Anda di halaman 1dari 18

ISLAM DAN TEKNOLOGI

“Etika dan Estetika dalam Bersosial Media”

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Seminar Pendidikan agama Islam

Dengan Dosen Pengampu: Dr. Jenuri,S.Ag.,M.Pd

Kelompok :

Anggi Restu Fauzi (1502063)

Muhammad Hendra Permana (1505146)

Yudha Hardiansyah (1500550)

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK ELEKTRO


DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2017
2

ABSTRAK

Sosial media di Indonesia pada dewasa ini merupakan hal yang menjadi
sarana utama untuk berbagi dan mendapatkan informasi, akan terapi masyarakat
cenderung kurang cerdas dan tidak bertanggung jawab dalam menggunakan media
sosial, yang berarti beberapa orang menggunakan sosial media untuk kepentingan
mereka sendiri dan merugikan orang lain seperti menyebarkan hoax dan lain-lain.
Untuk itu kami membuat makalah ini agar dapat mengkaji lebih dalam tentang
penyimpangan- penyimpangan tersebut dalam prespektif islam, dan diharapkan
dengan pembuatan makalah ini dapat membantu pembaca untuk memahami
bagaimana islam memandang sosial media. Metode yang digunakan ialah dengan
mengkaji literatur-literatur yang sudah ada dan melakukan pendekatan literatur
dengan masalah yang dibahas.
3

DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH 4
1.2 RUMUSAN MASALAH 4
1.3 TUJUAN MAKALAH 5
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 6
2.1 Definisi Etika 6
2.2 Definis Estetika 7
2.3 Definisi Media Sosial dan Pandangannya dalam Islam……………...….....8

BAB 3 PEMBAHASAN 10
3.1 Pandangan Islam Mengenai sosial Media ……………………………….10

3.2 Permasalahan yang Terjadi pada Media Sosial 13


3.3 Cara Beretika dan Berestetika dalam Media Sosial Menurut Pandangan
Islam 14
BAB 4 PENUTUP 18
4.1 SIMPULAN 18
4.2 KRITIK DAN SARAN 18
DAFTAR PUSTAKA 19
4

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan teknologi sangat begitu cepat berkembang terutama


dalam hal komunikasi. Komunikasi menjadi hal yang mudah saat ini
berkat adanya media sosial seperti facebook, twitter, path, Friendster,
telegram, instagram, whatapp, dan banyak lagi. Dengan adanya media
tersebut sangat membuat orang-orang saat ini untuk saling berkomunikasi,
bisa dikatakan bahwa sangat bermanfaat untuk orang banyak. Namun
bukan hanya manfaat saja yang bisa didapatkan dari adanya media sosial
ini, banyak pula hal-hal negative yang bisa disebabkan oleh media sosial.
Seperti menjadi maraknya terjadi hoax (kebohongan) dan juga fitnah yang
merajalela, mengumbar aib, dan banyak lagi. Maka dari sini kami selaku
penulis akan membahas mengenai masalah-masalah tersebut yang
berkaitan erat dengan hadirnya media sosial.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang di dapat adalah:


1. Apa yang dimaksud dengan media sosial ?
2. Apa yang dimaksud dengan etika dan estetika ?
3. Bagaimana pandangan islam mengenai media sosial ?
4. Penyimpangan-penyimpangan apa saja yang terjadi di media
sosial ?
5. Bagaimana cara beretika dan berestetika dalam media sosial
menurut pandangan islam ?
5

1.3 TUJUAN MAKALAH

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini di susun dengan


tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan media sosial.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan etika dan estetika.
3. Mengetahui bagaimana pandangan islam mengenai media sosial.
4. Mengetahui penyimpangan-penyimpangan apa saja yang terjadi di
media sosial.
5. Bagaimana cara beretika dan berestetika dalam media sosial menurut
pandangan islam ?

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA
6

2.1 Definisi Etika


Etika merupakan salah satu cabang ilmu dari filsafat yang
mempelajari tentang analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah,
baik, buruk, dan tanggung jawab.

Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam


pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita
rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan
pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari
tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.

Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat


dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan
sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu
ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku
manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga
tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya
etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.

Etika memiliki beberapa jenis yaitu :

1. Etika Filosofis

Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika


yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang
dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah
bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.

2. Etika Teologis

Etika teologis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang


berasal dari tuhan. Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan
dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya
milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki
etika teologisnya masing-masing.

2.2 Definisi Estetika


7

Estetika adalah salah satu cabang filsafat yang


membahas keindahaan. Estetika merupakan ilmu membahas bagaimana
keindahan bisa terbentuk, dan bagaimana supaya dapat merasakannya.
Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang
mempelajari nilai-nilai sensoris yang kadang dianggap sebagai penilaian
terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat
dengan filosofi seni. Kata estetika sendiri berakar dari bahasa latin
“aestheticus” atau bahasa Yunani “aestheticos” yang merupakan kata yang
bersumber dari istilah “aishte” yang memiliki makna merasa. Estetika
dapat didefinisikan sebagai susunan bagian dari sesuatu yang mengandung
pola, dimana pola tersebut mempersatukan bagian-bagian yang
membentuknya dan mengandung keselarasan dari unsur-unsurnya,
sehingga menimbulkan keindahan. Dari hal tersebut dapat diartikan bahwa
esetetika menyangkut hal perasaan seseorang, dan perasaan ini
dikhususkan akan perasaan yang indah. Nilai indah yang dimaksudakan
tidak hanya semata-mata mendefinisikan bentuknya tetapi bisa juga
menyangkut keindahan dari isi atau makna yang terkandung didalamnya.
Bruce Allshop pada tahun 1997 mendefinisikan bahwa estetika adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari proses proses penikmatan dan aturan
aturan dalam menciptakan rasa kenyamanan, Dari definisi yang
dikemukakan oleh Bruce Allsopp (1977) dalam mengartikan tentang kata
estetika adalah sebuah ilmu pengetahuan, Alshopp juga menjelaskan
bahwa estetika merupakan suatu kegiatan edukasi atau pembelajaran
mengenai proses dan aturan tentang penciptaan sebuah karya yang
nantinya akan menimbulkan perasaan nyaman bagi yang melihat dan
merasakanya.

2.3 Definisi Media Sosial dan Pandangannya dalam Islam

Media sosial adalah sebuah media sharing dengan para


penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan
informasi dan diliput melalui blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia
virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang
paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Andreas Kaplan
8

dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah


kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar
ideologi dan teknologi, dan yang memungkinkan penciptaan dan
pertukaran user-generated content".

Media sosial lekat dengan adanya komunikasi, baik itu antar


individu maupun masyarakat. Komunikasi dapat diartikan sebagai
interaksi sosial antar individu dengan individu, individu dengan
masyarakat, maupun masyarakat dengan masyarakat lain untuk
mendapatkan atau berbagi informasi. Komunikasi dalam Islam dengan
demikian dapat didefenisikan sebagai proses penyampaian nilai-nilai Islam
antar individu dengan individu, individu dengan masyarakat, maupun
masyarakat dengan masyarakat lain dengan menggunakan prinsip-prinsip
komunikasi yang sesuai dengan alquran dan hadis. Pendangan media sosial
dalam islam tidak dapat secara mentah-mentah dikatakan sebagai suatu hal
yang baik ataupun buruk, akan tetapi harus dilihat dari apakah media sosial
tersebut menimbulkan kebaikan yang lebih besar dari keburukannya
ataupun sebaliknya apakah media sosial tersebut menimbukan lebih
banyak keburukannya dibandingkan dengan kebaikannya, maka dari itu
masyarakat tidak seharusnya menjadi antimedia sosial karena banyak juga
manfaatnya bagi perkembangan umat islam, contohnya : sarana dakwah
jadi lebih mudah karena dapat diakses secara langsung melalui media
sosial, belajar tentang agama islam jadi lebih mudah karena pada media
sosial sudah ilmu dapat diakses dengan mudah, dan lain-lain. Selain dari
keuntungan tersebut ada juga kekurangan yang dapat berbahaya bagi umat
islam, contohnya : penyebaran hoax(berita palsu) yang dapat
menjerumuskan umat islam yang kurang kritis dalam menanggapi sebuah
informasi ke dalam ajaran yang sesat, penyebaran fitnah yang dapat
menimbulkan perpecahan antara umat muslim, dan lain-lain. dari paparan
di atas dapat dilihat bahwa media sosial ialah pisau bermata dua bagi umat
islam karena dapat menjadi media pemersatu dan memajukan umat islam
juga dapat menghancur leburkan umat islam, sebagai umat islam kita
9

sepatutnya harus menggunakan media sosial ini dengan hati-hati dan


jangan lupa untuk berpegang teguh pada alquran dan hadis.

BAB 3

PEMBAHASAN
3.1 Pandangan Islam Mengenai sosial Media

Media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Youtube, WhatsApps,


Instagram telah menjadi aplikasi yang akrab dengan keseharian masyarakat
Indonesia hampir satu dekade terakhir. Sayangnya euforia click aktivism
menunjukkan potret masyarakat pada dua kondisi. Pertama, mereka yang
10

mampu mengakses dan berbagi informasi secara fungsional, semakin


berpengetahuan, semakin berdaya, dan memiliki peluang dalam banyak hal
berkat teknologi informasi-komunikasi. Golongan kedua adalah mereka yang
gagap teknologi, hanya mengikuti tren, menjadi sasaran empuk pasar
teknologi, dan terus berkutat dengan cerita dan keluhan dampak negatif
teknologi terhadap kehidupan sehari-hari.

Laporan penelitian Brendan Nyhan and Jason Reifler (2012) berjudul


Misinformation and Fact-checking: Research Findings From Social Science
menyimpulkan, ketika dihadapkan pada berita dan informasi yang bertolak
belakang dengan keyakinan, seseorang cenderung akan menolak meskipun
berita-berita tersebut menunjukkan data dan fakta yang relatif lengkap.
Sebaliknya, terutama di media sosial, seseorang lebih suka mencari, membaca,
dan menyebarkan berita yang sesuai dengan apa yang ia yakini meski berita
itu belum jelas kebenarannya. Jika kemudian terbukti keliru dan menyadari
sudah menyebarkan informasi salah, ia menganggapnya sebagai masalah kecil,
bahkan seringkali tidak dianggap sebagai kesalahan. Ketika dipertanyakan
motifnya, ia akan menyalahkan media lain yang dikutip sebagai sumber tidak
valid dan ujung-ujungnya menyalahkan wartawan atau penulis aslinya.

Kondisi ini jelas memperlihatkan salah kaprah di kalangan masyarakat.


Penyebaran berita yang simpang siur dianggap hanya menjadi tanggung jawab
jurnalis atau penulis aslinya. Di era digital yang memungkinkan duplikasi dan
penyebaran informasi dengan cara yang sangat mudah, publik juga terikat
kode etik penyebaran berita. Dalam 10 Elemen Jurnalisme yang berisi
panduan etika universal bagi pelaku penyampai berita di seluruh dunia, pada
poin 10 disebutkan, “Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-
hal yang terkait dengan berita”. Elemen ke-10 ini ditambahkan karena
perkembangan teknologi informasi khususnya internet yang semakin massif
dengan fitur-fitur interaktif. Dalam kaitan ini, masyarakat dilihat bukan lagi
sekadar konsumen pasif media, namun prosumen: produsen sekaligus
konsumen informasi, khususnya dalam membuat status-share, tweet-retweet,
path-repath, termasuk kemampuan menyebarluaskan berita hanya dengan
menekan satu tombol.
11

Sekalipun banyak orang bilang internet adalah dunia tanpa batas,


namun seperti halnya interaksi dalam dunia nyata, saat bersinggungan dengan
orang lain maka sudah pasti ada aturan formal ataupun etika yang harus
dipatuhi. Di dunia maya, seseorang tidak bisa bebas bertindak tanpa peduli
kepentingan orang lain. Dalam kaitan ini, di luar hukum formal, terdapat
panduan khusus yang dikenal sebagai “netiket”, singkatan dari “internet
etiket”. Netiket atau Nettiquette adalah penerapan praktis prinsip-prinsip etika
dalam berkomunikasi menggunakan internet. Netiket diterapkan pada one to
one communications(komunikasi dari individu ke individu lain) dan one to
many communications(komunikasi dari individu ke orang banyak).

Bagaimana Islam menyikapi fenomena ini? Ilmu ahlak mengatur


dimensi-dimensi kehidupan sehari-hari sebagaimana konsep etika. Etika
(ethic) berbicara tentang baik-buruk yang bersumber pada nilai-nilai
kemanusiaan dan kebudayaan sehingga dikenal ada etika Barat, etika Timur
dan sebagainya. Sementara akhlakul karimah tidak mengenal konsep regional.
Konsep baik buruk dalam akhlak bertumpu pada wahyu, meskipun akal juga
mempunyai kontribusi dalam menentukannya. Praktik etiket dalam bahasa
Arab disebut adab atau tata krama yang bersumber dari Al-Quran dan As-
Sunnah. Dalam ranah praktis berteknologi, penyampai informasi juga dituntut
memiliki pengetahuan dan kemampuan etis sebagaimana dituntunkan dalam
Al-Qur’an. Ini tercermin dalam berbagai bentuk ahlakul karimah yang
kontekstual dalam menggunakan dan media sosial, antara lain:

1. Menyampaikan informasi dengan benar, juga tidak merekayasa


atau memanipulasi fakta (QS. Al-Hajj: 30). Menahan diri
menyebarluaskan informasi tertentu di media sosial yang fakta atau
kebenarannya sendiri belum diketahui.

2. Bijaksana, memberi nasihat yang baik, serta argumentasi yang


jelas, terstruktur, dan baik pula (QS. An-Nahl: 125). Karakter, pola
12

pikir, kadar pemahaman orang lain dalam jejaring pertemanan di


media sosial umumnya beragam sehingga informasi yang
disampaikan harus mudah dibaca dan dicerna, dengan tata-bahasa
yang baik dan jelas.

3. Meneliti fakta/cek-ricek. Untuk mencapai ketepatan data dan fakta


sebagai bahan baku informasi yang akan disampaikan, seorang
muslim hendaknya mengecek dan meneliti kebenaran fakta dengan
informasi awal yang ia peroleh agar tidak terjadi kidzb, ghibah,
fitnah dan namimah (QS. Al-Hujarat: 6). Ketidakhati-hatian dalam
menyebutkan dan memberi atribusi kepada pihak tertentu yang
tersebar ke ranah publik bisa berakibat pencemaran nama baik
sebagaimana larangan dalam UU ITE.

4. Tidak mengolok-olok, mencaci-maki, atau melakukan tindakan


penghinaan sehingga menumbuhkan kebencian (QS. Al-Hujarat:
11). Karakteristik dunia maya yang cair dan sangat bebas,
memungkinkan melakukan tindakan-tindakan negatif kepada pihak
lain dengan modus tanpa indetitas (anonim) sehingga memicu
provokasi dan adu domba (flamming dan trollling), untuk itu
pengguna media sosial perlu menjaga kehati-hatian dalam bertutur
kata dalam bentuk verbal dan nonverbal.

5. Menghindari prasangka/su’udzon (Al-Hujarat: 12). Dalam bahasa


hukum, penyampai informasi melalui media sosial hendaknya
memegang teguh “asas praduga tak bersalah”. Prasangka dan
stereotip tidak berdasar membahayakan karena memicu bullying
dan pembunuhan karakter.
13

6. Hindari berlebihan bercerita, mengeluh, berdoa di media sosial.


Rasulullah SAW bersabda: ”Setiap umatku mendapat pemaafan
kecuali orang yang menceritakan (aibnya sendiri). Sesungguhnya
diantara perbuatan menceritakan aib sendiri adalah seorang yang
melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari dan sudah
ditutupi oleh Allah swt kemudian di pagi harinya dia sendiri
membuka apa yang ditutupi Allah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Islam telah memperingatkan tentang pertanggungjawaban atas segala


hal, “Tidak ada satu kata yang diucapkannya, melainkan ada di sisinya
malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat) (QS. Qâf:18). Sebaliknya,
dengan menyaring setiap informasi yang diterima dan akan disebarluaskan,
media sosial bisa digunakan secara strategis sebagai sarana dakwah di tengah
gersangnya kahazanah ilmu dan informasi yang seimbang tentang Islam.

3.2 Permasalahan yang Terjadi pada Media Sosial

Permasalahan yang terjadi pada media sosial dewasa ini dapat terjadi
diakibatkan oleh banyak faktor, salah satunya ialah faktor religius dimana
dalam hal ini pengguna media sosial yang beragama islam seolah mulai lupa
jika sesungguhnya allah maha melihat segala sesuatu yang dilakukan oleh
manusia dan juga ada malaikat yang senantiasa mencatat amal dan perbuatan
yang telah dilakukan.

Permasalahan ini pula dapat dihubungkan dengan menurunnya akhlak


dari manusia itu tersendiri yang berakibat pada menurunnya kualitas manusia
untuk melakukan interaksi-interaksi yang beretika dan berestetika dalam hal
bersosial media, salah satu permasalahan yang marak terjadi di media sosial
ialah maraknya penyebaran hoax(berita palsu) yang serta merta pula diterima
dan dianggap benar oleh masyarakat, hal tersebut sebenarnya tidak akan
terjadi jika manusia mengikuti dan menjalani perintah-perintah dari Allah
SWT karena di dalam alquran surat Al-Hajj ayat ke-30 dikatakan bahwa
‘demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang
terhormat maka itu adalah lebih baik baginya di sisi tuhannya. Dan telah di
halalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan
14

kepadamu keharamannya,maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu


dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.’ Dari kutipan ayat di atas dapat
diartikan bahwa Allah SWT menyeru kepada manusia untuk menjauhi
perkataan-perkataan dusta yaitu berbicara kebohongan, jika manusia
mengikuti segala perintah Allah SWT maka pemberitaan-pemberitaan hoax
yang terjadi dewasa ini tidak akan terjadi.

3.3 Cara Beretika dan Berestetika dalam Media Sosial Menurut


Pandangan Islam

Etika dan estetika dalam bersosial media pada dasarnya tidak serta
merta di jelaskan secara explisit di dalam alquran dan al hadis tetapi karena
fungsi dari sosial media ialah sarana untuk berkomunikasi maka hukum
hukum islam tentang berkomunikasilah yang menjadi pedoman kami untuk
menyusun sedikitnya 10 etika yang mesti diperhatikan agar tak salah langkah
dalam menjelajah dan mengakses sebuah media sosial, yaitu :

1. Muraqabah

Etika pertama yakni merasa selalu diawasi oleh Allah.


Apapun yang kita posting, termasuk niat dibalik postingan tersebut,
sadarilah selalu bahwa semua itu diketahui oleh Sang Maha Tahu.
Dengan selalu merasa diawasi Allah, maka pastilah kita takut
melanggar batasan-batasan agama dalam memanfaatkan media
sosial.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Jika kamu


menampakkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-
Ahzab: 54).
15

2. Hisab

Ingatlah selalu bahwa ada hisab atau perhitungan atas setiap


apa yang kita lakukan, meski seberat dzarrah. Setiap kalimat, foto,
video yang kita unggah, akan dipertanyakan kelak di akhirat. Allah
berfirman, “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat
Dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Barangsiapa
mengerjakan kejahatan sebesar Dzarrah, niscaya dia akan melihat
balasannya.” (QS. Az-Zalzalah: 7-8).

3. Istifadah

Yakni menggunakan sarana yang ada untuk diambil


manfaatnya. Jika media sosial bermanfaat bagi kehidupan kita,
maka tak ada salahnya untuk memanfaatkannya. Namun jika media
sosial justru membawa lebih banyak kerugian daripada
manfaatnya, maka etika seorang muslim pastilah menghentikan
aktivitas tersebut, rasulullah bersabda, “Di antara tanda baiknya
keislaman seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tidak
bermanfaat baginya.” (HR. At Tirmidzi).

4. Bertanggung jawab

Menggunakan media sosial berarti kita bertanggung jawab


atas semua yang diposting ke publik, termasuk saat follow, share,
Iike, retweet, repost, comment dan lain sebagainya. Seorang
muslim beretika baik akan berhati-hati dalam menyampaikan
sesuatu atau menanggapi sesuatu. “Dan janganlah kamu mengikuti
sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan
dan hati akan diminta pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)
16

5. Menjaga batasan pergaulan

Batasan ini terkhusus pada hubungan antara pria dan


wanita. Meski tidak bertatapan langsung, media sosial mampu
membawa jerat-jerat penyakit hati di setiap interaksi lawan jenis.
Maka batasilah interaksi dengan lawan jenis yang bukan mahram
dan yang tak ada keperluan penting dengannya.

6. Memperhatikan pertemanan

Berteman di media sosial mestilah mempertimbangkan


kebaikan dengan timbangan ilmu syar’i. Jangan Bermudah-
mudahan mengikuti status seseorang yang tak jelas kebaikannya.

7. Wasilah

Etika muslim berikutnya yakni menjadikan media sosial


sebagai penghantar atau sarana atau wasilah kepada kebaikan.
Artinya, manfaatkanlah media sosial untuk menebar kebaikan.
Sebagai contoh, memposting ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, kata
mutiara para shahabat Rasulullah, permasalahan agama dan lain
sebagainya.

8. Tidak lalai

Inilah yang sering luput jika sudah asyik bermain media


sosial. Kita mudah terlalaikan hingga waktu yang berhaga terbuang
begitu saja.
17

9. Mengumpulkan kebaikan

Etika muslim dalam bermedia sosial dengan menjadikannya


sebagai sarana pengumpul ilmu dan kebaikan. Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa yang memberi teladan dalam agama ini suatu
kebaikan, maka baginya pahala setiap orang yang
mengamalkannya hingga hari Kiamat tanpa mengurangi pahala
mereka sedikitpun.”(HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu
Mâjah

10. Ikhlas

Selalu menjaga keikhlasan menjadi salah satu etika yang


harus dilakukan muslimin saat bermedia sosial. Termasuk
didalamnya agar tidak memposting sesuatu dengan maksud ria.

BAB 4

PENUTUP
4.1 SIMPULAN

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ketika kita akan


menggunakan sosial media etika dan estetika berperan penting dalam
menciptakan interaksi yang sehat dan bertanggung jawab, agar tidak ada lagi
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan merugikan beberapa pihak,
tidak lupa juga untuk selalu merujuk kepada alquran dan al hadis jika akan
memberikan atau mengunggah ulang materi-materi yang berkaitan dengan
agama agar informasi yang disampaikan tidak salah dan merugikan orang lain.
18

4.2 KRITIK & SARAN

Sejalan dengan simpulan dan pembahasan di atas, kritik dan saran


yang dapat disampaikan oleh penulis antara lain:

1. Untuk Media Massa Online


a. Melakukan pengecekan ulang artikel sebelum sebelum di
unggah dan di konsumsi oleh publik.
b. Berhenti menambah-nambah atau mengurangi isi dari
informasi, sajikan informasi dengan apa adanya(subjektif)
dan factual.
2. Untuk Pengguna Media Sosial
a. Meninjau kembali informasi informasi yang akan di unggah
ke media sosial.
b. Lebih selektif dalam menggunakan media sosial.
3. Untuk Vendor/Perusahaan Media Sosial
a. Menambahkan fitur filter pada appikasi mereka agar
informasi dapat tersaring.
b. Memblok akun-akun yang mengandung unsur SARA.

DAFTAR PUSTAKA
1. Diakses dari : https://ilmuseni.com/dasar-seni/pengertian-estetika-
menurut-para-ahli
2. Amir, Mafri. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam.
Jakarta: Logos, 1999.
3. Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahnya. Semarang: Toha
Putra, 1989.
4. Sophiaan, Ainur Rofiq. Tantangan Media Informasi Islam, Antara
Profesionalisme dan Dominasi Zionis. Surabaya: Risalah Gusti, 1993.
5. Ghani, Zulkiple Abd. Islam, Komunikasi dan Teknologi Maklumat.
Kuala Lumpur: Utusan Publications & Dist
6. Diakses dari : https://bincangmedia.wordpress.com/2015/03/21/saring-
sebelum-sharing-adab-bermedia-sosial-dalam-pandangan-islam/
7. Diakses dari :http://muslimahdaily.com/khazanah/muslim-
digest/item/978-10-etika-bermedia-sosial-dalam-islam.html
8. Diakses dari : https://muslimah.or.id/8790-sosmedmu-surga-dan-
nerakamu.html

Anda mungkin juga menyukai