internal, eksternal maupun sosial. Nilai internal berkaitan dengan wujud dari kegiatan ilmiah dalam
memperoleh pengetahuan tanpa mengesampingkan fitrah manusia
Nilai eksternal menyangkut nilai-nilai yang berkaitan dengan penggunaan pengetahun ilmiah. Nilai
sosial menyangkut pandangan masyarakat yang menilai keberadaan suatu pengetahuan dan profesi
tertentu. Penerapan pengetahuan sangat tergantung kepada manusia yang meramalkannya. Oleh
karena itu, kode etik profesi merupakan suatu persyaratan mutlak bagi keberadaan suatu profesi.
Kode etik profesi ini pada hakikatnya bersumber dari nilai internal dan ekternal dari disiplin
keilmuan. Bangsa Indonesia berbahagia karena kebidanan sebagai suatu profesi di bidang kesehatan
telah memiliki kode etik yang mutlak diaplikasikan ke dalam praktik klinik kebidanan.
Ilmu Kebidanan merupakan cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan persalinan, hal-hal
yang mendahuluinya dan gejala-gejala sisanya (Oxford English Dictionary, 1933). Ilmu Kebidanan
terutama membahas tentang fenomena dan penatalaksanaan kehamilan, persalinan puerperium
baik pada keadaan normal maupun abnormal.
Tujuan Ilmu Kebidanan yaitu agar setiap kehamilan yang diharapkan dan berpuncak pada ibu dan
bayi yang sehat. Juga berusaha keras mengecilkan jumlah kematian wanita dan bayi sebagai akibat
proses reproduksi atau jumlah kecacatan fisik, intelektual dan emosional yang diakibatkannya.
Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk keuntungan/berfaedah bagi manusia.
Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup
manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia dan kelestarian/keseimbangan
alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun
dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti bahwa ilmu merupakan milik bersama,
dimana setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti ilmu
tidak mempunyai konotasi parokial seperti ras, ideologi atau agama.
Kode etik profesi merupakan suatu pernyataan komprehensif yang memberikan tuntutan bagi
anggotanya untuk melaksanakan praktek dalam bidang profesinya baik yang berhubungan dengan
klien/pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya sendiri. Namun dikatakan
bahwa kode etik pada zaman dimana nilai-nilai peradaban semakin komplek, kode etik tidak dapat
lagi dipakai sebagai pegangan satu-satunya dalam menyelesaikan masalah etik. Untuk itu
dibutuhkan juga suatu pengetahuan yang berhubungan dengan hukum. Benar atau salah pada
penerapan kode etik, ketentuan/nilai moral yang berlaku terpulang kepada profesi.
Kode etik kebidanan merupakan suatu pernyataan komprehensif profesi yang memberikan tuntutan
bagi bidan untuk melaksanakan praktek kebidanan baik yang berhubungan dengan kesejahteraan,
keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya.
Saat ini masyarakat acapkali merasakan ketidakpuasan terhadap pelayanan bahkan tidak menutup
kemungkinan mengajukan tuntutan ke muka pengadilan. Apabila seorang bidan merugikan pasien
dan dituntut oleh pasien tersebut akan merupakan berita yang menarik dan tersebar luas di
masyarakat melalui media elektronik dan media massa lainnya. Hal tersebut menjadi permasalahan
yang perlu diperhatikan. Untuk itu dibutuhkan suatu pedoman yang menyeluruh dan integratif
tentang sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh seorang bidan yaitu kode etik kebidanan.
2. Pengertian
a. Definisi Bidan
Bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang telah
diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku, dicatat (register), diberi
izin secara sah untuk menjalankan praktik
Secara umum Kode Etik tersebut berisi 7 bab. Ketujuh bab dapat dibedakan atas tujuh bagian
yaitu :
1) Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir)
2) Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir)
3) Kewajiban bidan terhadap teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir)
4) Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir)
5) Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (2 butir)
6) Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air (2 butir)
7) Penutup (1butir)
Terwujudnya kode etik ini merupakan bentuk kesadaran dan kesungguhan hati dari setiap bidan
untuk memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan sebagai anggota tim kesehatan
secara profesional dan sebagai anggota tim kesehatan demi tercapainya cita-cita pembangunan
nasional di bidang kesehatan pada umumnya, KIA/KB dan kesehatan keluarga pada khususnya.
Mengupayakan segala sesuatunya agar kaumnya pada detik-detik yang sangat menentukan pada
saat menyambut kelahiran insan generasi secara selamat, aman dan nyaman merupakan tugas
sentral dari para bidan.
Menelusuri tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang terus meningkat sesuai
dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat, sudah
sewajarnya kode etik bidan ini berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan ideal dan
Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai landasan operasional.
Sesuai dengan wewenang dan peraturan kebijaksanaan yang berlaku bagi bidan, kode etik ini
merupakan pedoman dalam tata cara dan keselarasan dalam pelaksanaan pelayanan profesional.
Bidan senantiasa berupaya memberikan pemeliharaan kesehatan yang komprehensif terhadap
remaja putri, wanita pra nikah, wanita pra hamil, ibu hamil, ibu melahirkan, ibu menyusui, bayi dan
balita pada khususnya, sehingga mereka tumbuh berkembang menjadi insan Indonesia yang sehat
jasmani dan rohani dengan tetap memperhatikan kebutuhan pemeliharaan kesehatan bagi keluarga
dan masyarakat pada umumnya.
g. Penutup
Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari senantiasa menghayati dan mengamalkan
Kode Etik Bidan Indonesia. Disempurnakan dan disahkan dalam Konas IBI ke XII tahun 1998 di
Denapasar Bali.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Tenaga
penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807 para dukun dilatih dalam pertolongan
persalinan, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatih kebidanan.
Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang
Belanda yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849 di buka pendidikan Dokter Jawa di
Batavia ( di Rumah Sakit Militer Belanda). Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut,
pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang militer
Belanda (Dr. W. Bosch) lulusan ini kemudian bekerja di rumah sakit juga di masyarakat. Mulai saat
itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan kualitas
pertolongan persalinan. Kursus untuk dukun masih berlangsung sampai dengan sekarang yang
memberikan kursus adalah bidan. Perubahan pengetahuan dan ketrampilan tentang pelayanan
kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang
dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya
dilakukan pula di kota-kota besar lain di nusantara ini. Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah
Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) di mana bidan sebagai penanggung jawab pelayanan kepada
masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup pelayanan antenatal, post natal dan pemeriksaan
bayi dan anak termasuk imunisasi dan penyuluhan gizi. Sedangkan luar BKIA, bidan memberikan
pertolongan persalinan di rumah keluarga dan pergi melakukan kunjungan rumah sebagai upaya
tindak lanjut dari pasca persalinan.
Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi kepada masyarakat yang
dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan
pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung dan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang
bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk
pelayanan keluarga berencana baik di luar gedung maupun di dalam gedung. Pelayanan kebidanan
yang diberikan di luar gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos pelayanan
terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup empat kegiatan yaitu pemeriksaan
kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi dan kesehatan lingkungan.
Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan masyarakat,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini melalui instruksi Presiden secara lisan pada
sidang Kabinet Tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa.
Adapun tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam
pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas sert pelayanan kesehatan bayi baru lahir,
termasuk pembinaan dukun bayi. Dalam kaitan tersebut, bidan di desa juga menjadi pelaksana
pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang pelaksanaannya sejalan dengan tugas
utamanya dalam pelayanan kesehatan ibu. Dalam melaksanakan tugas pokoknya bidan di desa
melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya, mengadakan pembinaan
pada posyandu di wilayah kerjanya serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas adalah pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan yang diberikan
berorientasi pada kesehatan masyarakat berbeda halnya dengan bidan yang bekerja di rumah sakit,
dimana pelayanan yang diberikan berorientasi pada individu. Bidan di rumah sakit memberikan
pelayanan poliklinik antenatal, gangguan kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga berencana,
senam, hamil, pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas dan ruang
perinatal.
Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang menekankan pada
reproductive health (kesehatan reproduksi), memperluas area garapan palayanan bidan. Area
tersebut meliputi :
A. Safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus
B. Family Planning
C. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
D. Kesehatan reproduksi remaja
E. Kesehatan reproduksi pada orang tua/usia lanjut
Era globalisasi menuntut adanya perubahan cara pandang pada segala bidang termasuk juga
kebidanan. Salah satu tujuan pelayanan kebidanan adalah meningkatkan kesejahteraan keluarga
pada masa childbearing. Proses adaptasi keluarga pada masa tersebut sangat dipengaruhi oleh
pemahaman tentang ilmu dan teknologi masyarakat. Ketika proses childbearing tidak berubah
namun masyarakat kita telah berubah, sehingga bidan harus mampu berfikir kritis, berespon secara
tepat terhadap perubahan, trend dan isyu pelaksanaan pelayanan kebidanan.
2) Nilai sosial yang menyangkut pandangan masyarakat yang menilai keberadaan suatu
pengetahuan atau profesi kebidanan.
Budaya adalah sistem kompleks yang melibatkan pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, nilai,
kebiasaan, peran, sikap, dan perilaku. Budaya diturunkan dari generasi ke generasi baik secara
formal dan informal. Masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak
terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka
berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti persepsi
mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit,
kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap
kesehatan ibu dan anak. Pola makan, misalnya, pada dasarnya adalah merupakan salah satu selera
manusia dimana peran kebudayaan cukup besar.
Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu
hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap
beberapa makanan tertentu.
a. Misalnya saja masih ada yang menganggap bahwa colostrum dapat menyebabkan diare, muntah
dan masuk angin pada bayi. Sementara, colostrum sangat berperan dalam menambah daya
kekebalan tubuh bayi.
b. Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini
disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan- pantangan terhadap beberapa
makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-
pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil
tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan
kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Dikatakan pula bahwa
penyebab utama dari tingginya angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat
gizi yang dibutuhkan untuk pembentukan darah. Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil
pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang
kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang
dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin,
ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin.
berbagai sumber