STEVENS-JOHNSON SYNDROME
Disusun oleh:
Naura Dhia Fadyla
G99162024
A. Latar Belakang
Stevens-Johnson syndrome, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah
reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini
mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping
ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxic
epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai
eritema multiforme (EM).7
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian
umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat dapat sampai
mengakibatkan kesadarannya menurun, penderita dapat soporus koma sampai
koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berupa demam
tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.8
Stevens-Johnson syndrome ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A.
M. steven dan S.C johnson, 1992 Stevens-Johnson syndrome yang bisa
disingkat SJS merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.5,7,8
Angka kejadian Stevens-Johnson syndrome sebenarnya tidak tinggi hanya
sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Syndrom Steven Sohnson dapat timbul
sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan
kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan
tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, lepuh pada mulut, mata, anus,
dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti koreng pada kulit. Namun
pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS angka
kejadiannya dapat meningkat secara tajam.7
Rasio perbandingan berdasarkan jenis kelamin pria : wanita menderita
Stevens-Johnson syndrome adalah 2 : 1. Pasien yang menderita Stevens-
Johnson syndrome terutama ditemukan pada dekade ke empat, walaupun
pada beberapa kasus ditemukan pada anak-anak usia 3 bulan. Di beberapa
negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong
penyebab paling sering untuk terjadinya Stevens-Johnson syndrome adalah
allopurinol.7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit,
selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari
ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura.1
B. SINONIM
Ektodermosis erosif pluriorifisialis, sindroma de Friesingger Rendu,
sindroma mukokutanea-okular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema
multiforme mayor, dermatostomatitis, dan eritema bulosa maligna.1
C. EPIDEMIOLOGI
Insiden SJS dan nekrolisis epidermal toksik (NET) diperkirakan 2-3%
per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya
terdapat pada dewasa. Angka insidensi SJS dan NET diduga mengalami
peningkatan akibat melonjaknya jumlah penyakit tertentu, misalnya AIDS. 1,2
Di RS Cipto Mangunkusumo – Universitas Indonesia setiap tahun
didapatkan kira-kira 12 pasien, umumnya juga terjadi pada dewasa. Hal
tersebut berhubungan dengan kausa SJS yang biasanya disebabkan oleh alergi
obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti pada
usia lanjut. 1
D. ETIOLOGI
Etiologi yang pasti masih belum diketahui. Salah satu penyebabnya ialah
alergi obat secara sistemik. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit
graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.
Eksposure terhadap obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas
merupakan penyebab tersering dari SJS. Pada banyak kasus, allopurinol
merupakan penyebab SJS paling umum di Eropa dan Israel, dimana penderita
mendapatkan dosis harian minimal 200 mg. Pada suatu studi kasus terhadap
pasien SJS di Perancis, Jerman, Itali, dan Portugal didapatkan beberapa obat
yang memiliki resiko SJS lebih tinggi dibanding obat lain bila digunakan
dalam periode singkat, secara berurutan dari yang paling beresiko yakni
trimetoprim-sulfamethoxazole dan antibiotik golongan sulfonamid,
aminopenicillin, cephalosporin, quinolon, dan chlormezanone. Sedangkan
untuk obat yang dikonsumsi dalam jangka panjang adalah carbamazepin,
fenitoin, fenobarbital, asam valproat, NSAID golongan oxicam, alopurinol, dan
kortikosteroid. Namun meski obat-obatan di atas tergolong sebagai resiko
tinggi dibanding obat lain, kasus yang terjadi hanya 5 kasus atau kurang dari
satu juta pengguna obat-obatan tersebut setiap minggunya.
Resiko tertinggi induksi SJS terjadi pada 2 bulan pertama penggunaan
obat-obatan tersebut, seperti yang dibuktikan oleh Mockenhaupt et al pada
penelitiannya, menunjukkan bahwa hampir seluruh kasus SJS dan NET terjadi
dalam kurun waktu 63 hari. Dalam penelitian lain ditunjukkan bahwa
penggunaan glukokortikosteroid jangka panjang untuk beragam penyakit tidak
merubah insidensi SJS dan NET, akan tetapi glukokortikoid dapat
memperpanjang interval waktu dari intake obat hingga muncul onset SJS/NET.
Selain itu penyebab bisa berupa infeksi baik infeksi karena virus (HSV,
AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, mumps, LGV, ricketsia,
variola, virus Epstein-Barr, enterovirus), bakteri (streptokokus grup A, difteri,
brucellosis, mikobakteri, mycoplasma pneumoniae, tularemia, tifoid), jamur
(Koksidioidomikosis, dermatofitosis, histoplasmosis), maupun protozoa
(malaria, trikomoniasis). Angka kejadian SJS pada penderita AIDS dapat
mencapai 1000 kali lipat kejadian pada penderita tanpa AIDS. Pada AIDS,
hanya 10 dari 50 pasien yang dapat ditentukan diakibatkan oleh obat,
sementara sisanya masih belum diketahui. Pada beberapa sumber disebutkan
infeksi Mycoplasma pneumoniae dapat menyebabkan terjadinya SJS atau TEN
tanpa disertai paparan obat. Selain itu disebutkan juga bahwa HSV (Herpes
Simplex Virus) dapat menyebabkan SJS utamanya pada anak-anak. 2
Penyebab yang lain adalah paska vaksinasi, radiasi, neoplasma,
kehamilan dan makanan.1, 2
Tabel 1 Daftar obat dengan resiko terjadi SJS
G. DIAGNOSA
Diagnosa pasti ditegakkan dengan didapatkannya kumpulan gejala-gejala
khas (trias kelainan : kulit, mukosa sekitar orifisium, dan mata) yang bersifat
akut.1
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, jika terdapat leukositosis
penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial. Apabila terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena
infeksi dapat dilakukan kultur darah. Adanya leukositosis tinggi dapat
menunjukkan sepsis pada penderita sehingga diperlukan intervensi antibiotik
yang tepat dan radikal.
Pada pemeriksaan histopatologik, didapatkan gambaran bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh.
Kelainan berupa: 1
1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial.
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
H. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis SJS tidak sulit karena gambaran klinisnya khas yakni
terdapat trias kelainan seperti yang telah disebutkan. Karena NET dianggap
sebagai bentuk parah dari SJS, maka hendaknya dicari apakah terdapat
epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, sehingga dapat diperiksa
punggungnya. Apabila terdapat epidermolisis generalisata maka diagnosisnya
menjadi NET. Pada NET keadaan umum penderita juga lebih buruk dibanding
pada SJS. 1
Perbandingan SJS dan NET dapat dilihat pada tabel 1.1 dan Gambar 1.4.
XI. PROGNOSA
Bila ditangani secara cepat dan tepat prognosis cukup memuaskan. Pada
keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat
menyebabkan kematian.1
Dapat digunakan nilai SCORTEN untuk menggambarkan prognosa
sindrom ini sehingga dapat diperkirakan besarnya resiko kematian.
SCORTEN
SCORTEN Prediksi mortalitas
Individual Score (jumlah individual
Parameter (%)
score)
Usia > 40 tahun Yes = 1, No = 0 0-1 3.2
Malignansi Yes = 1, No = 0 2 12.1
Takikardia Yes = 1, No = 0 3 35.8
(>120/min)
Epidermolisis Yes = 1, No = 0 4 58.3
>10%
Serum urea >10 Yes = 1, No = 0 >5 90
mmol/l
Serum glukosa >14 Yes = 1, No = 0
mmol/l
bicarbonate >20 Yes = 1, No = 0
mmol/l
I. ANAMNESIS
A. IDENTITAS
Nama : Ny. NC
Umur : 68 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Wonogiri
No. RM : 01126xxx
B. KELUHAN UTAMA
Bercak kemerahan di seluruh tubuh yang terasa panas dan nyeri
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke IGD RS Dr Moewardi dengan keluhan bercak
kemerahan di seluruh tubuh kurang lebih 3 hari SMRS. Keluhan bercak
merah disertai rasa panas dan nyeri, tidak gatal. Keluhan dirasakan tiba –
tiba dan diawali demam. Pasien juga mengeluhkan timbul luka di mulut dan
sulit menelan, tidak dapat makan dan minum sehingga pasien merasa sangat
lemas. Pasien juga mengeluhkan mata berair, terasa pedih, keluar kotoran
dari mata dan terasa mengganjal kurang lebih 5 hari SMRS. Pasien
menceritakan bahwa pasien rutin kontrol di poli saraf RSDM sejak 1 tahun
yang lalu dengan riwayat epilepsi. Pasien mengaku mengonsumsi obat baru
Carbamazepin secara rutin sejak 2 minggu terakhir. Sejak mengonsumsi
obat tersebut, pasien mengeluhkan mulai muncul keluhan – keluhan yang
disebutkan pasien.
D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi dingin : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Keganasan : disangkal
Riwayat Epilepsi : diakui
E. RIWAYAT KELUARGA
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
Riwayang keganasan : disangkal
B. Status dermatologis
- Regio Oris: Tampak Krusta hemoragik pada bagian bibir atas dan pada
bagian bawah tampak kering dengan skuama kasar pada lapisan mukosa
sekitarnya.
- Regio Generalisata: Tampak Ekimosis multipel diskret, sebagian erosi
(+), krusta (+), diaskopi (-), skin detachment < 10%
Gambar. Status dermatologis pada seluruh area tubuh
VII. TERAPI
1. Perbaikan keadaan umum
a. Mengganti cairan tubuh yang hilang
Infus RL 0,9% grojog dalam 30 menit dilajutkan 20 tpm
b. Nutrisi yang adekuat
Diet 1700 kkal menggunakan nasogastric tube
Diet rendah garam tinggi protein
c. Monitoring tanda vital dan balance cairan
2. Mengatasi reaksi alergi
a. Stop obat yang dicurigai: Carbamazepin
b. Kortikosteroid sistemik
Injeksi Dexamethasone 5 mg/4 jam i.v.
3. Mengatasi keluhan yang dirasakan
a. Antibitoik topikal pada bagian luka di mulut
Kenalog in orabase emolinet 3 dd ue
b. Antibiotik dan kortikosteroid topikal pada kedua mata
Cendo polydex eye drops 6 dd gtt II ODS
c. Antibiotik topikal pada bagian kulit yang erosi
Krim sulfodiazin perak (Burnazin) 2 dd ue
Penulisan resep:
A. RL infus
1. Setiap liter larutan mengandung :
- Natrium Laktat. C3H5NaO3 3,10 g
- Natrium Klorida. NaCl 6,00 g
- Kalium Klorida. KCl 0,30 g
- Kalsium Klorida. CaCl 2 .2H 2 O 0,20 g
- Air untuk Injeksi ad. 1.000 ml
2. Osmolaritas : 270 mOsm/l
3. Setara dengan ion-ion :
- Na + : 130 mEq/l
- K + : 4 mEq/l
- Laktat (HCO 3 - ) : 27,5 mEq/l
- Ca ++ : 2,7 mEq/l
- Cl : 109,5 mEq/l
4. Cara kerja obat :
- Merupakan larutan isotoni Natrium Klorida, Kalium Klorida,
Kalsium
- Klorida, dan Natrium Laktat yang komposisinya mirip dengan
cairanekstraseluler.
- Merupakan cairan pengganti pada kasus-kasus kehilangan
cairanekstraselular.
- Merupakan larutan non-koloid, mengandung ion-ion yang
terdistribusikedalam cairan intravaskuler dan interststel
(ekstravaskuler)
5. Indikasi :
Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.
6. Cara pemberian :
- Intravena
- Disesuaikan dengan kondisi penderita
7. Kontra indikasi :
Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati,asidosis laktat.
B. Dexamethasone injeksi 5 mg
1. Mekanisme Kerja
Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara
mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif
di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang
spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks
reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi,
lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin.
Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein
spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek
fisiologik steroid
Efek terapeutik glukokortikoid seperti deksametason yang
paling penting adalah kemampuannya untuk mengurangi respons
peradangan secara dramatis dan untuk menekan imunitas. Telah
diketahui bahwa penurunan dan penghambatan limfosit dan
makrofag perifer memegang peranan. Juga penghambatan
fosfolipase A2 secara tidak langsung yang menghambat pelepasan
asam arakidonat, prekursor prostaglandin dan leukotrien, dari
fosfolipid yang terikat pada membran
2. Indikasi
- Penyakit inflamasi akut
- Penyakit inflamasi pada kulit
- Penyakit inflamasi pada mata
- Penyakit rematik sendi
- Penyakit asma bronkhial
- Penyakit sistemik lupus eritematosus
- Penyakit keganasan sistem limfatik
3. Kontraindikasi
- Memiliki penyakit tuberkulosis paru aktif (TBC)
- Memiliki penyakit infeksi yang sifatnya akut
- Memiliki penyakit infeksi jamur
- Memiliki penyakit herpes mata (herpes occular)
- Memiliki penyakit tukak lambung (ulkus peptikum)
- Sedang mengalami osteoporosis atau pengeroposan rulang
- Sedang mengalami psikosis maupun psikoneurosis berat
- Sedang mendapatkan vaksin hidup
- Ibu hamil atau berencan untuk hamil.
4. Efek samping
- Gangguan pada saluran pencernaan seperti sakit perut dan mual
- Infeksi jamur oportunis
- Kebingungan dan gangguan tidur
- Peningkatan berat badan
- Kelemahan pada otot tubuh
- Menstruasi tidak lancar
- Osteoporosis
- Gangguan pada pertumbuhan
5. Dosis
- Dosis dewasa pada pengobatan menggunakan deksametason oral
adalah 0,5 mg sampai dengan 10 mg per hari
- Dosis dewasa pada pengobatan menggunakan deksametason
parenteral adalah 1 ml sampai 8 ml per hari
- Dosis anak – anak yang dianjurkan adalah 0,08 mg sampai
dengan 0,3 mg/Kg berat bedan/hari yang dibagi dalam 3 atau 4
dosis pemberian
6. Interaksi Obat
- Insulin, hipoglikemik oral : menurunkan efek hipoglikemik.
- Fenitoin, fenobarbital, dan efedrin : meningkatkan clearance
metabolik dari deksametason, menurunkan kadar steroid dalam
darah dan aktifitas fisiologis.
- Antikoagulan oral : meningkatkan atau menurunkan waktu
protrombin.
- Diuretik yang mendepresi kalium : meningkatkan risiko
hipokalemia.
- Glikosida kardiak : meningkatkan risiko aritmia atau toksisitas
digitalis sekunder terhadap hipokalemia.
- Antigen untuk tes kulit : menurunkan reaksivitas.
- Imunisasi : menurunkan respon antibodi.
C. Kenalog in orabase
1. Mekanisme Kerja
Triamsinolon asetonid gel 0,1% merupakan prepasai
kortikosteroid topikal dengan efek antiinflamasi menghambat
asam arakidonat
2. Indikasi
Terapi penunjang untuk meredakan sementara waktu gejala
yang berhubungan dengan lesi inflamasi oral dan lesi ulseratif
oral yang diakibatkan trauma
3. Kontraindikasi
Infeksi bakteri dan jamur pada mulut dan tenggrok, lesi
herpetik karena virus
4. Dosis
Oleskan pada lesi ssampai terbentuk lapisan tipis jangan
digosok. Oleskan 2-3 kali sehari setelah akan dan sebelum
tidur.
D. Cendo Polydex
1. Mekanisme Kerja
Kombinasi antibiotik dan kortikosteroid topikal untuk mata:
Dexamethasone 1 mg, Polymxin B sulfate 6000 IU, Neomycin
sulfat 3,5 mg. Neomycin merupakan antibakteri golongan
aminoglikosida yang aktif terhadap bakteri gram postif dan
negatif. Dexamethasone adalah preparat kortikosteroid sebagai
antiinflamasi lokal menghambat asam arakidonat dan
mengurangi gejala peraadangan pada mata.
2. Indikasi
Sebagai emolien/pelembut dan pengganti air mata;
lubrikan/pelicin air mata buatan; pengganti air mata pada
kekurangan air mata
3. Kontraindikasi
Hipersensitivitas
4. Dosis
1 – 2 tetes pada masing – masing mata 4-6 kali sehari
E. Burnazin Cream
1. Mekanisme Kerja
Silver sulfadiazine adalah preparat topikal antibiotik golongan
sulfonamide bersifat bakteriostatik mencegah sintesis asam
folat bakteri.
2. Indikasi
Profilaksis dan pengobatan infeksi pada luka bakar
3. Kontraindikasi
Kehamilan dan menyusui, hipersensitivitas sulfonamide,
neonatus
4. Eefek samping
Reaksi alergi, gatal, ruam
5. Dosis
Setelah membersihkan luka, oleskan krim dengan sarung
tangan steril pada permukaan yang terbakar, 1-2x/hari dengan
ketebalan 2 mm. Terapi dilanjutkan sampai dengan
penyembuhan.
BAB IV
KESIMPULAN