Anda di halaman 1dari 9

Paradigma konseptual Islam terhadap

MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI


Oleh : Fadilla Widianto

Abstract;

Perkembangan teknologi informasi mengalami kemajauan sangat pesat. Kemajuan tersebut


telah mengantarkan umat manusia semakin mudah untuk berhubungan satu dengan lainnya.
Berbagai infomasi dan peristiwa yang terjadi dibelahan dunia dengan secara cepat dapat
diketahui oleh manusia pada benua yang lain. Era globalisasi yang ditandai oleh semakin
majunya teknologi komunikasi juga disebut dengan era informasi. Revolusi informasi, pada
abad sekarang sepertinya sedang dijajakan sebagai suatu rahmat sekaligus sebagai ”great test
case”bagi khalayak manusia di altar kehidupan ini. Bukan hal yang”rahasia” lagi, jika secara
telanjang kita senantiasa menyaksikan penjajahan yang agresif dengan memakai fasilitas
teknologi canggih dan mutakhir saat ini, baik itu melalui komputer, internet, televisi, dan surat
kabar. Ditampilkan begitu mewah dan menarik, tetapi sisi lain menghadirkan eksploitasi yang
destruktif bagi kejernihan ranah afeksi, kognisi dan psimotorik manusia.Teknologi informasi
yang hampir mengalami titik kulminasi, saat ini tidak dapat dibendung lagi telah mengubah
dinamika kehidupan manusia secara revolusioner.”The Change of Social” yang disebabkan
oleh perangkat teknologi informasi, telah mampu menggusur sosio-kultural yang ada dan
hidup di masyarakat sebelumnya.
PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi informasi mengalami kemajauan sangat pesat. Kemajuan


tersebut telah mengantarkan umat manusia semakin mudah untuk berhubungan satu dengan
lainnya. Berbagai infomasi dan peristiwa yang terjadi dibelahan dunia dengan secara cepat
dapat diketahui oleh manusia pada benua yang lain. Era globalisasi yang ditandai oleh
semakin majunya teknologi komunikasi1 juga disebut dengan era informasi
Alfin Tofler melihat sejarah peradaban manusia sejauh ini dapat dibagi dalam tiga
gelombang. Gelombang pertama ditandai oleh penemuan pertanian, gelombang kedua
ditandai oleh revolusi industri, sedangkan gelombang ketiga yang kini sedang memunculkan
diri terutama ditandai oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era teknologi
tinggi. Berbagai ahli mencoba menggambarkan peradaban baru ini dengan berbagai istilah
atau konsep seperti era angkasa, era informasi, era elektronik dan entah apalagi.
Dinamika sistem kehidupan intemasional dalam abad 21 ini berjalan sangat cepat dan
semakin cepat, kompleks, serta simultan. Seringkali dinamika itu mengejutkan karena terjadi
di luar dugaan atau perhitungan akal. Karakteristik dinamika kehidupan masyarakat dunia
abad ke- 21 yang juga sering disebut masyarakat informasi sebagai pengganti masyarakat
industri yang telah berakhir pada tahun 1989 bersamaan dengan runtuhnya tembok Berlin
yang kemudian menjadi simbol dunia tanpa batas.
Dengan semakin meluasnya arus infromasi ke seluruh dunia, globalisasi informasi dan
media massa pun menciptakan keseragaman pemberitaan maupun preferensi liputan. Pada
akhimya, sistem media masing-masing negara cenderung dalam hal menentukan kejadian
yang dipandang penting untuk diliput. Peristiwa yang terj adi disuatu negara, akan segera
mempengaruhi perkembangan masyarakat di negara lain. Atau dengan kata lain, menurut
istilah John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatrend 2000 (1991), dunia kini
telah menjadi “global village”
Kemajuan teknologi yang rumit pada abad ini adalah jelmaan aktivitas intelektual
manusia yang sudah maju. Kegiatan intelektual manusia telah memacu peningkatan ilmu
pengetahuan baik dalam sistem maupun dalam metodenya. Semangat ini telah menghasilkan
perkembangan drastis sistem ilmu dan teknologi industri.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang dibarengi terbukanya wawasan dan pola pikir baru
memiliki dampak psikologis mendalam terhadap kehidupan umat manusia. Manusia yang
hidup di era modem dan kemajuan pengetahuan dituntut untuk berpikir universal. Namun
pada saat yang sama dia akan tetap terikat batas-batas weltanschauung yang dibentuk oleh
faktor sejarah, geografi, bahasa, agama dan kultur yang bersifat partikular, primordial dan
tradisional.
Dalam kegiatan keilmuan, seseorang dituntut untuk memiliki asumsi dasar yang jelas,
yang dibangun di atas dasar pemikiran yang sistematis-metodologis. Tanpa asumsi dasar yang
kokoh, maka analisis pemecahan persoalan yang hendak ditawarkan tidaklah akan tajam dan
sulit mengarah pada titik fokus tujuan yang dicapai.
Kedatangan Islam diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang
sejahtera lahir dan batin, sebab dalam ajaran-ajarannya terdapat petunjuk tentang
bagaimana seharusnya manusia menyikapi kehidupan ini. Sebagai agama yang ingin
mensejahterakan umat manusia, maka ajaran-ajaran Islam bersumber dari al-Qur'an dan
Hadits senantiasa berorientasi terhadap kehidupan yang dinamis, menghargai akal pikiran,
seimbang dalam memenuhi kebutuhan spiritual dan material, mengembangkan kehidupan
sosial, kemitraan, anti feodalistik, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia bahkan
sampai pada kecintaan kepada kebersihan
Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah agama yang bukan hanya memiliki satu
aspek saja, akan tetapi Islam memiliki banyak aspek, seperti aspek teologi, aspek ibadah,
aspek moral, aspek mistisisme, aspek politik, aspek sejarah dan lainlain.
Berangkat dari asumsi di atas, gejala umum yang dapat dirasakan atau dilihat dewasa
ini khususnya dalam kaitannya dengan kehidupan beragama adalah banyaknya ilmuan
berdomisili di kota-kota besar yang menyadari benar bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
tidak mampu menyelesaikan segala problem kehidupan manusia. Karena IPTEK tidak mampu
memberikan ketenangan batin kepada mereka terasa ada sesuatu"yang kurang pas" atau
"hilang" dari diri mereka. Mereka pun berusaha menemukan yang "hilang" itu melalui
beberapa cara antara lain dengan mencarinya pada ajaran spiritual keagamaan. Semaraknya
kehidupan keagamaan di kota-kota besar setelah sebelumnya memudar yang dihuni oleh
lapisan atas baik dari segi ekonomi maupun pengetahuan merupakan salah satu indikator
tentang betapa besarnya kesadaran akan kehilangan tersebut.
Mencipta penyuluhan berbasis nilai agama dan moral

Tentu sebagai manusia yang dinamis, tidak harus menjadi pesimis. Akan tetapi sebagai
manusia yang dikuasai akal tetap harus dipandang sebagai anugerah dari Tuhan sebab
teknologi tidak lain merupakan produk akal manusia. Artinya akal adalah anugerah bagi
manusia yang diberikan oleh Allah Swt, maka setiap produk akal merupakan turunan dari
anugerah Allah Swt tersebut. Yang kita perlukan adalah kesiapan mental untuk menghadapi
efek domino kemajuan teknologi dan sekaligus memfungsikannya sesuai dengan aturan-
aturan dari Maha Yang Pemberi Anugerah. Lebih khusus, bagi pengiat bimbingan dan
konseling Islam, kondisi di atas merupakan tantangan untuk melakukan diversifikasi dan
inovasi dalam melakukan layanan konseling yang sesuai dengan peta perkembangan zaman
saat ini.

Dimanika yang keluar dari teknologi informasi di atas, seorang muslim harus bertahan
menempatkan nash Al-quran dan As-sunnah sebagai sesuatu yang mutlak benar. Ia adalah
sumber nilai dan rujukan kaum muslimin sepanjang sejarah. Akan tetapi setiap pemahaman
tentang nash itu tidak semua bersifat statis adanya. Pemahaman itu bisa jadi sangat bersifat
temporal dan lokal. Dahulu para mujtahidin berijtihad untuk menjawab tantangan zaman. Kali
inipun kaum muslimin ditantang untuk memberikan jawaban pada tantangan-tantangan era
informasi. Konsep dinamisme dalam Islam sebenarnya dapat membimbing kepada kaum
muslimin bahwa di era informasi, yang diperlukan adalah interpretasi ajaran yang
berorientasi ke masa depan. Artinya Islam harus dipandang sebagai ideologi yang
mengarahkan perencanaan sosial. Interpretasi Islam yang mempertahankan status quo akan
rentan menghadapi dunia yang berubah dengan cepat. Oleh karena itu, interpretasi Islam di
era informasi adalah interpretasi yang revolusioner, yang tidak senang dengan stagnasi, tetapi
yang kreatif melakukan terobosan-terobosan.

Salah satu implikasi distorsi era high technology informasi adalah munculnya anomie
determinasi pada diri manusia yang hidup saat ini. Mereka seakan tidak ada lagi yang dapat
dipercaya, kecuali kecanggihan teknologi. Oleh karena itu,wajar jika manusia pada abad ini
banyak yang terbelenggu dalam sekat distrosi. Apapun yang disajikannya, semuanya
dikonsumsinya, tidak perduli dapat merusak kediriannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Dalam konteks ini, dinyakini al-quran dapat membimbing manusia untuk melakukan
terobosan-terobosan kreatif dalam upaya membebaskan diri dari setiap belenggu taqlid
globalisasi teknologi informasi. Tentu, hal ini harus dipadukan dengan menggunakan
kebebasan berpikir yang sesuai prinsip-prinsip pengetahuan yang benar (Al-Taharrur min
quyud al-’urf wa al-Takholus ’an Aghlal al-Taqlid). Dengan pasti, Al-quran telah memberi
tuntunan kepada manusia agar dalam melakukan terobosan kreatif harus memadukan antara
ketajaman indra (al-khawas al-marhaqah), analisis penalaran yang sistematis (al-aql al-bahis
al-mandlam), dan kejernihan nurani yang terilhami (al-wijdan-naqy al-mudlam). Tujuannya
agar terobosan-terobosan cerdas tersebut tidak melampaui batas (’Adam tajawuz al-had) dan
terjebak ke dalam tindakan menentang kebenaran (’Adam al-’inad). Akan tetapi sebaliknya,
harus menjauhkan manusia dari setiap tipu daya (al-Bu’d an al-gurur) yang datang dari bias
globalisasi informasi dalam wujud kehamilan hawa nafsu yang melahirkan bayi-bayi
fatamorgana, halusinasi, fantasi, imajinasi dan kepalsuan artifisial.

Wujud-wujud kehamilan dari trend era informasi ini telah melahirkan bayi-bayi distorsi yang
beimplikasi negatif bagi kehidupan manusia, semisal tradisi yang keliru (Ta’tsir al-’adah) dan
kecenderungan mengikuti hawa nafsu (al maiwulu wa al-syahwah). Dalam memandang
semua implikasi ini, sebagai kaum muslimin tidak harus melihat terlalu pesimis tetapi harus
melihat secara optimis dengan menggunakan sudut pandang kearifan eksperimental. Artinya,
teknologi informasi sebagai produk sains harus diambil, kemudian dieksperimentasi dengan
mengaitkannya ke dalam bentuk kearifan. Artinya, pengambilan produk sains ini harus dalam
kerangka memanusiakan manusia, yang bertujuan untuk melakukan tadbir masa depan umat
dan peradaban manusia secara benar.

Akhirnya, menjadi sebuah keharusan bagi seorang muslim atau sebuah lembaga yang dikelola
oleh orang-orang yang beriman untuk membimbing manusia. Dalam konteks untuk
membangun proses belajar sepanjang hayat (lifelong learning) dan belajar sejagat hayat
(lifewide learning) sebagai bentuk imunisasi bagi memelihara determinasi eksistensi dan
ketahanan hidup manusia. Salah satunya usaha tersebut adalah wacana membangun bentuk
e-guidance & counseling [19] berbasis pendidikan agama dan moral. Usaha ini merupakan
terobosan cerdas yang harus dilakukan oleh para profesional konseling dalam memerankan
profesinya ditengah-tengah munculnya kekacauan akibat gelombang teknologi informasi
yang tak terkendali. Paling tidak, gagasan ini sebagai sebagai counter-attack terhadap
melubernya bias-bias deviasi yang lahir dari effect-domino teknologi informasi, khususnya
melalui internet.

Selintas refleksi saja dari penulis, peran konseling berbasis nilai-nilai agama dan moral di era
informasi ini merupakan wujud kepedulian profesi yang dikelola oleh orang beriman dalam
mengantisiapasi bias-bias negatif teknologi informasi. Refleksi ini berkisar tentang dua
pendekatan konseling berbasis nilai=nilai agama dan moral yang sangat mungkin untuk
dilakukan, yakni:

1) Pertama, bentuk e-guidance & counseling melalui pendekatan teknik implosif


(pembanjiran). Artinya, pelaksanaan layanan e-guidance & counseling harus
memunculkan stimulus-stimulus berkondisi secara berulang-ulang. Dalam konteks ini,
data-data yang berupa konten pelayanan konseling harus merupakan hal yang
mencerminkan makna-makna etis kehidupan, ancaman dan balasan di akhir kehidupan
atas suatu perbuatan yang menyimpang di dunia, maupun hal-hal yang berkaitan dengan
kebaikan-kebaikan hidup sesuai dengan agama dan norma sosial. Logikanya, jika materi
ini secara simultan terus didistribusikan pada pengguna jasa teknologi informasi, maka
konten layanan konseling tersebut dimungkinkan dapat menjadi stimulus yang dapat
menghilangkan daya pengguna jasa teknologi informasi untuk menghindari tampilan-
tampilan yang menyebabkan lahirnya perilaku anomie atau neourotik. Teknik implosif ini,
pada akhirnya dimungkinkan dapat mereduksi maupun menghapus setiap motivasi
pengguna jasa teknologi informasi untuk membuka situs atau program yang
menampilkan sajian-sajian yang menyimpang dari batas-batas moralitas agama dan
kemanusiaan sejati. Secara teoritik, teknik implosif ini bertujuan untuk mengarahkan
konseli pengguna jasa teknologi informasi untuk menatap secara jernih atas mimpi-
mimpi buruk yang akan dialaminya di kemudian hari (baca hari akhir/kiamat).

2) Kedua, bentuk e-guidance & counseling melalui pendekatan teknik desensitisasi sistemik.
Pendekatan ini merupakan salah satu teknik untuk menghapus tingkah laku deviasi
dengan memunculkan respons yang berlawanan. Artinya, dalam teknik ini konten-konten
dalam layanan konseling yang harus didistribusikan terhadap pengguna jasa teknologi
informasi berupa tampilan-tampilan suatu respons yang tidak konsisten dengan
kesenangan yang didorong oleh hawa nafsu. Seperti, materi atau lakon sabar, tawadhu,
ihsan, syukur, ukhuwah, silaturahmi, menutup aurat dan lain-lain yang bersifat
konfrontatif dengan sajian-sajian berkonotasi kesombongan, takabur, pamer aurat,
ingkar, individualis dan sebagainya.

Kedua pendekatan di atas, dalam bentuk layanan e-guidance & counseling merupakan
langkah melakukan initiating interventions. Artinya pengiat profesi konseling berbasis
nilai-nilai agama dan moral harus mampu menerobos masuk pada situs-situs atau
program-program siaran yang terdapat dalam teknologi informasi yang selalu
menampilkan hal-hal yang bersifat a-normatif—yang sering digunakan pengguna jasa
teknologi informasi—kemudian melakukan intervensi untuk mendistorsi tampilan-
tampilan a-normatif tersebut dengan ajaran-ajaran agama maupun norma-norma sosial.

Pendekatan-pendekatan bentuk e-guidance & counseling ini, tidak lain untuk menampilkan
dalam setiap media informasi mengenai prinsip-prinsip etis penyampaian dan pengunaan
informasi berdasarkan ajaran agama dan norma sosial yang benar. Dalam perspektif agama,
dua pendekatan di atas di harapkan berpegang pada prinsip pengunaan informasi qaulan
syadidan, qaulan balighan, qaulan maysuran, qaulan layyinan, qaulan kariman, dan qaulan
ma’rufan.

Misalnya dalam konteks qaulan syadidan, isi pesan informasi bermakna jujur dan benar. Jika
makna ini dilakukan secara implosif dan disentisasi sistemik maka praktik-praktik penyiaran
informasi yang bersifat ghibah, fitnah dan manipulasi dapat direduksi sebaran distorsinya
pada dataran realitas. Pada prinsip qaulan ma’rufan, nilai-nilai kebaikan dan kesalehan harus
diinternalisir secara simultan dan kontinyu dalam setiap tampilan teknologi informasi
sehingga mampu mengkonfrontasi pertunjukkan atau seruan qaulan munkaran. Begitupun,
dalam muatan qaulan balighan, pesan-pesan informasi yang harus diinternalisir merupakan
sesuatu yang dapat menyentuh kalbu khalayak pengguna jasa teknologi informasi untuk
memilih orientasi mengembalikan jiwanya kepada kebenaran sejati. Hal ini dimungkinkan
dapat menstimulir konseli pengguna jasa teknologi informasi untuk menghindari situs dan
program siaran yang dapat menjauhkan diri dari kebenaran sejati tersebut.
Penutup

Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai
berikut: Pertama,Dengan semakin meluasnya arus informasi ke seluruh dunia, globalisasi
informasi dan media massa pun menciptakan keseragaman pemberitaan maupun preferensi
liputan. Pada akhimya, sistem media masing-masing negara cenderung dalam hal
menentukan kejadian yang dipandang penting untuk diliput. Kedua, Dalam diskursus
keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa agama mempunyai banyak dimensi dan bukan
lagi seperti orang dahulu memahaminya yakni hanya bpersoalan ketuhanan, kepercayaan,
keimanan, dan seterusnya, tetapi lebih dari itu semuanya. Mulai pada persoalan ekonomi,
politik, IPTEK, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian dan seterusnya. Ketiga, Jelas kiranya
bahwa suatu informasi atau pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan akan
komunikatif apabila terjadi proses psikologis yang sama antara insan-insan yang terlibat
dalam proses tersebut. Dengan perkataan lain, informasi yang disampaikan komunikator
kepada komunikan adalah situasi komunikatif seperti itu akan terjadi bila terdapat etos pada
diri komunikator.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativitas dan Historita, cet. II; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999.
Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Alfin, Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional, karta: UI-Press 1986.
Amir,Mafri. Etika Komunikasi Masa Dalam Pandangan Islam, Cet. II; Jakarta: Logos,
1999.

Effendi, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek Cet. XII; Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya Offset, 1999.
Effendi, Onong Uchjana. Komunikasi Teori dan Praktek, Cet. XVI; Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002.

Anda mungkin juga menyukai