Anda di halaman 1dari 12

KEHAMILAN DENGAN BEKAS SECTIO CAESAREA SEBAGAI PENYULIT

Pendahuluan
Section caesar (SC) adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus dengan sayatan
uterus dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Wiknojosastro,
2008). Dalam beberapa tahun terakhir kecenderungan pilihan melahirkan
dengan operasi SC meningkat diberbagai negara. Di negara berkembang,
proporsi kelahiran dengan cara SC berkisar 21,1% dari total kelahiran yang ada,
sedangkan di negara maju hanya 2%, sedangkan World Health Organization
(WHO) menetapkan indikator SC 5-15% per 1000 kelahiran untuk setiap negara
tanpa membedakan negara maju atau berkembang (WHO, 2015).
Angka tindakan operasi SC di Indonesia sudah melewati batas maksimal
standar WHO yaitu 5-15 %. Berdasarkan data RIKESDAS tahun 2013, tingkat
persalinan sectio caesarea di Indonesia 15,3 % sampel dari 20.591 ibu yang
melahirkan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yang diwawancarai di 33
provinsi. (Riskesdas, 2013). Tindakan SC merupakan pilihan utama bagi tenaga
medis untuk menyelamatkan ibu dan janin. Persalinan SC hanya dilakukan
apabila terdapat indikasi ibu yang berupa panggul sempit, penyulit kehamilan
seperti eklamsi, ruptur uteri, plasenta previa, dan indikasi janin berupa
malpresentasi dan gawat janin. Tindakan operasi ini memiliki konsekuensi pada
involusi uterus ibu pasca kehamilan dan untuk kehamilan selanjutnya
(Wiknojosastro, 2008).
Manajemen penanganan pada kehamilan dan persalinan pada bekas SC
memerlukan perhatian khusus. Pemeriksaan antenatal care harus
memperhatikan bagaimana perkembangan kehamilan karena bekas SC dapat
memberikan komplikasi seperti plasenta previa dan ruptur uteri pada kehamilan
selanjutnya.
Sectio Caesaria
Seksio Caesar merupakan suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Wiknojosastro, 2008).
Indikasi operasi caesar karena itu dapat dibagi menjadi indikasi absolut dan
indikasi relatif. Setiap keadaan yang membuat kelahiran lewat jalan lahir tidak
mungkin terlaksana merupakan indikasi absolut untuk sectio abdominal. Di
antaranya adalah kesempitan panggul yang sangat berat dan neoplasma yang
menyumbat jalan lahir. Pada indikasi relatif, kelahiran lewat vagina bisa
terlaksana tetapi keadaan adalah sedemikian rupa sehingga kelahiran lewat
seksio sesarea akan lebih aman bagi ibu, anak ataupun keduanya (Liu, 2007).
Indikasi absolut seksio sesarea, antara lain (ASMS, 2015):
a. Panggul sempit dan distocia mekanis; Disproporsi fetopelvik, panggul sempit
atau janin terlampau besar, malposisi dan malpresentasi, disfungsi uterus,
distocia jaringan lunak, neoplasma dan persalinan yang tidak maju.
b. Malpresentasi; Presentasi pada bayi yang tidak memungkinkan untuk
persalinan pervaginam seperti letak lintang, dll.
c. Fetal asfiksia atau asidosis; Gawat janin, prolapsus funiculus umbilicalis dll
d. Perdarahan yang disebabkan placenta previa atau abruptio placenta, solusio
plasenta atau ruptur plasenta.
Indikasi relatif seksio sesarea, antara lain (ASMS, 2015):
a. Pembedahan sebelumnya pada uterus; SC, histeretomi, miomektomi,
ekstensif dan Jahitan luka: pada sebagian kasus dengan jahitan cervical atau
perbaikan ostium cervicis yang inkompeten dikerjakan seksio sesarea.
b. Kardiotografi patologis yang berat sehingga dapat menyebabkan hipoksia
akut atau fetal asfiksia
c. Kegagalan induksi
d. Ibu dengan penyulit kehamilan yang mempunyai kontraindikasi mengedan
seperti toxemia garvidarum mencakup; Preeklampsia dan eklampsia,
hipertensi esensial dan nephritis kronis, HIV/AIDS, hepatitis B, infeksi
menular seksual pada jalan lahir dll.
Indikasi lain dari seksio sesarea adalah indikasi sosial dimana menurut
penelitian suatu badan di Washington DC, Amerika Serikat pada tahun
menunjukkan bahwa setengah dari jumlah persalinan seksio sesarea secara
medis tidak diperlukan artinya tidak ada kegawatdaruratan persalinan untuk
menyelamatkan ibu dan janin yang dikandungnya. Hal ini terjadi karena
permintaan pasien sendiri terkait misalnya ingin melahirkan pada tanggal dan
jam tertentu, atau tidak ingin mengalami rasa sakit saat melahirkan (RCOG,
2015).
Kontraindikasi untuk dilakukan seksio sesarea ada tiga, yaitu kalau janin
sudah mati atau berada dalam keadaan jelek sehingga kemungkinan hidup kecil,
tidak ada alasan untuk dilakukan operasi berbahaya yang tidak diperlukan, kalau
jalan lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan tidak tersedia fasilitas untuk
sesarea ekstraperitoneal, serta dokter bedah tidak berpengalaman dan keadaan
tidak menguntungkan bagi pembedahan, atau tidak tersedia tenaga asisten
yang memadai (Wiknojosastro, 2008).

Involusi Uterus Setelah SC


Proses Penyembuhan Luka Bekas SC
Tindakan pembedahan biasanya membawa konsekuensi terbentuknya
jaringan parut di uterus karena proses penyembuhan luka yang terjadi. Namun
pada persalinan abdominal, yaitu pengeluaran janin melalui insisi dinding perut
dan dinding rahim dengan berat badan janin di atas 500gr, tidak ditemukan
pembentukan tersebut. Penyembuhan luka pada uterus adalah unik. Uterus
mengalami proses regenerasi serabut-serabut otot. Hal ini dibuktikan pada
pemeriksaan secara kasat mata sebelum uterus di insisi, seringkali tidak
ditemukan parut atau hanya ditemukan garis yang hampir tak terlihat. Pendapat
lain menyebutkan bahwa penyembuhan luka pada uterus terjadi dengan
pembentukan jaringan ikat. Proses ini berjalan setelah luka dibuat akan
menimbulkan eksudat yang berisikan pembentukan serta deposit fibrin, lalu
terjadi proliferasi dan infiltrasi fibroblast, kemudian jaringan yang terbentuk
tersebut akan menyatu dengan otot (Naji, 2013).
Pada proses penyembuhan luka ini terdapat faktor mekanik yang
berperan berupa kontraksi dan retraksi. Uterus akan mengecil dan sayatan
longitudinal sepanjang 10 cm dapat mengecil membentuk bekas sepanjang 2 cm.
Namun, sayatan pada segmen bawah rahim (SBR) mengecil lebih lambat karena
memiliki konsistensi otot yang lebih sedikit dari corpus. Pada kehamilan
berikutnya serabut-serabut otot mengalami pemanjangan dan perubahan
konsistensi. Daerah jaringan parut relatif statis, konsistensi jaringan parut
mengalami perubahan ringan menjadi lebih lunak mirip dengan perubahan yang
dialami jaringan fibromuskular pada serviks di kala I saat awal persalinan (Naji
2013).
Pada seksio sesarea insisi kulit pada dinding abdomen biasanya melalui
sayatan horizontal, kadang-kadang pemotongan atas bawah yang disebut insisi
kulit vertikal. Kemudian pemotongan dilanjutkan sampai ke uterus. Daerah
uterus yang ditutupi oleh kandung kencing yaitu SBR, hampir 90 % insisi uterus
dilakukan di tempat ini berupa sayatan horizontal (seperti potongan bikini). Cara
pemotongan uterus seperti ini disebut "Low Transverse Cesarean Section". Insisi
uterus ini ditutup/jahit akan sembuh dalam 2 – 6 hari. Insisi uterus dapat juga
dibuat dengan potongan vertikal yang dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan
ini dilakukan pada otot uterus. Luka pada uterus dengan cara ini mungkin tidak
dapat pulih seperti semula dan dapat terbuka lagi sepanjang kehamilan atau
persalinan berikutnya (NICE, 2011).
Pemeriksaan USG trans abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat
mengetahui ketebalan SBR. Ketebalan SBR 4,5 mm pada usia kehamilan 37
minggu adalah petanda parut yang sembuh sempurna. Parut yang tidak sembuh
sempurna didapat jika ketebalan SBR < 3,5 mm. Oleh sebab itu pemeriksaan USG
pada kehamilan 37 minggu dapat sebagai alat skrining dalam memilih cara
persalinan bekas seksio sesarea. (Naji, 2013). Dasar dari keyakinan ini adalah
dari hasil pemeriksaan histologi dari jaringan di daerah bekas sayatan seksio
sesarea dan dari 2 tahap observasi yang pada prinsipnya : a) Tidak tampaknya
atau hampir tidak tampak adanya jaringan sikatrik pada uterus pada waktu
dilakukan seksio sesarea ulangan. b) Pada uterus yang diangkat, sering tidak
kelihatan garis sikatrik atau hanya ditemukan suatu garis tipis pada permukaan
luar dan dalam uterus tanpa ditemukannya sikatrik diantaranya (Cunningham,
2010). Kekuatan sikatrik pada uterus pada penyembuhan luka yang baik adalah
lebih kuat dari miometrium itu sendiri. Hal ini telah dibuktikannya dengan
memberikan regangan yang ditingkatkan dengan penambahan beban pada
uterus bekas seksio sesarea (hewan percobaan). Dari laporan-laporan klinis pada
uterus gravid bekas seksio sesarea yang mengalami ruptura selalu terjadi pada
jaringan otot miometrium sedangkan sikatriknya utuh. Yang mana hal ini
menandakan bahwa jaringan sikatrik yang terbentuk relatif lebih kuat dari
jaringan miometrium itu sendiri (Srinivas, 2007).

Komplikasi pada Kehamilan dengan Bekas SC


1. Ruptur Uteri
Ruptura uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau
dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum viserale. Ruptur
uteri dapat terjadi pada uterus yang utuh (ruptur uteri spontan), pada bekas
luka dinding rahim, misalnya bekas SC atau operasi pada otot rahim, maupun
ruptur uteri akibat tindakan pada pertolongan persalinan atau ruptur uteri
violenta. Secara klinis ruptur uteri dapat menyebabkan adanya hubungan
langsung antara kavum uteri dengan rongga peritoneum (ruptur uteri
kompleta) atau tetap terpisah oleh peritoneum viseral yang menutupi uterus
atau uptura uteri inkomplet (ASMS, 2015)
Penting untuk membedakan antara ruptur pada parut SC dan terbukanya
(dehiscence) parut pada bekas SC. Ruptur uteri merujuk pada terpisahnya
insisi lama pada uterus hampir sepanjang seluruh jaringan parut tersebut,
diikuti dengan robeknya selaput fetal sehingga kavum uteri berhubungan
langsung dengan rongga peritoneum. Pada keadaan ini seluruh atau sebagian
dari janin berada di rongga peritoneum. Sebagai tambahan, biasanya
terdapat perdarahan yang signifikan dari pinggiran luka ke arah uterus.
Sebaliknya pada dehisens selaput fetal tidak robek dan janin tidak masuk ke
rongga peritoneum. Biasanya pada dehisens jaringan yang terpisah tidak
meliputi seluruh lapisan parut, peritoneum yang melapisi defek tersebut
tetap intak dan tidak ditemukan adanya perdarahan atau minimal (RCOG,
2015).
Dehiscence terjadi perlahan-lahan, sedangkan ruptur sangat simptomatik
dan kadang-kadang fatal. Dengan timbulnya persalinan atau manipulasi
intrauterine, suatu dehiscence dapat terjadi ruptur. Ruptur uteri semacam
ini lebih sering terjadi pada luka bekas SC klasik dibandingkan dengan luka
bekas SC profunda. Ruptur bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir
kehamilan, sedangkan luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi dalam
persalinan, karena itu semua pasien bekas SC yang hamil lagi harus diawasi
oleh seorang dokter ahli, baik sewaktu kehamilan maupun persalinan.

Adapun gejala dari ruptur uteri, antara lain (Cunningham, 2010):


a. Pesien tampak gelisah, ketakutan, disertai rasa nyeri perut bagian bawah
terus menerus, juga pada waktu diraba, terutama di luar his.
b. Pernafasan dan denyut nadi cepat dari biasanya.
c. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama, yaitu mulut kering, lidah
kering dan haus, badan panas.
d. Pada abdomen dijumpai :
a) Lingkaran Bandle meningkat sampai setinggi pusat
b) Bagian bawah terasa nyeri
c) Ligamentum rotundum teraba tegang
d) Kontraksi rahim kuat dan terus-menerus
e) Bunyi jantung janin tidak ada atau tidak baik karena anak mengalami
asfiksia disebabkan oleh kontraksi dan retraksi rahim yang berlebihan.
e. Pada pemeriksaan dalam, didapatkan :
a) Bagian terendah janin terfiksir
b) Mungkin dijumpai edema serviks
Bila keadaan tersebut dibiarkan, maka suatu saat akan terjadi ruptur
uteri, dengan tanda-tanda sebagai berikut (Cunningham, 2010):
a. Pasien merasa kesakitan yang luar biasa, menjerit seolah-olah perutnya
sedang dirobek.
b. Segmen bawah rahim terasa nyeri sekali bila di palpasi.
c. Bunyi jantung tidak ada.
d. Tidak lama kemudian akan menunjukkan gejal-gejala kolaps dan jatuh
dalam syok, dengan tanda-tanda :
a) Tekanan darah rendah sampai tidak terukur
b) Nadi cepat dan kecil
c) Frekuensi pernafasan meningkat
d) Akral pucat dan dingin
e) Pada pemeriksaan abdomen didapatkan :
f) Tanda ciran bebas
g) Bagian bawah janin mudah diraba di bawah kulit
h) Pada palpasi, abdomen terasa nyeri di samping janin teraba uterus
yang padat
e. Pada pemeriksaan dalam dijumpai :
a) Bagian terendah janin dapat didorong ke dalam kavum abdominalis
b) Pada sarung tangan terdapat darah
c) Tempat robekan ruptur uteri dapat diraba
Ruptur uteri pada bekas SC sering sukar sekali didiagnosa, karena
tidak ada gejala-gejala khas seperti pada rahim yang utuh. Mungkin hanya
ada perdarahan yang lebih dari perdarahan pembukaan atau ada perasaan
nyeri pada daerah bekas luka. Ruptur semacam ini disebut silent rupture, di
mana gambaran klinisnya sangat berbeda dengan gambaran klinis ruptur
uteri pada uterus yang utuh. Hal ini dikarenakan biasanya ruptur pada bekas
luka SC terjadi sedikit demi sedikit dan lagi pula perdarahan pada ruptur
bekas luka SC profunda terjadi retroperitoneal hingga tidak menyebabkan
gejala perangsangan pada peritoneum. Maka sebaiknya pada semua
penderita bekas SC yang bersalin pervaginam dilakukan eksplorasi kavum
uteri. Ruptur uteri merupakan keadaan gawat darurat obstetrik yang
berbahaya karena angka kematiannya tinggi. Penyebab kematian ruptur uteri
terutama adalah perdarahan dan infeksi. Pertolongan pertama pada ruptur
uteri terutama adalah transfusi darah dan antibiotika yang adekuat. Setelah
keadaan umum penderita baik, segera dilakukan histerektomi
(Wiknojosastro, 2008)

2. Plasenta Akreta dan Plasenta Previa


Perubahan pada bentuk, biokimia, molekul, dan imunologi yang terlihat
pada rahim saat persalinan dari bentuk inaktif menjadi aktif dikarenakan
kontraksi yang kuat dan sering. Miometrium menjadi responsif terhadap
prostaglandin yang memfasilitasi terjadinya persalinan. Sedangkan pada
kondisi pasien yang dilakukan operasi SC terjadi ketiadaan aktivasi dari
uterus. Hal ini menjadi awal dari hipotesis bahwa SC salah satu faktor risiko
untuk terjadinya plasentasi yang tidak sesuai di persalinan selanjutnya (Yang,
2007).
Pada nyatanya, uterus pada dua orang yang berbeda dapat memberikan
respons yang berbeda juga terhadap bekas luka SC terutama respon terhadap
sitokin dan mediator inflamasi, dan stress oksidatif. Hal ini dapat berdampak
pada pertumbuhan dan rekonstruksi desidua basalis dan kemampuan desidua
untuk menampung dan memodulasi infiltrasi trofoblas. Hal ini terbukti pada
penelitian melalui ultrasound transabdominal yang memberikan kesan bahwa
ketebalan dinding uterus wanita bekas SC lebih tipis dibanding uterus wanita
dengan persalinan pervaginam. Ketebalan dinding uterus yang tipis setelah SC ini
dapat menyebabkan terjadinya plasenta akreta ataupun perkreta (Yang, 2007).
Selain dari kelainan perlekatan plasenta, remodelisasi kondisi uterus
pasca SC dapat menyebabkan kelainan pada letak plasenta, yaitu plasenta previa.
Hal ini dapat terjadi pasca SC dengan insisi segmen bawah rahim (SBR) yang
membuat modulasi dari SBR menipis sehingga menyebabkan plasentosis
menyebar hingga ke permukaan rendah uterus. Ligasi pembuluh rahim pada
saat SC dapat lebih meningkatkan risiko kerusakan pada lapisan rahim
endometrium dan miometrium, atau keduanya, yang dapat mempengaruhi
ke implantasi rendah plasenta di rahim.
Selain itu, bagian otot rahim selama persalinan perabdominal
mengganggu fisiologis peregangan dari otot, dan membatasi pergerakan
pertumbuhan plasenta sehingga menjauh dari segmen atas uterus pada
kehamilan berikutnya. Bahaya plasenta previa ini dapat menyebabkan
perdarahan antepartum dan menjadi indikasi untuk dilakukan kembali persalinan
perabdomina pada kehamilan selanjutnya. Tingkat plasenta previa meningkat
dengan peningkatan jumlah operasi caesar sebelumnya. Dalam 153 kasus
plasenta previa dengan operasi caesar sebelumnya, terjadi peningkatan risiko
sebesar 3,5% pada satu kali SC, 22,5% pada dua kali SC sebelumnya, 28% pada
tiga kali SC, dan 50% pada empat kali SC sebelumnya (Yang, 2007).
KESIMPULAN
Sectio caesarea merupakan prosedur bedah untuk pelahiran janin dengan
insisi melalui abdomen dan uterus. Operasi SC ini memiliki indikasi absolut,
relatif, sosial, ibu dan janin. Bekas SC dapat menyebabkan involusi uterus
berjalan lambat dibandingkan dengan involusi uterus pada persalinan
pervaginam, hal ini dikarenakan adanya luka sehingga terdapat pembentukan
jaringan parut pada uterus yang sedikit menghambat proses penyembuhan.
Selain terjadinya subinvolusi uterus, kehamilan dengan bekas SC dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi pada kehamilan selanjutnya yaitu ruptur
uteri dan plasenta previa. Oleh karena itu, kehamilan dengan bekas SC
memerlukan perhatian khusus pada pemeriksaan antenatal care dan persalinan.
DAFTAR PUSTAKA

Association of Scientific Medical Societies (ASMS). 2015. Absolute and Relative


Indication of Cesarean Section. Germany: Association of Scientific Medical
Societies.
Cunningham D, MacDonald P, Grant. 2010. Seksio Sesarea dan Histerektomi
Sesarea, Obstetri. Williams, edisi 21, cetakan pertama, Jakarta: EGC.
Liu S, Liston RM, Joseph KS, Heaman M, Sauve R, Kramer MS. 2007. Maternal
Mortality And Severe Morbidity Associated With Low-Risk Planned
Cesarean Delivery Versus Planned Vaginal Delivery At Term. CMAJ. 176:
455–60.
Naji O, Daemen A, Smith A, Abdallah Y, Saso S, Stalder C, et al. 2013. Changes In
Cesarean Section Scar Dimension During Pregnancy: A Prospective
Longitudinal Study. Ultrasound Obstet Gynecol. 41:556-62
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). 2011. CAESAREAN
SECTION. NICE clinical guideline 132. Manchester: NICE.
Riset Kesehatan Dasar Kemenkes (RISKEDAS). 2013. Profil Kesehatan Indonesia
dalam Angka. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Royal College of Obstetrician and Gynaecologist (RCOG). 2015. Birth after
Previous Caesarian Birth: Greentop Guideline No.45. London: RCOG Obstet
Gynecol.
Srinivas SK, Stamilio DM, Stevens EJ, Odibo AO, Peipert JF, Macones GA. 2007.
Predicting failure of a vaginal birth attempt after cesarean delivery. Obstet
Gynecol. 109:800–5.
Verfoort AJMW, L.B. Uitenvboogard, WJK Hehenkamp,. Why do niches develop
in caesarean uterine scars? Hypoteses on the aetiology of niche
development. Human Reproduction. 30 (12): 2695-2702.
World Health Organization (WHO). 2015. WHO Statement on Caesarean Section
Rates. Geneva: WHO.
Wiknojosastro. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Yang Q, Wen SW, Oppenheimer L, Chen XK, Black D, et al. 2007. Association of
caesarean delivery for first birth with placenta praevia and placenta
abruption in second pregnancy. BJOG. 606-613.

Anda mungkin juga menyukai