Anda di halaman 1dari 20

OLEH

DEDI SETIAWAN
PROGAM SETUDI TEKNIK ALAT BERAT
POLITEKNIK TEDC BANDUNG
2015

i
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………………………………………. ii

HALAMAN DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………….. iii

BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………………….. 1

A Latar Belakang…………………………………..………………………………………………………………………… 1
B Rumusan Masalah………………………………..……………………………………………………………………… 3
C Tujuan……………………………………………………..………………………………………………………………….. 3
D Mamfaat…………………………………………………..…………………………………………………………………. 4
BAB II : PEMBAHASAN………….……………………………………………………………………………………..…….. 4
A Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia…………………………………….…….…………. 4
B Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…………………………………..……….. 8
C Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum Nasional……………………………………………….……… 9
D Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional…………………….……. 10
BAB III : PENUTUP……………………………………………………………………………………………………….……. 14
A Kesimpulan……………………………………………………………………………………………………………….. 15
B Saran…………………………………………………………………………………………………………………………. 16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………………….. 17

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala hikmat dan rahmat yang telah
dilimpahkan-Nyalah akhirnya makalah “Sejarah Hukum Islam Indonesia” ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam di
Universitas Politeknik TEDC Bandung. Selain itu penulis mengharapkan agar makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mengalami kesulitan. Namun, berkat
bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun masih banyak
kekurangannya. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi
lebih baik dan berdaya guna dimasa yang akan datang.

Harapan penulis, mudah-mudahan makalah yang sederhana benar-benar membuktikan bahwa


mahasiswa dapat lebih berperan serta dalam pembangunan masyarakat pada kenyataan sehari-
hari dan bermanfaat bagi pembaca umumnya serta rekan mahasiswa khususnya. Amin.

Cimahi, 22 September 2015

PENULIS

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku nasional di negara Republik
Indonesia. sistem hukum Indonesia tersebut bersifat majemuk, karena sistem hukum yang
berlaku nasional terdiri dari lebih satu sistem. Sistem – sistem tersebut adalah sistem hukum
adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat.

Sebagai negara yang penduduknya terdiri dari berbagai macam ras dan suku bangsa, Indonesia
menghormati kebebasan penduduknya memeluk agama masing – masing, sehingga tidaklah
mungkin menerapkan hukum Islam secara penuh kepada setiap warga negara, meskipun
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Akan tetapi, agama Islam bersifat universal.
Hukum Islam adalah bagian dari agama Islam, sehingga juga bersifat universal. pada hakikatnya
hukum Islam merupakan keyakinan yang melekat pada setiap orang yang beragama Islam, tidak
peduli kapan dan dimanapun.

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaats)


sebagaimana tertuang dalam bunyi UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum. Sebagai negara hukum, maka menjadi suatu kewajiban bahwa setiap
penyelenggaraan negara dan pemerintahannya selalu berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan. Maka negara hukum yang dimaksud di sini bukan hanya merupakan pengertian
umum yang dapat dikaitkan dengan berbagai konotasi. Maupun hanya rechstaat dan rule of law
sebagaimana dipraktikkan di barat. Tapi juga nomokrasi Islam dan negara hukum Pancasila yang
dipraktikkan di Indonesia.

Namun, Indonesia juga bukan negara yang menganut paham teokrasi berdasarkan
penyelenggaraan negaranya pada agama tertentu saja. Di mana, menurut paham teokrasi,
negara dan agama dipahami sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Yakni dijalankan
berdasarkan firman-firman Tuhan. Sehingga tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
dilakukan dengan titah Tuhan dalam kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, paham ini
melahirkan konsep negara agama atau agama resmi, dan dijadikannya agama resmi tersebut
sebagai hukum positif. Konsep negara teokrasi ini sama dengan paradigma integralistik. Yaitu
paham yang beranggapan bahwa agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.

1
Pada tataran lain, negara Indonesia juga tidak menganut negara sekuler yang mendisparitas
agama atas negara dan memisahkan secara diametral antara agama dengan negara. Paham ini
melahirkan konsep agama dan negara yang merupakan dua entitas berbeda, dan satu sama lain
memiliki wilayah garapan masing-masing. Sehingga, keberadaannya harus dipisahkan dan tidak
boleh satu sama lain melakukan intervensi.

Namun, relasi antara agama dan negara di Indonesia dikemas secara sinergis, bukan dikotomis
yang memisahkan antara keduanya. Agama dan negara merupakan entitas yang berbeda.
Namun, keduanya dipahami saling membutuhkan secara timbal balik. Yakni agama
membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama.
Sebaliknya negara juga membutuhkan agama. Sebab, agama pun membantu negara dalam
pembinaan moral, etika, dan spiritualiatas. Pemahaman seperti ini disebut dengan paradigma
simbiotik. Maka dalam konteks ke-Indonesia-an paradigma simbiotik ini, kedudukan hukum
Islam menempati posisi strategis sebagai sumber legitimasi untuk menegakkannya dalam porsi
yang proporsional. Bukan dengan formalisasi-legalistik melalui institusi negara sebagaimana
disampaikan oleh Habib Riziq Shihab, ketua Front Pembela Islam.

Namun sebagaimana dikemukakan oleh Bismar Siregar, yang menyatakan bahwa kewajiban
menjalankan syariat tidak perlu diperintahkan secara formal berdasarkan undang-undang.
Karena sekali orang menyatakan dirinya umat Muhammad, dengan ikrar dua kalimat syahadat,
maka berlakulah menjalankan syariat atas dirinya.

Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang bukan berdasar pada agama tertentu.
Tetapi memberi tempat kepada agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber
hukum atau memberi bahan hukum terhadap produk hukum nasional. Hukum agama sebagai
sumber hukum di sini diartikan sebagai sumber hukum materiil (sumber bahan hukum) dan
bukan harus menjadi sumber hukum formal (dalam bentuk tertentu) menurut peraturan
perundang-undangan. Dalam konteks inilah, Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas
penduduk Indonesia memiliki prospek dalam pembangunan hukum nasional. Karena secara
kultural, yuridis, filosofis maupun sosiologis, memiliki argumentasi yang sangat kuat.

Penerapan atau positivisme hukum Islam dalam sistem hukum nasional setidaknya melalui dua
langkah. Yaitu proses demokrasi dan prolegnas (akademisi), bukan indoktrinasi. Dalam proses
demokrasi ada musyawarah mufakat yang kemudian dituangkan dalam prolegnas (progam
legislasi nasional).

2
Yang selanjutnya untuk menjadi hukum positif diperlukan kajian lebih mendalam melalui
naskah akademik karena menyangkut tinjauan dari berbagai macam aspek. Baik sosiologis,
politis, ekonomis, maupun filosofis. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No. 10/2004
sebagaimana sudah diubah menjadi UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Seiring berjalannya waktu, ada beberapa norma-norma hukum Islam yang sudah menjadi
hukum positif. Adalah, apabila berkaitan dengan akuntabilitas publik atau tanggung jawab
public. Nah, berdasarkan uraian diatas, perlu kiranya membahas mengenai bagaimana
Kedudukan Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, muncul beberapa pertanyaan, antara lain adalah :

1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia?

2. Bagaimana kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional?

3. Apakah peran hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional?

4. Apa sajakah kontribusi hukum Islam terhadap perkembangan hukum nasional?

C. TUJUAN

Pembuatan makalah ini diharapkan dapat memberikan tujuan yang bermanfaat.

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dibuatnya makalah ini adalah agar para pembaca pada umumnya dan penulis
khususnya dapat mengetahui bagaimana sejarah perkembangan dan kedudukan hukum Islam
di Indonesia, apakah peran hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional serta apa sajakah
kontribusi hukum Islam terhadap perkembangan hukum nasional.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tuntutan perkuliahan
mata kuliah Hukum Islam yang sedang penulis jalani dalam semester 1 ini.

3
D. MANFAAT

Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini adalah :

a. Bagi Penulis

Dapat mengetahui bagaimana sejarah perkembangan dan kedudukan hukum Islam dalam
sistem hukum positif Indonesia serta berharap agar makalah ini dapat memenuhi tuntutan
perkuliahan yang sedang dijalani.

b. Bagi Pembaca

Dapat memberikan informasi dan penjelasan mengenai bagaimana sejarah perkembangan dan
kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum positif Indonesia.

c. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan informasi dan penjelasan mengenai bagaimana sejarah perkembangan dan
kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum positif Indonesia serta dapat membantu
menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum Islam di
Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi perbedaan pendapat para ahli mengenai
kapan pertama kali Islam measuk ke Nusantara. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh
Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk
ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan masehi. Pendapat
lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi. Daerah
yang pertama didatanginya adalah pesisir utara pulau Sumatera dengan pembentukan
masyarakat Islam pertama di Pereulak Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudra
Pasai, Aceh Utara.

4
Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah, seorang pengembara,
mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik
Al-Zahir dalam berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan Ilmu Fiqh. Menurut pengembara
Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai
ketika itu adalah juga seorang fukaha (ahli hukum yang mahir tentang hukum Islam). Yang
dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam Mazhab Syafi’i. Menurutt Hamka,
dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i ke kerajaan – kerajaan Islam lainnya di Indonesia.
Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka
datang ke Samudra Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang
mereka jumpai dalam masyarakat.

Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui
perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah besar. Kenyataan ini dilihat bahwa
bila seorang saudagar Muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya,
wanita itu diislamkan lebih dahulu dan perkawinannya kemudian dilangsungkan menurut
ketentuan Hukum Islam.

Setelah agama Islam berakar pada masyarakat, peranan saudagar dalam penyebaran Islam
digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal Hukum Islam. Salah satu
contoh ulama yang terkenal adalah Nuruddin Ar-Raniri, yang menulis buku hukum Islam dengan
judul Siratal Mustaqim pada tahun 1628. menurut Hamka, kitab Hukum Islam yang ditulis oleh
Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. oleh
Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi mufti di Banjarmasin, kitab hukum Siratal
Mustaqim itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dan dijadikan pegangan dalam
menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Kitab yang sudah
diuraikan ini kemudian diberi nama Sabilal Muhtadin. Di daerah kesultanan Palembang dan
Banten, terbit pula beberapa kitab Hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam
dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka ditulis oleh Syaikh
Abdu Samad dan Syaikh Nawawi Al-Bantani.

Dari uraian singkat di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebelum Belanda
mengukuhkan kekuasannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah
ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk
yang mendiami kepulauan Nusantara ini. Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan
Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.

5
Pada akhir abad keenam belas, VOC merapatkan kapalnya di Pelabuhan Banten, Jawa Barat.
semula maksudnya adalah berdagang, tapi kemudian haluannya berubah menjadi menguasai
kepulauan Indonesia.

VOC memiliki dua fungsi, pertama sebagai pedagang, kedua sebagai badan pemerintahan.
Dalam kata lain, Sebagai badan pemerintahan VOC menggunakan hukum Belanda yang
dibawanya. Akan tetapi hukum Belanda tidak pernah bisa diterapkan seluruhnya, sehingga VOC
kemudian membiarkan lembaga – lembaga asli yang ada di dalam masyarakat berjalan terus
seperti keadaan sebelumnya. Pemerintah VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang
hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari – hari. Dalam statuta Jakarta
(Batavia) tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang
beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari
– hari.

Berdasarkan pola pemikiran tersebut, pemerintah VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk
menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan
hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki dan disempurnakan oleh para penghulu dan ulama
Islam, ringkasan kitab hukum tersebut diterima oleh pemerintah VOC (1760) dan dipergunakan
oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah –
daerah yang dikuasai VOC. Selain Compendium Freijer, banyak lagi kitab hukum yang dibuat di
zaman VOC, di antaranya ialah kitab hukum mogharraer untuk Pengadilan Negeri Semarang.
Kitab hukum ini adalah kitab perihal hukum – hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab
hukum Islam Muharrar karangan Ar-Rafi’i. Mogharraer memuat sebagian besar hukum pidana
Islam. Posisi hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama lebih kurang dua
abad.

Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda menguasai sungguh –
sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah. Perubahan ini
khususnya tampak pada abad ke 19, dimana ketika itu banyak orang Belanda sangat berharap
dapat segera menghilangkan pengaruh agama Islam dari sebagian besar orang Indonesia
dengan berbagai cara, salah satunya adalah kristenisasi. Mereka berpendapat bahwa
pertukaran agama penduduk menjadi kristen akan menguntungkan negeri Belanda. Selain itu,
pemerintah Belanda memiliki keinginan yang kuat untuk menata dan mengubah hukum di
Indonesia menjadi hukum Belanda, karena adanya anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih
baik daripada hukum yang telah ada di Indonesia. untuk melaksanakan maksud tersebut
pemerintah Belanda kemudian mengangkat suatu komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van
Oud Haarlem yang bertugas untuk melakukan penyesuaian undang – undang Belanda itu
dengan Indonesia.

6
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam usaha pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda,
Scholten berpendapat bahwa hukum Islam sebaiknya tetap dibiarkan ada dalam masyarakat
agar tidak terjadi hal – hal yang tidak menyenangan. Pendapat inilah yang mungkin
menyebabkan pasal 75 RR menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan undang
– undang agama dan lembaga – lembaga kebiasaan mereka bila golongan bumi putera
bersengketa, sejauh undang – undang dan kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan
hukum Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan Pengadilan Agama di Jawa
dan Madura untuk menyelesaikan perkara perdata antara sesama orang bumi putera. Inti
wewenang Pengadilan Agama ini adalah kelanjutan praktik pengadilan dalam masyarakat
bumiputera yang beragama Islam yang telah berlangsung sejak zaman pemerintahan VOC dan
kerajaan – kerajaan Islam sebelumnya.

Seorang ahli hukum Belanda bernama van den Berg mengatakan bahwa orang Islam Indonesia
telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan:
receptio in complexu. Pendapat ini kemudian ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje, ia
berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam,
tetapi hukum Adat. Pendapat ini kemudian terkenal dengan nama receptie theorie. Karena
teori inilah pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau
kembali wewenang Priesterraad atau Raad Agama di Jawa dan Madura yang tahun 1882 secara
resmi berwenang mengadili perkara kewarisan orang – orang Islam menurut ketentuan hukum
Islam. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum
adat, maka melalui pasal 2a ayat (1) S. 1937 : 116 dicabutlah wewenang Raad atau Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan. Usaha giat raja – raja Islam di
Jawa menyebarkan hukum Islam di kalangan rakyatnya distop oleh pemerintah kolonial sejak 1
April 1937. wewenang untuk mengadili perkara kewarisan pun dialihkan ke Landraad.

Akan tetapi, Landraad ketika memutuskan perkara warisan dianggap sangat bertentangan
dengan hukum Islam, sehingga menimbulkan reaksi dari berbagai organisasi Islam. Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) pun memprotes kehadiran S. 1937 : 116, karena staatsblad tersebut
dianggap telah menggoyahkan kedudukan hukum Islam dalam masyarakat Muslim Indonesia.
Meski begitu pemerintah Belanda tetap tidak menghiraukan protes tersebut.

Usaha untuk mengendalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya semula
(sebelum dikendalikan oleh Pemerintah Belanda) terus dilakukan oleh para pemimpin Islam
dalam berbagai kesempatan yang terbuka. Salah satu contohnya adalah ketika sidang BPUPKI
berhasil menghasilkan Piagam Jakarta (22 juni 1945) yang selanjutnya menjadi Pembukaan
Undang – Undang Dasar 1945.

7
di dalam piagam ini, dinyatakan antara lain bahwa negara ‘berdasarkan pada Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya’. Tujuh kata terakhir
ini oleh PPKI diganti dengan kata ‘Yang Maha Esa’ dan ditambahkan pada ‘Ketuhanan’ sehingga
berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Setelah kemerdekaan Indonesia, adanya UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di
Indonesia, maka IS yang menjadi landasan legal teori resepsi sudah tidak berlaku lagi.
Bagaimana posisi hukum Islam? Dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang
Perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama,
maka jelas hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum. Pengadilan bagi orang yang
beragama Islam adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama kembali mempergunakan Hukum
Islam, sekurang – kurangnya satu asas dalam menyelesaikan satu sengketa. Pengadilan Agama
juga diperbolehkan menggunakan hukum adat asalkan tidak bertentangan dengan hukum
Islam.

B. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional

Kini, di Indonesia, hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang –
undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum Adat. Republik Indonesia dapat
mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku
bagi pemeluk agama Islam. Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia adalah
sama dan sederajat dengan hukum Adat dan hukum Barat, karena itu hukum Islam juga
menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di samping hukum adat dan
hukum barat yang juga tumbuh dan berkembang dalam negara Republik Indonesia.

Berlakunya hukum Islam di Indonesia dan telah mendapat tempat konstitusional menurut
Abdul Ghani Abdullah berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam
merupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan ini
mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila; Kedua,
alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita
hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang
berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD
1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.

Menurut mantan Menteri Kehakiman Ali Said pada pidatonya di upacara pembukaan
Simposium Pembaruan Hukum Perdata Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981
hukum Islam terdiri dari dua bidang, bidang ibadah dan bidang muamalah.

8
Pengaturan hukum yang bertalian dengan ibadah bersifat rinci, sedang pengaturan mengenai
muamalah tidak terlalu rinci. Yang ditentukan dalam bidang muamalah hanyalah prinsip –
prinsipnya saja. Pengembangan dan aplikasi prinsip – prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya
kepada para penyelenggara negara dan pemerintahan. Oleh karena hukum Islam memegang
peranan penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dan
mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah
mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi norma – norma hukum Islam ke dalam
hukum nasional, sepanjang norma tersebut sesuai dengan Pancasila dan Undang – Undang
Dasar 1945 serta relevan dengan kebutuhan hukum khusus umat Islam. Menurut Ali Said,
banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang dapat digunakan
dalam menyusun hukum nasional.

Kutipan ini semakin menegaskan bahwa hukum Islam berkedudukan sebagai sumber bahan
baku penyusunan hukum nasional.

C. Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum Nasional

Pada tahap perkembangan pembinaan hukum nasional sekarang, menurut Daud Ali, yang
diperlukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah badan yang berwenang merancang
dan menyusun hukum nasional yang akan datang adalah asas – asas dan kaidah – kaidah hukum
Islam dalam segala bidang, baik yang bersifat umum maupun khusus. Umum adalah ketentuan
– ketentuan umum mengenai peraturan perundang – undangan yang akan berlaku di tanah air
kita, sedangkan khusus contohnya adalah asas – asas hukum perdata Islam terutama mengenai
hukum kewarisan, asas – asas hukum ekonomi terutama mengenai hak milik, perjanjian dan
utang – piutang, asas – asas hukum pidana Islam, asas – asas hukum tata negara dan
administrasi pemerintahan, asas – asas hukum acara dalam Islam dan lain – lain.

Masalah utama yang dihadapi oleh lembaga pembinaan hukum nasional adalah merumuskan
asas – asas dalam hukum Islam tersebut ke dalam kata – kata jelas yang dapat diterima oleh
semua golongan di pelosok tanah air, bukan hanya orang Islam saja. Tim pengkajian Hukum
Islam Babinkumnas telah berusaha menemukan asas – asas tersebut dan merumuskannya ke
dalam kaidah – kaidah untuk dijadikan untuk dijadikan bahan pembinaan hukum nasional.
Berbagai asas dapat dikembangkan melalui jurisprudensi peradilan agama, karena asas – asas
ini dirumuskan dari keadaan konkret di tanah air kita, sehingga dapat lebih mudah diterima.

Konsep pengembangan hukum Islam, secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-
budaya serta politik dan hukum dalam masyarakat.

9
Kemudian, konsep tersebut lalu diubah arahnya yaitu secara kualitatif diakomodasikan dalam
berbagai perundang – undangan yang dilegaslasikan oleh lembaga pemerintah dan negara.
Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi hukum Islam ke
dalam bentuk perundang – undangan.

Transformasi hukum agama menjadi hukum nasional terjadi juga di beberapa negara muslim
seperti Mesir, Syria, Irak, Jordania dan Libya. Yang berbeda adalah kadar unsur – unsur hukum
Islam dalam hukum nasional negara – negara yang bersangkutan. Di negara – negara tersebut,
hukum nasional mereka merupakan percampuran antara hukum barat dan hukum Islam,
sementara di Indonesia, hukum nasional di masa yang akan datang akan merupakan perpaduan
antara hukum adat, hukum Islam dan hukum eks-Barat.

D. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sistem hukum yang mewarnai hukum nasional
kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem
hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing
menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.

Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun
menjajah Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional kita.
Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia,
dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam
pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang
merupakan sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh
Nabi Muhammad dengan hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan
ijtihadnya. Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu sebagai perbenturan
antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial Belanda dulu yang
hingga kini masih belum bisa diatasi,[1][48] seperti terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke
depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain
karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional
dengan hukum Islam juga karena sistem hukum barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi
sejak kemerdekaan Indonesia,

10
sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan
hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah
sumbangsih hukurn Islam.

Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum
nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan
dalam pembentukan hukum nasional yaitu:

a. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan
Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat dan UU Otonomi Khusus
nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang lainnya yang langsung maupun
tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang
mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.

b. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan
memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.

c. Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan
masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan
Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.

d. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan.
Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk
menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.

Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum nasional dapat
dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia.
Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya.

Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia nampaknya eksistensi
hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat dalam beberapa peraturan
perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh Hukum Islam:

a. Undang-Undang Perkawinan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun '1974 No. Tambahan Lembaran Negara
Nomer 3019).

11
b. Undang-Undang Peradilan Agama

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No.
49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20
Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006. tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan
Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi
syari'ah. Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah Nasional (DSN)
telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah yang sampai saat
ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam
penyusunan kompilasi tersebut. Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup
banyak kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai
ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam
kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para
Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak
mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana
maksud Pasal 28 ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.

c. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji

Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh
UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini
mentikberatkan pada adanya pengawasarn dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji
Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH]. Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan
pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik.

d. Undang-Undang Pengelolaan Zakat

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan
di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).

12
e. Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.

Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa


Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No.3893).

f. Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh

Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal
9 Agustus 2001. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4134).

g. Kompilasi Hukum Islam

Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang
berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama.
Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum
Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah
menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama
ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana
halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1
Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.

h. Undang-undang tentang Wakaf

Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada
tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006
ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan
peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah
dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang
mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan
penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.

13
i. Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan


legalitas penerapan syariat Islam di Aceh.

Syariat Islam yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan),
tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan
Mahkamah Syar'iyah yang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat
penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang
yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili,
memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata) tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang
didasarkan atas syari'at Islam.

j. Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai
sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel sistem banking
di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan
dengan peranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sejarah perbankan
secara faktual telah mencatat bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1992 hingga Mei 2004
telah berkembang pesat perbankan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
(selanjutnya disebut UU No. 21 Tahun 2008) tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa
perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya. Akad-akad dimaksud antara lain adalah : wadi'ah,
mudharabah, musyarakah, ijarah, ijarah muntahiya bit-tamlik, murabahah, salam, istishna'I,
qardh, wakalah, atau akad lain yang sesuai dengan prinsip syariah.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah hukum Islam bersifat universal, berlaku kepada setiap
orang yang beragama Islam, dimanapun dan kapanpun ia berada. Oleh karena itu, hukum Islam
juga berlaku terhadap umat Islam di Indonesia. hanya saja, tidak semua peraturan dalam
hukum Islam menjadi hukum nasional, dikarenakan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan
karakter bangsa dan Undang – Undang Dasar 1945.

Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah. Pasang surut tersebut adalah perkembangan yang dinamis dan
berkesinambungan bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional.
Sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa
reformasi merupakan fakta yang menjadi bukti bahwa sejak dahulu kala hukum Islam telah
menjadi hukum yang sangat berpengaruh di Indonesia.

Hukum Islam berkedudukan sebagai salah satu hukum yang mempengaruhi perkembangan
sistem hukum nasional. Beberapa hukum Islam yang telah melekat pada masyarakat kemudian
dijadikan peraturan perundang – undangan. Dengan adanya peraturan – peraturan perundang
– undang yang memiliki muatan hukum Islam maka umat muslim Indonesia pun memiliki
landasan yuridis dalam menyelesaikan masalah – masalah perdata.

Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prospek penerapan
hukum Islam di Indonesia cukup cerah.

Kesimpulan tersebut didasarkan pada berbagai kenyataan positif, antara lain:

1. Berbagai kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah selaku penyelenggara Negara yang


memberi peluang bagi berperannya hukum Islam.

2. Telah terwujudnya berbagai peraturan dan perundang-undangan yang membuat hukum


Islam menjadi lebih eksis sebagai sub sistem dalam sistem hukum nasional.

3. Adanya upaya yang cukup maksimal dari kalangan umat Islam dan pakar hukum Islam
melalui dakwah dan pendidikan, sehingga selain dapat lebih meningkatkan kualitas iman juga
kesadaran untuk melaksanakan secara hukum secara maksimal.

Sekian semoga bermanfaat bagi semuanya, jazakumullah khairal jaza.

15
B. Saran

Sebagai saran, diharapkan untuk perkembangan hukum Islam selanjutnya dapat dikeluarkan
lagi peraturan perundang – undangan mengenai apa yang belum ada sebelumnya. Sebagai
contoh, anak adopsi. Islam tidak mengenal adanya anak adopsi, yang ada hanyalah anak asuh.
Yang mengenal soal pengangkatan anak hanyalah hukum barat dan hukum adat. Bila peraturan
mengenai adopsi / asuh dikeluarkan menurut hukum Islam maka akan menimbulkan kepastian
hukum bagi anak – anak asuh / adopsi maupun orangtuanya.

Selanjutnya adalah mengenai perkawinan antar agama yang belum diatur dengan gamblang di
Undang – Undang Perkawinan. Seharusnya, dimuat aturan yang jelas mengenai laki – laki
muslim yang diperbolehkan menikah dengan perempuan non muslim, atau perempuan muslim
yang diharamkan menikah dengan laki – laki non muslim. Selama ini karena peraturannya tidak
ada maka banyak orang memilih untuk menikah di luar negeri. Bila peraturannya ada, maka
batas antara larangan dan bukan akan terlihat jelas.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud, Penerapan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, Makalah
disampaikan pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, tanggal 17 Mei 1995.

, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984).

, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia. Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Press, 1998).

, Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Jakarta: Rajawali

Press, 1997).

Didi Kusnadi. Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan

Produk Hukum). Kuningan: Ebook, 2010.

Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia (Cet I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)

Rasdiyanah, Andi, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional,
Makalah Disampaikan pada upacara Pembukaan Seminar Nasional tentang Kontribusi Hukum
Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, UII-Yogyakarta,
2 Desember 1995.

17

Anda mungkin juga menyukai