Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mendengar merupakan salah satu kemampuan penting bagi bayi dan anak dalam
tahap tumbuh kembang mereka. Adapun proses mendengar melibatkan banyak faktor yang
kompleks diantaranya faktor struktur anatomi dan embriologi juga fungsi fisiologis,
neurologis, dan audiologis dari organ-organ yang terlibat dalam proses pendengaran.
Gangguan pendengaran pada anak tidak hanya mempengaruhi perkembangan bicara dan
bahasa, tetapi juga mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak.
Untuk itu diperlukan deteksi dini adanya gangguan pendengaran pada anak.1,2

Program deteksi dini gangguan pendengaran dilakukan pada bayi dan anak yang
memiliki faktor risiko tinggi. Namun indikator risiko tersebut hanya dapat mendeteksi
50% gangguan pendengaran, hal ini dikarenakan pada banyak bayi yang ternyata memiliki
gangguan pendengaran tapi tidak memiliki faktor risiko yang dimaksud.1,2

Keterlambatan dalam mengenali faktor risiko dan gejala yang muncul pada anak
dengan gangguan pendengaran mengakibatkan tingginya angka kejadian tuna rungu.
Untuk itu perlu dilakukan skrining pemeriksaan fungsi pendengaran pada bayi dan anak
sedini mungkin. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan mulai dari bertepuk tangan
untuk melihat respon mereka hingga memanggil nama atau membunyikan lonceng mainan.

Gangguan pendengaran kongenital terjadi pada dua dari tiga bayi dalam 1000
angka kelahiran. CDC (Centers for Diseases Control and Prevention) mendapatkan data
adanya peningkatan jumlah bayi yang di skrining pendengarannya dari 46,5 % menjadi 97
%, dan jumlah bayi yang memiliki gangguan pendengaran yang juga meningkat dari 1736
penderita menjadi 2212 penderita. Dengan persentase bayi yang di skrining sebelum usia
satu bulan meningkat dari 80,1 % menjadi 85,4 %. Persentase bayi yang mendapatkan
tindak lanjut sebelum usia tiga bulan meningkat dari 51,5 % menjadi 66,4 %. Sedangkan
persentase bayi yang mendapatkan intervensi sebelum usia enam bulan meningkat menjadi
60,8 % dari 50,7 %.2,3

1
Berdasarkan data yang ada di Indonesia, angka kejadian tuna rungu (tidak dapat
mendengar atau adanya gangguan mendengar) adalah 0,1 % kelahiran, atau kurang lebih
sebanyak 200.000 penderita. Sedangkan data RSCM pada tahun 1999 – 2003, didapatkan
2579 penderita. Sebanyak 6,13 % mengalami gangguan pendengaran berat saat usia
kurang dari satu tahun. Pada usia 1 – 3 tahun, terdapat sebanyak 45,29 % anak dengan
gangguan pendengaran berat. Dan sebanyak 24,42 % lainnya mengalami gangguan
pendengaran berat pada usia lebih dari lima tahun.4

Untuk itu, diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai gangguan pendengaran


pada anak dan bagaimana cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan


sebagai berikut: mengetahui cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

a. Mengetahui gangguan pendengaran pada anak.

b. Mengetahui cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui perkembangan auditorik dan wicara.

b. Mengetahui penyebab dan klasifikasi gangguan pendengaran pada anak.

c. Mengetahui faktor risiko dan gejala gangguan pendengaran pada anak.

d. Mengetahui pemeriksaan gangguan pendengaran pada anak.

e. Mengetahui cara deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.

f. Mengetahui rehabilitasi dan habilitasi anak dengan gangguan pendengaran.

2
1.4. Manfaat

a. Memberi pengetahuan mengenai gangguan pendengaran pada anak.

b. Memberi pengetahuan mengenai cara deteksi dini gangguan pendengaran pada


anak.

c. Memberi pengetahuan mengenai rehabilitasi dan habilitasi anak dengan


gangguan pendengaran.

d. Sebagai bahan untuk penulisan atau penelitian selanjutnya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Auditorik dan Wicara

2.1.1. Perkembangan Auditorik dan Wicara2,5

Perkembangan auditorik dimulai sejak masa gestasional dengan


perkembangan embriologi dari struktur anatomis dan dilanjutkan hingga masa
remaja sesuai dengan maturasi dari susunan saraf pusat auditorik. Dari suatu
persepsi sensorik, bayi dipersiapkan untuk memberikan respon suara saat lahir.
Terdapat suatu proses kompleks, termasuk di dalamnya mengenali suara ibunya,
membedakan suara, dan bunyi tanpa suara, telah diperlihatkan sejak permulaan
bayi. Bagaimanapun juga, tingkat bunyi yang dibutuhkan untuk membangkitkan
suatu respon pada bayi akan berkurang setelah 12 bulan pertama kehidupan sesuai
dengan respon dalam pola perkembangan normal.
Respon inisial dari bayi terhadap bunyi merupakan suatu refleks, seperti
sesuatu yang mengagetkan dan berhenti mendadak. Seiring dengan tingkat
kematangan kognitif dan pencapaian kontrol motorik, bayi mulai melokalisasi
bunyi dalam bidang horizontal, kemudian bidang vertikal. Kemudian bayi
menunjukkan peningkatan ketertarikan dan respon interaktif terhadap perintah
yang diucapkan. Stimulus yang kompleks atau luas lebih efektif dibandingkan nada
murni atau isyarat lainnya dalam merangsang respon bayi terhadap bunyi. Dengan
bantuan teknik tes yang tepat, stimulus yang kompleks mampu merangsang tingkat
ambang batas relatif normal. Sebaliknya, respon terhadap stimulus nada murni
awalnya nampak tinggi, mencapai tingkat ambang batas dewasa pada usia enam
bulan. Perkembangan dari respon-respon ini dapat memperbaiki ambang batas nada
murni sebesar 30 dB untuk nada tinggi dan 15 dB untuk nada rendah.
Untuk tujuan tes pendengaran dan habilitasi, perlu diingat bahwa perubahan
anatomis berlanjut setelah lahir. Sebagai contoh, perkembangan telinga luar terus
berlanjut sepanjang masa anak-anak. Bagian tulang dari kanal auditori eksternal
mengubah bentuk hingga usia tujuh tahun, dan pinna berkembang hingga usia

4
sembilan tahun. Perubahan setelah kelahiran yang utama adalah pada telinga
tengah, yaitu perubahan posisi dari membran timpani. Telinga dalam (koklea)
mencapai ukuran dewasa dengan kelahiran dan dapat memberikan respon terhadap
bunyi dalam 25 minggu masa gestasi.
Susunan saraf pusat auditorik terus berkembang dengan baik hingga usia
remaja. Mielinisasi batang otak tercapai dalam usia satu tahun, sedangkan
mielinisasi struktur serebral tercapai pada usia 10 tahun. Maturasi yang berlanjut
berkaitan dengan perkembangan anatomik dari cabang dendrit dan susunan dari
letak sinaps saraf. Perubahan fisiologis ini meningkatkan efisiensi dari susunan
saraf pusat auditorik dalam menerima informasi auditorik. Begitupun juga,
kehilangan sensorik menyebabkan kematian sel atau perubahan fungsional yang
dapat menurunkan efisiensi dari susunan saraf pusat auditorik. Adapun efek dari
perubahan anatomik dan perkembangan setelah kelahiran harus dipertimbangkan
dalam seleksi dan interpretasi dari teknik tes fungsi pendengaran sesuai dengan
strategi habilitasi yang akan dilakukan.
Perkembangan wicara berlangsung bersamaan dengan perkembangan
auditorik. Karena dalam proses berbicara berhubungan dengan input sensorik
(auditorik) dan motorik yang baik, dimana input auditorik tersebut digunakan untuk
merangsang proses wicara pada bayi. Oleh karena keterkaitan perkembangan
wicara dengan perkembangan mendengar, maka dapat pula diperkirakan adanya
gangguan pendengaran pada anak yang memiliki gangguan wicara.

2.1.1. Embriologi Organ Auditorik5,6,7,8

Perkembangan berbagai struktur dari kepala dan leher secara mendasar


berhubungan dengan arkus brakial dan atau kantong faring. Keduanya merupakan
struktur embrionik yang bersifat sementara yang akan mengalami perubahan
substansial sehingga bentuk embrionik tidak dapat dikenali lagi seiring dengan
kelahiran. Meskipun demikian, bentuk turunan dari struktur ini penting untuk
bentuk dewasa, oleh karena itu kelainan dari perkembangan arkus brakial dapat
mengakibatkan malformasi yang signifikan.

5
Gambar 1. Arkus brakial dan kantong faring embrio.

Pada usia kehamilan lima minggu, daerah kepala dan leher embrio terdiri
dari lima hingga enam bagian jaringan yang menyerupai jari, disebut sebagai arkus
brakial. Bagian ini berbaris melintang pada bidang datar dari leher dan dipisahkan
oleh celah, disebut sebagai celah brakial. Permukaan dari arkus dan celah brakial
ini dilapisi oleh lapisan ektoderm, yang berasal dari lapisan mesoderm. Bagian
yang mendasari daerah celah brakial merupakan lapisan tipis karena terjadi
pendekatan dari kantong luar dari daerah foregut, dinamakan kantong faring.
Bentuk turunan dari arkus brakial dan kantong faring berbeda, karena sumber dari
lapisan embrionik termasuk dalam arkus brakial adalah lapisan mesoderm,
sedangkan kantong faring berasal dari lapisan endoderm. Karena perbedaan sumber
lapisan embrionik, dapat disimpulkan dengan menyatakan bahwa pada orang
dewasa bentuk turunan arkus brakial memiliki struktur yang terdiri dari otot,
tulang, atau turunan mesodermal lainnya yang bentuknya mirip, seperti otot wajah
dan leher. Bentuk turunan dari kantong faring lapisan endoderm akan seperti
glandular atau berhubungan dengan saluran pencernaan.
Pada orang dewasa, telinga merupakan kesatuan anatomik yang memiliki
peran sebagai organ pendengaran dan keseimbangan. Sedangkan pada embrio,
telinga berkembang dari bagian yang berbeda, yaitu: telinga luar sebagai
pengumpul suara, telinga tengah sebagai penghantar suara, dan telinga dalam yang
mengubah gelombang suara menjadi impuls saraf dan menunjukkan perubahan
keseimbangan.

6
Gambar 2. Potongan melintang daerah rombensefalon pada embrio 22 hari.

Perkembangan telinga dapat ditemukan sejak embrio berusia kira-kira 22


hari, yang nampak sebagai penebalan ektoderm permukaan pada kedua sisi
rombensefalon. Penebalan ini dinamakan plakoda otika atau plakoda telinga yang
akan melakukan invaginasi cepat dan membentuk gelembung telinga atau
gelembung pendengaran (otokista).

Gambar 3. Potongan melintang daerah rombensefalon pada embrio:


pembentukan gelembung telinga a) 24 hari, b) 27 hari, dan c) 4,5 minggu.

Perkembangan selanjutnya, gelembung tersebut terbagi menjadi unsur


ventral yang membentuk sacculus dan duktus koklearis, unsur dorsal yang
membentuk utrikulus, kanalis semisirkularis, dan duktus endolimfatikus. Kemudian
terbentuk struktur epitel yang dikenal sebagai labirin membranosa. Kecuali duktus
koklearis yang akan membentuk organ korti, semua struktur yang berasal dari
labirin membranosa termasuk dalam alat keseimbangan.

7
Gambar 4. Perkembangan otokista menjadi sacculus dan duktus koklearis.

Telinga tengah yang terdiri atas kavum timpani dan tuba eustasius, dilapisi
epitel yang berasal dari endoderm kantong faring pertama. Di dalamnya terdapat
rongga berisi udara yang meluas ke dalam resesus tubotimpanikus, dan selanjutnya
meluas di sekitar tulang-tulang dan saraf dari telinga tengah, dan ke daerah
mastoid. Tuba eustasius menghubungkan kavum timpani dan nasofaring. Tulang-
tulang pendengaran yang menghantarkan getaran suara dari membran timpani ke
fenestra ovalis berasal dari kantong faring pertama (kartilago Meckel), yaitu tulang
maleus dan tulang inkus; dan kantong faring kedua (kartilago Reichert), yaitu
tulang stapes.
Liang telinga luar atau meatus austikus eksterna berkembang dari kantong
faring pertama dan dipisahkan dari kavum timpani oleh membran timpani.
Gendang telinga terdiri atas lapisan epitel ectoderm di dasar meatus akustikus,
lapisan tengah jaringan ikat (mesenkim) yang membentuk stratum fibrosum, dan
lapisan epitel endoderm kavum timpani yang berasal dari kantong faring pertama.
Daun telinga atau aurikula berkembang dari enam buah tonjolan mesenkim
yang terletak sepanjang kantong faring pertama dan kedua. Tonjolan-tonjolan daun
telinga ini masing-masing sebanyak tiga buah pada setiap sisi liang telinga luar
akan menyatu dan membentuk daun telinga yang tetap. Pada mulanya, telinga luar
terletak di daerah leher bawah, tetapi dengan berkembangnya mandibula, tonjolan-
tonjolan tersebut bergerak naik ke samping kepala setinggi mata.
Tulang temporal yang membungkus telinga berasal dari empat bagian
terpisah, yaitu pars petrosa, sutura petroskuamosa, prosesus stiloidesus, dan cincin
timpani. Prosesus mastoideus belum terbentuk pada saat lahir, sehingga letak saraf
fasialis bayi sangat superfisial. Turunan resesus tubotimpanikus yang terisi udara
meluas dari telinga tengah melalui tuba eustasius (audita) sampai di antrum, yaitu
daerah yang terisi udara dalam tulang mastoid.

8
2.2. Faktor-faktor Risiko dan Etiologi Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak

2.2.1. Faktor Risiko

Menurut Joint Committee on Infant Hearing 2007, indikator yang


berhubungan dengan kehilangan pendengaran sensorikneural atau konduktif di
anak-anak, antara lain :9
 Usia 0-28 hari (skrining universal belum tersedia)
1. Penyakit atau kondisi yang membutuhkan perawatan di Unit Perawatan
Intensif Neonatus (Neonatal Intensive Care Unit / NICU) selama minimal
48 jam
2. Penemuan kondisi atau tanda yang diketahui berhubungan dengan sindrom
yang memiliki gejala kehilangan pendengaran sensorik atau konduktif
3. Riwayat keluarga kehilangan pendengaran sensorikneural pada masa
kanak-kanak yang permanen
4. Anomali kraniofasial, meliputi abnormalitas morfologi dari pinna dan
liang telinga
5. Infeksti intra uteri, seperti Cytomegalovirus/CMV, herpes, toksoplasmosis,
atau rubella
 Usia 29 hari-2 tahun (Kehilangan pendengaran sensorineural atau konduktif
yang progresif atau onset lambat)
1. Perhatian orang tua atau pengasuh terkait keterlambatan kemampuan
mendengar, berbicara, bahasa atau perkembangan.
2. Riwayat keluarga kehilangan pendengaran masa kanak-kanak yang
permanen.
3. Penemuan yang diketahui berkaitan dengan sindrom yang memiliki gejala
kehilangan pendengaran sensorineural atau konduktif ataupun disfungsi
tuba eustachius.
4. Infeksi postnatal berkaitan dengan kehilangan pendengaran sensorineural
seperti meningitis bakteri.
5. Infeksi intra uteri seperti CMV, herpes, rubella, sifilis, dan toksoplasmosis.
6. Indikator-indikator pada neonatus, seperti hiperbilirubinemia yang
membutuhkan transfusi tukar, hipertensi pulmonal neonates persisten terkait
ventiasi mekanik, dan kondisi yang membutuhkan oksigenasi
ekstrakorporal.
7. Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan pendengaran progresif seperti
neurofibromatosis, osteopetrosis dan sindrom Usher.
8. Kelainan neurodegenerative (seperti Sindrom Hunter) atau neuropati
sensorimotor (seperti ataksia Friedreich dan sindrom Charcot-Marie-
Tooth).
9
9. Trauma kepala.
10. Otitis media rekuren atau persisten dengan efusi selama minimal 3 bulan.

2.2.2. Etiologi

Berdasarkan saat terjadinya gangguan pendengaran:1

1. Masa Prenatal (umumnya tuli sensorikneural bilateral dengan derajat


ketulian berat atau sangat berat)
Periode paling pentung selama kehamilan adalah trimester pertama.
Gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa itu dapat menyebabkan
ketulian pada bayi.
a. Genetik heriditer
Malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan
aplasia koklea dapat menyebabkan ketulian.
b. Non genetic seperti gangguan/kelainan pada masa kehamilan,
kelainan struktur anatomic dan kekurangan zat gizi (misalnya
defisiensi yodium)
Infeksi pada ibu hamil seperti toksoplasmosis, rubella,
cytomegalovirus, herpes, dan sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk pada
pendengaran bayi yang akan dilahirkan. Selain itu penggunaan obat
ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina, neomisin, dihidro
streptomisin, gentamisin, barbiturate, thalidomide, dan lain-lain juga
berpotensi mengganggu proses organogenesis dan merusak sel-sel
rambut koklea.

2. Masa Perinatal (umumnya tuli sensorikneural bilateral dengan derajat


ketulian berat atau sangat berat)
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir seperti
gangguan pendengaran/ketulian prematur, berat badan lahir rendah (<2500
gram), hiperbilirubinemia, dan asfiksia
3. Masa Postnatal
Infeksi bakteri atau virus seperti rubella, campak, parotis, infeksi
otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, dan trauma
temporal dapat menyebabkan ketulian baik tuli sensorineural maupun
konduktif.

10
2.3. Klasifikasi Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak1

Gangguan pendengaran dibedakan menjadi :


1. Tuli sebagian (hearing impairment), yaitu sebuah keadaan dimana fungsi
pendengaran berkurang, namun masih dapat dimanfaatkan untuk
berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar.
2. Tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian
terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat
perkerasan bunyi (amplikasi).
Derajat gangguan pendengaran berdasarkan WHO adalah sebagai berikut:10

Grade of Impairment Audiometric ISO value Impairment description


(average of 500, 1000, 2000,
4000 Hz)

25 dBHL or less (better ear)


0 (no impairment) No or very slight hearing
problems.
26-40 dBHL (better ear)
Able to hear whispers
1 (Slight impairment) 41-60 dBHL (better ear)
Able to hear and repeat words
2 (Moderate impairment) spoken in normal voice at 1
metre

Able to hear and repeat words


61-80 dBHL (better ear) using raised voice at 1 metre
3 (severe impairment)
Able to hear some words when
shouted into better ear

Unable to hear and understand


81 dBHL or greater (better ear)
even a shouted voice
4 (Profound impairment
including deafness)

Tabel 2.1. Derajat Gangguan Pendengaran menurut WHO.

2.4. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak


11
Deteksi gangguan pendengaran, khususnya pada anak-anak - entah karena faktor
usia ataupun tingkatan perkembangannya dimana ia masih belum dapat merespon dengan
baik stimulant/rangsangan yang diberikan kepadanya - dilakukan dengan metode indirek,
dimana respons dapat diamati tanpa memerlukan respons fisik dari pasien.

Deteksi dini penting untuk dilakukan karena jika gangguan pendengaran tidak
disadari sampia anak tersebut berumur 2-3 tahun maka dapat terjadi keterlambatan
perkembangan dari segi berbicara, kemampuan berbahasa dan kognitif. Secara global,
angka kejadian gangguan pendengaran bawaan adalah 2-3 bayi per 1000 kelahiran dengan
tingkat gangguan sedang sampai benar-benar tuli; penurunan bahkan kehilangan
pendengaran merupakan kelainan yang paling sering diketahui setelah anak lahir, dengan
50% anak dengan penurunan pendengaran tidak memiliki faktor resiko yang dapat
dihubungkan dengan kejadian tersebut; bahkan dari penelitian yang dilakukan di Kuba
dalam jangka waktu 25 tahun untuk menilai keampuhan metode screening ditemukan
tingkat insidensi sampai 72,5%.11

Beberapa faktor risiko yang dapat diperhitungkan dalam menegakkan diagnosis gangguan
pendengaran antara lain:12
 Riwayat lahir prematur atau berat lahir dibawah 1500 gram
 Riwayat hiperbilirubinemia atau phenilketouria
 Kelainan genetik, termasuk sindrom Down
 Keterlambatan berbicara pada usai 12-18 bulan
 Riwayat terkena, atau infeksi telinga berulang
 Gangguan pendengaran yang dialami oleh anggota keluarga dekat, misalnya ayah,
ibu atau saudara
 Sindrom yang berkaitan dengan gangguan pendengaran
 Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran
 Terapi medis yang dapat mengakibatkan gangguan atau kehilangan pendengaran
sebagai efek samping, termasuk antibiotik dan agen-agen kemoterapi.
 Performa akademis yang buruk (biasanya baru diketahui setelah anak tersebut
memasuki usia sekolah)

12
Gangguan pendengaran mungkin dapat diidentifikasi dari tingkah laku yang
ditunjukkan oleh si anak sebagai respons dari stimulus auditorik yang diberikan
kepadanya.
Beberapa gejala dan tanda yang perlu diperhatikan sebagai awal kecurigaan
terjadinya gangguan pendengaran pada anak antara lain:
 Acuh ketika dipanggil
 Sering tidak perhatian atau melamun
 Mendengarkan televisi atau radio dengan volume tinggi
 Berbicara lebih keras daripada anak seusianya, cenderung berteriak
 Sering salah mengucapkan kata
 Menampakkan tingkah seperti tidak tenang di sekolah
 Seringkali menampakkan kelakuan seperti frustasi, pemarah atau agresif.

Metode untuk menentukan kelainan pendengaran pada anak-anak berbeda dengan


orang dewasa, karena selain mereka belum dapat mengungkapkan konsep / pikirannya
dengan perbendaharaan kata seperti orang dewasa, mereka lebih senang melakukan
tindakan seperti bermain dibandingkan dengan pemeriksaan; maka itu diperlukan teknik
pemeriksaan yang berbeda.13,14

2.5. Pemeriksaan Gangguan Pendengaran pada Usia Dini15

Pemeriksaan gangguan pendengaran pada usia dini sangat dianjurkan untuk


mengetahui dan mengantisipasi efek lanjutan yang dapat menyertai kelainan pendengaran,
seperti keterlambatan atau bahkan ketidakmampuan berbicara yang baru dapat terlihat
pada tahun kedua atau ketiga kehidupan mereka. Dalam hal mendeteksi / mengetahui
apakah seorang anak benar-benar mengalami gangguan pendengaran atau hanya memiliki
gangguan pada fungsi atensinya, mengandalkan pemeriksaan fisik saja tidak cukup, oleh
karena hasilnya terbatas, terutama dalam hal screening yang dilakukan pada masa awal
kehidupan. Oleh sebab itu, pemeriksaan penunjang memiliki peranan penting dalam
menegakkan diagnosis gangguan pendengaran akibat kelainan neurologis.
Teknik-teknik menilai kemampuan anak untuk dapat mendengar dapat dibagi
menjadi beberapa tes sesuai dengan usia maupun tingkat perkembangan si anak.


Timpanometri

13
Pemeriksaan timpanometri dapat dilakukan pada anak dengan segala usia
untuk menilai kelenturan membran timpani. Membran timpani yang lentur
diperlukan untuk mendapatkan pendengaran yang biak karena getaran dari luar
akan disampaikan dari sana mencapai telinga bagian dalam. Jika membran timpani
kaku, misalnya karena adanya penumpukan cairan dibelakang gendang, maka
getaran tidak akan dapat disampaikan sebaik pada yang membran timpani yang
lentur. Untuk melakukan pemeriksaan ini sebuah pipa dengan ujung karet yang
lembut dimasukkan ke dalam liang telinga. Dengan menggunakan pompa tangan
manual, tekanan dalam liang telinga diubah, dan pergerakan membran timpani
diamati dengan menggunakan otoskop yang juga terpasang pada alat yang sama.
Jika pergerakan membran timpani terbatas, walaupun telah diberikan perbedaan
tekanan yang besar, maka kemungkinan besar anak tersebut mengidap glue ear.
Walaupun begitu, pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk menilai
kemampuan pendengaran, maka itu pemeriksaan audiometrik diperlukan untuk
penilaian lebih lanjut.


Speech Discrimination Test

Pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan terhadap pasien yang sudah


mengerti apa arti dari kata-kata, misalnya pada usia 2-3 tahun, yaitu dengan
memberikan perintah sederhana, misalkan mengambil suatu benda atau
menggambar sesuatu; dapat melakukan perintah yang diberikan tentu saja berarti
pasien yang diperiksa tidak tuli, baik sensorik maupun konduktif. Bila perintah
tidak dapat dilakukan, pasien diminta untuk mengulangi kata-kata yang
didengarnya. Bila bahkan kata-kata tidak dapat diulang secara tepat, perlu dicurigai
adanya gangguan pendengaran, yang kemudian dapat dipastikan dengan
pemeriksaan lain, seperti pemeriksaan garpu penala.


Play Audiometry Test

Pemeriksaan yang dikembangkan untuk menarik perhatian anak-anak


dengan usia 2-5 tahun, dengan cara membuat pemeriksaan seolah-olah sebuah
permainan. Anak diminta untuk berdiri di tengah sebuah ruangan kedap suara yang
didalamnya ditempatkan sebuah speaker dan alat permainan yang bersifat repetitif,
dimana dari speaker akan dihasilkan suara tertentu untuk mengetes kemampuan

14
pendengaran frekuensi yang diujikan. Sang anak diperintahkan untuk hanya
bermain pada saat nada terdengar olehnya, dan dengan ini diharapkan dapat
diketahui pada frekuensi atau pada nada mana terdapat gangguan presepsi. Pada tes
ini juga dapat dilakukan masking atau penambahan suara untuk mengganggu
presepsi subjek untuk menilai kemampuannya membedakan pembicaraan dari
keriuhan latar (background noise).


Infant Distraction Test 16
Merupakan pemeriksaan paling awal yang dapat digunakan untuk menilai
gangguan pendengaran pada anak. Dibutuhkan paling sedikit dua orang untuk
melakukan pemeriksaan ini selain anak dan perawat yang memangku. Ketika anak
dipangku, penguji akan berdiri dibelakangnya dan membuat suara-suara, sementara
pengamat yang berdiri dihadapan si anak akan mengamati reaksi anak terhadap
suara tersebut, yang dapat bervariasi dari menoleh untuk mencari sumber suara
hingga benar-benar acuh. Pemeriksaan ini tidak dimaksudkan menegakkan
diagnosis gangguan pendengaran, dan dibutuhkan tes lain untuk menegakkannya.


Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Pemeriksaan yang ditujukan untuk pasien dengan usia 6 bulan - 3 tahun.
Menggunakan audiometer yang dihubungkan ke beberapa speaker yang
ditempatkan tersebar dalam satu ruangan kedap suara. Ketika sebuah nada
diperdengarkan, bila si anak merespon dengan menengok, sebuah mainan akan
menyala atau sebuah gambar akan ditampilkan. Setelah beberapa kali diulang dan
anak sudah mengasosiasikan bahwa terdengarnya bunyi sama dengan adanya
sesuatu yang dapat dilihatnya, volume dapat dimanipulasi untuk menentukan
volume terkecil yang dapat didengar. Dapat pula digunakan earphone untuk
menilai salah satu telinga saja.


Audiometri Nada Murni
Dapat digunakan untuk anak dengan usia diatas 3 tahun. Nada atau suara
tertentu diperdengarkan lewat headphone dan anak tersebut diminta untuk
merespon terhadap suara tersebut, misalnya dengan mengangkat tangan atau
dengan menekan tombol. Untuk pemeriksaan penjaring biasanya diperdengarkan
hingga empat frekuensi dan intensitas volume yang berbeda. Pemeriksaan ini

15
hampir langsung dapat menunjukkan gangguan pendengaran yang berat, dan lebih
berguna untuk mendeteksi gangguan pendengaran dalam perkembangan, atau
gangguan pada salah satu sisi telinga.


Audiometri Hantaran Tulang
Untuk menilai daya hantar getaran dengan menaruh alat yang menghasilkan
getaran di belakang daun telinga sehingga yang dinilai adalah telinga bagian dalam
dengan memanfaatkan hantaran tulang. Dengan membandingkan hasil pemeriksaan
ini dengan pemeriksaan audiometrik lain, dapat ditentukan apakah gangguan
pendengaran berasal dari gangguan telinga tengah atau bagian telinga dalam.

Beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menilai gangguan pendengaran non-
organik, antara lain:12


Pemeriksaan Stenger

Berupa pemeriksaan yang menggunakan bunyi, hampir sama seperti


audiometri nada murni, hanya saja terdapat modifikasi, yaitu tes bicara Stenger
dapat digunakan untuk menilai keadaan displakusis, yaitu suatu keadaan yang
menyebabkan sebuah nada yang sama didengar berbeda pada masing-masing
telinga.


Pemeriksaan Doerfler-Stewars

Merupakan pemeriksaan dimana digunakan masking noise sebesar 10-25


dB diatas volume percakapan normal. Pada orang normal tidak akan didapatkan
kesulitan mendengarkan suara atau nada, namun pada gangguan pendengaran non-
organik akan didapatkan kesulitan presepsi.


Pemeriksaan delayed feedback:

Pemeriksaan dimana pasien diminta untuk berbicara, kemudian


pembicaraan tersebut direkam dan diperdengarkan kembali pada subjek dengan
jeda waktu 0.2 detik. Pada pasien dengan kelainan baik unilateral maupun bilateral
dapat didapatkan kesulitan mengucapkan kata (impairment).

16
Metode yang menjadi modal deteksi dini gangguan pendengaran selain karena
kelainan fisik adalah ABR (Auditory Brainstem Response) dengan frekuensi tertentu.
Pemeriksaan ini secara teoritis sama persis dengan pemeriksaan penala, hanya saja respon
yang diharapkan dalam tes ini berupa respon dari otak secara direk terhadap gelombang
suara.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menaruh empat hingga lima elektroda di daerah
tertentu di kepala pasien, kemudian lewat earphone diperdengarkan suara-suara dengan
frekuensi tertentu secara bergantian. Melalui syaraf pendengaran, suara ini akan
disampaikan ke otak dan memicu respons berupa timbulnya gelombang elektrik yang
direkam dalam bentuk sebuah elektrogram. Dalam hasil rekaman tersebut akan tercatat
ambang terendah frekuensi yang masih dapat terdengar oleh si anak.

Kekurangan dari metode ini adalah bahwa subjek pemeriksaan haruslah diam tanpa
gerakan: karena potensial listrik sebagai respons dari bunyi yang diperdengarkan sangatlah
kecil, gerakan dari otot, baik itu otot tubuh maupun otot wajah sekecil apapun akan
mempengaruhi hasil pemeriksaan, maka itu pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada
keadaan tidur, atau dalam keadaan terbius. Pada pasien dengan umur dibawah 3 bulan
dapat ditunggu sampai pasien tertidur secara alami, namun pada pasien dengan umur diatas
3 bulan dapat diperhitungkan pemberian agen sedatif selama tes, misalnya kloral hidrat.

Selain tes tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan lain berupa Otoacoustic


Emissions (OAE). Tes ini tidak hanya menilai respons otak terhadap bunyi, namun juga
intaknya koklea berdasarkan gelombang bunyi yang tidak diubah menjadi respons listrik.
Secara garis besar, pemeriksaan ini dapat dianggap sebagai semacam ultrasonografi dari
koklea, dan dipergunakan untuk menilai integritas organ pendengaran, namum hanya
terbatas sampai pada koklea.

17
Gambar 5. Emisi Otoakustik

2.6. Habilitasi dan Rehabilitasi Pendengaran17

Rehabilitasi ialah usaha untuk mengembalikan fungsi yang pernah dimiliki,


sedangkan habilitasi adalah memberikan fungsi yang seharusnya dimiliki. Setelah
diketahui seorang anak menderita ketulian upaya habilitasi pendengaran harus
dilaksanakan sedini mungkin. American Joint of Committee on Infant (2007)
merekomendasikan upaya habilitasi sudah harus dimulai sebelum usia 6 bulan. Penelitian-
penelitian telah membuktikan bahwa bila habilitasi yang optimal sudah dimulai sebelum
usia 6 bulan maka pada usia 3 tahun perkembangan wicara anak yang mengalami ketulian
dapat mendekati kemampuan wicara anak normal.
Pemasangan alat bantu dengar (ABD) merupakan upaya pertama dalam habilitasi
pendengaran yang akan dikombinasikan dengan terapi wicara atau terapi audio verbal.
Anak usia 2 tahun dapat memulai pendidikan khusus di Taman Latihan dan Observasi
(TLO), dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Luar biasa (SLB) - B atau SLB - C bila
disertai dengan retardasi mental. Proses habilitasi pasien tunarungu membutuhkan
kerjasama dari berbagai disiplin, antara lain dokter spesialis THT, Audiologist, ahli terapi
wicara, ahli madya audiologi, psikolog anak, guru khusus untuk tunarungu dan keluarga
penderita.
Saat ini dikenal beberapa strategi habilitasi pendengaran seperti ; Alat bantu dengar
(ABD), Assistive Listening Device (ALD) dan implantasi koklea.
18
 Alat Bantu Dengar
Alat bantu dengar adalah suatu perangkat elektronik yang berguna untuk
memperkeras (amplifikasi) suara yang masuk ke dalam telinga; sehingga si
pemakai dapat mendengar lebih jelas suara yang ada di sekitarnya.

 Komponen-komponen ABD
Pada ABD terdapat 4 bagian pokok, yaitu :
a. Mikrofon : berperan menerima suara dari luar dan mengubah sinyal
suara menjadi energi listrik kemudian meneruskannya ke amplifier.
b. Amplifier : berfungsi memperkeras suara dengan cara memperbesar
energi listrik yang selanjutnya mengirimkannya ke receiver.
c. Receiver : mengubah energi listrik yang telah diperbesar amplifier
menjadi energi bunyi kembali dan meneruskannya ke liang telinga.
d. Baterai : sebagai sumber tenaga.

Gambar 6. Komponen-komponen Alat Bantu Dengar

 Jenis Alat Bantu Dengar


ABD berukuran kecil tentu lebih menguntungkan dari segi kosmetik, tetapi
memiliki keterbatasan dalam memperkeras suara, sehingga hanya dapat
dimanfaatkan untuk ketulian derajat sedang. ABD dibedakan menjadi beberapa
jenis :
1) Jenis saku (pocket type, body worn type)
2) Jenis belakang telinga (BTE = Behind The Ear)

19
3) Jenis ITE (In The Ear)
4) Jenis ITC (In The Canal)
5) Jenis CIC (Completely In the Canal)
Selain itu masih ada lagi jenis khusus seperti jenis kaca mata (Spectacle
Aid), hantaran tulang (Bone Conduction Aid), Bone Anchored Hearing Aid
(BAHA), Contralateral Routing of Signals (CROS) dan Bilateral Contralateral
Routing of Signals (BICROS).

Gambar 7. Jenis-jenis Alat Bantu Dengar

Untuk ABD yang sangat kecil (mis. In The Canal) pengaturan ABD (mis.
menghidupkan atau mematikan alat) dapat dilakukan secara tidak langsung melalui
remote control.
Untuk ABD yang komponennya berada di luar telinga, suara yang telah
diperkeras disalurkan ke liang telinga melalui pipa plastik (tubing) dan ear
mould (cetakan liang telinga). Ear mould dibuat khusus agar sedemikian
rupacocok dengan ukuran liang teling, terbuat dari bahan acrylic atau silikon.
Pada bayi dan anak, ear mould secara berkala harus diganti karena ukuran liang
telinga pasti berubah sesuai perkembangan anatomi kepala. Pada ABD berukuran
20
kecil dimana semua komponen berada di liang telinga, ear mould menyatu dengan
komponen ABD.

 Sistim Alat Bantu Dengar


Secara umum sistim kerja ABD dibedakan menjadi analog dan digital.
Prinsip sistim analog adalah memperkeras suara yang masuk telinga melalui
komponen mekanik dasar yang sederhana. Sistim ini menggunakan chip komputer
untuk menganalisa suara yang masuk. Setelah suara diperkeras (amplifikasi),
teknologi digital akan memilih suara yang perlu diteruskan ke dalam telinga
dan menyingkirkan suara yang tidak diharapkan (noise). ABD sistim digital ini
bisa menerima program komputer tertentu yang dapat memilih frekuensi yang
spesifik sesuai dengan kebutuhan, hal ini dimungkinkan oleh kemampuan sistim
digital membagi spektrum suara menjadi 8 frekuensi (sistim analog hanya terdiri
dari 2 frekuensi). ABD sistim digital menjadi sangat fleksibel karena secara
otomatis dapat beradaptasi dengan suara yang keras atau halus, sehingga tidak
terjadi amplifikasi yang berlebihan.

 Assistive Listening Device (ALD)


ALD adalah perangkat elektronik untuk meningkatkan kenyamanan
mendengar pada kondisi lingkungan pendengaran tertentu seperti menonton
televisi, mendengarkan telepon, mendengar suara bel rumah atau pada saat berada
di ruang aula/auditorium. ALD dapat dipergunakan tersendiri atau dipasang pada
ABD dengan maksud mengoptimalkan kerja ABD.

 Implan Koklea
Merupakan perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan
menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan
berkomunikasi pada pasien tuli saraf berat dan total bilateral. Implan koklea sudah
mulai dimanfaatkan semenjak 25 tahun yang lalu dan berkembang pesat di negara
maju.

21
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan pendengaran pada anak tidak hanya mempengaruhi perkembangan


bicara dan bahasa, tetapi juga mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan
emosional anak. Keterlambatan dalam mengenali faktor risiko dan gejala yang muncul
pada anak dengan gangguan pendengaran mengakibatkan tingginya angka kejadian tuna
rungu. Untuk itu perlu dilakukan skrining pemeriksaan fungsi pendengaran pada bayi dan
anak sedini mungkin.

Teknik-teknik menilai kemampuan anak untuk dapat mendengar dapat dibagi


menjadi beberapa tes sesuai dengan usia maupun tingkat perkembangan si anak, antara lain
: timpanometri, play audiometry test, speech discrimination test, audiometri hantaran
tulang, audiometri nada murni, visual reinforcement audiometry dan infant distraction test.
Masing-masing pemeriksaan memiliki kekuatan dan kelemahan yang beragam dan perlu
disesuaikan dengan kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. Sikap yang kooperatif
keluarga, terutama orang tua anak, memainkan peran yang sangat besar dalam mendeteksi
gangguan pendengaran pada bayi dan anak, oleh karena anak menghabiskan sebagian
besar waktunya dalam pengawasan orang tua, sehingga kesadaran dan pengetahuan setiap
orang tua harus diasah, supaya gangguan pendengaran dapat dideteksi sedini mungkin.

Apabila gangguan pendengaran telah terjadi, dapat dilakukan program habilitasi


dan rehabilitasi pendengaran. Setelah diketahui seorang anak menderita ketulian upaya
habilitasi pendengaran harus dilaksanakan sedini mungkin, agar pertumbuhan wicara dan
tumbuh kembang anak dapat disetarakan dengan anak yang fungsi pendengarannya
normal. Saat ini dikenal beberapa strategi habilitasi pendengaran seperti ; Alat bantu
dengar (ABD), Assistive Listening Device (ALD) dan implantasi koklea. Setiap strategi
memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing, sehingga pemilihan dan indikasi
22
aplikasi strategi tersebut memerlukan pertimbangan yang matang antara kebutuhan,
kecocokan, kemampuan dan keinginan anak serta orang tuanya.

23

Anda mungkin juga menyukai