Anda di halaman 1dari 3

3

HOMEGAYAKARIR

Gaya Hidup Semu dan Diri Palsu

indonesiana-Luthfi Ersa Fadillah

LUTHFI ERSA FADILLAH

3 HARI YANG LALU DIBACA (71520)

getimagesize()

(AP)

Ada ragam cara bagi anak muda untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Dari mulai menggunakan cara
yang paling umum hingga cara paling berlebihan dan terkadang agak nyeleneh. Kesemuanya tak lain
didorong atas nama kultur “kekinian” dan hasrat mobilitas sosial atas dirinya sendiri. Saya tidak hanya
berbicara dan menyoroti sebuah kultur anak muda tetapi juga diri anak muda itu sendiri. Dan, itu yang
akan menjadi titik fokus utama tulisan ini.

Kenyataan bahwa anak muda yang menahan lapar hanya untuk dapat menikmati sebuah kue kecil atau
minuman segelas yang harganya selangit di tempat yang juga selangit hingga sulit terjamah kaum jelata
hingga rela menggunakan berhutang kartu kredit untuk membeli barang yang secara fungsional bisa
dibeli di ITC, pasar atau toko-toko kecil menyiratkan sebuah pola berpikir yang sulit dicerna.

Ada ungkapan sindiran yang sering kita lihat di banyak meme, salah satunya adalah “Lebih baik
menggunakan dompet seharga satu dollar dan memiliki uang 99 dollar didalamnya dari pada sebaliknya”
juga “Kita membeli barang yang tidak bisa kita beli untuk membuat kagum orang yang tidak kita suka”.
Arti dari sindirian itu sebetulnya sederhana, kita dihimbau untuk lebih berhati-hati untuk tidak
melakukan sesuatu yang sia-sia dengan uang kita. Sayangnya, kultur yang sedang dibuat oleh anak muda
kantoran ini justru memaksa mereka untuk melakukan segala kesia-siaan itu.

Saya ingin memberikan sebuah refleksi sosial dari fenomena ini. Selalu ada makna di balik setiap
tindakan sosial seorang individu. Dari gambaran aktivitas konsumtif oleh anak muda membuat saya
mulai berpikir bahwa mereka sebetulnya ingin mencoba mendefinisikan diri mereka sendiri dari
pandangan orang lain.
Seorang sosiolog bernama Charles Horton Cooley (selanjutnya disebut Cooley) menjelaskan sebuah
konsep jitu bernama Looking Glass Self. Penjelasan sederhana dari konsep ini adalah Aku adalah apa
yang kamu pikirkan tentang diriku. Artinya, seseorang akan mendefinisikan identitas, self esteem dan
juga segala hal yang berkaitan tentang dirinya sendiri dari sudut pandang orang lain. Dengan alur berpikir
yang demikian, sampai kapanpun sebetulnya ia akan sulit menjadi dirinya sendiri karena seringnya
bergantung pada penilaian orang lain.

Penjelasan ini kemudian tersirat secara jelas dari apa yang telah dijelaskan di atas bahwa segala bentuk
aktivitas hedonistik itu semata-mata dilakukan tidak lain untuk menemukan diri mereka sendiri. Sebagai
contoh paling sederhana adalah memakai tas seharga ratusan juta hanya untuk dikira sebagai orang
kaya. Makan di restoran mahal (yang saya ragu apakah ia sendiri menyukai makanan itu karena tidak
semua makanan mahal rasanya enak) hanya agar orang berpikir bahwa dirinya ‘eksis’.

Implikasi utama dari perspektif Cooley yang seringkali dilupakan oleh para ‘eksmud’ ini adalah mereka
sebenarnya sedang mengejar sesuatu yang semu. Pun, mereka mendapatkan yang mereka mau, tidak
akan bertahan lama. Sesuatu yang tidak akan memberikan efek pijakan atas dirinya sendiri yang bersifat
kokoh. Social climbing yang diimpikan akan terlalu rapuh. Mengapa? Karena target-target yang dituju
hanya sesuatu yang bersifat sekelibat lupa.

Mereka menggunakan gadget terbaru, tas termahal, makan dan ngopi di tempat yang viewnya cocok
dipasang di Instagram atau sekedar check in di sosial media lain hanya sekedar untuk mendapatkan
perhatian dan penilaian sederhana, “Duh, jalan-jalan mulu nih” atau “Waah, keren banget sih
tempatnya”. Atau bahkan sekedar untuk menginisiasi pandangan pribadi, “Saya eksis lho!”. Sepertinya,
dengan biaya semahal itu, tentu saya tidak berniat mencobanya.

Yang klise adalah mereka tidak sepenuhnya tak sadar akan hal itu. Mereka sadar bahwa mereka harus
mengeluarkan banyak uang dan rela menanggung lapar juga gengsi bahkan mereka wajib berstrategi
supaya tidak ketahuan orang lain.

Hal ini meninggalkan pertanyaan untuk saya. Mengapa sejak awal para anak muda kantoran yang hanya
sekedar ikut-ikutan trend atau memang berniat sekali mendapatkan promosi jabatan tidak membuat
suatu karya saja yang tidak hanya membuat dirinya lebih fungsional, fair dalam mendapat prestise status
sosial di tempat kerja dan juga sebagai pembuktian kepada diri sendiri juga di mata publik bahwa
memang dirinya benar-benar seorang pekerja yang berkualitas dan berkompetensi tinggi?
Tanpa sadar, gaya hidup anak muda kaum urban yang seringkali mengimitasi gaya hidup kelas atas tidak
hanya membuat sebuah struktur yang mendorong individu untuk keluar dari dirinya sendiri,
menjauhinya dan kemudian memaksa mencarinya sendiri dari sudut pandang orang lain tetapi juga
menggadaikan dan mengikis realitas kebenaran akan dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai