PENDAHULUAN
Mendengar merupakan salah satu kemampuan penting bagi bayi dan anak dalam
tahap tumbuh kembang mereka. Adapun proses mendengar melibatkan banyak faktor yang
kompleks diantaranya faktor struktur anatomi dan embriologi juga fungsi fisiologis,
neurologis, dan audiologis dari organ-organ yang terlibat dalam proses pendengaran.
Gangguan pendengaran pada anak tidak hanya mempengaruhi perkembangan bicara dan
bahasa, tetapi juga mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak.
Untuk itu diperlukan deteksi dini adanya gangguan pendengaran pada anak.1,2
Program deteksi dini gangguan pendengaran dilakukan pada bayi dan anak yang
memiliki faktor risiko tinggi. Namun indikator risiko tersebut hanya dapat mendeteksi
50% gangguan pendengaran, hal ini dikarenakan pada banyak bayi yang ternyata memiliki
gangguan pendengaran tapi tidak memiliki faktor risiko yang dimaksud.1,2
Keterlambatan dalam mengenali faktor risiko dan gejala yang muncul pada anak
dengan gangguan pendengaran mengakibatkan tingginya angka kejadian tuna rungu.
Untuk itu perlu dilakukan skrining pemeriksaan fungsi pendengaran pada bayi dan anak
sedini mungkin. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan mulai dari bertepuk tangan
untuk melihat respon mereka hingga memanggil nama atau membunyikan lonceng mainan.
Gangguan pendengaran kongenital terjadi pada dua dari tiga bayi dalam 1000
angka kelahiran. CDC (Centers for Diseases Control and Prevention) mendapatkan data
adanya peningkatan jumlah bayi yang di skrining pendengarannya dari 46,5 % menjadi 97
%, dan jumlah bayi yang memiliki gangguan pendengaran yang juga meningkat dari 1736
penderita menjadi 2212 penderita. Dengan persentase bayi yang di skrining sebelum usia
satu bulan meningkat dari 80,1 % menjadi 85,4 %. Persentase bayi yang mendapatkan
tindak lanjut sebelum usia tiga bulan meningkat dari 51,5 % menjadi 66,4 %. Sedangkan
persentase bayi yang mendapatkan intervensi sebelum usia enam bulan meningkat menjadi
60,8 % dari 50,7 %.2,3
1
Berdasarkan data yang ada di Indonesia, angka kejadian tuna rungu (tidak dapat
mendengar atau adanya gangguan mendengar) adalah 0,1 % kelahiran, atau kurang lebih
sebanyak 200.000 penderita. Sedangkan data RSCM pada tahun 1999 – 2003, didapatkan
2579 penderita. Sebanyak 6,13 % mengalami gangguan pendengaran berat saat usia
kurang dari satu tahun. Pada usia 1 – 3 tahun, terdapat sebanyak 45,29 % anak dengan
gangguan pendengaran berat. Dan sebanyak 24,42 % lainnya mengalami gangguan
pendengaran berat pada usia lebih dari lima tahun.4
1.3. Tujuan
2
1.4. Manfaat
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
sembilan tahun. Perubahan setelah kelahiran yang utama adalah pada telinga
tengah, yaitu perubahan posisi dari membran timpani. Telinga dalam (koklea)
mencapai ukuran dewasa dengan kelahiran dan dapat memberikan respon terhadap
bunyi dalam 25 minggu masa gestasi.
Susunan saraf pusat auditorik terus berkembang dengan baik hingga usia
remaja. Mielinisasi batang otak tercapai dalam usia satu tahun, sedangkan
mielinisasi struktur serebral tercapai pada usia 10 tahun. Maturasi yang berlanjut
berkaitan dengan perkembangan anatomik dari cabang dendrit dan susunan dari
letak sinaps saraf. Perubahan fisiologis ini meningkatkan efisiensi dari susunan
saraf pusat auditorik dalam menerima informasi auditorik. Begitupun juga,
kehilangan sensorik menyebabkan kematian sel atau perubahan fungsional yang
dapat menurunkan efisiensi dari susunan saraf pusat auditorik. Adapun efek dari
perubahan anatomik dan perkembangan setelah kelahiran harus dipertimbangkan
dalam seleksi dan interpretasi dari teknik tes fungsi pendengaran sesuai dengan
strategi habilitasi yang akan dilakukan.
Perkembangan wicara berlangsung bersamaan dengan perkembangan
auditorik. Karena dalam proses berbicara berhubungan dengan input sensorik
(auditorik) dan motorik yang baik, dimana input auditorik tersebut digunakan untuk
merangsang proses wicara pada bayi. Oleh karena keterkaitan perkembangan
wicara dengan perkembangan mendengar, maka dapat pula diperkirakan adanya
gangguan pendengaran pada anak yang memiliki gangguan wicara.
5
Gambar 1. Arkus brakial dan kantong faring embrio.
Pada usia kehamilan lima minggu, daerah kepala dan leher embrio terdiri
dari lima hingga enam bagian jaringan yang menyerupai jari, disebut sebagai arkus
brakial. Bagian ini berbaris melintang pada bidang datar dari leher dan dipisahkan
oleh celah, disebut sebagai celah brakial. Permukaan dari arkus dan celah brakial
ini dilapisi oleh lapisan ektoderm, yang berasal dari lapisan mesoderm. Bagian
yang mendasari daerah celah brakial merupakan lapisan tipis karena terjadi
pendekatan dari kantong luar dari daerah foregut, dinamakan kantong faring.
Bentuk turunan dari arkus brakial dan kantong faring berbeda, karena sumber dari
lapisan embrionik termasuk dalam arkus brakial adalah lapisan mesoderm,
sedangkan kantong faring berasal dari lapisan endoderm. Karena perbedaan sumber
lapisan embrionik, dapat disimpulkan dengan menyatakan bahwa pada orang
dewasa bentuk turunan arkus brakial memiliki struktur yang terdiri dari otot,
tulang, atau turunan mesodermal lainnya yang bentuknya mirip, seperti otot wajah
dan leher. Bentuk turunan dari kantong faring lapisan endoderm akan seperti
glandular atau berhubungan dengan saluran pencernaan.
Pada orang dewasa, telinga merupakan kesatuan anatomik yang memiliki
peran sebagai organ pendengaran dan keseimbangan. Sedangkan pada embrio,
telinga berkembang dari bagian yang berbeda, yaitu: telinga luar sebagai
pengumpul suara, telinga tengah sebagai penghantar suara, dan telinga dalam yang
mengubah gelombang suara menjadi impuls saraf dan menunjukkan perubahan
keseimbangan.
6
Gambar 2. Potongan melintang daerah rombensefalon pada embrio 22 hari.
7
Gambar 4. Perkembangan otokista menjadi sacculus dan duktus koklearis.
Telinga tengah yang terdiri atas kavum timpani dan tuba eustasius, dilapisi
epitel yang berasal dari endoderm kantong faring pertama. Di dalamnya terdapat
rongga berisi udara yang meluas ke dalam resesus tubotimpanikus, dan selanjutnya
meluas di sekitar tulang-tulang dan saraf dari telinga tengah, dan ke daerah
mastoid. Tuba eustasius menghubungkan kavum timpani dan nasofaring. Tulang-
tulang pendengaran yang menghantarkan getaran suara dari membran timpani ke
fenestra ovalis berasal dari kantong faring pertama (kartilago Meckel), yaitu tulang
maleus dan tulang inkus; dan kantong faring kedua (kartilago Reichert), yaitu
tulang stapes.
Liang telinga luar atau meatus austikus eksterna berkembang dari kantong
faring pertama dan dipisahkan dari kavum timpani oleh membran timpani.
Gendang telinga terdiri atas lapisan epitel ectoderm di dasar meatus akustikus,
lapisan tengah jaringan ikat (mesenkim) yang membentuk stratum fibrosum, dan
lapisan epitel endoderm kavum timpani yang berasal dari kantong faring pertama.
Daun telinga atau aurikula berkembang dari enam buah tonjolan mesenkim
yang terletak sepanjang kantong faring pertama dan kedua. Tonjolan-tonjolan daun
telinga ini masing-masing sebanyak tiga buah pada setiap sisi liang telinga luar
akan menyatu dan membentuk daun telinga yang tetap. Pada mulanya, telinga luar
terletak di daerah leher bawah, tetapi dengan berkembangnya mandibula, tonjolan-
tonjolan tersebut bergerak naik ke samping kepala setinggi mata.
Tulang temporal yang membungkus telinga berasal dari empat bagian
terpisah, yaitu pars petrosa, sutura petroskuamosa, prosesus stiloidesus, dan cincin
timpani. Prosesus mastoideus belum terbentuk pada saat lahir, sehingga letak saraf
fasialis bayi sangat superfisial. Turunan resesus tubotimpanikus yang terisi udara
meluas dari telinga tengah melalui tuba eustasius (audita) sampai di antrum, yaitu
daerah yang terisi udara dalam tulang mastoid.
8
2.2. Faktor-faktor Risiko dan Etiologi Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak
2.2.2. Etiologi
10
2.3. Klasifikasi Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak1
Deteksi dini penting untuk dilakukan karena jika gangguan pendengaran tidak
disadari sampia anak tersebut berumur 2-3 tahun maka dapat terjadi keterlambatan
perkembangan dari segi berbicara, kemampuan berbahasa dan kognitif. Secara global,
angka kejadian gangguan pendengaran bawaan adalah 2-3 bayi per 1000 kelahiran dengan
tingkat gangguan sedang sampai benar-benar tuli; penurunan bahkan kehilangan
pendengaran merupakan kelainan yang paling sering diketahui setelah anak lahir, dengan
50% anak dengan penurunan pendengaran tidak memiliki faktor resiko yang dapat
dihubungkan dengan kejadian tersebut; bahkan dari penelitian yang dilakukan di Kuba
dalam jangka waktu 25 tahun untuk menilai keampuhan metode screening ditemukan
tingkat insidensi sampai 72,5%.11
Beberapa faktor risiko yang dapat diperhitungkan dalam menegakkan diagnosis gangguan
pendengaran antara lain:12
Riwayat lahir prematur atau berat lahir dibawah 1500 gram
Riwayat hiperbilirubinemia atau phenilketouria
Kelainan genetik, termasuk sindrom Down
Keterlambatan berbicara pada usai 12-18 bulan
Riwayat terkena, atau infeksi telinga berulang
Gangguan pendengaran yang dialami oleh anggota keluarga dekat, misalnya ayah,
ibu atau saudara
Sindrom yang berkaitan dengan gangguan pendengaran
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran
Terapi medis yang dapat mengakibatkan gangguan atau kehilangan pendengaran
sebagai efek samping, termasuk antibiotik dan agen-agen kemoterapi.
Performa akademis yang buruk (biasanya baru diketahui setelah anak tersebut
memasuki usia sekolah)
12
Gangguan pendengaran mungkin dapat diidentifikasi dari tingkah laku yang
ditunjukkan oleh si anak sebagai respons dari stimulus auditorik yang diberikan
kepadanya.
Beberapa gejala dan tanda yang perlu diperhatikan sebagai awal kecurigaan
terjadinya gangguan pendengaran pada anak antara lain:
Acuh ketika dipanggil
Sering tidak perhatian atau melamun
Mendengarkan televisi atau radio dengan volume tinggi
Berbicara lebih keras daripada anak seusianya, cenderung berteriak
Sering salah mengucapkan kata
Menampakkan tingkah seperti tidak tenang di sekolah
Seringkali menampakkan kelakuan seperti frustasi, pemarah atau agresif.
Timpanometri
13
Pemeriksaan timpanometri dapat dilakukan pada anak dengan segala usia
untuk menilai kelenturan membran timpani. Membran timpani yang lentur
diperlukan untuk mendapatkan pendengaran yang biak karena getaran dari luar
akan disampaikan dari sana mencapai telinga bagian dalam. Jika membran timpani
kaku, misalnya karena adanya penumpukan cairan dibelakang gendang, maka
getaran tidak akan dapat disampaikan sebaik pada yang membran timpani yang
lentur. Untuk melakukan pemeriksaan ini sebuah pipa dengan ujung karet yang
lembut dimasukkan ke dalam liang telinga. Dengan menggunakan pompa tangan
manual, tekanan dalam liang telinga diubah, dan pergerakan membran timpani
diamati dengan menggunakan otoskop yang juga terpasang pada alat yang sama.
Jika pergerakan membran timpani terbatas, walaupun telah diberikan perbedaan
tekanan yang besar, maka kemungkinan besar anak tersebut mengidap glue ear.
Walaupun begitu, pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk menilai
kemampuan pendengaran, maka itu pemeriksaan audiometrik diperlukan untuk
penilaian lebih lanjut.
Speech Discrimination Test
Play Audiometry Test
14
pendengaran frekuensi yang diujikan. Sang anak diperintahkan untuk hanya
bermain pada saat nada terdengar olehnya, dan dengan ini diharapkan dapat
diketahui pada frekuensi atau pada nada mana terdapat gangguan presepsi. Pada tes
ini juga dapat dilakukan masking atau penambahan suara untuk mengganggu
presepsi subjek untuk menilai kemampuannya membedakan pembicaraan dari
keriuhan latar (background noise).
Infant Distraction Test 16
Merupakan pemeriksaan paling awal yang dapat digunakan untuk menilai
gangguan pendengaran pada anak. Dibutuhkan paling sedikit dua orang untuk
melakukan pemeriksaan ini selain anak dan perawat yang memangku. Ketika anak
dipangku, penguji akan berdiri dibelakangnya dan membuat suara-suara, sementara
pengamat yang berdiri dihadapan si anak akan mengamati reaksi anak terhadap
suara tersebut, yang dapat bervariasi dari menoleh untuk mencari sumber suara
hingga benar-benar acuh. Pemeriksaan ini tidak dimaksudkan menegakkan
diagnosis gangguan pendengaran, dan dibutuhkan tes lain untuk menegakkannya.
Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Pemeriksaan yang ditujukan untuk pasien dengan usia 6 bulan - 3 tahun.
Menggunakan audiometer yang dihubungkan ke beberapa speaker yang
ditempatkan tersebar dalam satu ruangan kedap suara. Ketika sebuah nada
diperdengarkan, bila si anak merespon dengan menengok, sebuah mainan akan
menyala atau sebuah gambar akan ditampilkan. Setelah beberapa kali diulang dan
anak sudah mengasosiasikan bahwa terdengarnya bunyi sama dengan adanya
sesuatu yang dapat dilihatnya, volume dapat dimanipulasi untuk menentukan
volume terkecil yang dapat didengar. Dapat pula digunakan earphone untuk
menilai salah satu telinga saja.
Audiometri Nada Murni
Dapat digunakan untuk anak dengan usia diatas 3 tahun. Nada atau suara
tertentu diperdengarkan lewat headphone dan anak tersebut diminta untuk
merespon terhadap suara tersebut, misalnya dengan mengangkat tangan atau
dengan menekan tombol. Untuk pemeriksaan penjaring biasanya diperdengarkan
hingga empat frekuensi dan intensitas volume yang berbeda. Pemeriksaan ini
15
hampir langsung dapat menunjukkan gangguan pendengaran yang berat, dan lebih
berguna untuk mendeteksi gangguan pendengaran dalam perkembangan, atau
gangguan pada salah satu sisi telinga.
Audiometri Hantaran Tulang
Untuk menilai daya hantar getaran dengan menaruh alat yang menghasilkan
getaran di belakang daun telinga sehingga yang dinilai adalah telinga bagian dalam
dengan memanfaatkan hantaran tulang. Dengan membandingkan hasil pemeriksaan
ini dengan pemeriksaan audiometrik lain, dapat ditentukan apakah gangguan
pendengaran berasal dari gangguan telinga tengah atau bagian telinga dalam.
Beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menilai gangguan pendengaran non-
organik, antara lain:12
Pemeriksaan Stenger
Pemeriksaan Doerfler-Stewars
Pemeriksaan delayed feedback:
16
Metode yang menjadi modal deteksi dini gangguan pendengaran selain karena
kelainan fisik adalah ABR (Auditory Brainstem Response) dengan frekuensi tertentu.
Pemeriksaan ini secara teoritis sama persis dengan pemeriksaan penala, hanya saja respon
yang diharapkan dalam tes ini berupa respon dari otak secara direk terhadap gelombang
suara.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menaruh empat hingga lima elektroda di daerah
tertentu di kepala pasien, kemudian lewat earphone diperdengarkan suara-suara dengan
frekuensi tertentu secara bergantian. Melalui syaraf pendengaran, suara ini akan
disampaikan ke otak dan memicu respons berupa timbulnya gelombang elektrik yang
direkam dalam bentuk sebuah elektrogram. Dalam hasil rekaman tersebut akan tercatat
ambang terendah frekuensi yang masih dapat terdengar oleh si anak.
Kekurangan dari metode ini adalah bahwa subjek pemeriksaan haruslah diam tanpa
gerakan: karena potensial listrik sebagai respons dari bunyi yang diperdengarkan sangatlah
kecil, gerakan dari otot, baik itu otot tubuh maupun otot wajah sekecil apapun akan
mempengaruhi hasil pemeriksaan, maka itu pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada
keadaan tidur, atau dalam keadaan terbius. Pada pasien dengan umur dibawah 3 bulan
dapat ditunggu sampai pasien tertidur secara alami, namun pada pasien dengan umur diatas
3 bulan dapat diperhitungkan pemberian agen sedatif selama tes, misalnya kloral hidrat.
17
Gambar 5. Emisi Otoakustik
Komponen-komponen ABD
Pada ABD terdapat 4 bagian pokok, yaitu :
a. Mikrofon : berperan menerima suara dari luar dan mengubah sinyal
suara menjadi energi listrik kemudian meneruskannya ke amplifier.
b. Amplifier : berfungsi memperkeras suara dengan cara memperbesar
energi listrik yang selanjutnya mengirimkannya ke receiver.
c. Receiver : mengubah energi listrik yang telah diperbesar amplifier
menjadi energi bunyi kembali dan meneruskannya ke liang telinga.
d. Baterai : sebagai sumber tenaga.
19
3) Jenis ITE (In The Ear)
4) Jenis ITC (In The Canal)
5) Jenis CIC (Completely In the Canal)
Selain itu masih ada lagi jenis khusus seperti jenis kaca mata (Spectacle
Aid), hantaran tulang (Bone Conduction Aid), Bone Anchored Hearing Aid
(BAHA), Contralateral Routing of Signals (CROS) dan Bilateral Contralateral
Routing of Signals (BICROS).
Untuk ABD yang sangat kecil (mis. In The Canal) pengaturan ABD (mis.
menghidupkan atau mematikan alat) dapat dilakukan secara tidak langsung melalui
remote control.
Untuk ABD yang komponennya berada di luar telinga, suara yang telah
diperkeras disalurkan ke liang telinga melalui pipa plastik (tubing) dan ear
mould (cetakan liang telinga). Ear mould dibuat khusus agar sedemikian
rupacocok dengan ukuran liang teling, terbuat dari bahan acrylic atau silikon.
Pada bayi dan anak, ear mould secara berkala harus diganti karena ukuran liang
telinga pasti berubah sesuai perkembangan anatomi kepala. Pada ABD berukuran
20
kecil dimana semua komponen berada di liang telinga, ear mould menyatu dengan
komponen ABD.
Implan Koklea
Merupakan perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan
menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan
berkomunikasi pada pasien tuli saraf berat dan total bilateral. Implan koklea sudah
mulai dimanfaatkan semenjak 25 tahun yang lalu dan berkembang pesat di negara
maju.
21
BAB III
KESIMPULAN
23