13
Konflik Etnis dalam Kajian Politik Global
Struktur buku ini
Buku ini berisi enam tulisan yang seluruhnya berkaitan
dengan masalah etnisitas di beberapa tempat. Selain
secara singkat berupaya membuka wacana kajian
etnisitas dalam perspektif hubungan internasional,
buku ini juga menawarkan beberapa indikator yang
dapat dijadikan variabel bagaimana sebuah konflik
etnis domestik “naik kelas” ke peringkat internasional.
Beberapa variabel yang ditawarkan tentu tidak
komprehensif memuat seluruh indikator, namun paling
tidak dapat dijadikan kajian pembuka ke arah tersebut.
Perjuangan untuk melepaskan diri bukanlah sesuatu
yang mudah. Para pejuang kelompok pemisahan diri
harus mencari strategi yang mampu menunjang
keberhasilan perjuangannya. Agar berhasil, kelompok-
kelompok pemisahan diri harus mampu membuat pihak
lain mendengar dan melihat apa yang
diperjuangkannya. Inilah yang menjadi inti bahasan
dalam bab 3. Bab 4 melihat dengan lebih detil
bagaimana transformasi tersebut terjadi. Proses
transformasi dapat berbentuk difusi dan eskalasi, serta
apa saja yang menjadi determinan meluasnya konflik
etnis, sebuah kondisi yang sangat mungkin terjadi
dalam setiap konflik etnis. Bab 5 mencoba
menguraikan bentuk-bentuk dan alasan keterlibatan
pihak ketiga dalam konflik pemisahan diri. Sebuah
negara yang melibatkan diri sebagai pihak ketiga
dalam konflik tersebut memiliki pilihan alasan yang
menjadi keputusan politik luar negerinya. Tidak ada
pilihan politik luar negeri yang mudah karena semua
keputusan mengandung masing-masing resiko.

14
Globalisasi & Konflik Etnis

Tumpang tindihnya konflik di Thailand Selatan, antara


konflik identitas, sejarah dan konflik sumber daya alam
menjadi bahasan dalam bab 6 buku ini. Sementara
konflik di Thailand Selatan berkurang intensitas
kekerasannya, wilayah Asia Tenggara tetaplah menjadi
wilayah rawan konflik.

Kembali ke Indonesia, yang masih dibelit oleh


permasalahan pemisahan diri Papua. Tuntutan Papua
memerdekakan diri sudah mencapai tahap
internasionalisasi. Perkembangan ini menjadi
keprihatinan pemerintah. Ini merupakan tantangan
yang harus dihadapi oleh setiap kepala pemerintahan
sampai masalah tersebut menemui jalan keluar. Aksi
internasionalisasi yang dilakukan oleh para pejuang
kemerdekaan Papua tidak hanya dilakukan di ‘dunia
nyata’ melalui berbagai gerakan yang berdimensi
violence dan non-violence, mereka juga telah
memanfaatkan kemajuan teknologi komputer dan
dunia maya untuk mencapai keberhasilan
perjuangannya. Melalui berbagai situs, para pejuang
Papua berupaya menggalang simpati internasional.
Berjuang melalui dunia maya merupakan strategi yang
handal dalam mengaktualisasikan diri dan tingkat
keberhasilannya dalam menggalang simpati
internasional relatif dengan mudah dapat diperkirakan.
Bahasan mengenai hal ini dapat disimak pada bab 7.
Strategi baru ini selayaknya mendapat perhatian
pemerintah, namun kenyataannya tidak banyak yang
dilakukan pemerintah dalam menyikapi hal tersebut.
Pemerintah belum melakukan langkah-langkah nyata
aksi balik yang mengindikasikan lambannya negara
dalam merespon perkembangan-perkembangan baru.
15
Konflik Etnis dalam Kajian Politik Global
Akibatnya, negara selalu ’tertinggal’ dalam
menghadapi pesatnya diplomasi non-konvensional
yang saat ini telah menjadi kecenderungan baru dalam
perjuangan ’melawan’ negara.

16

Anda mungkin juga menyukai