Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mola Hidatidosa merupakan suatu kehamilan abnormal, dimana tidak
ditemukan janin dan hamper seluruh vili korionik mengalami perubahan
degenerasi hidrofik. Janin biasanya meninggal, akan tetapi villus-villus yang
membesar dan edematous itu hidup dan tumbuh terus-menerus sehingga
memberikan gambaran segugus buah anggur. Jaringan trofoblas pada villus
kadang-kadang berproliferasi ringan dan kadang pula keras serta
mengeluarkan hormone, yakni human chorionic gonadotrophin (HCG) dalam
jumlah yang lebih besar daripada kehamilan biasa. 1
Mola hidatidosa biasanya disertai keluhan uterus membesar lebih
cepat dari biasa serta mengeluh mual dan muntah yang lebih hebat dan tidak
jarang pula terjadi perdarahan pervaginam serta gejala tirotoksikosis. Kadang-
kadang pengeluaran darah disertai pengeluaran beberapa gelembung villus
yang memastikan diagnosis mola hidatidosa. 1
Dari semua jenis penyakit trofoblastik gestasional, mola hidatidosa
adalah jenis yang paling sering dijumpai. Penyakit ini banyak ditemui di
negara-negara Asia dan Mexico, sedangkan di negara barat lebih jarang.
Frekuensi mola umumnya pada wanita Asia lebih tinggi (1:120 kehamilan)
dibandingkan di negara barat (1:2000 kehamilan). Mola dapat keluar sendiri
dapat pula keluar melalui suatu tindakan, pengeluaran sendiri biasanya
disertai perdarahan yang banyak. 1
Dengan menggunakan pemeriksaan ultrasonografi, mola hidatidosa
dapat didiagnosis secara dini. Pada pemeriksaan histopatologi akan tampak
sebagai kehamilan yang abnormal dengan karakteristik proliferasi sel
trofoblas dan villi korialis yang hidropik dengan atau tanpa adanya fetus.
Diagnosis mola hidatidosa dapat ditegakan dengan temuan klinis lainnya. 1,2,3

1
Penanganan mola hidatidosa tidak terbatas pada evakuasi kehamilan
mola saja, tetapi juga membutuhkan penanganan lebih lanjut berupa
monitoring untuk memastikan prognosis penyakit tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Definisi

Yang dimaksud dengan mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang

berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili

korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik,

mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus

pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter

sampai 1 atau 2 cm. Gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa

ialah edema stroma vili, tidak ada pembuluh darah pada vili/degenerasi hidropik

dan proliferasi sel-sel

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Uterus adalah organ yang tebal, berotot, berbentuk buah pear, terletak dalam

rongga panggul kecil di antara kandung kemih dan anus, ototnya desebut

miometrium dan selaput lendir yang melapisi bagian dalamnya disebut

endometrium. Peritonium menutupi sebagian besar permukaan luar uterus, letak

uterus sedikit anteflexi pada bagian lehernya dan anteversi (meliuk agak memutar

ke depan) dengan fundusnya terletak di atas kandung kencing. Bagian bawah

bersambung dengan vagina dan bagian atasnya tuba uterin masuk ke dalamnya.

Ligamentum latum uteri dibentuk oleh dua lapisan peritoneum, di setiap sisi

uterus terdapat ovarium dan tuba uterina. Panjang uterus 5 – 8 cm dengan berat 30

– 60 gram.

Uterus terbagi atas 3 bagian yaitu fundus bagian lambung di atas muara tuba

uterine. Badan uterus melebar dari fundus ke serviks. Isthmus terletak antara

3
badan dan serviks. Rongga serviks bersambung dengan rongga badan uterus

melalui os interna (mulut interna) dan bersambung dengan rongga vagina melalui

os eksterna. Ligamentum pada uterus: ada dua buah kiri dan kanan. Berjalan

melalui annulus inguinalis, profundus ke kanalis iguinalis. Setiap ligamen

panjangnya 10 – 12,5 cm, terdiri atas jaringan ikat dan otot, berisi pembuluh

darah dan ditutupi peritoneum. Peritoneum di antara kedua uterus dan kandung

kencing di depannya, membentuk kantong utero-vesikuler. Di bagian belakang,

peritoneum membungkus badan dan serviks uteri dan melebar ke bawah sampai

fornix posterior vagina, selanjutnya melipat ke depan rectum dan membentuk

ruang retri-vaginal. Ligamentum latum uteri: Peritoneum yang menutupi uterus,

di garis tengh badan uterus melebar ke lateral membentuk ligamentum lebar, di

dalamnya terdapat tuba uterin, ovarium diikat pada bagian posterior ligamentum

latum yang berisi darah dan saluran limfe untuk uterus maupun ovarium.

Untuk menahan ovum yang telah dibuahi selama perkembangan sebutir ovum,

sesudah keluar dari ovarium diantarkan melalui tuba uterin ke uterus (pembuahan

ovum secara normal terjadi dalam tuba uterin) sewaktu hamil yang secara normal

berlangsung selama 40 minggu, uterus bertambah besar, tapi dindingnya menjadi

lebih tipis tetapi lebih kuat dan membesar sampai keluar pelvis, masuk ke dalam

rongga abdomen pada masa fetus.

Pada umumnya setiap kehamilan berakhir dengan lahirnya bayi yang

sempurna. Tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Sering kali

perkembangan kehamilan mendapat gangguan. Demikian pula dengan penyakit

4
trofoblast, pada hakekatnya merupakan kegagalan reproduksi. Di sini kehamilan

tidak berkembang menjadi janin yang sempurna, melainkan berkembang menjadi

keadaan patologik yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan, berupa

degenerasi hidrifik dari jonjot karion, sehingga menyerupai gelembung yang

disebut ”mola hidatidosa”. Pada umumnya penderita ”mola hidatidosa akan

menjadi baik kembali, tetapi ada diantaranya yang kemudian mengalami

degenerasi keganasan yang berupa karsinoma.

Gambar 1 Anatomi Uterus

2.3 Epidemiologi

Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, Amerika latin

dibandingkan dengan negara – negara barat. Menurut Drake th 2006, insiden

5
terjadi kehamilan mola yaitu 1-2 kehamilan per 1000 kelahiran di Amerika

Serikat dan Eropa Insidensi mola hidatidosa dilaporkan pada bagian barat

Amerika Serikat, terjadi 1 kejadian kehamilan mola dari 1000-1500 kehamilan.

Mola hidatidosa ditemukan kurang lebih 1 dari 600 kasus abortus medisinalis. Di

Asia insidensi mola 15 kali lebih tinggi daripada di Amerika Serikat, dengan

Jepang yang melaporkan bahwa terjadi 2 kejadian kehamilan mola dari 1000

kehamilan. Sedangkan di Korea Selatan insiden kehamilan mola yaitu 40

kehamilan per 1000 kelahiran. Secara etnis wanita Filipina, Asia Tenggara dan

Meksiko, lebih sering menderita mola daripada wanita kulit putih Amerika. Di

negara-negara Timur Jauh beberapa sumber memperkirakan insidensi mola lebih

tinggi lagi yakni 1:120 kehamilan. Pada penelitian Maria Loho tahun 2015

disebutkan bahwaa di Indonesia terjadi kasus mola hidatidosa per 40 persalinan.

2.4 Etiologi

Penyebab terjadinya MH tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan adanya

peranan kelainan kromosomal.6,9 Sel sperma membuahi ovum abnormal yang

tidak memiliki nukleus (atau kromosom) pada CMH. Penyebab terbentuknya

ovum abnormal tersebut tidak diketahui. Bila fertilisasi dengan kondisi tersebut

berlangsung, perkembangan normal tidak akan terjadi, tidak akan terbentuk

chorion, amnion atau korda umbilikalis dan fetus juga tidak terbentuk. Sebaliknya

sel 5 trofoblast pembentuk plasenta akan berkembang pesat menjadi CMH. 4,5

Embrio atau janin pada PMH secara parsial berkembang tetapi biasanya tidak

bertahan hidup sampai rata-rata minggu kedelapan akan mati. Kebanyakan

6
kehamilan dianggap berisiko tinggi dan dapat berakibat fatal terhadap ibu. 8,9 CMH

dapat berkembang setelah terjadinya abortus ataupun dari sisa-sisa sel trofoblast

setelah kehamilan aterm.9

2.5 Faktor Resiko Mola Hidatidosa

a. Usia reproduksi
Mola hidatidosa (MH) dapat terjadi pada semua wanita dalam masa reproduksi.
Kehamilan pada usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun memiliki risiko
lebih tinggi mengalami MH.
b. Status gizi
Status gizi dianggap berpengaruh terhadap kejadian MH. MH sebagai suatu
kehamilan abnormal yang berasal dari ovum patologis. Keadaan tersebut
disebabkan oleh adanya defisiensi protein berkualitas tinggi (highclass protein).
Beberapa peneliti mengaitkan hal ini dengan kenyataan bahwa di Asia banyak
kejadian MH pada penduduk yang termasuk golongan sosioekonomi rendah
dengan tingkat konsumsi protein yang minim. Secara empiris, teori tersebut
didukung dengan tingginya angka kejadian MH pada beberapa daerah dengan
pola konsumsi rendah protein, seperti di Indonesia dan Filipina. Meski demikian,
teori tersebut belum menjawab kenyataan bahwa terdapat daerah-daerah dengan
angka kejadian MH tinggi pada penduduk yang mengonsumsi protein tinggi,
seperti seperti di Alaska dan Hawai. Defisiensi asam folat dan histidine pada
wanita hamil juga dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
kejadian MH. Pada wanita dengan defisiensi asam folat dan histidine, terutama
pada hari ke-13 dan 21 kehamilan, akan mengalami gangguan pembentukan
thymidine, yang merupakan bagian penting dari DNA. Akibat kekurangan gizi
ini akaan menyebabkan kematian embrio dan gangguan angiogenesis, yang pada
gilirannya akan menimbulkan perubahan hidropik. Teori gizi sebagai faktor
risiko yang banyak dianut saat ini adalah teori yang diajukan oleh Parazzini &
Berkowitz, yaitu bahwa berdasarkan studi kasus kontrol, MH banyak terjadi

7
pada wanita dengan defisiensi B-Carotene/vitamin A. Hal ini pula yang dapat
menerangkan mengapa terjadi variasi dalam insidensi secara regional.
c. Riwayat Obstetri
Menurut WHO, riwayat obstetrik juga mempengaruhi kejadian MH. Hal ini
disebabkan pada wanita dengan riwayat MH sebelumnya berisiko mengalami
MH pada kehamilan selanjutnya. Begitu pula pada wanita dengan riwayat
melahirkan gemelli. Namun, multiparitas bukan merupakan faktor risiko MH.
d. Suku Bangsa dan Ras
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insidensi pada wanita kulit hitam lebih
rendah dibandingkan yang lain. Insidensi MH pada wanita Euroasian dua kali
lebih tinggi dari wanita Cina, Melayu, dan India.
e. Genetik
Hasil penelitian sitogenetik menunjukkan bahwa pada kasus MH lebih banyak

ditemukan kelainan balance translocation dibandingkan dengan populasi

normal. Pada wanita dengan kelainan sitogenik tersebut lebih banyak mengalami

gangguan meiosis berupa nondisjunction sehingga lebih banyak ovum kosong

atau ovum dengan inti inaktif.

2.6 Patofisiologi

Mola hidatidosa dapat terbagi menjadi :

a. Mola hidatidosa komplet (klasik), jika tidak ditemukan janin.


b. Mola hidatidosa inkomplet (parsial), jika disertai janin atau bagian janin.

Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari


penyakit trofoblast:
MHK mempunyai komplemen genetik yang androgenik, yaitu material
genetik berasal dari paternal. MHK biasanya mempunyai kariotype 46 XX dan
kromosom dari mola diperoleh sepenuhnya dari ayah. Sebagian besar MHK
adalah homozigot dan timbul dari ovum kosong yang telah dibuahi oleh

8
sperma haploid (23X), yang mereplikasi dari kromosomnya sendiri.
Kromosom pada MHK berasal dari pihak ayah dan DNA mitokondria berasal
dari pihak ibu. Kromosom asal dari MHK adalah diploid. Pada 90 % kasus,
ovum yang kosong tidak mengandung genom DNA dibuahi oleh satu sperma,
yang berduplikasi DNA nya sendiri. Sehingga dapat menjadi 15 abnormal
46XX karyotip. Sedangkan 10% kasus, ovum yang kosong dibuahi oleh dua
sperma, hasilnya adalah abnormal 46XX atau 46XY karyotype.
Karyotip pada PMH biasanya triploid 69,XXX, 69,XXY, atau 69,XYY
dengan satu komplemen haploid ibu dan dua haploid ayah. Janin pada mola
parsial memiliki stigmata triploid, yaitu malformasi kongenital multipel dan
hambatan pertumbuhan, serta tidak mungkin hidup.
2.7 Gambaran klinis

Pada permulaanya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan

kehamilan biasa, yaitu mual, muntah, pusing dan lain lain, hanya saja derajat

keluhannya sering lebih hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga

pada umumnya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan. Ada pula kasus-

kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besar walaupun jaringannya belum

dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan jaringan trofoblas tidak begitu aktif

sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya jenis dying mole. Perdarahan

merupakan gejala utama mola. Biasanya keluhan perdarahan inilah yang

menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya

terjadi antara bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12 - 14 minggu.

Sifat perdarahan bisa intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga

menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini umumnya pasien mola

9
hidatidosa masuk dalam keadaan anemia. Seperti juga pada keharnilan biasa,

mola hidatidosa bisa disertai dengan preeklampsia (eklampsia), hanya

perbedaannya ialah bahwa preeklampsia pada mola derajatnya lebih muda

daripada kehamilan biasa. Penyulit lain yang akhir-akhir ini banyak

dipermasalahkan ialah tirotoksikosis. Maka, Martaadisoebrata menganjurkan agar

tiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif seperti

kita selalu mencari tanda-tanda preeklampsia pada tiap kehamilan biasa. Biasanya

penderita meninggal karena krisis tiroid. Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah

emboli sel trofoblas ke paru-paru. Sebetulnya pada tiap kehamilan selalu ada

migrasi sel trofoblas ke paru-paru tanpa memberikan gejala apa-apa. Akan tetapi,

pada mola kadang-kadang jumlah sel trofoblas ini sedemikian banyak sehingga

dapat menimbulkan emboli paru-panr akut yang bisa menyebabkan kematian.

Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral maupun

bilateral. Umumnya kista ini menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi

ada juga kasus-kasus di mana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up.

Dengan pemeriksaan klinis insidensi kista lutein lebih kurang 10,2 %, tetapi bila

menggunakan USG angkanya meningkat sampai 50 %. Kasus mola dengan kista

lutein mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk mendapat degenerasi keganasan

di kemudian tiari daripada kasuskasus tanpa kista.

2.8 Diagnosis

Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada perempuan dengan

amenorea, perdarahan pervaginam, uterus yang lebih besar dari tuanya kehamilan

10
dan tidak ditemukan tanda kehamilan pasti seperti balotemen dan detak jantung

anak. Untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human

Chorionic Gonadotropin (hCG) dalam darah atau urin, baik secara bioasay,

immunoasay, maupun radioimmunoasay. Peninggian hCG, terutama dari hari ke-

100, sangat sugestif. Bila belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan USG, di mana

kasus mola menunjukkan gambaran yang khas, yaitu berupa badai salju (snow

flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb).

Diagnosis yang paling tepat bila kita telah melihat keluarnya gelembung mola.

Namun, bila kita menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya sudah

terlambat karena pengeluaran gelembung umumnya disertai perdarahan yang

banyak dan keadaan umum pasien menurun. Terbaik ialah bila dapat

mendiagnosis mola sebelum keluar.

Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik, sehingga

seringkali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus

inkompletus, atau mioma uteri. Pada kehamilan trimester II gambaran mola

hidatidosa umumnya lebih spesifik. Kavum uteri berisi massa ekogenik

bercampur bagian-bagian anekoik vesikular berdiameter antara 5-10 mm.

Gambaran tersebut dapat dibayangkan seperti gambaran sarang lebah (honey

comb) atau badai salju (snow storrn). Pada 20-50 % kasus dijumpai adanya massa

kistik multilokuler di daerah adneksa. Massa tersebut berasal dari kista teka-

lutein.

11
Apabila jaringan mola memenuhi sebagian kavum uteri dan sebagian berisi

janin yang ukurannya relatif kecil dari umur kehamilannya disebut mola parsialis.

Umumnya janin mati pada bulan pertama, tapi ada jrtga yang hidup sampai cukup

besar atau bahkan aterm. Pada pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa

tempat vili yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi,

sedangkan di tempat lain masih tampak vili yang normal. Umumnya mola

parsialis mempunyai kariotipe triploid. Pada perkembangan selanjutnya jenis

mola ini jarang menjadi ganas.

2.9 Diferential Diagnosis

a. Diagnosis banding uterus yang ukurannya lebih besar dari pada umur

kehamilan → hidramnion, kehamilan multipel, dan uterus hamil disertai

adanya mioma uteri.


b. Diagnosis banding perdarahan uterus dan nyeri perut pada trimester I atau

trimester II kehamilan →abortus incompletus.


c. Diagnosis banding pemeriksaan sonde →Kehamilan biasa sebelum 20

minggu , Kematian janin intra uterine , Solusio plasenta & missed abortion.
d. Diagnosa banding pemeriksaan USG → Missed abortion, Massa dirongga

panggul, Massa plasenta yang besar pada kehamilan ganda, Kematian janin

dalam rahim
2.10 Komplikasi
Komplikasi pada Ibu dengan mola hidatidosa adalah :
a. Perdarahan yang hebat sampai syok,kalau tidak segera ditolong dapat

berakibat fatal.
b. Perdarahan berulang-ulang yang dapat menyebabkan anemia,
c. Infeksi sekunder,
d. Perforasi karena keganasan dan karena tindakan,

12
e. Menjadi ganas (PTG) pada kira-kira 18-20% kasus,akan menjadi mola

destruens atau koriokarsinoma.

2.11Hubungan Mola Hidatidosa Dan Hipertiroid


Pada kehamilan biasa, plasenta membentuk Thyroid Stimulating Peptide yang

disebut Human Chorionic Thyrotropin (HCT). Pada trimester-1, T4 meningkat

antara 7-12 mg/100 ml, sedangkan T3 tidak terlalu banyak meningkat, tetapi yang

meningkat adalah TBG, sedangkan hormon bebasnya hanya meningkat sedikit.

Agaknya yang menyebabkan perubahan ini adalah kadar estrogen yang meninggi

pada kehamilan. Pada penyakit trofoblas baik mola maupun PTG perubahan fungsi

tiroid lebih menonjol lagi. Kadar T4 dalam serum biasanya melebihi 12 mg/100

ml, tetapi kadar TBG sendiri lebih rendah dibandingkan dengan pada kehamilan

biasa. Akibatnya kadar T4 bebas lebih tinggi. Terjadinya hiperfungsi tiroid pada

penyakit trofoblas disebabkan adanya stimulator yang dibentuk dalam jaringan

trofoblas yang disebut trophoblastic thyrotropin.


Hipertiroidi itu dapat bersifat peningkatan fungsi tiroid saja (biokimiawi) atau

dapat juga disertai dengan gejala-gejala klinis. Secara biokimiawi, diagnosisnya

ditegakkan bila kadar T4 dan T3 melebihi batasan sebagai berikut.

Dianggap ada peningkatan bila 2 atau lebih dari gambar ini ditemukan :

a. Serum T4 melebihi 180,0 nmol/ l, thyroid capacity normal atau menurun


b. Serum T3 lebih besar dari 3,5 nmol/ l
c. Indeks Tiroksin bebas lebih dari 190 nmol/ l

13
Diagnosis pasti hyperthyroidi adalah dengan pemeriksaan laboratorium yaitu

adanya peningkatan hormon thyroid diatas batas normal. Sedangkan diagnose

secara klinis dapat ditegakkan dengan menggunakan “Wayne’s Index”.

Pengobatan utama mola hidatidosa adalah pengeluaran jaringan mola. Apabila

disertai hipertiroidi, timbul dilemma yaitu bahwa tindakan evakuasi (kuretase)

dapat merupakan faktor stress pada hipertiroidi. Namun dengan menunda

tindakan ini tanpa pengobatan yang cukup, dapat memperberat hipertiroidi yang

berlangsungannya cepat. Setelah diagnosa hipertiroidi pada mola hidatidosa

ditegakkan, terapi langsung diberikan. Secara garis besar penatalaksanaan

penderita hipertiroidi adalah dengan pembedahan, dengan penekanan pada

penyulit – penyulit khas yang dapat terjadi serta cara pencegahannya.

2.12 Pengelolaan Mola Hidatidosa


Pengelolaan mola hidatidosa dapat terdiri atas :
a. Perbaikan Keadaan Umum
Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk

memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi

penyulit seperti preeklampsia atau tirotoksikosis.


b. Pengeluaran jaringan mola ada 2 cara yaitu:
 Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa

pembiusan. Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula uterotonika.

Vakum kuretase dilanjutkan dengan kuretase dengan menggunakan

sendok kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret cukup dilakukan 1

kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi.

14
Sebelum tindakan kuret sebaiknya disediakan darah untuk menjaga

bila terjadi perdarahan yang banyak.


 Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur dan

cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah

karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi

untuk terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai adalah umur 35

tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan

histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologik sudah

tampak adanya tanda-tanda keganasan berupa mola

invasif/koriokarsinoma.
c. Pemeriksaan Tindak Lanjut
Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah

mola hidatidosa. Tes hCG harus mencapai nilai normal 8 minggu setelah

evakuasi. l,ama pengawasan berkisar satu tahun. Untuk tidak mengacaukan

pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu

dengan menggunakan kondom, diafragma, atau pantang berkala.


2.13 Prognosis
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah

jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju kematian karena mola hampir tidak

ada lagi. Akan tetapi, di negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar

antara 2,2 % dan 5,7 %. Sebagian dari pasien mola akan segera sehat kembali

seteiah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekeiompok perempuan yang

kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma. Persentase

15
keganasan yang dilaporkan oleh berbagai klinik sangat berbeda-beda, berkisar

antara 5,56 %. Bila terjadi keganasan, maka pengelolaan secara khusus pada

divisi Onkologi Ginekologi.

BAB III

KESIMPULAN

Mola Hidatidosa merupakan suatu kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri

stroma villus korialis langka vaskularisasi dan edematous. Mola hidatidosa

biasanya disertai keluhan uterus membesar lebih cepat dari biasa serta mengeluh

mual dan muntah yang lebih hebat dan tidak jarang pula terjadi perdarahan per

vaginam serta gejala tirotoksikosis. Fakto-faktor resiko yang dapat menyebabkan

terjadinya mola hidatidosa diantaranya faktor usia reproduksi, gizi, riwayat

obstetric sebelumnya dengan mola hidatidosa, faktor ras dan suku bangsa, dan

genetik. Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada perempuan dengan

amenorea, perdarahan pervaginam, uterus yang lebih besar dari tuanya kehamilan

dan tidak ditemukan tanda kehamilan pasti seperti balotemen dan detik jantung

anak. Untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human

Chorionic Gonadotropin (hCG) dalam darah atau urin, baik secara bioasay,

immunoasay, maupun radioimmunoasay. Pengelolaan mola hidatidosa dapat terdiri

16
perbaikan keadaan umum dan pengeluaran mola dengan cara vakum kuretase

ataupun histerektomi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin, AB., Rachimhadhi, T. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina pustaka


Sarwono Prawirohardjo. 2007; 10; 262-66
2. Andrijono A, Muhilal M, Taufik E, Hariati M, Kodariah R, Heffen W L.
Hidatidation of Malignancy Following Hidatidiform Mole with Vitamin A. Maj
Kedokt Indon. 2009; 59; 251-9
3. Moore, Lisa. Hydatidiform Mole. Emedicine Article. 2012.
4. American Cancer Society. Gestational Trophoblastic Disease. Available from:
www.cancer.org.
5. McLennan M.K. Molar pregnancy (hydatidiform mole; gestational trophoblastic
disease. JANVIER 1999; 45: 49-62
6. Betel C, Atri M, Arenson AM, Khalifa M, MD, Osborne R, MD, Tomlinson G.
Sonographic Diagnosis of Gestational Trophoblastic Disease and Comparison
With Retained Products of Conception. J Ultrasound Med 2006; 25:985–93
7. Bugti QA, Baloch N, Baloch MA. Gestational Trophoblastic Disease in Quetta.
Pakistan J. Med. Res. 2005; 44(2): 92-5 8.
8. Green CL, Angtuaco TL, Shah HR, Parmley TM. Gestational Trophoblastic
Disease: A Spectrum of Radiologic Diagnosis. RadioGraphics 1996; 16:1371- 84
9. Anonymous. Hydatidiform-Mole. Availabel from: http://guideline.gov/content.aspx?
id=15781&search=(gestational+trophoblasti
c+disease+or+hydatidiform+moles+or+molar+pregnancy)+and+ultrasound
10. Judha, M., Sudarti, dan Fauziah, A., 2012, Teori Pengukuran Nyeri & Nyeri
Persalinan, Nuha Medika, Yogyakarta.

17
11. Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai