Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai oleh adanya
hambatan aliran udara yang menetap dan biasanya progesif, yang berhubungan dengan
peningkatan respon inflamasi kronik pada saluran napas dan parenkim paru akibat paparan
terhadap partikel dan gas berbahaya, terutama rokok. 1,2,3
PPOK ini menjadi salah satu bentuk gangguan pernapasan yang banyak menjadi
penyebab meningkatnya angka kematian dan kesakitan baik di negara maju maupun negara
berkembang. Saat ini, PPOK menduduki peringkat keempat penyebab kematian di dunia.
Jumlah kematian akibat PPOK diperkurakan akan meningkat lebih dari 30% dalam 10 tahun
mendatang jika tidak dilakukan tindakan mengurangi faktor resiko terutama pemakaian
rokok. Bahkan, PPOK ini juga diperkirakan akan menduduki peringkat ketiga penyebab
kematian di dunia pada tahun 2030.9
Di Indonesia Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sudah mulai menjadi masalah
kesehatan yang membutuhkan perhatian khusus karena jumlah penderitanya meningkat dari
waktu ke waktu. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat kelima.6
Penderita PPOK dapat mengalami hambatan aliran udara pernafasan dan penurunan
kapasitas paru. Selain itu,PPOK juga dapat menyebabkan timbulnya manifestasi sistemik/
manifestasi ekstraparu yang berdampak menurunkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup
serta meningkatnya morbiditas penderita. Manifestasi ekstraparu tersebut diantaranya adalah
kakeksia, kehilangan massa otot, osteoporosis, depresi, anemia, hipertensi pulmonum dan
peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler.1,2
Penatalaksanaan PPOK secara umum dapat berupa edukasi, obat-obatan, terapi
oksigen, nutrisi dan rehabilitasi medik. Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kapasitas
fungsional dan memperbaiki kualitas hidup pasien PPOK. Salah satu strategi penatalaksanaan
PPOK adalah dengan rehabilitasi paru. Program yang diterapkan berupa intervensi yang
berdasar bukti, multidisiplin dan komprehensif untuk pasien dengan penyakit respirasi kronik
yang didesain secara individual untuk mengoptimalkan performa fisik dan sosial. Dengan
rehabilitasi paru ini diharapkan dapat mengurangi gejala, meningkatkan fungsi dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK.7,8

BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai oleh
adanya hambatan aliran udara yang menetap dan biasanya progesif, berhubungan
dengan peningkatan respon inflamasi kronik pada saluran napas dan parenkim paru
akibat paparan terhadap partikel dan gas berbahaya, terutama rokok. Penyakit ini
merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diterapi.1,2,3

B. EPIDEMIOLOGI
The Global Burden of Disease Study melaporkan prevalensi 251 juta kasus PPOK
secara global pada tahun 2016. Diperkirakan 3,17 juta kematian disebabkan oleh
penyakit ini pada tahun 2015 yaitu, 5% dari kematian di seluruh dunia. Hampir 90%
kematian akibat PPOK terjadi di negara berpenghasilan rendah atau menengah. Jumlah
kematian tersebut akan meningkat sebanyak 30% dalam10 tahun kedepan jika tidak ada
upaya untuk mengurangi faktor resiko khususnya penggunaan rokok. Diperkirakan juga
PPOK akan menjadi penyebab kematian urutan ketiga pada tahun 2030.9
Di Indonesia, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga DEPKES RI tahun 1992
menyebutkan bahwa PPOK bersama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6
11
dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Selain itu, hasil Riset Kesehatan
Dasar DEPKES RI tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia
sebanyak 3.7% dari penduduk Indonesia yang berusia lebih atau sama dengan 30 tahun.
Dengan meningkatnya jumlah perokok dan polusi udara sebagai faktor risiko penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) maka diduga jumlah penyakit tersebut juga akan
meningkat.6, 11

C. FAKTOR RISIKO
PPOK sering terjadi karena paparan lingkungan terutama rokok, tetapi banyak
faktor risiko lain juga yang diduga kuat berkaitan dengan PPOK. Identifikasi faktor
risiko ini merupakan langkah penting dalam pencegahan dan penatalaksanaan PPOK.
Secara garis besar, faktor resiko PPOK terdiri dari:
- Faktor internal/ faktor penderita: faktor genetik, jenis kelamin, hipereaktivitas
saluran nafas, IgE dan asma

2
- Faktor eksternal/ paparan dari luar: rokok, pekerjaan, polusi lingkungan, penyakit
saat perinatal dan anak-anak serta infeksi bronkopulmonal yang berulang 1,2,6,12,13

D. PATOGENESIS DAN PATOLOGI

1. Patogenesis
Gangguan fisiologi pernafasan utama pada PPOK adalah adanya hambatan aliran
udara. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya obstruksi saluran nafas perifer atau
saluran nafas diameter kecil dan emfisema. Saluran nafas kecil/ perifer dapat
menyempit karena adanya hiperplasia atau akumulasi sel inflamasi, mukus, dan
fibrosis. Aktivasi dari transforming growth factor β (TGF-β) dapat menyebabkan
fibrosis saluran nafas. Sedangkan untuk emfisema patogenesisnya meliputi empat
kejadian: 4
a. Paparan kronik rokok menyebabkan inflamasi dan aktivasi sel imun dalam alveoli
paru-paru.
b. Sel inflamasi akan melepaskan elastolitik dan proteinase lain yang merusak
matrix extraselular paru-paru.
c. Kematian sel secara struktural (sel endothelial dan epithelial) dapat terjadi secara
langsung melalui oxidan yang dipicu oleh asap rokok ataupun secara tidak
langsung melalui hilangnya integritas matrix akibat proteolitik.
d. Perbaikan elastin dan komponen matriks extraselular lain yang tidak efektif akan
menyebabkan pelebaran ruang udara yang bermanifestasi sebagai emfisema paru.
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan respon inflamasi yang
berlebihan akibat iritasi kronis. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan
kelebihan proteinase yang berasal dari sel inflamasi dan sel epitel. Protease berfungsi
untuk memecah komponen jaringan ikat dan antiprotease berfungsi untuk
melindunginya. Perusakan yang dimediasi protease pada elastin dan komponen jaringan
utama penghubung dalam parenkim paru-paru adalah faktor penting dari emfisema
paru.4,13
Selain dampak pulmonal, dapat pula timbul gambaran dampak sistemik pada
pasien PPOK khususnya pada pasien dengan penyakit berat, hal ini berdampak besar
terhadap kualitas hidup dan penyakit penyerta. Mediator inflamasi pada sistem sirkulasi
dapat berkontribusi pada hilangnya massa otot rangka, kelemahan dan kakeksia, selain
itu juga dapat menimbulkan atau memperberat komorbiditas seperti penyakit jantung

3
iskemik, gagal jantung, osteoporosis, diabetes, sindroma metabolik, anemia kronis, dan
depresi.1
2. Patologi
Gambaran patologi yang terjadi pada PPOK ditemukan di saluran napas diameter
besar/ proksimal, saluran napas diameter kecil/ perifer (≤2 mm diameter), parenkim dan
vaskular paru. Perubahan tersebut berupa inflamasi kronik, dengan adanya peningkatan
jumlah sel inflamasi spesifik pada paru, dan perubahan struktural yang merupakan hasil
dari cedera dan perbaikan berulang dari paru.1,6
a. Saluran nafas besar/ proximal
Rokok dapat menyebabkan pembesaran kelenjar mukus dan hiperplasia sel goblet
yang meluas hingga cabang bronkus. Pada bronkus terjadi metaplasia sel squamous,
hipertrofi otot halus bronkus dan hipereaktivitas bronkus yang dapat mengawali
adanya gangguan saluran nafas. Dinding saluran nafas dipenuhi infiltrasi dari sel
inflamasi dimana banyak terdapat monosit, limfosit, terutama sel T CD8 +, BALT
(bronchus-associated lymphoid tissue). Netrofil lebih sering ditemukan di lumen
saluran nafas.4
b. Saluran nafas kecil/ perifer
Saluran nafas yang mengalami hambatan terutama terjadi di saluran nafas kecil/
perifer yaitu bronchioles (saluran nafas dengan diameter kurang dari 2 mm).
Karakteristik perubahan selular meliputi metaplasia sel goblet, sekresi mukus dan
infiltrasi sel inflamasi mononuklear. Hipertrofi otot halus juga terjadi disini. Ditambah
dengan adanya fibrosis di dinding saluran nafas, menyebabkan penyempitan lumen
saliran nafas serta dapat menjadi predisposisi untuk hipereaktivitas saluran nafas. 4

Gambar 1. Obstruksi jalan nafas pada PPOK

c. Parenkim paru

4
Emfisema memiliki karakteristik adanya destruksi ruang udara untuk pertukaran
gas yang meliputi bronchiolus, duktus alveolar, dan alveoli. Dindingnya mengalami
perforasi dan selanjutnya akan mengalami obliterasi dan bergabung dengan ruang udara
yang lain menjadi ruang udara yang lebih besar dan abnormal. Limfosit T terutama sel
CD8+ akan meningkat di ruang alveolar. Emfisema akan dibedakan berdasarkan tipe
patologik yang ada. Beberapa tipe yang ada meliputi emfisema sentriasinar
(sentrilobular), emfisema panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar (perilobular).
Tipe paling sering berhubungan dengan faktor resiko rokok adalah emfisema
sentriasinar.4

E. DIAGNOSIS

 Gejala klinis
Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan dalam setiap pasien yang memiliki
gejala sesak nafas, batuk kronis dan produksi sputum, serta terdapatnya riwayat paparan
faktor risiko. Sesak nafas biasanya timbul hanya saat aktivitas kecuali pada penyakit
yang sudah berat. Sesak nafas ini mungkin akibat hiperinflasi dinamis yang diperburuk
oleh peningkatan laju pernapasan. Gejala batuk pada pasien PPOK biasanya berdahak,
dan dahak menjadi purulen selama eksaserbasi.1
Namun, sekarang dikenali bahwa PPOK mempengaruhi pasien tidak hanya sesak
napas saja.20 Untuk alasan ini, penilaian gejala secara komprehensif direkomendasikan
dengan menggunakan tindakan seperti COPD Assessment Test (CATTM) dan COPD
Control Questionnaire (The CCQ ©) telah dikembangkan dan cocok. Riwayat medis
rinci tentang pasien baru yang diketahui atau dicurigai memiliki PPOK sangat penting.1
 Tes Faal Paru
Pemeriksaan fungsi paru dengan menggunakan spirometri merupakan pendekatan
paling sensitif dibanding dengan pemeriksaan yang lain. Parameter pemeriksaan yang
dilakukan pada pasien PPOK adalah:
- Forced Vital Capacity (FVC): jumlah udara maksimal yang dapat diekspirasikan
selama forced manuver
- Forced Expiration Volume in 1 second (FEV1): jumlah udara ekspirasi dalam 1 detik
setelah inspirasi maksimal
Pengukuran spirometri dievaluasi dengan membandingkan hasil pengukuran
terhadap nilai acuan yang tepat berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin dan ras.
FEV1/FVC merupakan rasio FEV1 terhadap FVC dan ditampilkan dalam presentase.
5
Rasio FEV1/FVC normal berkisar antara 70-80%. Bila terjadi penurunan nilai rasio
FEV1/FVC maka merupakan suatu tanda adanya obstruksi aliran udara. Untuk menilai
reversible atau tidaknya obstruksi, uji spirometri dilakukan sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator, apabila kenaikan nilai FEV1 setelah pemberian bronkodilator
lebih dari 20% maka dikatakan obstruksi masih bersifat reversible dan bila kurang dari
20% maka obstruksi yang terjadi sudah irreversible.3
Spirometri diperlukan untuk membuat diagnosis dalam konteks klinis; adanya
temuan spirometri setelah pemberian bronkodilator dengan FEV1 / FVC <0.70
mengkonfirmasi adanya hambatan aliran udara persisten. Spirometri menampilkan
ukuran pembatasan aliran udara yang paling mudah diperoleh dan obyektif, serta
merupakan tes noninvasif dan mudah didapat. Meskipun memiliki sensitivitas yang
baik, pengukuran Peak Expiratory Flow saja tidak dapat digunakan sebagai satu-
satunya tes diagnostik karena spesifisitasnya yang lemah.1
F. KLASIFIKASI
Tujuan penilaian PPOK adalah untuk menentukan tingkat keparahan hambatan
aliran udara, dampaknya terhadap status kesehatan pasien dan risiko kejadian yang
akan datang (seperti eksaserbasi, masuk rumah sakit atau kematian), yang akhirnya
memberi panduan terapi. Untuk mencapai tujuan ini, penilaian PPOK harus
mempertimbangkan aspek penyakit berikut secara terpisah1:
 Adanya dan tingkat keparahan spirometrik yang abnormal
 Sifat dan beratnya gejala pasien saat ini
 Riwayat eksaserbasi dan resiko yang akan datang
 Adanya komorbid
Klasifikasi beratnya obstruksi aliran udara
Titik potong spirometri spesifik digunakan untuk menyederhanakan klasifikasi.
Spirometri harus dilakukan setelah pemberian dosis yang cukup sedikitnya satu
bronkodilator inhalasi short-acting untuk meminimalkan variabilitas.1
Penilaian berdasarkan gejala klinis
Di masa lalu, COPD dipandang sebagai penyakit yang sebagian besar ditandai
dengan sesak napas. Ukuran sederhana sesak napas seperti Modified British Medical
Research Council (mMRC) dinilai memadai, karena mMRC terkait dengan ukuran lain
dari status kesehatan dan memprediksi risiko kematian di masa depan. 1

6
Tabel 1. Klasifikasi PPOK berdasar klinis dan pemeriksaan spirometri faal paru1
Derajat Derajat sesak napas berdasarkan Faal Paru
mMRC

Derajat 0 Gejala sesak napas hanya ketika Normal


melakukan aktivitas berat

Derajat I : Sesak napas terjadi ketika berjalan FEV1 ≥ 80% prediksi


Ringan tergesa-gesa di jalan yang sedikit
menanjak
Derajat II : Berjalan lebih lambat dari orang- 50% ≤ FEV1 < 80%
Sedang orang seusianya karena sesak Prediksi
napas atau harus berhenti berjalan
pada kecepatan yang sama untuk
bernapas
Derajat III Berhenti setelah berjalan 100 30% ≤ FEV1 < 50%
PPOK meter atau setelah beberapa menit Prediksi
Berat pada kecepatan yang sama untuk
bernapas
Derajat IV: Sangat sesak untuk dapat keluar FEV1< 30% prediksi
Sangat rumah atau sesak saat memakai
Berat pakaian atau melepas pakaian

G. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dapat dari penyakit respirasi ataupun non respirasi.
1. Penyakit Respirasi15
a. Asma
b. Tuberkulosis
c. Bronkiolitis obliterans
d. bronkiektasis
2. Penyakit non Respirasi14
a. Gagal Jantung kongestif

H. TATALAKSANA
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi

7
Edukasi pada pasien PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut
secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, unit gawat darurat
ataupun di ICU dan bahkan di rumah. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan
aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK.6
Pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat
pendidikan, lingkungan sosial, budaya dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum
bahan edukasi yang harus diberikan antara lain6:
a. Pengetahuan dasar tentang PPOK
b. Penggunaan obat – obatan dan oksigen beserta manfaat dan efek sampingnya
c. Cara pencegahan perburukan penyakit
d. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
e. Mendeteksi dan menghindari pencetus (berhenti merokok)
f. Penyesuaian aktivitas dengan kemampuan fungsionalnya

2. Obat-obatan
a. Bronkodilator6
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release ) atau obat
berefek panjang (long acting). Macam - macam bronkodilator :
o Golongan antikolinergik
o Golongan agonis beta - 2
o Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
o Golongan xantin

b. Antiinflamasi6
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji

8
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pasca bronkodilator meningkat
> 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika6
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
d. Antioksidan6
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik6
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.
f. Antitusif 6 : Diberikan dengan hati – hati.

3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ - organ lainnya. 6
Indikasi pemberian terapi oksigen:
- PaO2 < 60mmHg atau Saturasi O2 < 90%
- PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Saturasi O2 > 89% disertai cor Pulmonal,
perubahan P pulmonal, tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, dan
penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktivitas
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi
bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan
sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan

9
analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi
oksigen di atas 90%. Alat bantu pemberian oksigen berupa nasal kanul, sungkup
venturi, sungkup rebreathing, sungkup nonrebreathing. Terapi oksigen dapat
dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan
kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di
rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat,
ruang rawat ataupun ICU. 6

4. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena adanya
hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis
gas darah. Kira-kira 25% dari pasien dengan PPOK derajat II sampai derajat IV
menunjukkan penurunan baik indeks massa tubuh dan massa lemak bebas.
Pengurangan indeks massa tubuh merupakan faktor risiko independen untuk mortalitas
PPOK.6
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK berupa
hipofosfatemi, hiperkalemi, hipokalsemi dan hipomagnesemi. Gangguan ini dapat
mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi
seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering. 6

I. KOMPLIKASI 1,3
PPOK merupakan penyakit progresif yang menyebabkan fungsi paru dapat
menurun dari waktu ke waktu. Penyakit ini harus dipantau untuk menentukan
modifikasi terapi dan menentukan adanya komplikasi. Beberapa komplikasi yang dapat
muncul seperti:
1. Gagal napas
2. Pulmonary arterial hipertension
3. Infeksi berulang’
4. Kor pulmonal
5. Pneumothorax
6. Pneumonia
7. Sleep Abnormalities

10
8. Giant Bullae

BAB III

LATIHAN AEROBIK PADA PPOK

A. Rehabilitasi paru pada PPOK

Rehabilitasi medik pada paru bertujuan untuk mengurangi gejala,


mengoptimalkan status fungsional, meningkatkan partisipasi dan menurunkan biaya
11
pelayanan kesehatan dengan menstabilisasi dan mengurangi manifestasi sistemik akibat
penyakit tersebut.10

Beberapa penelitian membuktikan bahwa rehabilitasi paru yang komperhensif


pada PPOK memberikan efek menurunkan sesak nafas, meningkatkan performa latihan
dan meningkatkan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (HRQL). 20
Penelitian lain menunjukkan bahwa rehailitasi paru sangat berguna pada pasien dengan
obstruksi saluran nafas yang berat dalam menurunkan kunjungan ke rumah sakit,
meningkatkan status kesehatan dan meningkatkan kapasitas aeorobiknya.10,14,15

Rehabilitasi paru pada PPOK tidak secara langsung memperbaiki fungsi paru atau
pertukaran gas dalam saluran nafas, namun mengoptimalkan fungsi sistem organ lain
yang terganggu akibat manifestasi klinik PPOK dan meminimalkan efek disfungsi
ekstrapulmonal.16

The American Thoraciac Society (ATS) menyebutkan bahwa semua pasien yang
telah mengalami gangguan fungsional dan aktifitas sehari-hari harus diberikan
rehabilitasi paru. Tidak ada kriteria inklusi khusus untuk kandidat pemberian
rehabilitasi paru, karena kebutuhan dilaksanakannya rehabilitasi paru bukan ditentukan
dari derajat beratnya penyakit namun oleh karena gejala dan keterbatasan fungsional
yang terjadi.10, 18

Komponen program rehabilitasi paru secara komprehensif meliputi:10,18

 Evaluasi pasien : wawancara, evaluasi medis, tes diagnostik (fungsi paru, uji latih,
analisis gas darah/oksimetri), pemeriksaan psikososial, penentuan goal.
 Program : edukasi, fisioterapi dada dan respirasi, program latihan, dukungan
psikososial, intervensi nutrisi.

B. Latihan Aerobik pada PPOK

Pasien PPOK dapat mengalami keterbatasan kapasitas latihan. Keterbatasan


tersebut dapat terjadi akibat adanya abnormalitas pertukaran gas, hiperinflasi paru
dinamis, ketidakcukupan energi untuk mensuplai otot perifer dan otot respirasi,
abnormalitas serabut otot rangka dan diafragma, dan penurunan kapasitas fungsional.
Jalan terbaik dalam meresepkan latihan pada pasien PPOK adalah dengan cara
20
mengevaluasi kapasitas latihannya secara individual. Program latihan merupakan

12
program inti dari rehabilitasi paru pada penderita PPOK yang ditunjang oleh penelitian-
penelitian. Program latihan ini dibagi menjadi 2 macam, yaitu: latihan aerobik atau
latihan ketahanan dan latihan kekuatan atau resistif.17,19
Latihan ketahanan atau aerobik, yaitu program latihan rekondisi yang berpusat
pada pemakaian energi pada otot. Perbaikan otot setelah penggunaan energi dihasilkan
dari peningkatan enzim oksidatif pada otot, peningkatan densitas dan ukuran
mitikondria serta peningkatan suplai kapiler serabut otot. Latihan aerobik
meningkatkan status kesehatan dan kebugaran.5,18
Kemampuan sistem respirasi dalam mensuplai oksigen untuk proses aerob dan
membuang karbondioksida adalah faktor penting yang menentukan kapasitas dalam
melakukan aktivitas fisik. Setiap liter oksigen yang dikonsumsi dalam proses aerob
menghasilkan 4,7-5,6 kkal energi melalui metabolisme energi. Sehingga semakin tinggi
konsumsi oksigen (VO2) semakin besar kapasitas untuk melakukan aktivitas fisik.18
Penurunan kapasitas paru yang terjadi pada PPOK akibat inaktivitas dan
dekondisi menyebabkan penurunan pada kapasitas aerobik yang tercermin melalui
ambilan oksigen maksimal. Kapasitas latihan yang menurun menyebabkan kapasitas
kerja absolut juga menurun. Latihan aerobik mampu meningkatkan beberapa parameter
kapasitas fungsional sebanyak 20% seperti ambilan oksigen yang berhubungan secara
langsung dengan tingkat kerja dan aktivitas.17
Latihan aerobik pada PPOK mengembalikan sebagian abnormalitas yang terjadi
pada otot dan menginduksi perubahan signifikan pada aktivitas enzim oksidatif serta
area potong melintang otot, sehingga meningkatkan toleransi terhadap latihan. 16 Respon
fisiologis terhadap latihan aerobik pada otot perifer adalah terjadi peningkatan
kemampuan penggunaan oksigen, terjadi konversi serabut otot tipe II yang kapasitas
oksidatifnya rendah menjadi serabut otot tipe I yang resisten terhadap kelelahan.16
Volume serabut otot tipe I dan jumlah mitokondria yang bertambah, menyebabkan
peningkatan aktivitas enzim oksidatif seperti sitrat sintetase dan 3-hidroksil-CoA
dehidrogenase. Perubahan struktural otot tersebut memberikan perubahan metabolisme
otot saat latihan menjadi lebih aerobik sehingga konsentrasi asam laktat darah dan
kadar karbondioksida menurun pada tingkat tertentu. Perubahan tersebut menyebabkan
perbaikan toleransi terhadap latihan submaksimal yang terlihat dalam peningkatan
aktivitas sehari-hari.17, 20, 21

13
Latihan aerobik juga menyebabkan penurunan kebutuhan energi dalam berbagai
aktivitas meskipun tanpa perubahan fisiologis yang tampak. Pada intensitas latihan
sedang dan tinggi terjadi penurunan asidosis laktat dengan perbaikan kapasitas
aerobik.21
Setelah beberapa sesi latihan aerobik, penderita PPOK mengadopsi teknik latihan
yang lebih efisien sehingga terjadi efisiensi mekanik dan penurunan metabolic cost
akibat latihan. Adanya penurunan kadar CO2 dan kadar laktat darah menyebabkan
penurunan kebutuhan ventilasi. Peningkatan kapasitas kerja dan penurunan sesak pada
pemberian latihan submaksimal terjadi secara signifikan.21
Program latihan pada pasien PPOK ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang
stabil dan mencegah eksaserbasi. Adapun kriteria PPOK stabil adalah:
- Tidak dalam kondisi gagal napas akut dan gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil bila dibuktikan dengan hasil
analisis gas darah menunjukkan PH normal PCO2 > 60 mmHg dan PO2 <60 mmHg
- Sputum jernih atau tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (dari hasil
spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai dengan rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Dalam melakukan latihan pada pasien dengan masalah pulmoner, maka harus
diperhatikan beberapa prinsip penting yang harus diaplikasikan, yaitu:
a. Frekuensi
Latihan yang dianjurkan untuk pasien gangguan pernapasan seperti PPOK adalah
3-5 hari per minggu, selama 8-12 minggu. Frekuensi ini sudah cukup untuk
menghasilkan perbaikan kesehatan yang bermakna dengan peningkatan kebugaran.5,18

b. Intensitas
Intensitas dalam latihan aerobik adalah tingkat pengeluaran energi yang
diperlukan dalam melakukan kegiatan untuk mencapai fungsi yang diinginkan.
Pengukuran intensitas latihan banyak direkomendasikan menggunakan Rating of
Perceived Exertion (RPE) atau Skala Borg, tetapi pengukuran ini kurang objektif.
Pengukuran intensitas secara objektif dapat dilakukan dengan monitor denyut jantung.

14
Intensitas latihan yang dianjurkan untuk pasien PPOK adalah intensitas sedang yaitu
skala Borg/RPE 4-6 (Tabel 2) yang didapatkan dari hasil uji latih. 5,18
Tabel 2. Modifikasi Skala Borg Sesak/ RPE5,18
Nilai Keluhan Sesak
0 Tidak sama sekali
0,5 Sangat, sangat ringan
1 Sangat ringan
2 Ringan
3 Sedang
4 Agak berat
5 Berat
6
7 Sangat berat
8
9
10 Sangat-sangat berat

c. Waktu
Semakin tinggi intensitas atau frekuensi maka semakin pendek waktu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan pengeluaran energi yang diinginkan. Latihan aerobik
dengan intensitas sedang dengan durasi yang lebih lama. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi resiko komplikasi yang berhubungan dengan latihandan terjadinya
hipoksemia. Waktu latihan yang direkomedasikan untuk pasien PPOK adalah 20-45
menit. Rekomendasi ini tidak termasuk durasi untuk pemanasan dan pendinginan.
Adapun rekomendasi untuk waktu dalam komponen sesi latihan adalah sebagain
berikut5,18:
- Pemanasan : sekurang-kurangnya 5-10 menit berupa latihan aerobik intensitas
ringan-sedang
- Conditioning : 20-45 menit latihan aerobik
- Pendinginan : 5-10 menit berupa latihan aerobik intensitas ringan-sedang
- Peregangan : sekurang-kurangnya 10 menit dilakukan setelah fase pemanasan atau
fase pendinginan.
d. Tipe
Tipe latihan harus disesuaikan dengan pertimbangan keadaan pasien atau minat
pasien. Beban latihan pada masing-masing tipe latihan didapatkan dari konversi nilai
MET yang didapat dari uji latih. Tipe latihan yang direkomendasikan untuk pasien
PPOK antara lain5,18:

15
- Sepeda statis (dipilih untuk pasien dengan gangguan keseimbangan atau pasien
dengan derajat penyakit berat)
Tabel 3. Perkiraan beban kerja latihan sepeda statis (satuan watt)18
Nilai MET
maksimu BB 30kg BB 60kg BB 70kg BB 80kg BB 90kg BB 100kg
m
3 12 14 16 19 21 23
4 20 25 29 33 37 41
5 29 35 41 47 53 58
6 38 46 53 61 68 76
7 47 56 65 75 84 93
≥8 55 67 78 89 100 111

- Treadmill
Beban kerja latihan pada treadmill dikonversikan dari nilai MET yang didapat
saat uji latih. Berikut perkiraan beban kerja latihan aerobik dengan treadmill:
Tabel 4. Perkiraan beban kerja latihan treadmill18
Nilai MET Perkiraan Kecepatan Jalan
maksimum (mph)
3 1,0
4 1,8
5 2,6
6 3,4
≥7 4,0
- Berjalan : dapat dilakukan saat perawatan atau latihan di rumha sakit maupun di
rumah. Beban kerja latihan dikonversikan dari nilai MET yang didapat saat uji
latih.
Tabel 5. Perkiraan beban kerja latihan jalan18
Nilai MET
Perkiraan Kecepatan Jalan
maksimum
2,5 2 mph (1 m/s)
3,3 3 mph (1,5 m/s)
4,5 4 mph (2 m/s)

Terdapat parameter pemantauan yang dilakukan sebelum, saat dan sesudah


latihan maupun uji latih yang direkomendasikan oleh ACSM yang berfungsi untuk
menentukan pencapaian pasien dari rekomendasi target latihan pada pasien PPOK,
menentukan dosis latihan maupun terminasi latihan dan uji latih.18
Tabel 6. Rekomendasi pemantauan pada latihan18
16
Variabel Sebelum latihan Saat latihan Setelah latihan
EKG Dipantau secara Dipantau secara Dipantau secara
terus-menerus, terus-menrus, kontinyu, dicatat
dicatat saat pasien dicatat saat 15 detik segera setelah
posisi supine dan terakhir dari tiap latihan, selama 15
postur latihan tahap latihan detik dari 1 menit
pertama pemulihan,
selanjutnya setiap 2
menit
Denyut Jantung Dipantau secara Dipantau secara Dipantau secara
Catatan: denyut terus-menerus, terus-menerus, terus-menerus,
jantung segera dicatat saat pasien dicatat saat 5 detik dicatat saat 5 detik
diperiksa dan posisi supine dan terakhir setiap terakhir setiap menit
dicatat kapanpun postur latihan menit
muncul
gejala/EKG
abnormal
Tekanan Darah Dipantau secara Dipantau secara Dipantau secara
Catatan: tekanan terus-menerus, terus-menerus, terus-menerus,
darah segera dicatat saat pasien dicatat saat 45 detik dicatat segera setelah
diperiksa dan posisi supine dan terakhir dari tiap latihan, selanjutnya
dicatat kapanpun postur latihan tahap latihan setiap 2 menit
muncul
gejala/EKG
abnormal
Tanda dan gejala Dipantau secara Dipantau secara Dipantau secara
terus-menerus, terus-menerus, terus-menerus,
dicatat sesuai dicatat sesuai dicatat sesuai temuan
temuan observasi temuan observasi observasi
RPE / Skala Borg Menjelaskan skala Dipantau secara Diperoleh nilai
keluhan kontinyu, dicatat puncak dari latihan,
saat 15 detik saat pemulihan tidak
terakhir dari dinilai lagi
masing-masing
latihan
17
SO2 Evaluasi nilai Evaluasi terus Secara umum tidak
baseline, untuk menerus dibutuhkan
memastikan status
yang baik

Terminasi latihan menurut ATS salah satunya adalah bila saat latihan ditemukan
SO2 <88% saat uji latih ataupun latihan.23 Menurut ACSM dilakukan terminasi jika
terdapat indikasi sebagai berikut18:
Indikasi absolut terminasi:
- Tekanan darah sistolik turun ≥ 10 mmHg dengan peningkatan kerja, atau jika
tekanan darah sistolik menurun dibawah nilai yang didapatkan saat sebelumnya
diperiksa pada posisi yang sama diikuti dengan bukti adanya iskemia
- Moderate severe angina (nilai 3 skala standar angina pada RPE)
- Peningkatan gejala sistem saraf (ataksia, pusing, atau hampir pingsan)
- Tanda dari perfusi buruk (sianosis atau pucat)
- Kesulitan teknis memonitor EKG dan tekanan darah sistolik
- Pasien menghendaki untuk menghentikan latihan
- Takikardi ventrikular yang terus menerus
- ST elevasi (+ 1.0 mm) tanpa gelombang Q (selain V1 atau aVR)

Indikasi relatif terminasi:


- Penurunan tekanan sistolik ≥ 10 mmHg dengan peningkatan beban, atau jika tekanan
sistolik menurun dibawah nilai yang didapat pada posisi yang sama sebelum uji atau
latihan
- Perubahan ST atau QRS seperti ST depresi berlebihan (>2 mm depresi segmen ST
horizontal atau downsloping) atau pergeseran aksis yang jelas
- Aritmia selain takikardi ventrikular terus-menerus, meliputi multifokal PVCs, triplet
PVCs, takikardia supraventrikular, blok jantung atau bradiaritmia
- Fatique, sesak napas, mengi, kram tungkai atau klaudikasio
- Bundle-branch block atau perlambatan konduksi intraventrikular yang tidak bisa
dibedakan dengan takikardi ventrikular
- Nyeri dada yang memberat
- Respon hipertensi (tekanan sistolik >25mmHg dan/atau tekanan diastolik
>115mmHg
18
C. Uji Latih
Uji latih bermanfaat untuk menilai kapasitas fungsional. Data yang didapatkan
berguna untuk konseling aktivitas, peresepan dosis latihan, penilaian disabilitas dan
penetuan prognosis.
Peresepan latihan untuk pasien PPOK didasarkan dari hasil uji latih. Uji latih
yang dapat digunakan adalah field test, sepeda statis atau treadmill. Namun uji latih
yang sering dan mudah dilakukan adalah Uji Jalan 6 Menit (UJ6M) yang dapat menjadi
ukuran latihan, parameter perbaikan kualitas hidup bahkan menjadi prediktor
mortalitas. Prediksi jarak tempuh, Metabolic Equivalent (MET) menjadi acuan klinis
pengukuran kapasitas latihan dan tingkat aktivitas pasien. 5,18,23 Untuk menentukan MET
didapatkan dari rumus:
VO2max = 0,053 (jarak tempuh) + 0,022 (umur) + 0,032 (tinggi badan) – 0,164 (berat
badan) – 2,228 (jenis kelamin*) – 2,287
Keterangan : * 0 = laki-laki, 1= perempuan

Parameter yang digunakan untuk uji latih menggunakan UJ6M, sepeda statis
ataupun treadmill dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 7. Rancangan uji latih pada pasien dengan disfungsi respirasi 5,18

Jenis Uji Latih Target Parameter


Uji jalan 6 menit Jarak tempuh (meter) VO2max
MET
Skala Borg/RPE (rated
perceived exertion)
Sepeda statis Beban latihan (watt) VO2max
MET
Skala Borg/RPE (rated
perceived exertion)
Treadmill Kecepatan (mph) VO2max
Inklinasi (derajat) MET
Skala Borg/RPE (rated
perceived exertion)

Adapun indikasi dan kontraindikasi dilakukan uji latih adalah sebagai berikut5:
- Indikasi:
19
 Penyakit paru obstruktif dan restriksi akut dan kronis
 Paska operasi thoraks dan abdomen
 Asma di luar eksaserbasi
- Kontraindikasi:
 Saturasi Oksigen <88%, namun bila dapat terkoreksi dengan bronkodilator dan
suplemen O2, uji latih dapat dilakukan
 Otot pernapasan fatique karena usaha napas yang tinggi atau karena kelemahan
neuromuskular. Pada kondisi ini latihan dapat dilakukan setelah kelelahan otot
pernapasan teratasi dengan alat ventilasi non invasif.
 Pasien paru dengan komorbid penyakit jantung dan hipertensi
 Disfungsi respirasi karena distrofi otot progresif pada DMD, Myoclonic Muscular
Dystrophy.
 Kurangnya motivasi
 Gangguan kognisi
 Angina non stabil
 Uncompensated Congestive Heart Failure
 Hipoksemia berat tercetus latihan
 Nyeri sendi

20
BAB IV
KESIMPULAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai oleh adanya
hambatan aliran udara yang menetap dan biasanya progesif, berhubungan dengan
peningkatan respon inflamasi kronik pada saluran napas dan parenkim paru akibat paparan
terhadap partikel dan gas berbahaya, terutama rokok. Prevalensi dan jumlah kematian akibat
PPOK akan meningkat sebanyak 30% 10 tahun kedepan jika tidak ada upaya untuk
mengurangi faktor resiko khususnya penggunaan rokok. Diperkirakan juga PPOK akan
menjadi penyebab kematian urutan ketiga pada tahun 2030.
Penurunan kapasitas paru yang terjadi pada PPOK akibat inaktivitas dan dekondisi
menyebabkan penurunan pada kapasitas aerobik yang tercermin melalui ambilan oksigen
maksimal, sehingga berdampak pada terbatasnya kapasitas fungsional.
Rehabilitasi medik pada penderita PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala,
meningkatkan fungsi dan memperbaiki kualitas hidupnya. Program yang diterapkan berupa
program rehabilitasi paru yang merupakan intervensi yang berdasar bukti, multidisiplin dan
komprehensif untuk pasien dengan penyakit respirasi kronik yang didesain secara individual
untuk mengoptimalkan performa fisik dan sosial.
Rehabilitasi paru pada PPOK mengoptimalkan fungsi sistem organ lain yang
terganggu akibat manifestasi klinik PPOK dan meminimalkan efek disfungsi ekstrapulmonal.
Latihan aerobik mampu meningkatkan beberapa parameter kapasitas fungsional sebanyak
20% seperti ambilan oksigen yang berhubungan secara langsung dengan tingkat kerja dan
aktivitas.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Global Initiative for chronic obstructive lung disease. Global strategy for the
diagnostic, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease.
USA: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, Inc; 2017. p. 2-50.

2. Curie GP. ABC of COPD 2nd edition. UK: Wiley Blackwell Publishing; 2011. p.1- 72
3. Mason RJ, etal. Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine 5th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 919-55
4. Reilly JJ, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In:
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Loscalzo J. Harrison’s Principles of
internal medicine 19th ed. United States: McGraw-Hill Education; 2015. p.1701-7
5. Latihan Pada Penyakit Paru dan Disfungsi Respirasi. Dalam: Latihan Terapeutik
Dasar Teori dan Aplikasi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi Indonesia; 2016. h. 286-297
6. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam : Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. h. 5-78
7. Tan J. Chronic Pulmonary Problems. In: Practical manual of physical medicine and
rehabilitation. Mosby. St Louis; 1998, p. 665-707.

8. Keyser RE, Chan L, Woolstenhulme JG., Kennedy M, Drinkard BE. Pulmonary


Rehabilitation. In: In: Braddom RL, editor. Physical Medicine and Rehabilitation. 4
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p.741-53
9. World Health Organization. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). World
Health Organization Media Centre: November 2017. Available from URL:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/
10. Singh SJ, ZuWallack RL, Garvey C, Spruit MA. Learn from the past and create the
future: the 2013 ATS/ERS statement on pulmonary rehabilitation. Eur Respir J. 2013;
42: 1169–1174.
11. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar (RIKESDAS) Nasional. Jakarta; 2013
12. Voelkel NF, MacNee W. Chronic Obstructive Lung Diseases vol 2. Ontario: BC
Deccer Inc; 2008
13. Hanania NA, Sharafkhaneh A. A guide to Diagnosis and Clinical Management COPD.
New york: Springer; 2011.

22
14. Gonzales P, Cucurullo S. Pulmonary rehabilitation. In: Cucurullo S: Physical
Medicine and Rehabilitation board review. New York: Demos Med; 2004. p. 585-68.
15. Holmes SA. Pulmonary rehabilitation. Garisson SJ, in handbook of physical medicine
and rehabilitation, 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2003. p.
261-69.
16. Pulmonary Rehabilitation: Joint ACCP/AACVPR Evidence-Based Clinical Practice
Guidelines; 2007
17. Keyser RE, Chan L, Woolstenhulme JG, Kennedy M, Drinkard BE. Pulmonary
rehabilitation. In: braddom rl, editor. Physical medicine & rehabilitation. Philadelphia:
Elsevier Saunder; 2011. h. 741 - 54.
18. Thomson WR, Gordon NF, Pescatello LS. ACSM’s Guidelines for exercise testing
and prescription. 8 Ed. Lippincot William & Willkins; 2009
19. Senior RM, Atkinson JJ. Chonic obstructive pulmonary disease; epidemiology,
pathophysiology and pathogenesis. dalam Fishman’s pulmonary disease and
disorders. 4. New York: Mc Graw-Hill.; 2008. h. 707-27.
20. Kisner C, Colby LA. Therapeutic Exercise Foundations and Techniques 5 ed.
Philadelphia: Davis Company; 2002.
21. Pulmonary Rehabilitation Educational Booklet. Energy Conservation techniques.
Hospital Authority Coordinating commitee in Occupational Therapy
22. Cooper BC, Abrazado M, Legg D, Kesten S. Developmental and Implementation of
Treadmill Exercise Testing Protocols in COPD. Int J of COPD 2010; 5:375-85.
23. American Thoracic Society; European Respiratory Society. An official systematic
review of the European Respiratory Society/American Thoracic Society:
measurement properties of field walking tests in chronic respiratory disease. Eur
Respir J 2014 : 44: 1447–1478

23

Anda mungkin juga menyukai