Anda di halaman 1dari 14

Skenario D Blok 17 Tahun 2018

Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawah ibunya ke IGD RS karena kejang sejak sekitar
setengah jam yang lalu. Kejang disertai demam, bangkitkan berua seluruh badan kaku, mata
mendelik ke atas dan pasien tidak sadar. Kejang terjadi satu kali, berlangsung kurang lebih 20
menit dan berhenti setelah diberiksan diazepam rektal 10 mg di IGD. Setalah bangkitkan anak
sadar
Berdasarkan informasi dari ibu pasien, pasien mulai demam tinggi sekitar 6 jam yang lalu, dengan
suhu 39,5oC sebelum kejang. Pasien mengalami pilek tapi tidak batuk. Tidak ada muntah-muntah,
makan, dan minum tidak ada keluhan, anak sadar namun sedikit rewel.
Sebelumnya pasien sudah pernah dua kali mengalami bangkitan serupa yang disertai demam, yaitu
5 bulan dan 2 bulan yang lalu, masing-masing diberi bekal diazepam rektal 10 mg dan
diinstruksikan diberi saat kejang. Namun, untuk eisode kejag saat ini, orang tua pasien tidak
memberikan diazepam rektal karena alas an takut salah.
Tidak terdapat riwayat kejang pada keluarga. Orang tua pasien menanyakan apakah dibutuhkan
rekam otak (elektroensefalografi) atau CT scan kepala, apakah perlu mendaat obat untuk
kejangnya dan adakah kemungkinan efek samping obat, bagaimana kemungkinan epilepsi dan
pengaruh kejang terhadap kecerdasan anak.Riwayat kelahiran pasien lahir spontan, langsung
menangis, berat lahir 3000 gram. Riwayar erkembangan dapat berjalan usia 13 bulan. Saat ini
bicara pasien sepenuhnya dapat dimengerti orang lain. Riwayat imunisasi BCG 1x (scar +), DPT-
Hepatitis B-HiB 4x, PCV 4x, OPV 4x, campak 1x, MR 1x. Saat ini sudah makan makanan keluarga
Pemeriksaan fisik umum:
Berat Badan 15kg , tinggi badan 97 cm.
Kesadaran: GCS pediatrik 15, sedikit rewel, makan minum masih mau, suhu aksila 38,3oC, Nadi
100x/menit, frekuensi napas 28x/menit,
Kepala: LIngkar kepala 50cm, ubun-ubun besar menutup, Konjungtiva tidak pucar, Nampak faring
hieremis, tonsil T2-T2 hiperemis, ada eksudar di faring dan tonsil.
Jantung, paru, abdomen, ekstremitas dalam batas normal.
Pemeriksaan neurologis:
Nervi kranialis tidak Nampak ada paresis. Tonus otot normal, pergerakan luas, tidak Nampak ada

Klarifikasi Istilah
1. Mendelik: Terbuka lebar-lebar (tentang mata), membelalak, melotot (KBBI)
2. Kejang: Serangan mendadak atau kambuhan penyakit (Dorland)
3. Diazepam: Merupakan derivative dari benzo diazepin, sifat dari
4. Rewel: Banyak bicara, suka membantah, tidak mudah menurut, ada-ada saja yang diminta
(KBBI)
5. Kejang Demam: Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh(suhu rektal
diatas 38oC ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (IDAI)
6. Elektroensefalografi: Rekaman perubahan potensial listrik diberbagai daerah otak dengan
menggunakan elektroda yang diletakan pada kulit kepala atau pada atau di dalam otak
sendiri.(Dorland)
7. Hiperemis: Pelebaran pembuluh darah sebagai respon dari inflamasi akibat infeksi local
atau penyebaran infeksi dari sekitarnya. (
8. Klonus: Merupakan kontraksi involunter dan ritmis dari otot yang disebabkan oleh lesi
permanen di descending motor neuron. (Journal clonus: definition and treatment)
9. Kaku Kuduk: kaku kuduk positif bila leher ditekuk terdapat tahanan sehingga dagu tidak
menempel pada dada(Buku Asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan inflamasi sistem
saraf pusat)
10. Brudzinski: Tanda ini didapatkan bila leher pasien difleksikan maka hasilnya fleksi lutut
dan pinggul : bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi makan
gerakan yang sama terlihat pada salah satu sisi ekstremitas yang berlawanan.
Identifikasi Masalah
1. Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawah ibunya ke IGD RS karena kejang sejak
sekitar setengah jam yang lalu. Berdasarkan informasi dari ibu pasien, pasien mulai demam
tinggi sekitar 6 jam yang lalu, dengan suhu 39,5 oC sebelum kejang. Kejang terjadi satu
kali, berlangsung kurang lebih 20 menit dan berhenti setelah diberikan diazepam rektal 10
mg di IGD.
2. Kejang disertai demam, bangkitkan berupa seluruh badan kaku, mata mendelik ke atas dan
pasien tidak sadar. Pasien mengalami pilek tapi tidak batuk. Tidak ada muntah-muntah,
makan, dan minum tidak ada keluhan, anak sadar namun sedikit rewel.(fakta)
3. Sebelumnya pasien sudah pernah dua kali mengalami bangkitan serupa yang disertai
demam, yaitu 5 bulan dan 2 bulan yang lalu, masing-masing diberi bekal diazepam rektal
10 mg dan diinstruksikan diberi saat kejang.
4. Namun, untuk episode kejang saat ini, orang tua pasien tidak memberikan diazepam rektal
karena alasan takut salah.Tidak terdapat riwayat kejang pada keluarga. Orang tua pasien
menanyakan apakah dibutuhkan rekam otak (elektroensefalografi) atau CT scan kepala,
apakah perlu mendaat obat untuk kejangnya dan adakah kemungkinan efek samping obat,
bagaimana kemungkinan epilepsi dan pengaruh kejang terhadap kecerdasan anak.
5. Riwayat kelahiran pasien lahir spontan, langsung menangis, berat lahir 3000 gram.
Riwayat erkembangan dapat berjalan usia 13 bulan. Saat ini bicara pasien sepenuhnya
dapat dimengerti orang lain. Riwayat imunisasi BCG 1x (scar +), DPT-Hepatitis B-HiB
4x, PCV 4x, OPV 4x, campak 1x, MR 1x. Saat ini sudah makan makanan keluarga
6. Pemeriksaan fisik umum:
Berat Badan 15kg , tinggi badan 97 cm.
Kesadaran: GCS pediatrik 15, sedikit rewel, makan minum masih mau, suhu aksila 38,3oC,
Nadi 100x/menit, frekuensi napas 28x/menit,
Kepala: LIngkar kepala 50cm, ubun-ubun besar menutup, Konjungtiva tidak pucar,
Nampak faring hieremis, tonsil T2-T2 hiperemis, ada eksudar di faring dan tonsil.
Jantung, paru, abdomen, ekstremitas dalam batas normal.
7. Pemeriksaan neurologis:
Nervi kranialis tidak Nampak ada paresis. Tonus otot normal, pergerakan luas, tidak
Nampak ada
Analisis Masalah
1. Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawah ibunya ke IGD RS karena kejang sejak
sekitar setengah jam yang lalu. Berdasarkan informasi dari ibu pasien, pasien mulai demam
tinggi sekitar 6 jam yang lalu, dengan suhu 39,5 oC sebelum kejang. Kejang terjadi satu
kali, berlangsung kurang lebih 20 menit dan berhenti setelah diberikan diazepam rektal 10
mg di IGD.***
a) Bagaimana mekanisme kejang pada kasus?
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik
yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut
baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.
Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial
intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat
potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan
tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi
akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K +dan Ca++. Bila
sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan
menurunnya potensial membran. Penurunan potensial membran ini akan
menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga
Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan
potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion
K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat.
Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon
lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang
tetap (firing level), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat
secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi.
Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan
perantara zat kimia yang dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah
selesai, maka permiabilitas membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara Na+
akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa
Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:


a.Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya
pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat
terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa
pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen
akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang
memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat
yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan
sel saraf meningkat.
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin
bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa
hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan
hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena
kegagalan metabolisme di otak.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a.Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.
b.Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel.
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron.
d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-
ion keluar masuk sel

b) Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin dengan keluhan pasien?


Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun pada kasus anak
laki-laki tersebut berusia 3 tahun sehingga memiliki hubungan dengan keluhan.
(IDAI)
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki lebih dari pada perempuan
dengan perbandingan 1,2–1,6:1. Pertumbuhan dan perkembangan anak perempuan
lebih sedikit cepat dibanding anak laki-laki sehingga menyebabkan kejadian kejang
demam berulang lebih sedikit terjadi pada anak perempuan karena kerentanan
terhadap kenaikan suhu tubuh lebih rendah dibandingkan anak laki-laki.
(Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002: 59 – 62)
(
c) Apa saja klasifikasi kejang demam?
Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
(IDAI)

2. Kejang disertai demam, bangkitan berupa seluruh badan kaku, mata mendelik ke atas dan
pasien tidak sadar. Pasien mengalami pilek tapi tidak batuk. Tidak ada muntah-muntah,
makan, dan minum tidak ada keluhan, anak sadar namun sedikit rewel.(fakta)**
a) Apa perbedaan dari kejang dan kejang demam?
Kejang adalah gejala yang timbul dari efek langsung atau tidak langsung dari
penyakit sistem saraf pusat. Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak
dan sementara sebagai mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal
dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan.
(betz & Sowden,2002)
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
(IDAI)

b) Apa makna klinis dari tidak ada muntah-muntah, makan, dan minum tidak ada
keluhan ?
Makna klinis dari tidak adanya muntah-muntah adalah tidak terjadinya
peninngkatan tekanan intrakranial pada pasien. Sedangkan makan dan minum tidak
terdapat keluhan menandakan pasien sadar sepenuhnya.

c) Bagaimana hubungan riwayat pilek dengan kejang pasien?

3. Sebelumnya pasien sudah pernah dua kali mengalami bangkitan serupa yang disertai
demam, yaitu 5 bulan dan 2 bulan yang lalu, masing-masing diberi bekal diazepam rektal
10 mg dan diinstruksikan diberi saat kejang. Namun, untuk episode kejang saat ini, orang
tua pasien tidak memberikan diazepam rektal karena alasan takut salah.**
a) Bagaimana hubungan riwayat kejang sekarang dengan dahulu?(5 bulan dan
2 bulan yang lalu)

b) Apa indikasi pemberian diazepam rektal pada pasien?


Indikasi pemberian diazepam rektal pada pasien apabila kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit pada kasus 20 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
 Kejang demam ≥ 4 kali per tahun pada kasus kejang telah terjadi 5 dan 2 bulan
sebelum ini
(IDAI)

c) Bagaimana pemberian obat secara rektal?(diazepam rektal)

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia
3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.

Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke
rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-
0,5 mg/kg.

Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis
awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12
jam setelah dosis awal.

Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif.

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
(IDAI)
4. Tidak terdapat riwayat kejang pada keluarga. Orang tua pasien menanyakan apakah
dibutuhkan rekam otak (elektroensefalografi) atau CT scan kepala, apakah perlu mendapat
obat untuk kejangnya dan adakah kemungkinan efek samping obat, bagaimana
kemungkinan epilepsi dan pengaruh kejang terhadap kecerdasan anak.*
a) Apa faktor resiko kejang pada kasus?
1. Faktor demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,8C aksila atau di
atas 38,3C rektal Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak
tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan aktor utama timbul bangkitan
kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab
terbanyak timbul bangkitan kejang demam.
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang
dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion
dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu
derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15 %, sehingga
dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan
glukose dan oksigen Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi
jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Kreb normal,
satu molukul glukose akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksi
jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molukul glukose hanya akan
menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi, hal
ini akan menggangu fungsi normal pompa Na dan reuptake asam glutamat. Ke dua
hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na ke dalam sel meningkat dan timbunan
asam glutamat ekstrasel.
Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan
permeabilitas membran sel terhadap ion Na sehingga semakin meningkatkan
masuknya ion Na ke dalam sel. Masuknya ion Na ke dalam sel dipermudah dengan
adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion
terhadap membran sel.Perubahan konsentrasi ion Na intrasel dan ekstrasel tersebut
akan mengakibatkan perubahan potensial memban sel neuron sehingga membran
sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron
GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa demam mempunyai
peranan untuk terjadi perubahan potensial membran dan menurunkan fungsi
inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai ambang kejang
memudahkan untuk timbul bangkitan kejang demam.

b) Apa saja pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan?


Berikut beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien
kejang demam:
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula
darah.

Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis
adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal
dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak
khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau
kejang demam fokal.

Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan)
atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan
hanya atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
(IDAI)

c) Apa efek samping diazepam ?


Diazepam merupakan obat benzodiazepine yang bekerja langsung di otak dengan
cara meningkatkan efek dari GABA yang merupakan neurotransmiter dan hormon
otak yang menghambat (inhibitor) respon atau rangsangan yang tidak
menguntungkan. Dengan proses penghambatan tersebut, maka obat ini mampu
memengaruhi sistem saraf otak dan berfungsi menimbulkan efek tenang.
Secara umum efek samping yang ditimbulkanoleh diazepam adalah :
 Euforia
 Inkoordinasi
 Somnolens
 Gatal kemerahan (suppositoria)
 Diare
 Hipotensi
 Lemas
 Kelemahan otot
 Depresi pernafasan
 Retensi urin
 Depresi
 Inkontinensia
 Pandangan buram
 Disartria
 Sakit kepala
 Perubahan pada salivasi
 Potensial fatal:
 Hipersensitivitas dan/atau reaksi anafilaktik
 Neutropenia
 Jaundice
 Efek lokalis: nyeri, tromboplebitis, bengkak, carpal tunnel
syndrome, nekrosis jaringan
 Phlebitis jika IV diadministrasi terlalu cepat

d) Bagaimana kemungkinan epilepsi dan pengaruh kejang terhadap kecerdasan anak?


Kejang demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan
intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. Beberapa hasil penelitian tentang
penurunan tingkat intelegensi paska bangkitan kejang demam tidak sama, 4%
pasien kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan
penurunan tingkat intelegensi.
(Hirtz D.Cognitive Outcome of febrile seizures. Dalam: Baram TZ, Shinnar S,
penyunting. Febrile seizures. San Diego: Academic press;2002.h.53-60. )
(Verity C M, Greenwood R, Golding J. Long term intellectual and behavioral
outcomes of children with febrile convulsions. N Engl J Med 1998;338:1723-8.)

Namun pada penelitian di Inggris, anak-anak yang memiliki riwayat kejang demam
tidak memiliki perbedaan fungsi intelektualnya. Tetapi pada anak dengan riwayat
kejag demam berulang, terbukti memiliki kecerdasan non-verbal yang relatif lebih
rendah dibanding anak-anak pada umumnya. Selain itu, anak-anak dengan kejang
demam berulang terbukti memiliki hasil uji intelektual yang lebih rendah daripada
anak-anak pada umumnya. Kejang demam juga dapat meningkatkan resiko
terjadinya epilepsi sebanyak 57% jika terjadi berulang-ulang dan berkepanjangan.
Kejang demam yang berulang dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem saraf,
membuat anak mengalami gangguan tinngkah laku dan intelegensi.
(Ross EM, Peckham CS, West PB, Butler NR. Epilepssy in childhood: Findings
from the national child develompment study. Br Med J. 280: 207-210.2000)

Mekanisme terjadinya : serangan kejang yang lama dan berulang menyebabkan


terjadinya hipoksia dan iskemia. Hipoksia dan iskemia menyebabkan peningkatan
cairan dan natrium intreaseluler sehingga terjadi edema otak. Semakin lama
terjadi hipoksia, semakin berat kerusakan otak yang terjadi dan semakin besar
kemungkinan terjadinya kejang. Daerah yang rentan terhadap kerusakan antara
lain adalah hipokampus. Serangan kejang yang berulang akan menyebabkan
kerusakan otak juga luas.

5. Riwayat kelahiran pasien lahir spontan, langsung menangis, berat lahir 3000 gram.
Riwayat perkembangan dapat berjalan usia 13 bulan. Saat ini bicara pasien sepenuhnya
dapat dimengerti orang lain. Riwayat imunisasi BCG 1x (scar +), DPT-Hepatitis B-HiB
4x, PCV 4x, OPV 4x, campak 1x, MR 1x. Saat ini sudah makan makanan keluarga*
a) Apa interpretasi dari riwayat kelahiran pasien?
Pasien lahir spontan langsung menangis dengan BBL 3000 gram aertinya pasien
lahir dengan baik dan berat lahir pasien tidak terkategori dalam bayi berat lahir
rendah ( BBLR ) adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram. BBLR
dapat menyebabkan asfiksia atau skemia otak dan perdarahan intraventrikuler.
iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami
gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat
menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat
menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama
melahirkan pada bayi dengan BBLR kurang 2500 gram dapat terjadi perdarahan
intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi
dengan manifestasi kejang.
Riwayat perkembangan dapat berjalan usia 13 bulan adalah normal karena pada
usia tersebut bayi sudah bisa berjalan sendiri tapi mudah jatuh.

b) Bagaimana perkembangan anak yang normal ?(cara berjalan, bicara, dan makanan)
Bayi normal memperlihatkan tahap-tahap perkembangan sbb:
1. Pada usia 2 bulan:
• Kedua tangan dalam sikap mengepal.
• Bila ditengkurapkan kepala dapat diangkat selama beberapa detik.
• Mata dan kepala dpat mengikuti rangsang visual dalam sudut toleh sebesar 90°.
• ‘Terkejut’ bila ada bunyi yang keras dan tiba-tiba.
• Dapat mengeluarkan suara sepatah-sepatah

2. Pada usia 3 bulan:


• Kedua tangan sesekali terbuka (tidak selalu mengepal)
• Dapat sejenak mengepal benda yang disodorkan ke tangannya.
• Dapat memperhatikan sesuatu yang diperlihatkan kepadanya dan mengikuti
dengan mata dan kepala ke segala arah.
• Dapat tersenyum dan bereaksi bila diajak bicara.
• Dapat mengamati tangan sendiri dan memandang wajah orang yang
menjenguknya

3.Pada usia 4 bulan:


• Bila didudukkan dapat menegakkan kepalanya.
• Menunjukkan kecenderungan mengambil segala sesuatu di sekitarnya dan
memasukkannya ke mulut.
• Kepala tergerak untuk mencari sumber bunyi/suara.
• Dapat tertawa secara spontan

4.Pada usia 5-6 bulan:


• Dapat mengangkat kepala sewaktu berbaring telentang.
• Dapat membalikkan badan.
• Bila tengkurap, dapat mengangkat kepala dan badan.
• Dapat memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya.
• Dapat duduk dengan sedikit bantuan

5.Pada usia 7-8 bulan:


• Dapat membanting benda di atas meja atau lantai.
• Menunjukkan kecenderungan untuk mendekati orang-orang.
• Sudah bisa bilang: da-da…da-da…

6.Pada usia 9-10 bulan:


• Bisa duduk tanpa bantuan
• Dapat mengangkat badannya untuk duduk
• Bisa berdiri, tapi belum bisa berjalan.
• Bisa melambai-lambai tangannya sambil bilang: da-da...da-da…
• Bisa minum dari gelas/cangkir dengan bantuan.

7.Pada usia 11-12 bulan:


• Berjalan dengan dituntun
• Dapat memegang dengan jari-jarinya.
• Dapat mengeluarkan 2-4 kata yag berarti.
• Mengerti perintah-perintah sederhana
• Bila didandani anak sudah menunjukkan kooperasi yang sesuai

8.Pada usia 13-15 bulan:


• Sudah bisa berjalan sendiri tapi mudah jatuh.
• Bisa mencoret-coret dengan kapur atau pensil.
• Bisa menunjuk sesuatu yang diminta

9.Pada usia 18 bulan:


• Bisa naik kursi atau bangku.
• Bisa melempar-lemparkan bola.
• Sudah mengenal bagian-bagian tubuhnya.
• Bicara dengan 1-2 kata dan mulai menunjukkan kecerdasan.

10.Pada usia 24 bulan:


• Sudah pandai berjalan, lari, jongkok, dsb.
• Bisa naik tangga dengan lincah.
• Mengutarakan pikirannya dengan kalimat yang terdiri dari 3-4 kata.
• Bisa membalikkan halaman buku satu demi satu.
• Bisa menyusun 4-6 balok kubus.

c) Apa saja imunisasi yang dapat diberikan pada anak berusia 3 tahun?
6. Pemeriksaan fisik umum:*
Berat Badan 15kg , tinggi badan 97 cm.
Kesadaran: GCS pediatrik 15, sedikit rewel, makan minum masih mau, suhu aksila 38,3oC,
Nadi 100x/menit, frekuensi napas 28x/menit,
Kepala: LIngkar kepala 50cm, ubun-ubun besar menutup, Konjungtiva tidak pucar,
Nampak faring hieremis, tonsil T2-T2 hiperemis, ada eksudar di faring dan tonsil.
Jantung, paru, abdomen, ekstremitas dalam batas normal.
a) Apa interpretasi pemeriksaan pemfis?
b) Mekanisme abnormalitas
c) Bagaimana gambaran staging tonsil?

Kita dapat mendiagnosis berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan fisik.


Dengan bantuan spatel, lidah ditekan untuk melihat keadaan tonsil, yaitu warnanya, besarnya,
muara kripte apakah melebar dan ada detritus, nyeri tekan, arkus anterior hiperemis atau tidak.
Besar tonsil diperiksa sebagai berikut:
T0 = tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat
T1 = bila besarnya 1/4 jarak arkus anterior dan uvula
T2 = bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula
T3 = bila besarnya 3/4 jarak arkus anterior dan uvula
T4 = bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih
d) Bagaimana hubungan tonsilofaringitis dengan kejang pada kasus?

7. Pemeriksaan neurologis:*
Nervi kranialis tidak Nampak ada paresis. Tonus otot normal, pergerakan luas, tidak
Nampak ada paresis otot. Refleks tendon dalam dalam batas normal. Tidak ada reflex
patologis atau klonus. Kaku kuduk tidak ada, tanda Brudzinski I dan II negative, kernig
negative.
a) Apa interpretasi pemeriksaan neurologis
Normal

b) Mekanisme abnormalitas
(?)

c) Bagaimana cara pemeriksaan neurologis pada kasus?


Di LI

Hipotesis
Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun mengalami kejang demam kompleks e.c
tonsilofaringitis.
Learning Issues
1. Kejang demam
2. Tonsilofaringitis
3. Pemeriksaan Neurologis
4.

Anda mungkin juga menyukai