Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teripang Laut

2.1.1 Morfologi

Teripang (Holothurioidea, Echinodermata) merupakan salah satu


kelompok biota laut yang spesifik dan mudah dikenal. Bentuk tubuh teripang
secara umum adalah silindris, memanjang dari ujung mulut ke arah anus
(orally-aborally). Mulut terletak di ujung bagian depan (anterior), dan anus di
ujung bagian belakang (posterior). Seperti pada Ekhinodermata umumnya,
tubuh teripang adalah berbentuk simetri lima belahan menjari (pentamerous
radial symmetry) dengan sumbu aksis mendatar (horizontal). Namun bentuk
simetri tersebut termodifikasi oleh lempeng tegak (dorsoventral plane)
sehingga nampak sebagai belahan simetri (bilateral symmetry). Seperti halnya
Ekhinodermata lain, selain radial simetri tersebut, karakteristik lain adalah
adanya bentuk skeleton dan sistem saluran air (water-vascular system).
Skeleton pada teripang termodifikasi dalam bentuk spikula yang mikroskopis
dan tersebar dalam seluruh dinding tubuh. Bentuk spikula tersebut sangat
penting dalam identifikasi jenis teripang. Teripang merupakan sekelompok
biota laut yang kehadirannya tidak menarik perhatian, baik dari kalangan yang
seharusnya memberikan perhatian (concerned) terhadap kekayaan jenis biota
(biodiversity) dan pelestarian alam, apalagi masyarakat awam. Kekayaan jenis
teripang secara keseluruhan mungkin belum terungkap. Sementara itu beberapa
jenis teripang yang komersil telah mengalami tekanan eksploitasi.

Beberapa jenis teripang merupakan komoditi perikanan yang


diperdagangkan secara internasional. Pada saat ini perburuan teripang tidak
saja pada jenisjenis yang berharga mahal, tapi juga terhadap jenis-jenis yang
murah yang pada awalnya tidak menjadi perhatian. Tekanan eksploitasi
terhadap jenis-jenis teripang tersebut telah menyebabkan populasi alaminya
sangat menurun. Hal ini bisa menjadi masalah yang dilematis, karena tidak ada
usaha pengelolaan dan pelestariannya. Bila terjadi kepunahan suatu jenis
teripang, berarti kehilangan plasma nutfah yang sangat mungkin belum
dimanfaatkan. Dalam dekade terakhir ini teripang mendapat perhatian yang
lebih serius secara internasional dengan terbitnya buletin Bechede-mer sejak
tahun 1990. Media ini semestinya menggugah perhatian kita bahwa ada suatu
sumberdaya laut yaitu teripang, yang kita miliki di perairan Indonesia, tetapi
selama ini terkesampingkan tidak mendapat perhatian secara proposional.
Sementara itu telah berkembang wacana internasional untuk
melarang/membatasi eksploitasi teripang, dan memasukkan teripang dalam
daftar Appendik II CITES (Convention on Trade of Endanger Species).

2.1.2 Jenis-Jenis Teripang

Teripang adalah kelompok hewan invertebrata laut dari kelas Holothurioidea


(Filum Ekhinodermata), dibedakan dalam enam bangsa (ordo) yaitu Dendrochirotida,
Aspidochirotida, Dactylochirotida, Apodida, Molpadida, dan Elasipoda. Kekayaan
jenis teripang diperkirakan tidak kurang dari 1.200 jenis (BAKUS, 1973) terutama
tersebar di perairan dangkal tropika. Jenis-jenis teripang komersial, khususnya dari
daerah tropika, termasuk dalam bangsa Aspidochirotida dari suku Holothuriidae dan
Stichopodidae, meliputi marga Holothuria, Actinopyga, Bohadschia, Thelenota dan
Stichopus. Pada Tabel 1, diberikan 29 jenis teripang yang saat ini menjadi komoditi
perdagangan dan lokasi asal pengumpulannya. secara global (BRUCKNER et al.,
2003). Diantara jenisjenis tersebut banyak yang terdapat di perairan Indonesia
seperti diidentifikasikan oleh DARSONO (1995). Ilustrasi foto-foto beberapa jenis
teripang berpotensi komersil dan variasi bentuknya disajikan pada Gambar 1
Tidak banyak taksonom yang bekerja dengan teripang. Namun
demikian teripang tetap menarik perhatian beberapa naturalist. Koleksi
teripang telah dilakukan di berbagai lokasi di dunia, dalam berbagai
kesempatan ekspedisi kelautan. Beberapa ekspedisi kelautan, khususnya yang
mengambil lokasi di Indonesia, diantaranya yaitu Ekspedisi Siboga (1899-
1900), Ekspedisi Snellius I (1929-1930), beberapa kali Ekspedisi Rhumpius di
sekitar daerah Maluku (sejak 1972), Ekspedisi Corendon (1980), dan Ekspedisi
Snellius II (1985-1986). SLUITER (1901) melaporkan hasil identifikasi
koleksi teripang dari Ekspedisi Siboga. Laporan atau publikasi tentang hasil
koleksi teripang di perairan Indonesia pada tahun-tahun akhir ini disampaikan
oleh MASSIN (1987, 1996, 1999) dan JANGOUX et al. (1989). Tidak kurang
sebanyak 188 jenis teripang telah diidentifikasi dari hasil berbagai ekspedisi di
Indonesia tersebut Diantaranya terdapat jenisjenis yang belum pernah
ditemukan sebelumnya maupun ditemukan jenis-jenis baru yang didiskripsikan
oleh MASSIN (1987, 1996 dan 1999) (Tabel 2). Sementara itu jenis-jenis baru
selalu mungkin ditemukan, seperti jenis Thelenota rubralineata (MASSIN &
LANE, 1991). Kekayaan jenis teripang, khususnya di perairan dangkal tropika,
tersusun secara sistimatis dalam bentuk monograph oleh CLARK & ROWE
(1971). Gambaran tentang jenis teripang di perairan dangkal juga disampaikan
oleh ROWE & DOTY (1977) hasil koleksi dari Guam. Menurut ROWE (1969)
marga Holothuria sendiri paling sedikit terdiri dari 114 jenis.

2.1.3 Kandungan Nutrisi

Teripang mengandung berbagai macam senyawa yang besarnya


bervariasi tergantung spesiesnya. Jenis teripang yang banyak digunakan
sebagai obat dan makanan adalah Stichopus chloronatus, S. hermanii, S.
variegatus., dan S. japonicus. Menurut Departemen Obat dan Makanan
Amerika Serikat (USDA), teripang memiliki kandungan gizi yang lengkap,
antara lain 9 jenis karbohidrat, 59 jenis asam lemak, 19 jenis asam amino, 25
komponen vitamin, 10 jenis mineral, dan 5 sterol (Anon., 2006b). Teripang
kering mempunyai kandungan nutrisi sebagai berikut: kadar air 8,90 %;
protein 82,0%; lemak 1,70%; abu 8,60%; karbohidrat 4,80%; Vitamin A 455
µg %; vitamin B (thiamine) 0,04 mg%; niacin 0,4mg%; riboflavin 0,07mg%;
dan kalori 365 cal/100 g (Anon., 2007a). Walaupun kandungan lemaknya
cukup rendah, namun teripang mengandung asam lemak multitetradonik
penghambat enzim lipoksigenase yang memacu kerusakan saluran pernafasan
penyebab asma (Darmananda, 2002). Hasil penelitian Fredalina et al. (1999)
menunjukkan bahwa ekstraksi asam lemak teripang jenis Stichopus
chloronotus mengandung 11 jenis asam lemak dengan berbagai macam pelarut
etanol, metanol, dan bufer fosfat. Ekstraksi dengan menggunakan bufer fosfat
menghasilkan asam eicosapentaenoat (EPA) sebesar 25,69% dan asam
dokosaheksaenoat (DHA) sebesar 3,63%. Sedangkan jika ekstraksi dilakukan
dengan menggunakan air diperoleh DHA sebesar 57,55% dan EPA sebesar
7,84%. Berdasarkan kandungan asam aminonya, teripang mengandung asam
amino lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan laut, ayam, dan telor (Anon.,
2006b). Teripang mengandung kolagen yang cukup tinggi yaitu sebesar 86%
serta berbagai jenis mineral seperti kalsium, fosfat, fosfor, kromium,
magnesium, besi, natrium, dan yodium. Dalam seratus gram bobot kering,
daging teripang mengandung kalsium 118 mg, fosfor 22 mg, besi 14 mg, dan
yodium 0,6 mg (Darmananda, 2002).

Habitat teripang yang berupa karang memungkinkan teripang kaya akan


berbagai macam mineral seperti kalsium dan fosfor yang penting bagi
perkembangan tulang dan gigi. Teripang juga kaya akan zat besi yang
dibutuhkan untuk melakukan pembentukan sel darah merah, serta kalium
penting dalam pencegahan dan perawatan hipertensi. Salah satu unsur mineral
yang penting adalah kromium yang mampu merangsang kelenjar pankreas
untuk menghasilkan insulin. Insulin merupakan senyawa yang dapat menyerap
kelebihan glukosa dalam darah, sehingga ekstrak teripang dapat membantu
para penderita diabetus melitus untuk mempertahankan kadar glukosa dalam
darah, sedangkan yodium dapat mencegah penyakit gondok (Admin, 2008).
Kemampuan teripang dalam meregenerasi sel menjadi dasar utama bahwa
teripang dapat menyembuhkan luka. Hidup di lingkungan yang keras seringkali
menyebabkan dinding tubuh teripang terpecah atau luka pada organ tubuhnya.
Namun teripang dapat meregenerasi dirinya sendiri dalam waktu 10–90 hari
sehingga utuh kembali. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor regenerasi sel
(cell growth factor), yang mampu merangsang regenerasi untuk pemulihan sel
atau jaringan tubuh yang rusak. Kandungan protein teripang yang tinggi dapat
meningkatkan regenerasi sel-sel mati akibat luka sehingga mampu
menyembuhkan luka. Selain itu, protein dapat juga berfungsi untuk
memperkuat sistem daya tahan tubuh serta menghasilkan hormon dan enzim
untuk melancarkan metabolisme (Lehninger, 1994). Kolagen yang merupakan
jaringan pengikat dalam tulang dan kulit dapat dimanfaatkan untuk kecantikan
kulit serta dapat meningkatkan regenerasi sel-sel mati akibat luka sehingga
dapat mempercepat penyembuhan. Oleh karena itu, teripang dapat
dimanfaatkan sebagai kosmetik dan salep untuk menyembuhkan luka. Dalam
pertumbuhan tulang diperlukan suplemen kalsium, fosfat, dan kolagen sebagai
jaringan pengisi, sehingga tanpa kolagen tulang akan rapuh dan mudah pecah.
Kolagen bersama dengan kondroitin sulfat membentuk masa tulang rawan
yang baru, sehingga dapat mengurangi sakit karena radang sendi (Lehninger,
1994). Kandungan asam lemak teripang seperti asam eicosapentaenoat (EPA,
20 : 5ω3) dan asam dokosaheksaenoat (DHA 22 : 6ω3) yang tergolong dalam
ω3 HUFA merupakan asam lemak yang sangat diperlukan oleh tubuh kita.
Kedua asam lemak ini dilaporkan mampu mencegah timbulnya penyakit
kardiovasculer, diabetes, dan tekanan darah tinggi. Secara khusus EPA dapat
menurunkan jumlah fibrinogen sehingga kekentalan darah menurun dan
membuat aliran darah lebih baik. EPA juga dapat menurunkan kadar lemak
dalam darah sehingga mengkonsumsi ekstrak teripang dapat mencegah
penyakit arterosklerosis, sedangkan DHA berperan utama dalam
perkembangan sistem syaraf dan dapat meningkatkan kemampuan memori dan
daya pembelajaran, serta berfungsi sebagai anti alergi (Alimudin, 2006).

Teripang mengandung mukopolisakarida berupa glikosamin sulfat dan


kondroitin sulfat. Glukosamin adalah suatu unsur pokok dari glikoprotein,
proteoglikan, dan glikoaminoglikan yang berperan dalam sintesis proteoglikan
(Lehninger, 1994). Menurut Hamijoyo (2003) glukosamin dapat menurunkan
proses proteolitik kartilago dan membentuk kembali glukaminoglikan yang
rusak. Di samping itu, senyawa ini dapat mencegah terjadinya penggumpalan
dan pembekuan darah. Pada konsentrasi 5 µg/ml, glukoaminoglikan mampu
menyembuhkan stroke isemik otak dan penyakit jantung isemik. Kinerjanya
dengan menghambat aktivitas pembekuan darah melalui penghambatan
monomer fibrin dan meningkatkan aktivitas plasmin. Plasmin merupakan
enzim penting dalam darah yang dapat mengurai protein plasma terutama
fibrin sehingga dapat menurunkan kekentalan darah (Lehninger, 1994).
Sementara kondroitin sulfat adalah suatu derivat komponen tulang rawan.
Kondroitin sulfat baik secara oral maupun injeksi dapat membantu
meningkatkan gerakan sendi dan mengurangi rasa nyeri pada sendi. Kombinasi
penggunaan glukosamin sulfat dan kondroitin sulfat menunjukkan efek yang
potensial dalam merangsang produksi proteoglikan dan asam hialuronat serta
menghambat enzim proteolitik yang dapat merusak tulang rawan (Hamijoyo,
2003).

Oleh karena itu, ekstrak teripang dapat menyembuhkan radang sendi,


rematik, dan osteoarthritis. Teripang juga mengandung antioksidan berupa
saponin glikosida. Komponen ini mempunyai stuktur yang serupa dengan
senyawa aktif ginseng dan ganoderma. Senyawa anti kanker berupa terperoid,
protein, saponin, dan polisakarida juga terdapat di dalam teripang. Hasil
penelitian menunjukkan teripang mengandung senyawa aktif triterpen
glikosida yang dapat menghambat pertumbuhan tumor pada sel limfoid, sel
tumor paru manusia, sel tumor servix, dan melanoma tikus pada kisaran
konsentrasi 0,38–0,46 mg/ml (Fitriani, 2006). Teripang juga dilaporkan
mengandung lektin yaitu suatu protein atau glikoprotein non-imunogenik yang
dapat menghambat pertumbuhan kanker. Senyawa tersebut pada konsentrasi
50 µg dapat menggumpalkan dan membunuh sel kanker. Selain itu, teripang
juga mengandung senyawa antibakteri yang cukup potensial. Hasil penelitian
Ridzwan et al. (1995), menunjukkan bahwa ekstrak teripang dapat
menghambat bakteri Streptococcus faecalis, S. viridans, S. pneumonia,
Sthapilococcus auereus, dan Proteus mirabilis.

2.1.4 Keberadaan Teripang

Keberadaan teripang merupakan kekayaan diversitas alami yang tidak


terlepas dalam fungsi ekologi di habitatnya. Kehadirannya dianalogikan
sebagai "cacing tanah" yang membantu menyuburkan substrat di sekitarnya
dengan sifatnya yang "mengaduk" dasar perairan. Teripang mencerna sejumlah
besar sedimen, yang memungkinkan terjadinya oksigenisasi lapisan atas
sedimen. Proses ini mencegah terjadinya penumpukan busukan benda organik
dan sangat mungkin membantu mengontrol populasi hama dan organisme
patogen termasuk bakteri tertentu. Kelangkaan teripang bisa mengakibatkan
terjadinya pengerasan dasar laut, dan berakibat ketidak cocokan habitat bagi
bentos lain dan organisma meliang (infaunal organism). Teripang adalah
hewan bentik yang lambat geraknya, hidup pada dasar dengan substrat pasir,
lumpur maupun dalam lingkungan terumbu. Dalam struktur trofik (trophic
levels), teripang berperan sebagai pemakan deposit (deposit feeder) dan
pemakan suspensi (suspensi feeder). Dalam lingkar pangan (food web) dari
ekosistem setempat, teripang adalah penyumbang pangan dalam bentuk telur-
telur, larva dan juwana teripang, bagi biota laut pemangsa di sekitarnya.
Teripang ditemukan pada habitat yang selalu berada di bawah garis surut
terendah. Topografi dan tingkat kekeringan dari rataan terumbu pada lokasi
setempat sangat berpengaruh terhadap distribusi teripang yang ada pada lokasi
tersebut. Habitat dengan dasar pasir karang yang ditumbuhi lamun (seagrass)
merupakan tempat hidup teripang. Beberapa jenis teripang, ada yang hidup di
daerah dengan habitat yang berbongkah karang (boulders), dan di sekitar
kelompok karang hidup. Beberapa jenis teripang merupakan bahan makanan
tradisional di beberapa negara Asia, khususnya Cina. Teripang olahan kering
dalam perdagangan dikenal sebagai Beche-demer atau trepang atau hai-sum
(CONAND & SLOAN, 1989). Teripang disukai karena mengandung zat-zat
obat (medicinal properties), makanan ini berkhasiat penyembuhan (curative),
dan mempunyai daya aphrodisiac (PRESTON, 1993 dan AKAMINE, 2000).

Dari hasil analisa proksimat daging teripang diperoleh komposisi


protein 43%, lemak 2%, kadar air 17%, mineral 21% dan kadar abu 7%
(JAMES, 1989). Kandungan lemak yang rendah, teripang direkomendasikan
untuk orang-orang yang bermasalah dengan kolesterol. Sejak akhir 1990 pasar
teripang bertambah dengan berkembangnya riset produk alam (natural
products) dan penggunaannya sebagai biota akuarium. Potensi kandungan
bioaktif pada teripang telah diungkap oleh beberapa peneliti, disarikan dalam
DARSONO (1993)
2.1.5 AncamanTerhadap Teripang

Ancaman utama terhadap keberadaan teripang adalah terjadinya


tangkap lebih (overexploitation) akibat meningkatnya permintaan pasar, juga
penggunaan teripang sebagai biota akuarium maupun sebagai bahan riset
biomedis. Daur hidup teripang yang spesifik menjadikan teripang sangat rentan
oleh terjadinya tangkap lebih. Hal kedua yang juga mengancam keberadaan
teripang adalah degradasi habitat tempat hidupnya. Habitat adalah tempat
hidup sekaligus tempat mendapatkan pakannya. Kerusakan habitat berarti
hilangnya "rumah" dan tempat mencari makan. Teripang berkelamin terpisah,
memijah dalam air dan fertilisasi terjadi dalam kolom air. Disamping itu
pergerakan teripang sangat lambat (sluggish) sehingga ruang geraknya (home
range) sempit atau terbatas. Sifat ini menyebabkan teripang sangat mudah
dipungut dan mengakibatkan populasinya cepat berkurang. Padahal untuk
terjadinya sukses fertilisasi harus dalam kepadatan populasi tertentu. Jarak
keberadaan antara jantan dan betina yang terlalu jauh sangat mungkin gagalnya
fertilisasi. Perikanan atau eksploitasi teripang telah terjadi ratusan bahkan
ribuan tahun yang berlangsung secara tradisional dan subsisten (CAMBELL &
WILSON, 1993).Tidak banyak catatan tentang kegiatan perburuan teripang di
Indonesia, namun kegiatan ini berlangsung terus bahkan cenderung meningkat
aktifitasnya (CONAND & TUWO, 1996). Berdasarkan lamanya eksploitasi
teripang berlangsung, diduga bahwa populasi teripang mengalami tekanan
yang cukup serius mengancam kelestariannya. Hal ini akan terjadi karena laju
pertambahan (recruitment) tidak sebanding dengan laju pemungutannya.
Penurunan populasi sumberdaya teripang dirasakan terjadi terutama terhadap
jenis-jenis komersial seperti teripang pasir, Holothuria scabra, dan teripang
susuan, Holothuria nobilis. Sekali kepadatan populasi teripang turun di bawah
titik kritis, maka sangat sulit populasi akan pulih kembali..

2.1.6 Pelestarian Teripang

Perikanan teripang di Indonesia bersifat multispecies, banyak jenis


dipungut dijadikan produk teripang kering untuk diperdagangkan. Sekitar 25
jenis teripang potensial komersil diidentifikasikan dari perairan Indonesia
(DARSONO, 1995). Jenis teripang yang termasuk dalam kategori mahal
adalah teripang pasir atau teripang putih, Holothuria scabra, teripang susuan,
H. nobilis dan H. fuscogilva, teripang nenas, Thelenota ananas. Jenis yang
termasuk dalam kategori sedang yaitu teripang marga Actinopyga, seperti
teripang lotong (A. miliaris), teripang batu (A. echinites), teripang bilalo (A.
lecanora dan A. mauritiana). Jenis-jenis lainnya termasuk kategori murah
(CONAND, 1990). Kegiatan eksploitasi teripang di Indonesia umumnya
berskala kecil. Para nelayan mengumpulkan teripang sedikit demi sedikit dan
diproses dikeringkan kemudian sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana,
Volume XXXII No. 2, 2007 dijual kepada tengkulak pengumpul.
Meningkatnya permintaan pasar mendorong peningkatan usaha eksploitasinya.
Sulitnya menemukan teripang target dari jenis yang mahal, maka jenis yang
murahpun saat ini menjadi target perburuan. Keadaan ini menyebabkan
akselerasi penurunan populasi teripang dipercepat. Indikasi tentang hal ini
sudah terlihat dengan makin sulitnya menemukan jenis-jenis teripang komersil,
baik yang mahal, sedang maupun yang murah harganya, di habitat alaminya.
Keberadaan teripang sudah sangat jarang dan jenis-jenis mahal menjadi langka.
Belum ada pengelolaan teripang dilakukan di Indonesia. Perlu dikembangkan
pola pengelolaan yang melindungi sumberdaya dan usaha eksploitasinya.
Fungsi ekologis dan fungsi ekonomi teripang diharapkan berjalan seiring. Azas
manfaat dan lestari perlu diupayakan, kalau tidak dikehendaki punahnya suatu
plasma nutfah. Dengan demikian kelestarian sumberdaya teripang mempunyai
dua aspek, melindungi keberadaan sumberdaya dan menjaga keberlanjutan
perikanannya. Pengelolaan tersebut meliputi antara lain daerah perburuan,
kuota, sistem perijinan, musim panen, ukuran, jumlah panenan dan lain-lain,
yang kesemuanya bertujuan untuk mencegah terjadinya tangkap lebih
(ADAMS, 1993). Cara lain untuk melestarikan sumberdaya teripang adalah
dengan pengayaan stok (stock enhancement) terhadap jenis-jenis target, dan
produksi teripang yang berbasis budidaya (BATTAGLENE, 1999). Kedua hal
terakhir ini diperlukan stok "benih" teripang hasil rekayasa di panti benih
(hatchery). Dalam hal ini pembenihan teripang menjadi kunci berlangsungnya
kegiatan ini. Budidaya teripang nampaknya merupakan usaha yang harus
diwujudkan untuk mengantisipasi wacana internasional tentang akan
dimasukkannya jenis teripang komersil dalam daftar CITES Appendix II
(BRUCKNER et al., 2003).

2.2 Metode Isolasi

2.2.1 Ekstraksi

Istilah ekstraksi pelarut mengacu pada distribusi antara zat terlarut


dengan kontak antara campuran dua fasa zat tak terlarut, yaitu distribusi dua
fasa pada zat terlarut. Hal ini dapat merujuk pada metode, bertumpu pada
fondasi ilmiah yang kuat. Prinsip dari ekstraksi pelarut dapat digambarkan
dengan menggunakan bejana (corong pemisah) yang di dalamnya terdapat dua
lapisan zat cair, dimana terdapat satu larutan yang umumnya berbasis air (S aq)
dan yang lainnya berbasis pelarut organik (Sorg). Pada contoh gambar 2.2.1,
terlihat bahwa pelarut organik lebih ringan (mempunyai densitas yang lebih
rendah) dibandingkan air, tetapi situasi terbalik dapat juga terjadi. Zat terlarut
A yang hanya dapat terlarut pada salah satu dari dua zat cair, akan
mendistribusikan dirinya pada dua fasa. Ketika pendistribusian telah mencapai
kestabilannya, zat terlarut akan berada pada konsentrasi [A]aq dalam lapisan air
dan pada konsentrasi [A]org dalam lapisan organik. Dengan persamaan sebagai
berikut: (Rydberg, dkk, 2005).

[𝐴]𝑜𝑟𝑔
D= [𝐴]𝑎𝑞

Gambar 1. Simulasi pemisahan menggunakan corong pisah


Ketika suatu senyawa (atau zat terlarut) ditambahkan ke dalam
campuran pelarut yang saling tidak bercampur, zat terlarut tersebut
mendistribusikan dirinya sendiri di antara kedua pelarutberdasarkan afinitasnya
pada masing-masing fase. Senyawa polar (misalnya gula, asam amino, atau
obat-obat terion) akan cenderung menyukai fase berair atau fase polar,
sedangkan senyawa-senyawa nonpolar (misalnya obat-obat yang tidak terion),
akan menyukai fase organik atau fase nonpolar. Senyawa yang ditambahkan
mendistribusikan dirinya sendiri di antara kedua pelarut yang tidak bercampur
berdasarkan hukum partisi, yang menyatakan bahwa “senyawa tertentu pada
suhu tertentu, akan memisahkan dirinya sendiri di antara dua pelarut yang
saling tidak bercampur pada perbandingan konsentrasi yang tetap”.
Perbandingan yang tetap ini dikenal dengan koefisien partisi senyawa tersebut.
Koefisien partisi merupakan suatu informasi penting karena dapat digunakan
untuk memperkirakan proses absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat di dalam
tubuh. (Cairns, 2009)

Hal yang penting pada jenis ekstraksi cair-cair ini bukanlah volume fase
organik, melainkan jumlah pengekstraksian yang dilakukan. Ekstraksi 10 ml
fase organik sebanyak 5 kali, akan memisahkan senyawa yang lebih banyak
dibandingkan dengan satu kali ekstraksi volume 50 ml, walaupun volume total
pelarut organik yang digunakan sama. Sama halnya, sepuluh kali ekstraksi fase
organik sebanyak 5ml akan lebih efisien lagi dan demikian seterusnya. Efek ini
(yang umum pada semua jenis ekstraksi) merupakan sesuatu yang masuk akal.
Setiap kali salah satu fase dipindahkan dan digantikan dengan pelarut yang
baru, kesetimbangan untuk proses partisi akan tersusun ulang sesuai dengan
perbandingan koefisien partisi, dan obat akan meninggalkan fase berair menuju
fase organik dan memperbaiki perbandingan kesetimbangan. (Cairns,
2009)Suatu persamaan dapat diturunkan untuk menghitung peningkatan
efisiensi penggunaan ekstraksi ganda terhadap ekstraksi tunggal. (Cairns, 2009)

𝐴
Wn = W(𝑃𝑆+𝐴)n
Wn adalah massa obat yang tertinggal di dalam fase berair setelah n kali
ekstraksi, W adalah massa awal obat di dalam fase berair, A adalah volume
fase berair, S adalah volume fase pelarut (atau senyawa organik), P adalah
koefisien partisi, n adalah jumlah ekstraksi. (Cairns, 2009)

2.2.2 Kromatografi

Kromatografi adalah salah satu metode pemisahan fisik, di mana


komponen-komponen yang dipisahkan didistribusikan di antara dua fasa, salah
satu fasa tersebut adalah suatu lapisan stasioner dengan permukaan yang luas,
yang lainnya sebagai fluida yang mengalir lembut di sepanjang landasan
stasioner. Fasa stasioner bisa berupa padatan maupun cairan, sedangkan fasa
bergerak bisa berupa cairan maupun gas. Jadi semua jenis kromatografi yang
diketahui diorganisir jadi satu dalam empat kategori seperti yang ditunjukan
pada Tabel 1.: cair-padat, gas-padat, cair-cair, dan gas-cair (Day dan
Underwood, 2002).

Fa Padat Cair
sa stasioner
Fasa Cair Gas Cair Gas
bergerak
Contoh- Kromaografi Kromatografi Kromatografi Kromatografi
Contoh asli Tswett, gas-padat, atau partisi pada gas-cair atau
dengan larutan GSC kolom silica GLC
petroleumeter gel
dan kolom
CaCO3
Kromatografi Kromatografi
pertukaran ion kertas

Tabel 1. Rangkuman Jenis-jenis Kromatografi


Pemisahan komponen campuran melalui kromatografi adsorpsi
tergantung pada kesetimbangan adsorpsi-desorpsi antara senyawa yang
teradsorb pada permukaan dari fase diam padatan dan pelarut dalam fase cair.
Tingkat adsorpsi komponen tergantung pada polaritas molekul, aktivitas
adsorben, dan polaritas fase gerak cair. Umumnya, senyawa dengan gugus
fungsional lebih polar akan teradsorb lebih kuat pada permukaan fase padatan.
Aktivitas adsorben tergantung komposisi kimianya, ukuran partikel, dan pori-
pori partikel (Braithwaite dan Smith, 1999).

2.2.2.1 Kromatografi Kolom

Pemisahan komponen secara kromatografi kolom dilakukan dalam


suatu kolom yang diisi dengan fase stasioner dan cairan (pereaksi) sebagai fase
mobil untuk mengetahui banyaknya komponen contoh yang keluar melalui
kolom. Pengisian kolom dilakukan dengan memasukkan adsorben dalam
bentuk larutan (slurry), dan partikelnya dibiarkan mengendap. Pemisahan
komponen rimpang temu kunci secara kromatografi kolom bertujuan untuk
mengetahui komponen-komponen senyawa kimia yang dapat terpisah dan
kandungan senyawa aktifnya (Hayani, 2007).

Senyawa yang dipisahkan dengan kromatografi kolom memiliki


mekanisme yang sama dengan jenis kromatografi lain yaitu berkaitan dengan
perbedaan antara gaya-gaya antar molekul dalam sampel dengan fasa gerak
dan antara komponen dengan fasa diam. Tekniknya bergantung pada
kombinasi fasa diam dan fasa gerak yang dipilih, sehingga interaksi yang
timbul juga demikian. Zat cair sebagai fasa gerak akan membawa cuplikan
senyawa mengalir melalui fasa diam sehingga terjadi interaksi berupa
adsorpsi senyawa-senyawa tersebut oleh padatan dalam kolom. Kecepatan
bergerak suatu komponen dalam cuplikan tergantung pada seberapa
besar/lama komponen tersebut tertahan oleh padatan penyerap dalam kolom.
Hasil yang diperoleh berupa fraksi-fraksi senyawa (eluat) yang ditampung
pada bagian bawah kolom (Rubiyanto, 2017).
2.2.2.2 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis, adalah kromaografi yang fase stasionernya
berupa lapisan tipis suatu adsorben, misalnya gel silica, dilapiskan pada pelat
dan fase mobilnya adalah suatu campuran pelarut. Sampel diaplikasikan pada
plat, kemudian pelat diberdirikan dengan ujung bawah pada pelarut. Ketika
pelarut naik akibat aksi kapiler pada adsorben, komponen sampel terbawa
dengan kecepatan yang berbeda dan dapat dilihat sebagai deretan titik-titik
setelat pelatnya dikeringkan dan diwarnai atau dilihat di bawah cahaya
ultraviolet (Sumawinata, 2004).
Kromatografi lapisan tipis atau TLC (thin-layer chromatography),
seperti halnya kromatografi kertas, murah dan mudah dilakukan.
Kromatografi ini mempunyai satu keunggulan dari segi kecepatan dari
kromatografi kertas; proses kromatografi lapisan tipis membutuhkan hanya
setengah jam saja, sedangkan pemisahan yang umum pada kertas
membutuhkan waktu beberapa jam. TLC sangat terkenal dan rutin digunakan
di berbagai laboratorium. Media pemisahannya adalah lapisan dengan
ketebalan sekitar 0,1 sampai 0,3 mm zat padat adsorben pada lempeng kaca,
plastic, atau alumunium (Day dan Underwood, 2002).
2.3 Antioksidan
Secara kimia senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron
(elektron donor). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang
dapat menangkal atau meredam dampak negatif oksidan. Antioksidan bekerja
dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat
oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat di hambat (Winarsi,
2007). Antioksidan dibutuhkan tubuh untuk melindungi tubuh dari serangan
radikal bebas. Antioksidan adalah suatu senyawa atau komponen kimia yang
dalam kadar atau jumlah tertentu mampu menghambat atau memperlambat
kerusakan akibat proses oksidasi.
Antioksidan di luar tubuh dapat diperoleh dalam bentuk sintesis dan alami.
Antioksidan sintetis seperti buthylatedhydroxytoluene (BHT), buthylated
hidroksianisol (BHA) dan ters-butylhydroquinone (TBHQ) secara efektif dapat
menghambat oksidasi. Namun, penggunaan antioksidan sintetik dibatasi oleh
aturan pemerintah karena, jika penggunaannya melebihi batas justru dapat
menyebabkan racun dalam tubuh dan bersifat karsiogenik, sehingga dibutuhkan
antioksidan alami yang aman. Salah satu sumber potensial antioksidan alami
adalah tanaman karena mengandung senyawa flavonoid, klorofil dan tanin (Lie
Jin,dkk, 2012).
Aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kandungan
lipid, konsentrasi antioksidan, suhu, tekanan oksigen, dan komponen kimia dari
makanan secara umum seperti protein dan air. Proses penghambatan antioksidan
berbeda-beda tergantung dari struktur kimia dan variasi mekanisme. Dalam
mekanisme ini yang paling penting adalah reaksi dengan radikal bebas lipid,
yang membentuk produk non-aktif (Gordon, et al. 2001).
Fungsi utama antioksidan adalah memperkecil terjadinya proses oksidasi
dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam
makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan,
meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah
hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Azwin Apriandi, 2011).
Antioksidan berdasarkan mekanisme reaksinya dibagi menjadi tiga macam,
yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan tersier:
a. Antioksidan Primer: merupakan zat atau senyawa yang dapat
menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal bebas yang melepaskan
hidrogen. Antioksidan primer dapat berasal dari alam atau sintetis. Contoh
antioksidan primer adalah Butylated hidroxytoluene (BHT) (Winarsi, 2007).
Antioksidan ini dapat berperan sebagai donor hidrogen atau CB-D (Chain
breaking donor) dan dapat berperan sebagai akseptor elektron atau CB-A
(Chain breaking acceptor) (Triyem, 2010).
b. Antioksidan Sekunder: disebut juga antioksidan eksogeneus atau non
enzimatis. Antioksidan ini menghambat pembentukan senyawa oksigen
reatif dengan cara pengelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Prinsip
kerja sistem antioksidan non enzimatis yaitu dengan cara memotong reaksi
oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan menangkap radikal
tersebut, sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen
seluler (Winarsi, 2007). Antioksidan sekunder di antaranya adalah vitamin
E, vitamin C, beta karoten, flavonoid, asam lipoat, asam urat, bilirubin,
melatonin dan sebagainya(Deddy, 2013).
c. Antioksidan Tersier : kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim
DNA-Repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berperan
dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas.
Kerusakan DNA yang terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh
rusaknya Single dan Double strand baik gugus non-basa maupun basa
(Winarsi, 2007).

Aktivitas antioksidan pada tanaman gandaria diduga berasal dari saponin,


fenolik dan flavonoid yang terkandung pada tanaman ini. Senyawasenyawa
tersebut dapat mengikat radikal bebas karena memiliki gugus hidroksil yang
berfungsi sebagai reduktor yang bertindak sebagai donor hidrogen terhadap
radikal bebas atau termasuk ke dalam golongan senyawa yang berperan sebagain
antioksidan (Pratiwi, 2010).

Suatu senyawa tergolong ke dalam antioksidan yang sangat kuat jika nilai
IC50 yang dimilikinya kurang dari 50 µg/mL, kuat jika nilai IC50 yang
dimilikinya antara 50-100 µg/mL, sedang jika nilai IC50 yang dimilikinya antara
100- 150 µg/mL, dan lemah jika nilai IC50 yang dimilikinya antara 150-200
µg/mL (Molyneux, 2004).

2.3.1 DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil)

Pengukuran antioksidan dengan metode DPPH pada prinsipnya adalah


mengukur terjadinya pemudaran warna dari radikal DPPH akibat adanya
antioksidan yang dapat menetralkan molekul radikal bebas. Jadi, radikal DPPH
yang sebelumnya berwarna akan kehilangan warnanya jika ada antioksidan,
karena antioksidan akan menyumbangkan elektronnya kepada radikal DPPH,
sehingga radikal yang sebelumnya tidak stabil (akibat adanya elektron yang
tidak berpasangan) menjadi stabil (electron di radikal bebas kini menjadi
berpasangan karena mendapat sumbangan electron dari antioksidan). Pada
dasarnya, karakteristik antioksidan adalah mudah untuk menyumbangkan
elektron, semakin mudah memberikan elektron maka sifat antioksidannya
semakin kuat.

Radikal DPPH merupakan chromogen (memiliki warna) yang dapat


menyerap kuat sinar pada panjang gelombang antara 515 dan 528 nm. Saat
radikal DPPH bertemu dengan senyawa yang mudah untuk menyumbangkan
elektron, seperti antioksidan, maka akan bereaksi dan berubah menjadi
senyawa diphenylpicrylhydrazine yang berwarna kuning pucat. Di saat yang
sama, absorbansinya pada panjang gelombang antara 515 dan 528 nm juga
akan berkurang akibat hilangnya sinyal resonansi paramagnetic dari electron
atau Electron Paramagnetic Resonance (EPR) radikal bebas. Pengurangan
absorbansi itu linear dengan pengurangan jumlah radikal bebas yang
distabilkan oleh antioksidan, dan pengurangan absorbansi itu diukur dengan
menggunakan Spektrofotometer.

2.4 Karakterisasi
2.4.1 Spektrofotometri UV-Vis
Pada awalnya Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari tentang
radiasi sinar tampak yang berinteraksi dengan molekul pada panjang
gelombang tertentu dan menghasilkan suatu spektra, yang merupakan hasil
interaksi antara energi radian dengan panjang gelombang atau frekuensi.
Kemudian penelitian ini berkembang tidak hanya untuk radiasi sinar tampak,
tapi juga jenis radiasi elektromagnetik yang lain seperti sinar X, ultraviolet,
Inframerah (IR), gelombang radio, dan radiasi frekuensi radio. Ilmu yang
berhubungan dengan pengukuran spektra tersebut dinamakan spektrofotometer
(skoof, west, holler, 1996) daerah spektrum secara garis besar dibagi dalam :
1. Daerah ultraviolet jauH : 100 nm – 190 nm
2. Daerah ultraviolet dekat : 190 nm – 380 nm
3. Daerah cahaya tampak : 380 nm – 780 nm
4. Daerah Inframerah (IR) dekat : 780 nm – 3000 nm
5. Daerah Inframerah (IR) : 2,5 µm – 40 µm atau 4000 cm-1
–250 cm-120
Spektrofotometri UV-Vis adalah salah satu tehnik analisis fisio kimia
yang mengamati interaksi atom atau molekul dari suatu zat kimia dengan
radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-
780 nm) dengan menggunakan spektrofotometer (Mulja dan Suherman, 1995).
2.4.1.1 Interaksi Molekul dengan Radiasi Elektromagnetik
Suatu berkas radiasi elektromagnetik bila dilewatkan melalui suatu
zat kimia maka sebagian dari radiasi elektromagnetik tersebut akan
diserap (Khopkar, 1990). Molekul dalam zat tersebut akan menyerap
radiasi elektromagnetik pada daerah panjang gelombang yang energinya
sesuai dengan beda energi antara keadaan dasar dan keadaan eksitasi
dalam molekul (Roth and Blaschke, 1981). Molekul dapat menyerap
radiasi elektromagnetik karena adanya elektron valensi yang akan
mengalami transisi elektron dari tingkat energi rendah ke tingkat energi
tinggi yaitu tingkat eksitasi (Khopkar, 1990). Elektron molekul organik
yang menyerap meliputi elektron yang digunakan pada ikatan antara
atom-atom dan elektron nonbonding atau elektron tak berpasangan yang
pada umumnya terlokalisasi (Skoog, 1985).
Gugus fungsi pada suatu molekul organik yang bertanggung jawab
terhadap serapan radiasi ultraviolet dekat dan sinar tampak adalah
kromofor. Molekul organik yang mengandung gugus kromofor disebut
kromogen (Christian, 2004). Pada senyawa organik dikenal pula gugus
auksokrom, yaitu gugus fungsi heteroatom yang mempunyai elektron
valensi nonbonding seperti –OH, -NH2 dan -OCH3 yang tidak menyerap
radiasi pada panjang gelombang >200 nm (Pecsok et al., 1976). Terikatnya
gugus auksokrom pada gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran
pita serapan menuju ke panjang gelombang yang lebih panjang dan
disertai perubahan intensitas serapan (Mulja dan Suharman, 1995).
2.4.1.2 Konsep Dasar Elektromagnetik
Energi radiasi elektromagnetik yang diserap menyebabkan
perubahan energi elektronik suatu molekul sehingga menyebabkan
terjadinya transisi elektron valensi molekul tersebut. Hubungan antara
energi yang diserap untuk transisi elektron dengan frekuensi, panjang
gelombang, dan bilangan gelombang adalah :

E = h.V= h.C /λ = h.C v

dengan :

E = energi (Joule)

h = konstante Planck (6,63 x 10-34 Joule. detik)

V = frekuensi radiasi (Hertz)

c = kecepatan radiasi (3 x 1010 cm. detik-1)

λ = panjang gelombang (cm)

v = bilangan gelombang (cm-1) (Silverstein et al., 1991).

Berdasar persamaan di atas, energi yang dibutuhkan suatu molekul


untuk bertransisi berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Molekul
yang membutuhkan energi transisi lebih besar akan menyerap radiasi
elektromagnetik pada panjang gelombang yang lebih pendek, sebaliknya
molekul yang membutuhkan energi transisi lebih kecil akan menyerap
pada panjang gelombang yang lebih panjang.

2.4.1.3 Tipe-Tipe Transisi Elektron


Radiasi ultraviolet dan cahaya tampak akan meningkatkan energi
elektronik sebuah molekul. Artinya energi yang disumbangkan oleh foton-
foton memungkinkan elektron elektron mengatasi kekangan inti dan
pindah ke orbital baru yang lebih tinggi energinya (Day and Underwood,
2002). Oleh karena itu, serapan radiasi ultraviolet dan sinar tampak dapat
menyebabkan terjadinya transisi elektron σ→σ*, n→σ*, n→π *, dan
π→π* (gambar 5). σ* dan π * adalah orbital atom antibonding, sedangkan
n adalah orbital atom nonbonding yang mempunyai energi diantara orbital
atom bonding dan antibonding (Khopkar, 1990). Transisi elektron yang
dapat terjadi meliputi :

 Transisi elektron σ→σ*

Pada tipe transisi ini elektron di orbital σ bonding akan tereksitasi


ke orbital antibonding. Transisi ini tidak terjadi pada daerah radiasi
ultraviolet dekat, tetapi terjadi pada daerah radiasi ultraviolet jauh
(Khopkar, 1990). Transisi ini membutuhkan energi yang terbesar dan
terjadi pada molekul dengan ikatan tunggal, misalnya alkana (Mulja dan
Suharman, 1995).

 Transisi elektron n→σ*


Pada transisi ini terjadi eksitasi elektron dari orbital nonbonding ke
orbital antibonding. Transisi ini terjadi pada senyawa-senyawa jenuh
dengan elektron nonbonding, membutuhkan energi yang lebih rendah
daripada transisi elektron σ→σ* dan terjadi karena radiasi pada daerah
150-250 nm (Khopkar, 1990).
 Transisi elektron n→π* dan transisi elektron π→π*
Kebanyakan penerapan spektrofotometri UV-Vis pada senyawa
organik didasarkan pada transisi n→π* ataupun π→π* energi yang
diperlukan untuk transisi menghasilkan serapan maksimum pada daerah
200-700 nm (Khopkar, 1990). Transisi n→π* terjadi pada senyawa yang
memiliki elektron nonbonding yang tereksitasi ke orbital antibonding,
contohnya senyawa-senyawa yang mengandung gugus C=O, C=S, C=N,
dan N=O (Daglish,1969). Transisi π→π* dihasilkan oleh senyawa dengan
ikatan rangkap dua dan tiga (alkena dan alkuna) bila menyerap energi
yang sesuai dan terjadi di daerah ultraviolet dekat (Mulja dan Suharman,
1995).
2.4.1.4 Tipe Instrumentasi dari Spektrofotometri UV-Vis
Menurut Harmita (2006), terdapat beberapa tipe instrumentasi
dari UV-Vis, diantaranya yaitu:
1) Single Beam
Pada spektrofotometri UV-Vis tipe single beam absorbsi
berdasarkan pada sinar tunggal dimana sampel akan ditentukan
jumlahnya pada satu panjang gelombang atau fix wave lenght. Hasil
biasanya dibandingkan dengan blangko (biasanya pelarut).

Gambar 2. Spektrofotometri UV-Vis dengan tipe single beam

2) Double Beam
Pada spektrofotometri UV-Vis tipe double beam absorbsi biasanya
mempunyai variabel panjang gelombang atau ”multi wave length”.
Hasilnya bisa langsung dibandingkan dengan blanko.

Gambar 3. Spektrofotometri UV-Vis dengan tipe double beam

Persyaratan suatu sampel dapat dianalisa menggunakan


Spektrofotometri UV-Vis adalah :
 Bahan mempunyai gugus kromofor

 Bahan tidak mempunyai gugus kromofor tapi berwarna

 Bahan tidak mempunyai gugus kromofor dan tidak berwarna, maka


ditambahkan pereaksi warna (Vis)

 Bahan tidak mempunyai gugus kromofor dibuat turunannya yang


mempunyai gugus kromofor (UV)

2.4.1.5 Pembacaan Serapan dan Transmitan


Dasar dari metoda ini karena adanya perubahan sifat fisikokimia
dari bahan yang diperiksa dengan jalan mengamati sifat serapannya
terhadap energi cahaya atau radiasi elektromagnetik. Spectrum UV-Vis
merupakan hasil interaksi antara radiasi elektromagnetik (REM) dengan
molekul. REM merupakan bentuk energi radiasi yang mempunyai sifat
gelombang dan partikel (foton). Karena bersifat sebagai gelombang maka
beberapa parameter perlu diketahui, misalnya panjang gelombang (λ),
frekuensi (V), bilangan gelombang (v), dan serapan (A).
REM mempunyai vektor listrik dan vektor magnet yang bergetar
dalam bidang-bidang yang tegak lurus satu sama lain dan masing-masing
tegak lurus pada arah perambatan radiasi. Bila suatu cahaya monokromatis
atau bukan monokromatis jatuh pada medium homogen, maka sebagian
dari cahaya ini akan dipantulkan, sebagian akan diabsorbsi dan sisanya
akan diteruskan, sehingga dalam hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
I0 = Ir + Ia + It
dimana : I0 = intensitas cahaya yang datang
Ir = intensitas cahaya yang dipantulkan
Ia = intensitas cahaya yang diserap
It = intensitas cahaya yang diteruskan

Pengaruh Ir dapat dihilangkan dengan menggunakan


blanko/kontrol, sehingga : I0 = Ia + It
Analisis dengan spektrofotometri UV-Vis selalu melibatkan
pembacaan serapan radiasi elektromagnetik oleh molekul atau radiasi
elektromagnetik yang teruskan. Keduanya dikenal sebagai serapan (A)
tanpa satuan dan transmitan dengan satuan persen (%T) (Mulja dan
Suharman, 1995). Serapan (A) adalah logaritma perbandingan intensitas
cahaya yang dipancarkan (Io) terhadap intensitas cahaya yang diteruskan
(It) (Roth and Blaschke, 1981). Serapan dirumuskan: A= log Io/It
(Skoog, 1985).
Transmitan (%T) adalah perbandingan intensitas dari sinar yang
diteruskan (It) terhadap sinar yang dipancarkan (Io) dalam persen (Roth
dan Blaschke, 1981). Transmiten dirumuskan: T=It/Io
(Skoog, 1985).
Panjang gelombang terjadinya serapan bergantung pada kekuatan
elektron terikat dalam molekul (Day and Underwood, 2002). Panjang
gelombang yang digunakan untuk dalam pengukuran serapan adalah
panjang gelombang serapan maksimum (λmaks), karena perubahan
serapan untuk setiap satuan konsentrasi adalah paling besar pada λmaks,
sehingga akan diperoleh kepekaan analisis yang maksimum. selain itu, pita
serapan di sekitar λmaks datar sehingga mengurangi kesalahan pada
pengukuran berulang (Mulja dan Suharman, 1995).
2.4.1.6 Hukum Lambert-Beer
Hukum empiris telah merumuskan tentang intensitas serapan.
Hukum Lambert telah menyatakan bahwa fraksi penyerapan sinar tidak
bergantung dari intensitas sumber cahaya. Hukum Beer mengatakan
bahwa penyerapan sebanding dengan jumlah molekul yang menyerap
(Sudjadi, 1983) gabungan dari hukum Lambert-Beer menurunkan secara
empiris hubungan antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan
tebalnya larutan, dan hubungan antara intensitas tadi dengan konsentrasi
zat (Depkes,1995). Rumusnya adalah
A = log (Io/It) = ε . b . c = a.b.c
dimana : A = Serapan
Io = Intensitas sinar yang datang
It = Intensitas sinar yang diteruskan
ε = Absorptivitas molekuler ( L.mol-1.cm-1) = a x BM
a = Daya serap (L.g-1.cm-1)
b = Tebal larutan / kUVet (cm)
c = Konsentrasi zat (g/L, mg/mL)
Ruang lingkup spektroskopi serapan dapat diperluas dengan
menggunakan reaksi warna, yang seringkali diiringi dengan peningkatan
sensitivitas atau selektivitas. Reaksi warna digunakan untuk memodifikasi
spektrum dari molekul pengabsorbsi sehingga dapat dideteksi pada daerah
visible, dan terpisah dari senyawa pengganggu lain yang memiki serapan
di daerah UV. Selain itu, modifikasi kimia ini dapat digunakan untuk
mengubah molekul yang tidak mengabsorbsi menjadi senyawa turunan
yang stabil yang memiliki serapan yang bermakna. Panjang gelombang
dimana absorbsi spektrum maksimum disebut panjang gelombang
maksimum (λ maks). Pengukuran ditunjukkan untuk menghitung jumlah
senyawa dalam sampel. Jika konsentrasi senyawa semakin tinggi maka
lebih banyak cahaya yang diabsorbsi oleh sampel.

2.4.2 Spektrofotometri Inframerah (IR)


Spektrofotometri Inframerah (IR) merupakan salah satu alat yang
dapat digunakan untuk menganalisa senyawa kimia. Spektra Inframerah
(IR) suatu senyawa dapat memberikan gambaran dan struktur molekul
senyawa tersebut. Spektra IR dapat dihasilkan dengan mengukur absorbsi
radiasi, refleksi atau emisi di daerah IR. Daerah Inframerah (IR) pada
spektrum gelombang elektromagnetik mencakup bilangan gelombang
14.000 cm-1 − 10 cm-1. Daerah Inframerah (IR) sedang ( 4000 − 400 cm-1)
berkaitan dengan transisi energi vibrasi dari molekul yang memberikan
informasi mengenai gugus-gugus fungsi dalam molekul tersebut. Daerah
Inframerah (IR) jauh (400 − 10cm-1) bermanfaat untuk menganalisis molekul
yang mengandung atom-atom berat seperti senyawa anorganik, namun
membutuhkan teknik khusus yang lebih baik. Daerah Inframerah (IR) dekat
-1
(12.500 − 4000cm ) yang peka terhadap vibrasi overtone (Schechter, 1997).
Pada alat spektrofotometri Inframerah (IR), satuan bilangan
gelombang merupakan satuan yang umum digunakan. Nilai bilangan
gelombang berbanding terbalik terhadap frekuensi atau energinya.
Bilangan gelombang dan panjang gelombang dapat dikonversi satu sama lain
menggunakan persamaan dibawah :

Informasi absorpsi inframerah pada umumnya diberikan dalam


bentuk spektrum dengan panjang gelombang (µm) atau bilangan gelombang
(cm-1) sebagai absis x dan intensitas absorpsi atau persen transmitan sebagai
ordinat y. Intensitas pita dapat dinyatakan dengan transmitan (T) atau
absorban (A).
Transmitan adalah perbandingan antara fraksi sinar yang diteruskan
oleh sampel (I) dan jumlah sinar yang diterima oleh sampel tersebut (Io).
Absorban adalah –log dari transmitan :

Spektrum yang dihasilkan biasanya relatif kompleks karena adanya


overtone kombinasi dan perbedaan serapan yang lemah. Overtone diakibat
adanya eksitasi dari tingkat energi rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Bila dua frekuensi vibrasi (V1 dan V2) dalam molekul bergabung
menghasilkan vibrasi frekuensi baru dalam molekul, dan bila frekuensi
tersebut aktif inframerah, maka hal tersebut disebut serapan kombinasi
(Harjono,1992). Apabila vibrasi fundamental bergabung dengan serapan
overtone atau serapan kombinasi lainnya, maka vibrasi gabungan ini disebut
resonansi Fermi yang sering teramati dalam senyawa karbonil.

Terdapat dua macam vibrasi, yaitu vibrasi ulur dan tekuk. Vibrasi
ulur merupakan suatu gerakan berirama di sepanjang sumbu ikatan sehingga
jarak antar atom akan bertambah atau berkurang. Vibrasi tekuk dapat terjadi
karena perubahan sudut-sudut ikatan antara ikatan-ikatan pada sebuah atom
(silverstein et al, 1986).

Daerah IR dibagi menjadi tiga sub daerah, yaitu :

 sub daerah IR dekat (λ = 780 nm -2,5 µm atau bilangan gelombang 14290-


4000 cm-1),

 sub daerah IR sedang (λ= 2,5 µm- 15 µm atau bilangan gelombang 4000-
666 cm-1),

 sub IR jauh (λ=15 µm-50 µm atau bilangan gelombang 666-200 cm-1)


(Harmita, 2006).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan


penerapan spektrofotometri infra merah dalam analisais kualitatif, dimana
setiap molekul pasti akan memberikan spektrum yang berbeda. Hal ini
dapat dibantu dengan adanya analisis gugus fungsi. Karbohidrat adalah
senyawa yang memiliki banyak ikatan C-C dan C-O, serta O-H, dan jika
pati tersebut sudah mengalami esterifikasi maka akan muncul gugus C=O.
Umumnya gugus fungsional tersebut memberikan absorbsi yang kuat
pada frekuensi yang berbeda sehingga akan mempermudah dalam
analisis.

2.4.2.1 Analisis Spektrofotometri Inframerah (IR)


Sinar inframerah yang dilewatkan melalui cuplikan suatu
senyawa organik, maka sejumlah frekuensi akan diserap, sedang
frekuensi yang lain diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap. Jika
menggambar antar persen absorbansi atau persen transmitansi lawan
frekuensi maka akan menghasilkan suatu spektrum inframerah.
Pada spektroskopi inframerah menggunakan daerah bilangan
gelombang dari 650 cm-1 – 4000 cm-1 (15,4 – 2,5 µm) daerah dengan
frekuensi lebih rendah 650 cm-1 disebut inframerah jauh,dan daerah
dengan frekuensi lebih tinggi dari 4000 cm-1 disebut inframerah
dekat. Masing - masing daerah tersebut lebih jauh dan lebih dekat
dengan spektrum tampak. Inframerah jauh mengandung sedikit
serapan yang bermanfaat bagi kimia organik dan serapan tersebut
dikaitkan dengan perubahan rotasi dalam molekul. Inframerah dekat
terutama menunjukkan serapan harmoni overtones dari vibrasi pokok
yang terdapat dalam daerah normal (Sastrohamidjojo, 1991).
Pada suhu biasa molekul-molekul organik dan keadaan vibrasi
yang tetap, setiap ikatan mempunyai rentangan atau stretching dan
frekuensi tekukan atau bending yang karakteristik dan dapat
menyerap sinar pada frekuensi tersebut. Vibrasi dua atom yang
dihubungkan secara ikatan kimia dapat disamakan dengan vibrasi dari
bola yang dihubungkan dengan pegas, dengan menggunakan analogi
ini, dapat menerangkan sejumlah gambar dan spektra inframerah,
sebagai contoh, untuk merentangkan pegas membutuhkan tenaga
yang lebih besar daripada untuk menekuknya, hingga tenaga dengan
rentangan ikatan lebih besar daripada tenaga untuk menekuk, dan
serapan rentangan dari suatu ikatan muncul pada frekuensi yang lebih
tinggi dalam spektrum inframerah daripada serapan bending dan
ikatan yang sama (Giwangkara, 2006).

Anda mungkin juga menyukai