Anda di halaman 1dari 6

KEMATIAN JANIN DALAM RAHIM

A. Definisi
Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and Gynecologist yang
disebut kematian janin dalam rahim adalah janin yang mati dalam Rahim dengan berat
badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu
atau lebih. Kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat
janin, atau infeksi

B. Diagnosis
Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat terbatas nilainya dalam membuat diagnosis
kematian janin dalam Rahim. Umumnya penderita hanya mengeluh gerakan janin
berkurang. Pada pemeriksaan fisik tidak terdengar denyut jantung janin. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan USG, dimana tidak tampak adanya gerakan jantung janin.
Pada anamnesis gerakan janin menghilang. Pada pemeriksaan pertumbuhan janin
tidak ada, yang terlihat pada tinggi fundus uteri menurun, berat badan ibu menurun, dan
lingkaran perut ibu mengecil.
Dengan fetoskopi dan Doppler tidak dapat didengar adanya bunyi jantung janin.
Dengan sarana penunjang diagnostik lain yaitu USG, tampak gambaran janin tanpa tanda
kehidupan. Dengan foto radiologik setelah 5 hari tampak tulang kepala kolaps, tulang
kepala saling tumpang tindih ( gejala “spalding” ), tulang belakang hiperrefleksi, edema
sekitar tulang kepala, tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah.
Pemeriksaan hCG urin menjadi negative setelah beberapa hari kematian janin. Komplikasi
yang dapat terjadi ialah trauma psikis ibu ataupun keluarga, apabila waktu antara kematian
janin dan persalinan berlangsung lama. Bila terjadi ketuban pecah dapat terjadi infeksi,
terjadi koagulopati bila kematian janin lebih dari 2 minggu.

C. Etiologi
Pada 25-60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian janin dapat
disebabkan oleh factor maternal, fetal, atau kelainan patologik plasenta.
 Faktor maternal

Sarwono, Prawirohardjo. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT BINA PUSTAKA SARWONO PRAWIROHARDJO.
Post term ( >42 minggu ), diabetes mellitus tidak terkontrol, sistemik lupus
eritematosus, infeksi, hipertensi, preeklamsia, eklamsia, hemoglobinopati, umur
ibu tua, penyakit rhesus, ruptur uteri, antifosfolipid sindrom, hipotensi akut ibu,
kematian ibu.
 Faktor fetal
Hamil kembar, hamil, tumbuh terhambat, kelainan kongenital, kelainan genetik,
infeksi.
 Faktor plasental
Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini, vasa previa
 Sedangkan factor risiko terjadinya kematian janin intrauterine meningkat pada usia
ibu > 40 tahun, pada ibu infertil, kemokonsentrasi pada ibu, riwayat ibu dengan
berat badan lahir rendah, infeksi ibu ( ureplasma urealitikum ), kegemukan, ayah
berusia lanjut.

Untuk diagnosis pasti penyebab kematian sebaiknya dilakukan otopsi janin dan
pemeriksaan plasenta serta selaput. Diperlukan evaluasi secara komprehensif untuk
mencari penyebab kematian janin termasuk analisis kromosom, kemungkinan terpapar
infeksi untuk mengantisipasi kehamilan selanjutnya. Pengelolaan kehamilan selanjutnya
bergantung pada penyebab kematian janin. Meskipun kematian janin berulang jarang
terjadi, demi kesejahteraan keluarga, pada kehamilan berikut diperlukan pengelolaan yang
lebih ketat tentang kesejahteraan janin. Pemantauan kesejahteraan janin dapat dilakukan
dengan anamnesis, ditanyakan aktivitas gerakan janin pada ibu hamil, bila mencurigakan
dapat dilakukan pemeriksaan kardiotokografi.

D. Pengelolaan
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, penderita segera diberi informasi.
Diskusikan kemungkinan penyebab dan rencana penatalaksanaannya. Rekomendasikan
untuk segera diintervensi.
Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen menurun dengan
kecenderungan terjadinya koagulopati. Masalah menjadi rumit bila kematian janin terjadi
pada salah satu dari bayi kembar.
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan tanda vital
ibu ; dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, dan gula darah. Diberikan

Sarwono, Prawirohardjo. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT BINA PUSTAKA SARWONO PRAWIROHARDJO.
KIE pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan penyebab kematian janin ; rencana
tindakan ; dukungan mental emosional pada penderita dan keluarga, yakinkan bahwa
kemungkinan lahir pervaginam.
Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu, umumnya
tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan induksi persalinan dengan
oksitosin atau misoprostol. Tindakan perabdominam bila janin letak lintang. Induksi
persalinan dapat dikombinasi oksitosin + misoprostol. Hati-hati pada induksi dengan uterus
pascaseksio sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadinya rupture uteri.
Pada kematian janin 24-28 minggu dapat digunakan, misoprostol secara vaginal
(50-100 µg tiap 4-6 jam ) dan induksi oksitosin. Pada kehamilan di atas 28 minggu dosis
misoprostol 25 µg pervaginam / 6 jam.
Setelah bayi lahir dilakukan ritual keagamaan merawat mayat bayi bersama
keluarga. Idealnya pemeriksaan otopsi atau patologi plasenta akan membantu mengungkap
penyebab kematian janin.

E. Pencegahan
Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang sudah atau mendekati aterm
adalah bila merasakan gerakan janin menurun, tidak bergerak, atau gerakan janin terlalu
keras, perlu dilakukan pemeriksaan USG. Perhatikan adanya solusio plasenta. Pada gemelli
dengan T+T ( twin to twin transfusion ) pencegahan dilakukan dengan koagulasi pembuluh
anastomosis.

Sarwono, Prawirohardjo. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT BINA PUSTAKA SARWONO PRAWIROHARDJO.
HIDRAMNION

Cairan amnion merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi sekaligus menunjang
pertumbuhan. Osmolalitas, kadar natrium, ureum, kreatinin, tidak berbeda dengan kadar pada
serum ibu, artinya kadar di cairan amnion merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan amnion
banyak mengandung sel janin ( lanugo, verniks kaseosa ). Fungsi cairan amnion lainnya
menghambat bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan seng. Kelainan jumlah cairan
amnion dapat menimbulkan gangguan pada janin seperti hipoplasia paru, deformitas janin,
kompresi tali pusat, PJT, prematuritas, kelainan letak, dan kematian janin.
Volume cairan amnion pada kehamilan aterm rata-rata adalah 800 ml, cairan amnion
mempunyai pH 7,2 dan massa jenis 1,0085. Pada kehamilan 20 minggu, jumlah cairan amnion
sekitar 500 ml, kemudian jumlah terus meningkat hingga mencapai jumlah maksimal sekitar 1.000
ml pada kehamilan 34 minggu. Cairan amnion berkurang hingga 350 ml pada kehamilan 42
minggu, dan 250 ml pada kehamilan 43 minggu. Janin juga meminum cairan amnion sekitar 500
ml/ hari.
Secara klinik cairan amnion dapat bermanfaat untuk deteksi dini kelainan kromosom dan
kelainan DNA dari 12 minggu – 20 minggu. Pada cairan amnion juga terdapat alfa feto protein
(AFP) yang berasal dari janin, sehingga dapat dipakai untuk menentukan defek tabung saraf.
Mengingat AFP cukup spesifik, pemeriksaan serum ibu dapat dilakukan pada kehamilan trimester
2. Sebaliknya kadar AFP yang rendah, estriol, dan kadar tinggi hCG merupakan penanda sindrom
Down. Gabungan penanda tersebut dengan usia ibu > 35 tahun akan mampu meningkatkan
likelihood ratio menjadi 60% untuk deteksi sindrom Down. Gabungan dengan penanda PAPP-A
dan pemeriksaan nuchal translucency (NT) yaitu pembengkakan kulit leher janin ≥ 3 mm pada
usia kehamilan 10-14 minggu memungkinkan deteksi sindrom Down lebih dini.
Pengukuran jumlah cairan amnion secara semikuantitatif dapat dilakukan melalui beberapa
cara seperti (1) pengukuran diameter vertikal yang terbesar pada salah satu kantong amnion ; dan
(2) pengukuran indeks cairan amnion (ICA). Pengukuran 1 kantong amnion dilakukan dengan
mencari kantong amnion yang terbesar, bebas dari bagian tali pusat, dan ekstremitas janin, yang
dapat ditemukan melalui transduser yang diletakkan tegak lurus terhadap kontur dinding abdomen
ibu. Pengukuran dilakukan pada diameter vertical kantong amnion. Pada pengukuran ICA uterus
dibagi ke dalam 4 kuadran yang dibuat oleh garis mediana melalui line nigra dan garis horizontal

Sarwono, Prawirohardjo. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT BINA PUSTAKA SARWONO PRAWIROHARDJO.
setinggi umbilicus. Pada setiap kuadran uterus dicari kantong amnion terbesar, bebas dari bagian
tali pusat, dan ekstremitas janin, yang ditemukan melalui transduser yang diletakkan tegak lurus
terhadap lantai. Indeks cairan amnion merupakan hasil penjumlahan dari diameter vertical terbesar
kantong amnion pada setiap kuadran. Nilai ICA yang normal adalah 5 – 20 cm. Penulis lain
menggunakan batasan 5-18 cm atau 5-25 cm.

Polihidramnion
Cairan amnion yang terlalu banyak disebut polihidramnion ( > 2 liter ) yang mungkin
berkaitan dengan diabetes, kelainan kromosom trisomi 21 18 13, defek tabung neural, obstruksi
traktus gastrointestinal bagian atas, hidrops fetalis, displasia skelet, janin besar (makrosomia),
kehamilan kembar, kelainan plasenta dan tali pusat, dan obat-obatan ( misalnya propiltiourasil ).
Pada keadaan polihidramnion, janin menjauh dari dinding depan uterus sehingga tidak ada bagian
tubuh janin yang bersentuhan dengan dinding depan uterus. Janin berada di luar daya penetrasi
gelombang ultrasonik sehingga sulit dilihat melalui USG. Morbiditas dan mortalitas perinatal akan
meningkat bila diameter vertikal terbesar kantong > 8 cm. Polihidramnion tergolong derajat ringan
bila diameter kantong 12-16 cm, dan berat bila diameter kantong ≥ 16 cm. Bila ICA > 20 cm
disebut polihidramnion. Polihidramnion tergolong derajat ringan bila ICA 20-30 cm ; derajat
sedang bila ICA 30-40 cm ; dan derajat berat bila ICA ≥ 40 cm.
Komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi janin, ketuban
pecah, prolapse tali pusat, persalinan preterm, gangguan pernapasan pada ibu.

Oligohidramnion
Cairan amnion yang kurang disebut oligohidramnion yang berkaitan dengan kelainan
ginjal janin seperti kelainan ginjal bilateral dan obstruksi uretra, trisomy 21, atau 13, atau hipoksia
janin. Hipoksia janin yang berlangsung kronis akan memicu redistribusi darah sehingga terjadi
penurunan darah ke ginjal dan produksi urin berkurang hingga terjadilah oligohidramnion.
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan oligohidramnion adalah kelainan kongenital, PJT,
ketuban pecah, kehamilan postterm, insufisiensi plasenta, dan obat-obatan seperti golongan
antiprostaglandin. Oligohidramnion dapat dicurigai bila terdapat kantong amnion yang kurang dari
2 x 2 cm atau indeks cairan pada 4 kuadran kurang dari 5 cm. Setelah 38 minggu volume akan
berkurang, tetapi pada postterm oligohidramnion merupakan penanda serius apalagi bila

Sarwono, Prawirohardjo. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT BINA PUSTAKA SARWONO PRAWIROHARDJO.
bercampur mekonium. Morbiditas dan mortalitas perinatal akan meningkat bila diameter vertikal
terbesar kantong < 2 cm. Bila ICA < 5 cm disebut oligohidramnion.
Beberapa komplikasi oligohidramnion adalah hipoplasia paru, deformitas wajah dan
skelet, kompresi tali pusat dan aspirasi meconium pada masa intrapartum, dan kematian janin.

Anhidramnion
Pada keadaan oligohidramnion, cairan amnion berkurang dimana kantong amnion hanya
terlihat di daerah tungkai bawah ; dan cairan amnion disebut habis ( anhidramnion ) bila tidak
terlihat lagi kantong amnion. Pada keadaan ini aktivitas gerakan janin berkurang, struktur janin
sulit dipelajari dan ekstremitas tampak berdesakan.

Sarwono, Prawirohardjo. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT BINA PUSTAKA SARWONO PRAWIROHARDJO.

Anda mungkin juga menyukai