Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

STEVENS-JOHNSON SYNDROME

Disusun oleh:
Naura Dhia Fadyla
G99162024

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stevens-Johnson syndrome, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah
reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini
mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping
ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxic
epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai
eritema multiforme (EM).7
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian
umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat dapat sampai
mengakibatkan kesadarannya menurun, penderita dapat soporus koma sampai
koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berupa demam
tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.8
Stevens-Johnson syndrome ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A.
M. steven dan S.C johnson, 1992 Stevens-Johnson syndrome yang bisa
disingkat SJS merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.5,7,8
Angka kejadian Stevens-Johnson syndrome sebenarnya tidak tinggi hanya
sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Syndrom Steven Sohnson dapat timbul
sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan
kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan
tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, lepuh pada mulut, mata, anus,
dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti koreng pada kulit. Namun
pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS angka
kejadiannya dapat meningkat secara tajam.7
Rasio perbandingan berdasarkan jenis kelamin pria : wanita menderita
Stevens-Johnson syndrome adalah 2 : 1. Pasien yang menderita Stevens-
Johnson syndrome terutama ditemukan pada dekade ke empat, walaupun
pada beberapa kasus ditemukan pada anak-anak usia 3 bulan. Di beberapa
negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong
penyebab paling sering untuk terjadinya Stevens-Johnson syndrome adalah
allopurinol.7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit,
selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari
ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura.1
B. SINONIM
Ektodermosis erosif pluriorifisialis, sindroma de Friesingger Rendu,
sindroma mukokutanea-okular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema
multiforme mayor, dermatostomatitis, dan eritema bulosa maligna.1
C. EPIDEMIOLOGI
Insiden SJS dan nekrolisis epidermal toksik (NET) diperkirakan 2-3%
per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya
terdapat pada dewasa. Angka insidensi SJS dan NET diduga mengalami
peningkatan akibat melonjaknya jumlah penyakit tertentu, misalnya AIDS. 1,2
Di RS Cipto Mangunkusumo – Universitas Indonesia setiap tahun
didapatkan kira-kira 12 pasien, umumnya juga terjadi pada dewasa. Hal
tersebut berhubungan dengan kausa SJS yang biasanya disebabkan oleh alergi
obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti pada
usia lanjut. 1
D. ETIOLOGI
Etiologi yang pasti masih belum diketahui. Salah satu penyebabnya ialah
alergi obat secara sistemik. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit
graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.
Eksposure terhadap obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas
merupakan penyebab tersering dari SJS. Pada banyak kasus, allopurinol
merupakan penyebab SJS paling umum di Eropa dan Israel, dimana penderita
mendapatkan dosis harian minimal 200 mg. Pada suatu studi kasus terhadap
pasien SJS di Perancis, Jerman, Itali, dan Portugal didapatkan beberapa obat
yang memiliki resiko SJS lebih tinggi dibanding obat lain bila digunakan
dalam periode singkat, secara berurutan dari yang paling beresiko yakni
trimetoprim-sulfamethoxazole dan antibiotik golongan sulfonamid,
aminopenicillin, cephalosporin, quinolon, dan chlormezanone. Sedangkan
untuk obat yang dikonsumsi dalam jangka panjang adalah carbamazepin,
fenitoin, fenobarbital, asam valproat, NSAID golongan oxicam, alopurinol, dan
kortikosteroid. Namun meski obat-obatan di atas tergolong sebagai resiko
tinggi dibanding obat lain, kasus yang terjadi hanya 5 kasus atau kurang dari
satu juta pengguna obat-obatan tersebut setiap minggunya.
Resiko tertinggi induksi SJS terjadi pada 2 bulan pertama penggunaan
obat-obatan tersebut, seperti yang dibuktikan oleh Mockenhaupt et al pada
penelitiannya, menunjukkan bahwa hampir seluruh kasus SJS dan NET terjadi
dalam kurun waktu 63 hari. Dalam penelitian lain ditunjukkan bahwa
penggunaan glukokortikosteroid jangka panjang untuk beragam penyakit tidak
merubah insidensi SJS dan NET, akan tetapi glukokortikoid dapat
memperpanjang interval waktu dari intake obat hingga muncul onset SJS/NET.
Selain itu penyebab bisa berupa infeksi baik infeksi karena virus (HSV,
AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, mumps, LGV, ricketsia,
variola, virus Epstein-Barr, enterovirus), bakteri (streptokokus grup A, difteri,
brucellosis, mikobakteri, mycoplasma pneumoniae, tularemia, tifoid), jamur
(Koksidioidomikosis, dermatofitosis, histoplasmosis), maupun protozoa
(malaria, trikomoniasis). Angka kejadian SJS pada penderita AIDS dapat
mencapai 1000 kali lipat kejadian pada penderita tanpa AIDS. Pada AIDS,
hanya 10 dari 50 pasien yang dapat ditentukan diakibatkan oleh obat,
sementara sisanya masih belum diketahui. Pada beberapa sumber disebutkan
infeksi Mycoplasma pneumoniae dapat menyebabkan terjadinya SJS atau TEN
tanpa disertai paparan obat. Selain itu disebutkan juga bahwa HSV (Herpes
Simplex Virus) dapat menyebabkan SJS utamanya pada anak-anak. 2
Penyebab yang lain adalah paska vaksinasi, radiasi, neoplasma,
kehamilan dan makanan.1, 2
Tabel 1 Daftar obat dengan resiko terjadi SJS

E. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESA


Sindrom stevens-johnson merupakan gangguan hipersensitivitas yang
diperantarai komplek imun dan menunjukkan gejala eritema multiforme yang
parah. Beberapa teori diajukan untuk memudahkan penanganan, akan tetapi
tidak ada yang dapat menjelaskan patofisiologi dan patogenesis sindrom ini
secara memuaskan.1,2,3,4
1. Teori hipersensitivitas III dan IV
Diduga sindrom ini diakibatkan adanya reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikro-presipitasi sehingga terjadi aktivasi system komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim
dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV
terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan
antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
radang.3
2. Teori apoptosis dari keratinosit
Apoptosis dari keratinosit adalah kejadian yang sangat jarang pada
epidermis normal, namun pada sindrom stevens-johnson kejadian ini
sangat meningkat. Patogenesis dari SJS belum dapat dijelaskan
sepenuhnya, akan tetapi hingga kini dipercaya penyakit ini merupakan
penyakit akibat sistem imun, karena terbukti paparan ulang individu
tertentu dengan obat yang sama dapat menginduksi rekurensi terjadinya
SJS ataupun TEN.
Histopatologi dari lesi pada SJS menunjukkan bahwa terjadi proses
apoptosis yang diikuti oleh nekrosis pada bagian yang mengalami
epidermolisis. Penemuan klinis, histopatologis dan imunologi
memperlihatkan suatu reaksi hipersensitivitas terhadap obat spesifik
dimana sel limfosit T sitotoksik (CTL/cytotoxic T lymphocytes)
memainkan peranan penting di fase inisiasi. Hal ini dibuktikan dengan
adanya sel limfosit T CD8+ di dalam cairan bula pada fase awal SJS. Sel-
sel ini mengekspresikan antigen leukosit kutaneus (CLA/cutaneus
leukocyte antigen) sehingga menyebabkan muncul gambaran lesi khas
pada kulit. Infiltrasi sel-sel imun termasuk CTL pada kulit pasien dengan
SJS maupun NET menuntun dilakukannya penelitian untuk mencari
protein sitotoksik atau sitokin yang berfungsi sebagai amplifier proses
apoptosis keratinosit. Hingga saat ini, hasil penelitian menunjukkan bukti
adanya suatu molekul sitotoksik yang disebut FasL yang bertanggung
jawab atas terjadinya proses apoptosis keratinosit difus pada SJS dan NET.
Efek FasL sebagai molekul penginduksi terjadinya kematian sel keratinosit
ini diperkuat lebih jauh oleh interferon gamma, suatu sitokin yang
didapatkan pada kulit penderita SJS dan NET. Cara kerja FasL dalam
menyebabkan SJS masih belum dimengerti, akan tetapi jelas didapatkan
bahwa kadar FasL meningkat seiring dengan meningkatnya presentase
epidermolisis yang terjadi pada pasien SJS. Analisis genetik pada cairan
bula juga mengidentifikasi granulisin, suatu protein sitolitik kation yang
disekresi oleh CTL dan sel NK sebagai molekul kunci yang bertanggung
jawab terhadap induksi kematian pada keratinosit. Pada suatu penelitian
didapatkan gambaran menyerupai SJS dan NET pada tikus yang disuntik
dengan rekombinan granulisin secara intradermal. Tinggi rendahnya kadar
granulisin ini juga menentukan seberapa luas dan parahnya bula yang
terbentuk, mengindikasikan pentingnya peran granulisin dalam
patofisiologi SJS dan NET.
Akan tetapi hingga saat ini masih tidak dapat dipahami sepenuhnya
apa yang menyebabkan meningkatnya regulasi FasL pada keratinosit, dan
bagaimana sistem imun termasuk sel T yang ditemukan di dalam cairan
bula terlibat di dalam proses regulasi penyakit ini. FasL dan granulisin
hingga kini dipercaya merupakan mediator utama yang menyebabkan
terjadinya SJS dan NET, namun masih diteliti bagaimana suatu obat
spesifik dapat menyebabkan terjadinya regulasi kedua molekul tersebut
dan menyebabkan reaksi SJS maupun NET. 2
3. Teori cacat metabolisme terkait dengan genetik
Pasien dengan fungsi metabolisme lintas pertama yang tidak sempurna
akibat adanya defek genetik yang mendasari, mempunyai kinerja
biotransformasi metabolisme yang tidak sempurna sehingga mungkin
menghasilkan metabolit yang bersifat toksik. Ketidakmampuan tubuh
untuk memetabolisme dan mengekskresi bahan toksik dari obat juga
menyebabkan terbentuknya hapten yang menginduksi reaksi
hipersensitivitas pada SJS. 4
F. GEJALA KLINIS
Keadaan umum pasien SJS bervariasi dari ringan sampai berat. Pada
yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma.
Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini dikenal adanya trias kelainan berupa :1
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat
terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
Gambar 1.1 Tampak eritema multipel di seluruh tubuh.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Tersering pada mukosa mulut, kemudian disusul oleh kelainan di lubang
alat genital, sedangkan di lubang hidung dan anus jarang. Kelainan berupa
vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi
dan krusta kehitaman. Juga dapat berbentuk pseudomembran. Di bibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.

Gambar 2 Ekskoriasi dan krusta pada bibir

Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius


bagian atas, dan esofagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar atau
tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan
keluhan sukar bernapas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata terjadi pada 80% kasus, yang tersering adalah konjungtivitis
kataralis. Selain itu dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan,
simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.

Gambar 3 Makula eritematous di regio facialis disertai konjungtiva


hiperemi pada mata

Berdasarkan tahapan terjadinya gejala, sindroma steven johnson dapat


dibagi menjadi 2 fase: 2
1. Fase Akut
Gejala inisial dari SJS maupun NET umumnya tidak spesifik dan dapat
meliputi gejala prodromal seperti demam, mata nyeri, dan rasa tidak
nyaman saat menelan. Gejala-gejala ini muncul beberapa hari sebelum
gejala pada kulit muncul. Gejala di kulit muncul pertama kali pada regio
presternal dan wajah, dilanjutkan pada telapak tangan dan kaki. Munculnya
eritema dan erosi pada regio buccal, genital, dan okular terjadi pada lebih
dari 90% pasien, dan pada beberapa kasus juga melibatkan traktus
respiratorius dan gastrointestinal.
Keterlibatan mata dapat berupa konjungtivitis, edema palpebra, eritema,
okular discharge, dan erosi kornea maupun terbentuknya pseudomembran
pada konjungtiva. Akan tetapi tingkat keparahan lesi pada mata ini tidak
menentukan prognosis dan komplikasi akhir dari SJS.
Lesi kulit yang muncul pada fase pertama berupa eritema dan makula.
Pada fase kedua akan terjadi epidermal detachment yang menyebabkan
tampak gambaran kulit terkelupas. Apabila gambaran epidermal detachment
ini luas (>30%) maka diagnosisnya menjadi NET. Nikolsky sign dapat
positif baik pada SJS maupun NET, tapi merupakan tes yang tidak spesifik
untuk diagnosis. Luasnya lesi pada kulit ini merupakan penentu prognosis
dari penyakit ini.
2. Fase Akhir dan Sekuele
Sekuele merupakan tanda dari fase akhir SJS maupun NET. Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Magina et al, gejala sekuele meliputi hiper atau
hipopigmentasi kulit (62.5%), distrofi kuku (37.5%), dan komplikasi okular
antara lain mata kering, trichiasis, symblefaron, hingga kehilangan
penglihatan permanen.

G. DIAGNOSA
Diagnosa pasti ditegakkan dengan didapatkannya kumpulan gejala-gejala
khas (trias kelainan : kulit, mukosa sekitar orifisium, dan mata) yang bersifat
akut.1
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, jika terdapat leukositosis
penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial. Apabila terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena
infeksi dapat dilakukan kultur darah. Adanya leukositosis tinggi dapat
menunjukkan sepsis pada penderita sehingga diperlukan intervensi antibiotik
yang tepat dan radikal.
Pada pemeriksaan histopatologik, didapatkan gambaran bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh.
Kelainan berupa: 1
1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial.
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

H. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis SJS tidak sulit karena gambaran klinisnya khas yakni
terdapat trias kelainan seperti yang telah disebutkan. Karena NET dianggap
sebagai bentuk parah dari SJS, maka hendaknya dicari apakah terdapat
epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, sehingga dapat diperiksa
punggungnya. Apabila terdapat epidermolisis generalisata maka diagnosisnya
menjadi NET. Pada NET keadaan umum penderita juga lebih buruk dibanding
pada SJS. 1
Perbandingan SJS dan NET dapat dilihat pada tabel 1.1 dan Gambar 1.4.

Gambaran Klinis SJS SJS-NET Overlap NET


Lesi primer Makula eritematous Makula eritematous Plak eritematous
Sel target atipik Sel target atipik berbatas tidak jelas
Sel target atipik
Distribusi Lesi fokal Lesi fokal Lesi fokal jarang
Konfluensi (+) pada Konfluensi (++) Konfluensi (+++)
wajah dan badan pada wajah dan pada wajah, badan,
badan dan di tempat lain
Keterlibatan + + +
mukosa
Gejala sistemik ± + ++
Epidermolisis <10% 10%-30% >30%
(body surface area)
Tabel 2 Gejala klinis yang membedakan SJS, SJS-NET overlap, dan NET. 2
Gambar 4 Gambar skematis yang melukiskan epidermolisis pada SJS, SJS-
NET overlap, dan NET 2
Diagnosis banding lain dari SJS antara lain adalah Pemfigus Vulgaris,
yang merupakan penyakit autoimun berbula kronis dengan gambaran bula dan
krusta yang juga menyerang mukosa. Pada umumnya kondisi penderita buruk
bila terserang penyakit ini. 1
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) juga merupakan
diagnosis banding dari SJS. Dulu penyakit ini dimasukkan ke dalam NET
(Nekrolisis Epidermal Toksik) karena gambaran bula dan epidermolisis yang
mirip, akan tetapi setelah diketahui penyebabnya adalah Staphylococcus dan
sindrom ini tidak menyerang mukosa, SSSS dikeluarkan dari klasifikasi NET.
Penyakit ini umumnya menyerang anak usia kurang dari 5 tahun karena belum
matangnya fungsi ekskresi ginjal untuk mengeluarkan eksotosin dari
Staphylococcus. 1
Eritema multiformis dapat menjadi salah satu diagnosis banding dari SJS,
akan tetapi epidermolisis pada EM hanya terjadi kurang dari 1%, tidak ada
keterlibatan mukosa, tempat predileksinya pada akral, dan kondisi umum
pasien baik. 1
IX. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan pada penderita SJS adalah menghentikan
pemberian obat yang disangka sebagai kausanya, termasuk jamu dan zat-zat
aditif lainnya. Jika keadaan umum pasien SJS baik dan lesi tidak menyeluruh,
cukup diobati dengan prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya
buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat, dan pasien
harus dirawat-inap. Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-
saving, dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam
beberapa hari. 1
Contoh pemberian kortikosteroid sebagai berikut, bila seorang pasien SJS
menderita keluhan yang sangat berat harus segera dirawat-inap dan diberikan
deksametason 6 x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa
krisis telah terlewati, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan
lesi lama tampak mengalami involusi. Setelah kondisi membaik, dosisnya
segera diturunkan, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis akhir mencapai 5
mg sehari, dapat diganti tablet kortikosteroid (prednison) dengan dosis 20 mg
sehari, besoknya diturunkan lagi menjadi 10 mg sehari, baru kemudian
penggunaan obat dihentikan. Dengan cara ini lama pengobatan pasien SJS
umumnya membutuhkan waktu kira-kira 10 hari. 1

Nama obat Prednison (Deltasone)


Cara Kerja Menurunkan inflamasi dengan melawan
peningkatan permeabilitas kapiler dan menghambat
aktivitas PMN
Dosis Dewasa 5-60 mg/hari peroral dibagi dalam 2/4 dosis di
tapering off selama 2 minggu begitu gejala
membaik
Dosis Anak-anak 0,05-2 mg/kgBB peroral peroral dibagi dalam 2/4
dosis di tapering off selama 2 minggu begitu gejala
membaik
Tabel 3. Obat Kortikosteroid

Selain deksametason dapat digunakan metilprednisolon dengan dosis


setara. Kelebihan obat ini ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan
dengan deksametason karena termasuk long acting, sedangan deksametason
termasuk medium acting. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid
diberikan diet rendah garam dan tinggi protein.1
Bila tappering off yang dilakukan tidak menghasilkan perbaikan kondisi
pada pasien, dapat dipikirkan faktor lain, seperti penggunaan antibiotik yang
sedang diberikan mungkin dapat menyebabkan alergi baru, atau penyebab SJS
pada pasien tersebut adalah akibat infeksi atau penyebab lain.
Dari beberapa studi diketahui pemberian Intravenous Immunoglobulin
(IVIG) dengan dosis lebih dari 2 g/kgBB dapat meningkatkan angka harapan
hidup penderita. Setiap peningkatan dosis 1 g/kgBB dapat meningkatkan angka
harapan hidup 4.2 kali lipat lebih banyak sehingga pemberian IVIG dapat
dipertimbangkan.2
Selain penatalaksanaan reaksi alergi dengan kortikosteroid, prinsip
pengelolaan penderita sindrom stevens-johnson adalah :1
1. Penggantian cairan tubuh yang hilang; dapat diberikan Dekstrose 5% : NaCl
0,9% : RL = 1 : 1 : 1, diberikan setiap 8 jam sekali. Bila dalam 2 hari belum
ada perbaikan, dapat diberi transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut.
2. Nutrisi yang mendukung dan adekuat
3. Rawat luka; meski terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik, pada
daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk
lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle.
Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat
diberikan emolien misalnya krim urea 10%. Debridement tidak dilakukan
pada hampir seluruh kasus karena epidermis yang mati dapat berfungsi
sebagai barrier infeksi dan sebagai jaringan untuk regenerasi. 4
X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang tersering adalah bronkopneumonia. Komplikasi yang
lain adalah kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit, dan
syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan. Bila terjadi infeksi dapat menyebabkan
sepsis. 1

XI. PROGNOSA
Bila ditangani secara cepat dan tepat prognosis cukup memuaskan. Pada
keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat
menyebabkan kematian.1
Dapat digunakan nilai SCORTEN untuk menggambarkan prognosa
sindrom ini sehingga dapat diperkirakan besarnya resiko kematian.

SCORTEN
SCORTEN Prediksi mortalitas
Individual Score (jumlah individual
Parameter (%)
score)
Usia > 40 tahun Yes = 1, No = 0 0-1 3.2
Malignansi Yes = 1, No = 0 2 12.1
Takikardia Yes = 1, No = 0 3 35.8
(>120/min)
Epidermolisis Yes = 1, No = 0 4 58.3
>10%
Serum urea >10 Yes = 1, No = 0 >5 90
mmol/l
Serum glukosa >14 Yes = 1, No = 0
mmol/l
bicarbonate >20 Yes = 1, No = 0
mmol/l

Tabel 4 SCORTEN Parameter untuk menentukan prognosis dan mortalitas. 2


BAB III
ILUSTRASI KASUS

I. ANAMNESIS
A. IDENTITAS
Nama : Ny. NC
Umur : 68 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Wonogiri
No. RM : 01126xxx
B. KELUHAN UTAMA
Bercak kemerahan di seluruh tubuh yang terasa panas dan nyeri
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke IGD RS Dr Moewardi dengan keluhan bercak
kemerahan di seluruh tubuh kurang lebih 3 hari SMRS. Keluhan bercak
merah disertai rasa panas dan nyeri, tidak gatal. Keluhan dirasakan tiba –
tiba dan diawali demam. Pasien juga mengeluhkan timbul luka di mulut dan
sulit menelan, tidak dapat makan dan minum sehingga pasien merasa sangat
lemas. Pasien juga mengeluhkan mata berair, terasa pedih, keluar kotoran
dari mata dan terasa mengganjal kurang lebih 5 hari SMRS. Pasien
menceritakan bahwa pasien rutin kontrol di poli saraf RSDM sejak 1 tahun
yang lalu dengan riwayat epilepsi. Pasien mengaku mengonsumsi obat baru
Carbamazepin secara rutin sejak 2 minggu terakhir. Sejak mengonsumsi
obat tersebut, pasien mengeluhkan mulai muncul keluhan – keluhan yang
disebutkan pasien.
D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi dingin : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Keganasan : disangkal
Riwayat Epilepsi : diakui
E. RIWAYAT KELUARGA
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
Riwayang keganasan : disangkal

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
1. Keadaan umum : compos mentis, tampak sakit berat
2. Vital sign
a. Tensi : 110/70 mmHg
b. Respirasi rate : 18x/menit
c. Nadi : 78x/ menit
d. Suhu : 36.00C
3. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-),
luka (-)
4. Mata : Pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), konjuntiva pucat (-
/-), mata merah, injeksi silier (+/+)
5. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), Nyeri mastoid
(-/-)
6. Hidung : cavum nasi lapang, sekret (-/-), darah (-/-)
7. Mulut: bibir tampak kering, pecah-pecah
8. Leher : JVP R+3 cm, trakea ditengah,simetris, pembesaran kelenjar tiroid
(-), pembesaran kelenjar getah bening leher (-), leher kaku (-), distensi
vena-vena leher (-)
9. Thorax: Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri,
retraksi intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga melebar(-)
10. Jantung
 Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
 Auskultasi:Bunyi jantung I-II murni, intensitasnormal,reguler, bising (-
), gallop (-).
11. Pulmo
 Inspeksi: Normochest, simetris, pengembangan dada simetris
kanan=kiri, ketertinggalan gerak (-), retraksi (-)
 Palpasi: Pergerakan kanan= kiri, fremitus raba kanan=kiri
 Perkusi: sonor / sonor
 Auskultasi : Suara dasarvesikuler (+) normal, suara tambahan
wheezing(-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-)
12. Abdomen
 Inspeksi :Dinding perut sejajar dengan dinding thorak, ascites (-),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-),
 Auskultasi :Bising usus (+) 8 x / menit, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
 Perkusi :timpani (+)
 Palpasi :supel, distended (-),
13. Ekstremitas : edema (-), acral dingin (-)

B. Status dermatologis
- Regio Oris: Tampak Krusta hemoragik pada bagian bibir atas dan pada
bagian bawah tampak kering dengan skuama kasar pada lapisan mukosa
sekitarnya.
- Regio Generalisata: Tampak Ekimosis multipel diskret, sebagian erosi
(+), krusta (+), diaskopi (-), skin detachment < 10%
Gambar. Status dermatologis pada seluruh area tubuh

III. DIAGNOSA BANDING


a. Steven-Johnsons Syndrome
b. SJS overlap Toxic Epidermal Necrolysis
c. Eritema Multiforme

IV. USULAN PEMERIKSAAN


- Biopsi Jaringan Kulit
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium Darah
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 13.1 g/dl 12.0 – 15.6
Hct 41 % 33 – 45
AL 5.9 103 /  L 4.5 – 11.0
AT 309 103 /  L 150 – 450
AE 4.55 106/  L 4.10 – 5.10
INDEX ERITROSIT
MCV 89.0 /um 80.0-96.0
MCH 28.8 pg 28.0-33.0
MCHC 32.3 g/dl 33.0-36.0
KIMIA KLINIK
GDS 119 Mg/dl 60 – 140
SGOT 37 u/l <35
SGPT 59 u/l <45
Albumin 3.9 g/dl 3.5 – 5.2
Creatinine 0.7 Mg/dl 0.8 – 1.3
Ureum 46 Mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 139 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 3.3 mmol/L 3.3 – 5.1
Kalsium darah 1.16 mmol/L 1.17 – 1.29
HITUNG JENIS
Eosinofil 4.10 % 0.00-4.00
Basofil 0.30 % 0.00-2.00
Netrofil 60.30 % 55.00-80.00
Monosit 13.00 % 22.00-44.00
Limfosit 22.30 % 0.00-7.00
HEPATITIS
HbsAg Rapid Nonreactive Nonreactive
VI. DIAGNOSIS KERJA
Steven-Johnsons Syndrome et causa suspek Carbamazepin

VII. TERAPI
1. Perbaikan keadaan umum
a. Mengganti cairan tubuh yang hilang
Infus RL 0,9% grojog dalam 30 menit dilajutkan 20 tpm
b. Nutrisi yang adekuat
Diet 1700 kkal menggunakan nasogastric tube
Diet rendah garam tinggi protein
c. Monitoring tanda vital dan balance cairan
2. Mengatasi reaksi alergi
a. Stop obat yang dicurigai: Carbamazepin
b. Kortikosteroid sistemik
Injeksi Dexamethasone 5 mg/4 jam i.v.
3. Mengatasi keluhan yang dirasakan
a. Antibitoik topikal pada bagian luka di mulut
Kenalog in orabase emolinet 3 dd ue
b. Antibiotik dan kortikosteroid topikal pada kedua mata
Cendo polydex eye drops 6 dd gtt II ODS
c. Antibiotik topikal pada bagian kulit yang erosi
Krim sulfodiazin perak (Burnazin) 2 dd ue
Penulisan resep:

R/ Ringer laktat 0,9% infuse cc 500 fl No IV


cum infus set No I
iv cathether no 22 No I
iv 3000 No I
Three way No I
∫ imm grojog dalam 30 menit dilanjutkan 20 tpm
R/ Dexamethasone inj 5 mg NoVI
cum spuit cc 3 No VI
∫ 6 dd 5 mg
R/ Kenalog in orabase emolient 0,1% No I
∫ 3 dd ue pada luka di mulut
R/ Cendo Polydex eye drops fl No I
∫ 6 dd gtt II ODS
R/ Burnazin cream tube No I
∫ 2 dd ue pada luka di kulit
Pro: Ny. NC (68 tahun)

VIII. Keterangan Obat

A. RL infus
1. Setiap liter larutan mengandung :
- Natrium Laktat. C3H5NaO3 3,10 g
- Natrium Klorida. NaCl 6,00 g
- Kalium Klorida. KCl 0,30 g
- Kalsium Klorida. CaCl 2 .2H 2 O 0,20 g
- Air untuk Injeksi ad. 1.000 ml
2. Osmolaritas : 270 mOsm/l
3. Setara dengan ion-ion :
- Na + : 130 mEq/l
- K + : 4 mEq/l
- Laktat (HCO 3 - ) : 27,5 mEq/l
- Ca ++ : 2,7 mEq/l
- Cl : 109,5 mEq/l
4. Cara kerja obat :
- Merupakan larutan isotoni Natrium Klorida, Kalium Klorida,
Kalsium
- Klorida, dan Natrium Laktat yang komposisinya mirip dengan
cairanekstraseluler.
- Merupakan cairan pengganti pada kasus-kasus kehilangan
cairanekstraselular.
- Merupakan larutan non-koloid, mengandung ion-ion yang
terdistribusikedalam cairan intravaskuler dan interststel
(ekstravaskuler)
5. Indikasi :
Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.
6. Cara pemberian :
- Intravena
- Disesuaikan dengan kondisi penderita
7. Kontra indikasi :
Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati,asidosis laktat.
B. Dexamethasone injeksi 5 mg
1. Mekanisme Kerja
Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara
mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif
di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang
spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks
reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi,
lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin.
Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein
spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek
fisiologik steroid
Efek terapeutik glukokortikoid seperti deksametason yang
paling penting adalah kemampuannya untuk mengurangi respons
peradangan secara dramatis dan untuk menekan imunitas. Telah
diketahui bahwa penurunan dan penghambatan limfosit dan
makrofag perifer memegang peranan. Juga penghambatan
fosfolipase A2 secara tidak langsung yang menghambat pelepasan
asam arakidonat, prekursor prostaglandin dan leukotrien, dari
fosfolipid yang terikat pada membran
2. Indikasi
- Penyakit inflamasi akut
- Penyakit inflamasi pada kulit
- Penyakit inflamasi pada mata
- Penyakit rematik sendi
- Penyakit asma bronkhial
- Penyakit sistemik lupus eritematosus
- Penyakit keganasan sistem limfatik
3. Kontraindikasi
- Memiliki penyakit tuberkulosis paru aktif (TBC)
- Memiliki penyakit infeksi yang sifatnya akut
- Memiliki penyakit infeksi jamur
- Memiliki penyakit herpes mata (herpes occular)
- Memiliki penyakit tukak lambung (ulkus peptikum)
- Sedang mengalami osteoporosis atau pengeroposan rulang
- Sedang mengalami psikosis maupun psikoneurosis berat
- Sedang mendapatkan vaksin hidup
- Ibu hamil atau berencan untuk hamil.
4. Efek samping
- Gangguan pada saluran pencernaan seperti sakit perut dan mual
- Infeksi jamur oportunis
- Kebingungan dan gangguan tidur
- Peningkatan berat badan
- Kelemahan pada otot tubuh
- Menstruasi tidak lancar
- Osteoporosis
- Gangguan pada pertumbuhan
5. Dosis
- Dosis dewasa pada pengobatan menggunakan deksametason oral
adalah 0,5 mg sampai dengan 10 mg per hari
- Dosis dewasa pada pengobatan menggunakan deksametason
parenteral adalah 1 ml sampai 8 ml per hari
- Dosis anak – anak yang dianjurkan adalah 0,08 mg sampai
dengan 0,3 mg/Kg berat bedan/hari yang dibagi dalam 3 atau 4
dosis pemberian
6. Interaksi Obat
- Insulin, hipoglikemik oral : menurunkan efek hipoglikemik.
- Fenitoin, fenobarbital, dan efedrin : meningkatkan clearance
metabolik dari deksametason, menurunkan kadar steroid dalam
darah dan aktifitas fisiologis.
- Antikoagulan oral : meningkatkan atau menurunkan waktu
protrombin.
- Diuretik yang mendepresi kalium : meningkatkan risiko
hipokalemia.
- Glikosida kardiak : meningkatkan risiko aritmia atau toksisitas
digitalis sekunder terhadap hipokalemia.
- Antigen untuk tes kulit : menurunkan reaksivitas.
- Imunisasi : menurunkan respon antibodi.
C. Kenalog in orabase
1. Mekanisme Kerja
Triamsinolon asetonid gel 0,1% merupakan prepasai
kortikosteroid topikal dengan efek antiinflamasi menghambat
asam arakidonat
2. Indikasi
Terapi penunjang untuk meredakan sementara waktu gejala
yang berhubungan dengan lesi inflamasi oral dan lesi ulseratif
oral yang diakibatkan trauma
3. Kontraindikasi
Infeksi bakteri dan jamur pada mulut dan tenggrok, lesi
herpetik karena virus
4. Dosis
Oleskan pada lesi ssampai terbentuk lapisan tipis jangan
digosok. Oleskan 2-3 kali sehari setelah akan dan sebelum
tidur.
D. Cendo Polydex
1. Mekanisme Kerja
Kombinasi antibiotik dan kortikosteroid topikal untuk mata:
Dexamethasone 1 mg, Polymxin B sulfate 6000 IU, Neomycin
sulfat 3,5 mg. Neomycin merupakan antibakteri golongan
aminoglikosida yang aktif terhadap bakteri gram postif dan
negatif. Dexamethasone adalah preparat kortikosteroid sebagai
antiinflamasi lokal menghambat asam arakidonat dan
mengurangi gejala peraadangan pada mata.
2. Indikasi
Sebagai emolien/pelembut dan pengganti air mata;
lubrikan/pelicin air mata buatan; pengganti air mata pada
kekurangan air mata
3. Kontraindikasi
Hipersensitivitas
4. Dosis
1 – 2 tetes pada masing – masing mata 4-6 kali sehari
E. Burnazin Cream
1. Mekanisme Kerja
Silver sulfadiazine adalah preparat topikal antibiotik golongan
sulfonamide bersifat bakteriostatik mencegah sintesis asam
folat bakteri.
2. Indikasi
Profilaksis dan pengobatan infeksi pada luka bakar
3. Kontraindikasi
Kehamilan dan menyusui, hipersensitivitas sulfonamide,
neonatus
4. Eefek samping
Reaksi alergi, gatal, ruam
5. Dosis
Setelah membersihkan luka, oleskan krim dengan sarung
tangan steril pada permukaan yang terbakar, 1-2x/hari dengan
ketebalan 2 mm. Terapi dilanjutkan sampai dengan
penyembuhan.
BAB IV
KESIMPULAN

1. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) merupakan kelainan yang mengenai kulit,


selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari
ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura, yang terjadi akibat reaksi hipersensitivitas yang
diperantarai komplek imun
2. Gejala klinis berupa kelainan di kulit (eritema, vesikel, dan bula), kelainan
selaput lendir di orifisium (vesikel dan bula yang cepat memecah hingga
menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman), kelianan di mata
(konjungtivitis kataralis, konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron,
ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis)
3. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
4. Prinsip penatalaksanaan pada penderita SJS adalah menghentikan
pemberian obat yang disangka sebagai kausanya. Tata laksana
medikamentosa bertujuan untuk menurunkan respon imun tubuh
menggunakan obat kortikosteroid dan terapi simptomatis suportif (terapi
dehidrasi, tata laksana nyeri, tata laksana sesak napas, perawatan luka)
5. Prognosis pasein SJS dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai
SCORTEN untuk menggambarkan besarnya resiko kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim 2009. Sindrom Steven Jonhson.


http://childrenallergyclinic.wordpress.com/, 2009. Diakses pada tanggal 25
Oktober 2010.
2. Behrman R.E., Kliegman R.M., Jenson H.B., Adverse Reactions to Drugs.
NELSON TEXTBOOK OF PEDIATRICS, 17TH EDITION. United States of
America. 2004.
3. Djuanda A, Hamzah M. Sindrom Stevens-Johnson. dalam: Adhi Djuanda,
Mochtar Hamzah and Siti Aisah. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-5
cetakan ke-3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008.
4. Anonim 2009. Stevens-Johnson Syndrome.
http://doctorology.net/?p=250.Diakses pada tanggal 27 Oktober 2010
5. Klein P.A., Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis:
Treatment & Medication University Hospital, State University of New York at
Stony Brook. New York.2010.
6. Hamzah M. Eritema Multiforme. dalam: Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah and
Siti Aisah. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-5 cetakan ke-3. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008.
7. Parrilo S.J., Stevens-Johnson syndrome. Jefferson Medical College and
Philadelphia College of Osteopathic Medicine. Philadelphia. 2010.
8. Perdana H.I., Heptayana P., Kinsky M., Stevens-Johnson Syndrome.
http://www.exomedindonesia.com/referensi-kedokteran/artikel-ilmiah-
kedokteran/kulit/2010/ 10/28/steven-johnson-syndrome/, Diakses pada tanggal
25 Oktober 2010.
9. Dorland, W.A. Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta, Indonesia. 2000.Anonim 2010. Hipersensitivitas.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas.Diakses pada tanggal 01
November 2010

Anda mungkin juga menyukai